3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui: a.
Studi kepustakaan library research. Sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka pengumpulan data
akan dilakukan melalui studi kepustakaan, dikumpulkan melalui studi literatur, yakni
dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan tentang
pemasyarakatan dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan materi penelitian.
b. Studi lapangan field research
Studi lapangan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data pendukung mengenai pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas CMB
bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai yakni dengan melakukan wawancara langsung kepada Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai.
4. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah studi dokumen yang bersumber dari bahan hukum primer yakni Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007.
Di samping itu data pendukung juga diharapkan diperoleh dengan melakukan
wawancara langsung dengan Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan
Klas II A Binjai.
5. Analisis Data
Setelah semua data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan library research serta data pendukung yang diperoleh dari penelitian lapangan field
research, maka dilakukan pemeriksaan dan evaluasi, kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara
yuridis, logis, sistematis. Berdasarkan hal ini, maka analisis yang dipergunakan adalah analisis
kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan data, dimana apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis maupun lisan akan diteliti dan dipelajari
secara utuh, dengan cara menjabarkan, menganalisa, memahami dan menjelaskan sebenarnya mengenai pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas CMB bagi narapidana
dalam kaitannya dengan syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak warga binaan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 dan Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 .
BAB II PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS CMB BAGI
NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
A. Perkembangan Sistem Permasyarakatan 1.
Sistem Kepenjaraan
Sistem kepenjaraan mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1917, bertepatan dengan diberlakukannya Getischen Reglement Peraturan Penjara Stb. 1917 Nomor
708. Dalam sistem kepenjaraan menjelaskan tujuan dari pemidanaan adalah sebagai suatu penjeraan, artinya seseorang dipidana dibuat jera atas perbuatan tindak pidana
yang mereka lakukan dengan maksud agar tidak mengulanginya lagi. Penjeraan disini dapat berarti memperlakukan mereka yang dipidana dengan cara yang tidak baik,
tidak etis, tidak manusiawi, dan perlakuan lainnya yang dinilai sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan dalam sistem kepenjaraan,
narapidana hanya ditempatkan potensi dan eksistensinya sebagai manusia, seolah- olah keberadaan narapidana di penjara semata-mata karena wujud dari pembalasan
dendam.
27
Diperlukannya integrasi narapidana, petugas serta masyarakat karena hal itu dianggap dapat mencegah kekejaman penjara. Perubahan orientasi pidana penjara
yang menitikberatkan kepada pemasyarakatan narapidana, hal itu dikarenakan masalah jera, rehabilitasi atau resosialisasi adalah masalah yang menghendaki pula
27
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2006, hlm. 50
pengalaman dari masyarakat, secara implisit dan eksplisit dan untuk keperluan itu harus ada pemanifestiannya secara langsung melalui suatu proses timbal balik yang
memerlukan waktu.
28
Pidana penjara yang diartikan sebagai pidana perampasan atau pembatasan kemerdekaan seseorang untuk menentukan kehendak psikis dalam berbuat sesuatu
yang diakibatkan oleh keputusan hakim. Adapun maksud dari kepenjaraan itu sendiri adalah :
29
28
Soedjono D, Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Bandung : Tribisana Karya, 1977, hlm. 153-154
29
Bambang Purnomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta : Liberty, 1985, hlm. 125
Sistem kepenjaraan yang berlaku di Indonesia pada beberapa tahun yang lalu tidaklah cocok untuk diterapkan di Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Jika diamati
sistem kepenjaraan itu terkadang terlalu banyak merampas kebebasan seseorang, karena tiap harinya mereka harus ditempatkan di dalam sel yang dikelilingi tembok
yang tinggi dengan sistem pengawasan yang ketat. Sistem yang demikian jelas sangat menghambat proses rehabilitasi dan resosialisasi dari binaan, sehingga stigma-stigma
terhadap warga binaan tersebut sulit dihilangkan setelah kembali ke masyarakat. Dalam sistem kepenjaraan dimana narapidana ditempatkan sebagai objek,
mereka diklasifikasikan menjadi beberapa golongan menurut besar kecilnya pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.
Adapun klasifikasi narapidana dapat dikelompokkan menjadi : a. Register B-I adalah narapidana yang dijatuhi pidana diatas 1 tahun.
b. Register B-IIa adalah narapidana yang dijatuhi pidana selama diatas 3 bulan sampai 12 bulan.
c. Register B-IIb adalah narapidana yang dijatuhi pidana selama 1 hari sampai 3 bulan.
d. Register B-III adalah narapidana yang menjalani pidana kurungan pengganti denda.
Sedangkan untuk tahanan dapat diklasifikasikan menjadi : a. Register A-I untuk tahanan Kepolisian.
b. Register A-II untuk tahanan Kejaksaan. c. Register A-III untuk tahanan Pengadilan Negeri.
d. Register A-IV untuk tahanan Pengadilan Tinggi. e. Register A-V untuk tahanan Mahkamah Agung.
2. Sistem Permasyarakatan
Pada tanggal 17 April sampai dengan 7 Mei 1964 diadakan Konferensi Dinas Direktorat Permasyarakatan di Lembang, Bandung.
Konferensi tersebut mengeluarkan hasil berupa suatu sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia
yang berdasarkan Pancasila yang disebut “Sistem Permasyarakatan”.
Yang dimaksud dengan Sistem Permasyarakatan adalah “Suatu proses Therapoutie yang dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, Pancasila,
Penganyoman, dan Tut Wuri Handayani”
30
Sistem permasyarakatan sudah mulai dikenal sejak tahun 1964 sebagai pengganti dari sistem kepenjaraan. Dengan demikian istilah penjara juga diganti
menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Tepatnya pada tanggal 27 April ditetapkan sebagai hari pemasyarakatan.
31
Perubahan nama mengakibatkan berubah pula tujuan dari sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakatan. Dalam sistem permasyarakatan tujuannya bukan lagi
untuk penjeraan, melainkan dimaksudkan untuk pembinaan. Pembinaan dilakukan sebagai persiapan untuk hidup kembali di tengah masyarakat secara wajar dan
bertanggung jawab. Tujuan pidana penjara adalah untuk menimbulkan derita pada narapidana dengan menghilangkan kemerdekaannya, juga untuk membimbing
narapidana agar bertobat dan mendidik narapidana menjadi anggota masyarakat yang berguna.
32
30
Ibid, hlm. 186
31
Adi Sujatno, Pencerahan di Balik Penjara, Buletin Warta Pemasyarakatan, No. 25 Tahun VIII, Juni 2007, hlm. 2
32
Soemadipraja dan Atmasasmita, Op. cit., hlm. 10
Dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan walaupun masih mengenal klasifikasi narapidana, tetapi klasifikasi tersebut dibatasi dengan bentuk tahapan
pembinaan yang disebut dengan Proses Pemasyarakatan. Dasar pemikiran pembinaan itu sendiri berpatokan pada “10 Prinsip Pemasyarakatan”, yaitu :
1. Ayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai
warga masyarakat yang baik ; 2.
Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan ; 3.
Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat ; 4.
Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari pada dijatuhi pidana ;
5. Selama kehilangan dibatasi kemerdekaan bergeraknya para narapidana dan
anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat ; 6.
Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh sekedar bersifat mengisi waktu ;
7. Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik
tidak adalah berdasarkan Pancasila ; 8.
Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit, perlu diobati agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukan adalah merusak
dirinya, keluarganya dan lingkungannya kemudian dibina dan dibimbing ke jalan benar ;
9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi
kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu ; 10.
Untuk pembinaan dan bimbingan narapidana dan anak didik, maka disediakan sarana yang diperlukan.
33
33
Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan NarapidanaTahanan, Jakarta : Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1990, hlm. 14 lihat
Mengenai apa yang dimaksud dengan sistem pemasyarakatan itu sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, yaitu :
a. “Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara warga binaan pemasyarakatan, untuk meningkatkan kualitas warga
binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali Tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.
34
Bahwa pemasyarakatan agar berhasil diselenggarakan dengan sistem integrasi dengan masyarakat, maka harus ada usaha timbal balik, baik dari Lembaga maupun
bandingkan Baharuddin Suryobroto, Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa, Majalah Prisma, Mei, 1982, hlm. 61 menyatakan ” Dalam hal ini tujuan Sahardjo mengemukakan 10 Prinsip Pemasyarakatan
adalah : a.
Pemasyarakatan tidak hanya tujuan dari pidana penjara, melainkan pula suatu cara atau sistem perlakuan terpidana ;
b. Pemasyarakatan adalah suatu proses perlakuan yang menganut prinsip gotong-royong,
yakni antara petugas-narapidana-masyarakat ; c.
Tujuan Pemasyarakatan adalah mencapai kesatuan hubungan hidup-kehidupan yang terjalin antara terpidana dan masyarakat ;
d. Fokus pemasyarakatan bukan individu terpidana secara eksklusif, melainkan kesatuan
hubungan antara terpidana dan masyarakat ; e.
Terpidana harus dipandang sebagai seorang yang melakukan pelanggaran hukum, tidak karena ia ingin melanggar hukum melainkan karena ia ditinggalkan dan tertinggal dalam
mengikuti derap hukum kemasyarakatan yang makin lama makin kompleks; f.
Terpidana harus dipandang sebagai manusia makhluk Tuhan seperti manusia-manusia lainnya mempunyai potensi dan itikad untuk menyesuaikan dirinya dalam kehidupan
masyarakat ; g.
Semua unsur yang terlibat dalam proses peradilan pidana pada hakekatnya menyukai perdamaian dan pada waktunya tidak segan-segan untuk mintak maaf ;
h. Petugas pemasyarakatan harus menghayati prinsip-prinsip kegotong-royongan dan harus
menempatkan dirinya sebagai salah satu unsur dalam kegotong-royongan ; i.
Tidak boleh ada paksaaan dalam kegotong-royongan, tujuan harus dapat dicapai melalui self propelling adjusment dan Readjusment Approach yang harus dipakai ialah Approach
antara sesama manusia ; j.
Lembaga Pemasyarakatan adalah unit operasional untuk mencapai tujuan pemasyarakatan dan bukan hanya bangunan, bangunan hanya sarana ;
k. Tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila.
dari masyarakat. Semua itu merupakan satu kesatuan usaha. Pemasyarakatan tidak hanya diselenggarakan demi kepentingan narapidana tetapi justru demi kepentingan
masyarakat. Oleh karena itu, dari masyarakat diharapkan akan pengertiannya, bantuannya, dan bahkan juga tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan
pembinaan narapidana, sebab suatu perbuatan pelanggaran hukum selain tergantung dari sikap dan perbuatan narapidana, sedikit banyak juga tergantung dari masyarakat
sekitarnya.
35
Oleh karena itu pula, maka sistem pemasyarakatan dalam pembinaan terpidana, menurut Baharuddin Soerjobroto : Tidak boleh merupakan suatu treatment
sistem yang ”prison oriented” melainkan multilateral dapat dikatakan ”gotong royong oriented”. Ini tidak berarti, bahwa pembinaan secara institutair tidak diperlukan lagi,
melainkan pembinaan secara instituair masih tetap perlu akan tetapi sekedar sebagai ”way-station” dalam arti kata yang baik, bukan seperti dulu untuk menuju tiang
gantungan atau untuk menuju ke dunia yang gelap, melainkan sebagai ”way-station ” alam process of justice untuk menuju dunia yang lebih cerah penuh dengan harmoni
perdamaian.
36
Ide ”pemasyarakatan” itu sendiri telah digunakan Sahardjo sebelum mengucapkan pidatonya, yaitu sejak tahun 1962, yakni dalam pidato Menteri
Kehakiman Sahardjo pada tanggal 12 Januari 1962 yang diucapkan di Blitar ketika
34
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
35
Soedjono D, Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Bandung : Tribisana Karya, 1977, hlm. 153-154
36
Baharuddin Soerjobroto, Op. cit, hlm. 24
meresmikan pemakaian gedung rumah pendidikan negara yang baru selesai di bangun kembali.
37
“Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindakan pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam membangun dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.
Dapat dilihat pula dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tersebut mengenai tujuan dan fungsi dari sistem pemasyarakatan,
yaitu :
38
“Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat
berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab.”
39
Pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan yang dilaksanakan di Indonesia sekarang ini lebih disebabkan karena adanya tuntutan agar pelaksanaan
pidana penjara itu harus pula menghargai dan menghormati hak-hak seorang warga
37
Baharuddin Suryobroto, Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa, Majalah Prisma, Mei, 1982, hlm. 61
38
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
39
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
binaan pemasyarakatan sebagai manusia notabene sama-sama mahluk Tuhan yang mempunyai hak kemanusiaan.
40
a. pengayoman ;
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas-asas
tertentu. “Sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :
b. persamaan perlakuan dan pelayanan ;
c. pendidikan ;
d. pembimbingan ;
e. penghormatan harkat dan martabat manusia ;
f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan ;
g. terjaminnya hak-hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-
orang tertentu”.
41
Dari asas-asas pembinaan sistem pemasyarakatan tersebut nampak bahwa sistem pemasyarakatan memandang warga binaan pemasyarakatan bukan hanya
sebagai objek melainkan sebagai subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang sewaktu-waktu dikenakan sanksi pidana, sehingga mereka sebenarnya tidak
harus diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor penyebab yang dapat menyebabkan narapidana tersebut melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
40
Soemadipraja dan Atmasasmita, Op. cit., hlm. 5
41
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
hukum, kesusilaan, agama, atau kewajiban lain yang dapat dikenakan pidana. Dengan kata lain, strategi yang harus ditangani adalah masalah atau kondisi yang baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan.
42
Adanya sistem
pemasyarakatan, maka
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan harus diperlakukan dengan baik. Warga binaan pemasyarakatan
sebagai manusia tentunya juga mempunyai keinginan yang sama seperti layaknya manusia bebas lainnya. Untuk itu negara harus membina mereka dengan baik di
dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan, yang didasarkan pada Pancasila dan tidak lepas dari 10 sepuluh Prinsip Pemasyarakatan.
43
Sebagian besar narapidana dibina di dalam Lembaga PermasyarakatanRumah Tahanan Negara. Sebenarnya narapidana harus dipidana dan dibina hanya di
Lembaga Permasyarakatan saja, tidak di Rumah Tahanan Negara, karena Rumah Tahanan Negara hanya diperuntukkan bagi para tahanan. Tetapi karena tidak semua
kabupatenkota mempunyai Lembaga Permasyarakatan, maka sebagian narapidana terpaksa ditempatkan dan dibina di Rumah Tahanan Negara, terutama untuk
narapidana dengan pidana di bawah satu tahun.
44
Narapidana yang menjalankan pidana di Lembaga Permasyarakatan, pada dasarnya selama menjalani pidana, telah kehilangan kebebasan untuk bergerak,
artinya narapidana yang bersangkutan hanya dapat bergerak di dalam Lembaga
42
Soemadipraja dan Atmasasmita, Op. cit., hlm. 3
43
Adi Sujatno, Op. Cit., hlm. 2
Permasyarakatan saja. Kebebasankemerdekaan bergerak telah dirampas untuk jangka waktu tertentu, atau bahkan seumur hidup.
Dalam proses pemidanaan, Lembaga PermasyarakatanRumah Tahanan Negara yang mendapat porsi besar dalam melaksanakan pemidanaan, setelah melalui
proses Persidangan di Pengadilan. Pada awalnya tujuan pemidanaan adalah penjeraan, membuat pelaku tindak pidana menjadi jera untuk melakukan tindak
pidana lagi. Tujuan itu kemudian berkembang menjadi perlindungan hukum, baik kepada masyarakat pihak yang dirugikan maupun kepada pelaku tindak pidana
pihak yang merugikan, agar keduanya tidak melakukan tindakan hukum sendiri- sendiri. Berangkat dari upaya perlindungan hukum, maka pelaku tindak pidana dalam
menjalani pidananya, juga mendapat perlakuan yang manusiawi, mendapat jaminan hukum yang memadai.
45
a. pencatatan :
Narapidana yang diterima di Lembaga Pemasyarakatan wajib didaftar, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Pendaftaran ini mengubah status Terpidana menjadi Narapidana. Pendaftaran menurut Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 meliputi :
1 putusan Pengadilan
2 jati diri
3 barang atau uang yang dibawa
44
Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman RI, Op. cit., hlm. 16
b. pemeriksaan kesehatan
c. pembuatan pas foto
d. pengambilan sidik jari
e. pembuatan berita acara serah terima terpidana
Menurut Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan
penggolongan atas dasar : a.
umur b.
jenis kelamin c.
lama pidana yang dijatuhkan d.
jenis kejahatan dan e.
kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan Bentuk perlakuan dituangkan dalam usaha Lembaga Permasyarakatan
Rumah Tahanan Negara untuk membina narapidana mengenal dirinya sendiri, sehingga dapat merubah dirinya sendiri menjadi lebih baik, menjadi lebih positif,
tidak lagi melakukan tindak pidana dan mampu memgembangkan diri sendiri menjadi manusia yang lebih berguna bagi nusa, bangsa, agama dan keluarganya.
46
45
Andi Mattalata, Perlindungan Narapidana dalam Perspektif HAM, Media Departemen Hukum dan HAM RI, Edisi 4 Desember, 2007
46
C.I. Harsono HS, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta : Djambatan, 1995, hlm. 35, lihat bandingkan dengan David J Cooke, Pamela J Baldwin Jaqueline Howison, Menyingkap
Dunia Gelap Penjara, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 6 menyatakan menemukan kecakapan, kemampuan dan kualitas personal yang diperlukan oleh seorang petugas Lapas merupakan
langkah pertama dalam tugas psikolog. Setelah mengidentifikasi kualitas-kualitas tersebut barulah psikolog mendisain test dan interviu untuk mencari orang dengan kualitas yang diinginkan.
Berbagai upaya telah dilakukan Lembaga PermasyarakatanRumah Tahanan Negara dalam rangka mewujudkan pelaksanaan pidana yang efektif dan efisien, agar
narapidana dapat mengenal diri sendiri. Usaha itu berupa pembagian Lembaga Permasyarakatan menurut usia, misalnya Lembaga Permasyarakatan Khusus Anak di
Blitar, Tangerang, Plantungan dan Kalimantan. Lembaga Permasyarakatan Khusus Pemuda di Tangerang, Lembaga Permasyarakatan Dewasa Muda di Sukamiskin
Bandung, dan Lembaga Permasyarakatan Dewasa di hampir semua kota kabupaten. Begitu juga didirikan Lembaga Permasyarakatan berdasarkan jenis kelamin, misalnya
Lembaga Permasyarakatan Khusus Wanita di Malang, Semarang, Tangerang dan Medan. Lembaga Permasyarakatan juga dibagi berdasarkan kapasitasnya, yaitu
Lembaga Permasyarakatan Klas I, II, dan III. Masih dalam kaitan upaya melaksanakan pemidanaan, telah dipisahkan menurut tugasnya antara Lembaga
Permasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.
47
Dalam proses pemasyarakatan dikenal adanya dua periode pembinaan, yaitu di dalam dan di luar lembaga. Bagi narapidana, interaksi sosial dengan masyarakat
mutlak diperlukan oleh karena tahap pembinaan di luar lembaga adalah sebagai kelanjutan pembinaan yang dilakukan di dalam lembaga, dalam usaha mencapai
tujuan pemasyarakatan yang sasaran utamanya adalah pemulihan kesatuan hubungan
B. Pengaturan dan Dasar Hukum Cuti Menjelang Bebas CMB
47
Ibid, hlm. 80
sosialnya. Pembinaan narapidana ketika menjelang bebas ini dimaksud untuk mengurangi efek negatif sebagai akibat pengasingan selama di dalam lembaga, serta
membantu narapidana dalam menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat. Cuti Menjelang Bebas CMB merupakan bagian dari bentuk pembinaan
dalam sistem pemasyarakatan. Dimana dalam pembinaan narapidana, mereka tetap diperlakukan sebagai anggota masyarakat juga sebagai mahluk Tuhan yang paling
mulia. Pengertian pembinaan Cuti Menjelang Bebas CMB menurut Bahrudin
Soejobroto diartikan sebagai berikut : “Biasanya yang diberikan Pre Release Treatmentatau Cuti Menjelang Bebas
CMB dalam dunia treatment of prisoners ialah pembinaan yang khusus direncanakan untuk jangka waktu tertentu sebelum periode pembinaan secara
konstitusional berakhir pengembaliannya ke tengah masyarakat dengan atau tanpa syarat”.
48
“Sebelum menghabiskan pidananya adalah seyogiyanya kalau diambil langkah-langkah yang perlu untuk mengatur dengan baik kembalinya orang
terpenjara ke masyarakat secara bertahap, tergantung bagaimana soalnya, tujuan ini akan dicapai dengan suatu cara kerja pre release yang disusun di
Menurut Standart minimum Rules :
48
Bahrudin Soerjobroto, Ilmu Pemasyarakatan Pandangan Singkat, Jakarta : AKIP, 1986, hlm. 38
lembaga yang sama atau di lembaga yang lain yang diperlukan bagi urusan- urusan ini”.
49
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya ;
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Cuti Menjelang Bebas CMB adalah suatu masa pembinaan narapidana yang mendahului masa transisi dari
pembinaan di lembaga ke pembinaan di luar lembaga, dalam rangka integrasi masyarakat luar.
a. Ketentuan Cuti Menjelang Bebas CMB Dalam rangka pelaksanaan sistem pemasyarakatan warga binaan dilengkapi
dengan hak-hak, dengan harapan agar dalam pelaksanaan pembinaan masyarakat itu tidak justru melanggar hak asasi narapidana. Hal ini penting, karena dengan hal ini
dapat dihindarkan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh petugas lembaga permasyarakatan dan atau oleh warga binaan itu sendiri.
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
menyebutkan : “Narapidana berhak :
b. mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani ;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran ;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak ;
e. menyampaikan keluhan ;
49
Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman, The Standart Minimum Rules for The Treatment of Prisoners, Jakarta : Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1994, hlm. 38
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak
dilarang ; g.
mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan ; h.
menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya ; i.
mendapatkan pengurangan masa pidana remisi ; j.
mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga ; k.
mendapatkan pembebasan bersyarat ; l.
mendapatkan cuti menjelang bebas ; m.
mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
50
Berlakunya hak-hak manusia, sangat mempengaruhi sistem perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Mereka berhak memperoleh hak-haknya
seperti Remisi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas CMB. Jadi dapat ditegaskan bahwa Cuti Menjelang Bebas CMB
bukanlah suatu anugerah atau hadiah, akan tetapi merupakan suatu hak yang dapat diperoleh warga binaan pemasyarakatan.
Mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas CMB itu sendiri terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, khususnya dalam Bab II tentang hak dan kewajiban narapidana dan anak didik pemasyarakatan.
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 ini dikaitkan dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 01.PK.04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat
dan Cuti Menjelang Bebas. Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, menegaskan bahwa : 1. Cuti Menjelang Bebas dapat diberikan kepada :
a. Narapidana dan anak pidana yang telah menjalani
masa pidana sekurang- kurangnya 9 bulan berkelakuan baik dengan lama cuti sama dengan remisi
terakhir yang diterimanya 6 bulan b.
Anak Negara yang pada saat mencapai usia 17 tahun enam bulan dan telah dinilai cukup baik.
2. Cuti Menjelang Bebas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 berakhir : a.
bagi narapidana dan anak pidana, tepat pada saat bersamaan dengan hari bebas yang sesungguhnya
b. bagi anak Negara pada usia 18 tahun
3. Izin Cuti Menjelang Bebas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberikan oleh Kanwil Departemen Kehakiman setempat atas usul dari Kepala Lembaga
Pemasyarakatan. Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.06-PK.04.10 Tahun
1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti
50
Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Menjelang Bebas pada Pasal 14 menyatakan izin Cuti Menjelang Bebas dapat diberikan kepada narapidana apabila yang bersangkutan :
a. dipidana untuk masa satu tahun atau lebih, baik dalam satu atau beberapa
putusan; b.
telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 7, Pasal 8 huruf a, b, c, d, e dan f angka 3 dan Pasal 9 Peraturan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas dan bagi narapidana tertentu, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1991 tentang Penyempurnaan Peraturan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas, telah pula
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan b Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun
1991 tersebut; c.
tidak termaksud narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1991
Tentang Penyempurnaan Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun 1989 tentang Asimilasi, Pembebasan
Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas; d.
telah memenuhi persyaratan administrasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Formula APC-01 huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, dan j.
Pemberian izin Cuti Menjelang Bebas CMB adalah wewenang Menteri Kehakiman yang dalam Pelaksanaannya didelegasikan kepada Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kehakiman.
51
a. Syarat umum, yaitu tidak boleh berbuat sesuatu peristiwa pidana lagi
Sering terjadi kerancuan penafsiran antara Cuti Menjelang Bebas CMB dengan Pembebasan Bersyarat. Untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah
menjalani dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung
sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan
tersebut tidak kurang dari 9 bulan, sisa masa pidana tidak perlu dijalani selama ia tidak melanggar syarat-syarat yang ditetapkan. Sedangkan Pidana
Bersyarat, hukuman tetap dijatuhkan akan tatapi perlu dijalani, kecuali jika kemudian hari ternyata terpidana sebelum habis masa percobaan berbuat salah atau melanggar
syarat yang diberikan oleh hakim. Syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas CMB
dan Pembebasan Bersyarat PB adalah :
b. Syarat khusus, yaitu terdiri dari apa saja mengenai kelakuan dan sepak terjang
terpidana.
52
Sedangkan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.06- PK.04.10 Tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan
51
Pasal 15 Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.06-PK.04.10 Tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas.
52
Samidjo, Hukum Pidana, Bandung : Armico, 1985, hlm. 135
Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas CMB pada Pasal 16 menyatakan tentang Tata cara pemberian Cuti Menjelang Bebas CMB kapada narapidana melalui tahap-
tahap : a.
Usul Cuti Menjelang Bebas CMB dibahas dalam sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan TPP Lembaga Pemasyarakatan dengan mempelajari hasil
pembinaan narapidana dan Program Asimilasi, syarat-syarat substantif dan administrasi serta dengan mempertimbangkan hasil Penelitian Kemasyarakatan
Litmas yang dibuat oleh Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak ;
b. apabila sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan TPP Lembaga Pemasyarakatan
dapat menyetujui, maka Tim Pengamat Pemasyarakatan TPP tersebut mengusulkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarkatan dengan menggunakan
Formulir APC-02 ; c.
Kepala Lembaga Pemasyarakatan wajib segera meneliti dan mempelajari usul bagaimana dimaksud dalam huruf b dan apabila Kepala Lembaga
Pemasyarkatan menyetujuinya, maka Kepala Lembaga Pemasyarakatan segera meneruskan usul tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehakiman setempat lengkap dengan persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d dalam rangkap 4 empat ;
d. Kepada Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang bersangkutan wajib
segera meneliti dan mempelajari usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud huruf c dan setelah memperhatikan pertimbangan
hasil sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan TPP Kantor Wilayah Departemen Kehakiman, maka Kepala Kantor Wilayah dapat :
1. menolak usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan dalam jangka waktu 15
lima belas hari sejak usul diterima segera menyampaikan surat penolakan disertai alasan-alasannya kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan
tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan dengan menggunakan Formulir APC-13 ; atau
2. menyetujui usul Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan dalam jangka waktu 21
dua puluh satu hari sejak usul diterima, Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman segara menerbitkan keputusan cuti menjelang bebas dengan
menggunakan Formulir APC-14, dan tembusannya disampaikan kepada : a. Direktur Jenderal Pemasyarakatan;
b. Direktur Pembinaan Dalam Lembaga Pemasyarakatan; c. Direktur Pembinaan Luar Lembaga Pemasyarakatan;
d. Direktur Pidana up. Kasubdit Daktiloskop, Direktur Jenderal
Hukum dan Perundang-undangan; e. Kepala Lembaga Pemasyarakatan setempat;
f. Kepala Kepolisian setempat; g. Pemerintah Daerah Tingkat II setempat.
h. Kepala Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak setempat;
i. Narapidana yang bersangkutan.
Sedangkan teknis pelaksanaan bimbingan terhadap narapidana yang mendapat izin Cuti Menjelang Bebas CMB diatur pada Pasal 17 Keputusan Direktur
Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.06-PK.04.10 Tahun 1992 tentang Petunjuk Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Menjelang Bebas yang
menyatakan Teknis Pelaksanaan bimbingan terhadap narapidana yang mendapat izin Cuti Menjelang Bebas CMB sebagai berikut :
a. pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas adalah Kepala Lembaga Pemasyarakatan
tempat narapidana yang bersangkutan menjalani pidana; b.
narapidana yang akan menjalankan Cuti Menjelang Bebas diserah terimakan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan kepada Kepala Balai Bimbingan
Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak yang akan memberikan bimbingan dengan menggunakan berita Acara serah terima Formulir APC-11 disertai
risalah singkat pembinaannya selama dalam Lembaga Pemasyarakatan; c.
bimbingan terhadap narapidana tersebut dilaksanakan oleh Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak melalui program bimbingan dengan
menperhatikan pertimbangan Tim Pengamat Pemasyarakatan TPP, Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak.
Pasal 29 ayat 1 dan 5 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan
Cuti Menjelang Bebas, menegaskan bahwa : 1.
pemberian Asimilasi, Cuti Menjelang Bebas dan Pembebasan Bersyarat dapat dicabut apabila terpidana :
a. malas bekerja
b. mengulangi melakukan tindak pidana
c. menimbulkan keresahan dalam masyarakat
d. melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat
dan Cuti Menjelang Bebas 2.
pencabutan Cuti Menjelang Bebas dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman setempat berdasarkan usul Kepala LAPAS.
Narapidana pada LAPAS Klas II A Binjai yang mendapat Cuti Menjelang Bebas CMB pada Tahun 2006-2008 sebanyak 18 delapan belas orang yang telah
menjalani masa pidana sekurang-kurangnya dua per tiga, dengan ketentuan
dua per tiga masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 sembilan bulan.
53
C. Tujuan Cuti Menjelang Bebas CMB
1. Fisikis dan Psikis
Penutupan yang lama dan terus menerus di Lembaga Pemasyarakatan dengan ruang gerak sempit dan menyebabkan narapidana tidak dapat bergerak leluasa
sehingga mempengaruhi kesehatan dan dapat menyebabkan sakit. Hidup bersama dengan orang yang diluar keinginannya yang terdiri dari orang-orang
53
Hasil wawancara dengan Surung Pasaribu, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai, tanggal 10 Maret 2009.
dengan jenis kejahatan, sifat, dan watak yang berbeda menimbulkan kesakitan psikis seperti khawatir, takut, kesal, marah, bingung, malu dan lainnya. Tetapi
dengan diberikannya Cuti Menjelang Bebas CMB, maka kesakitan psikis dapat dihindari dan dicegah.
2. Bakat dan Keterampilan Narapidana mempunyai potensi yang sama dengan anggota masyarakat yang
lain. Ia juga mempunyai bakat dan ketrampilan yang bisa dimanfaatkan oleh dirinya dan orang lain. Kesempatan yang lebih baik bagi dirinya untuk
mengembangkan serta memanfaatkan bakat dan ketrampilannya hanya bisa diperoleh di tengah masyarakat. Bakat dan keterampilannya, seperti
bertukang, berkebun, bertani, olah raga dan seni serta mensejajarkan diri dengan orang lain.
3. Kehidupan Sosial Manusia sebagai mahluk sosial hidup bermasyarakat, dalam hal memenuhi
hidupnya memerlukan bantuan atau jasa orang lain. Narapidana adalah anggota masyarakat yang hidup dan perkembangannya tidak lepas dari orang
lain. Cuti Menjelang Bebas CMB memberi kesempatan untuk berinteraksi dan hidup bersama dengan anggota masyarakat, membina kebersamaan dan
memulihkan hubungan yang selama ini terputus. Untuk ini narapidana harus dapat menunjukkan kalau dirinya sudah baik dan tidak akan mengulang
perbuatan yang dilarang dan tidak diinginkan masyarakat dalam arti dia dapat
kembali menyesuaikan dirinya dengan normal, nilai, dan tatanan masyarakat dimana sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas CMB.
D. Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas CMB di LAPAS
Berdasarkan minat dan bakat yang dimiliki oleh narapidana serta fasilitas yang tersedia, pelaksanaan pembinaan di LAPAS dibagi menjadi 2 bidang, yaitu :
1. Pembinaan kepribadian, meliputi : a. Pembinaan kesadaran beragama
Pelaksanaannya antara lain bagi narapidana yang beragama Islam adalah dengan diadakannya pengajian rutin setelah Shalat Ashar, pendalaman materi
Tafsir Al-Quran setiap hari Rabu, yang dilaksanakan kerjasama dengan Departemen Agama. Sedangkan bagi narapidana yang beragama Kristen
Protestan dan Khatolik berupa kebaktian setiap hari Selasa dan Jumat yang dilaksanakan secara terpisah, dan setiap sebulan sekali pada hari Selasa minggu
terakhir diadakan pemutaran video yang dilaksanakan kerjasama dengan Gereja. b. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara
Dilakukan agar narapidana menjadi warga negara yang baik dan berguna. Wujud pelaksanaannya antara lain dengan mengikuti acara hari-hari besar dan
donor darah.
c. Pembinaan kemampuan intelektual Dilakukan agar pengetahuan serta kemampuan berfikir narapidana semakin
meningkat. Usaha ini dilakukan dengan cara pembebasan buta hurufaksara, ceramah, serta siaran televisi.
d. Pembinaan kesadaran hukum Dilaksanakan antara lain dengan membentuk kelompok keluarga sadar hukum
dan mengadakan sambung rasa keluarga sadar hukum. e. Pembinaan berintegrasi dengan masyarakat
Bertujuan agar kelak narapidana dapat diterima lagi di lingkungan masyarakat. Bentuknya antara lain berupa Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang
Bebas, serta kunjungan pihak luar ke dalam. f. Pembinaan fisik
Dilaksanakan dalam bentuk pembinaan olah raga, senam pagi, dan kebersihan lingkungan.
2. Pembinaan kemandirian, meliputi : Keterampilan yang mendukung usaha industri kecil, bentuk kegiatannya antara
lain membuat sepatu dan mebel. Untuk mendapatkan hak-hak narapidana terlebih dahulu harus melewati beberapa
tahap proses pembinaan, yaitu : a. Tahap pertama atau tahap maximum security, penelitian, dan pengenalan
lingkungan, serta diterimanya narapidana sampai sekurang-kurangnya dari
masa pidanya, dengan pengamanan maximum security.
Berdasarkan keterangan yang diberikan petugas LAPAS
dengan mengkomfirmasikan kebenarannya dengan beberapa narapidana, bahwa dalam
tahap ini dilakukan pembinaan kepribadian yang meliputi : 1
penjelasan mengenai hak dan kewajiban narapidana, tata tertib selama di LAPAS yang harus ditaati sanksi-sanksinya;
2 penyuluhan secara individu tentang budi pekerti dan moral;
3 penyuluhan keagamaan; dan
4 penyuluhan kesehatan.
b. Tahap kedua atau tahap medium security atau tahap asimilasi awal. Dalam tahap ini narapidana telah menjalani sampai sekurang-kurangnya ½ dari
masa pidana sebenarnya. Dalam tahap ini narapidana sudah lebih longgar pengawasannya. Narapidana sudah dapat bekerja dan berolah raga di luar LAPAS
dengan pengawasan dan pengawalan dari petugas LAPAS. c. Tahap ketiga atau tahap minimum security atau tahap asimilasi lanjutan.
Tahap ini dimulai dari ½ sampai masa pidana yang sebenarnya. Dalam tahap ini narapidana sudah dapat diasimilasikan ke luar LAPAS tanpa pengawalan.
Asimilasi ini misalnya beribadah, olah raga, mengikuti pendidikan, bekerja di luar LAPAS bersama-sama masyarakat umum tanpa pengawalan, hanya bersifat
pengawasan dan bimbingan dari petugas LAPAS. d. Tahap keempat atau tahap integrasi atau tahap akhir
Setelah narapidana menjalani sampai selesai masa pidananya dan memenuhi persyaratan yang ditentukan, pihak LAPAS akan mengajukan usul Pelepasan
Bersyarat. Bagi narapidana yang sisa masa pidananya relatif pendek, maka akan diajukan usul cuti menjelang masa pidananya yang diperoleh sebesar remisi
terakhir maksimal 6 enam bulan. Dalam tahap ini narapidana sudah sepenuhnya berada di tengah-tengah masyarakat, dan pengawasan sepenuhnya berada di
bawah Balai Pemasyarakatan. Salah satu wujud dari pembinaan adalah pemberian Cuti Menjelang Bebas
CMB yang merupakan salah satu hak dari narapidana yang berkelakuan baik dan memenuhi persyaratan seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa Cuti
Menjelang Bebas CMB yang diberikan kepada narapidana bukanlah hadiah cuma- cuma, melainkan merupakan suatu perwujudan pembinaan yang memberi kesempatan
kepada narapidana untuk belajar menyesuaikan diri dan bergaul dengan kehidupan masyarakat serta lingkungannya.
54
Karena itu Cuti Menjelang Bebas CMB baru dapat diusulkan untuk diberikan kepada narapidana setelah ada penelitian, penilaian, dan pertimbangan dari
Bimbingan Pemasyarakatan dan hasil sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan TPP, terutama mengenai diri narapidana yang bersangkutan bahwa ia telah memenuhi
persyaratan.
55
Narapidana diusulkan untuk mendapatkan Cuti Menjelang Bebas CMB adalah narapidana yang mempunyai masa pidana lebih dari 1 satu tahun dan tidak
pernah mendapatkan hukuman disiplin setidak-tidaknya dalam waktu 9 sembilan
54
Romli Atmasasmita, Dari Pemenjaraan ke Pembinaan Narapidana, Bandung : Alumni, 1975, hlm. 25
bulan terakhir. Untuk pemberian Cuti Menjelang Bebas CMB, narapidana harus telah menjalani
dua per tiga masa pidananya setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal penahanannya dan cuti ini diberikan sebesar remisi
terakhir yang diterimanya, maksimum 6 enam bulan. Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas CMB dapat dilihat pada skema Proses
Pemasyarakatan sebagai berikut :
55
Ibid., hlm. 27
INTERGRASI
P B CMB
C B
BAPAS
BEBA S
S E
S U
NG G
U H
NYA
DAPAT BERPARTISIPASI
AKTIF DAN POSITIF DALAM
PEMBANGUNAN MANUSIA
MANDIRI TIDAK
MELANGGAR HUKUM LAGI
HIDUP BERBAHAGIA
DUNIA AKHIRAT
Gambar 1. Proses Pemasyarakatan
BAB III PERMASALAHAN YANG TIMBUL DALAM PELAKSANAAN
CUTI MENJELANG BEBAS CMB
A. Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas
Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat pada Pasal 1 ayat 3
disebutkan pengertian Cuti Menjelang Bebas adalah proses Pembinaan Narapidana
dan Anak Pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang- kurangnya
dua per tiga masa pidananya minimal 9 sembilan bulan berkelakuan baik sedangkan di ayat 2 disebutkan Cuti Bersyarat adalah proses Pembinaan di luar
Lembaga Pemasyarakatan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang dipidana 1 satu tahun ke bawah, sekurang-kurangnya telah menjalani
dua per tiga masa pidana. Sedangkan Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
M.01.PK.04.10 Tahun 2007 menyebutkan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas CMB, dan Cuti Bersyarat dilaksanakan sesuai dengan asas-asas
dalam penyelenggaraan tugas umum pemerintah dan pembangunan serta berdasarkan asas pengayoman, persamaan perilaku dan pelayanan, pendidikan pembimbingan,
penghormatan harkat dan martabat manusia, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan
Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat pada Pasal 3 menyatakan ” Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas CMB, dan
Cuti Bersyarat harus bermanfaat bagi pribadi dan keluarga Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan serta tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan rasa
keadilan masyarakat ”. Adapun tujuan diberikannya Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti
Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat terhadap Narapidana, yaitu : a.
Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan ke arah pencapaian tujuan pembinaan ;
b. Memberi kesempatan pada Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan untuk
pendidikan dan keterampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri di tengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana ;
c. Mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan
Pemasyarakatan.
56
Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan dapat diberikan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat apabila telah
memenuhi persyaratan substantif dan administratif. Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi,
56
Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti
Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat pada Pasal 6 ditegaskan :
1 Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang
harus dipenuhi oleh Narapidana dan Anak Pidana adalah : a.
telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhkan pidana ;
b. telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang
positif ; c.
berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat ;
d. masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan
Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan ; e.
berkelakuan baik selama menjalani Pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin untuk :
1. Asimilasi sekurang-kurangnya dalam waktu 6 enam bulan terakhir ;
2. Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas sekurang- kurangnya dalam waktu 9 sembilan bulan terakhir ; dan
3. Cuti Bersyarat sekurang-kurangnya dalam waktu 6 enam bulan terakhir ;
f. masa Pidana yang telah dijalani untuk : 1. Asimilasi, ½ setengah dari masa pidananya ;
2. Pembebasan Bersyarat, dua per tiga masa pidana tersebut
tidak kurang dari 9 sembilan bulan ; 3. Cuti Menjelang Bebas
dua per tiga dari masa pidananya dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama
6 enam bulan ; 4. Cuti Bersyarat
dua per tiga dari masa pidananya dan jangka waktu cuti paling lama 3 tiga bulan dengan ketentuan
apabila selama menjelang cuti melakukan tindak Pidana baru, maka selama di luar LAPAS tidak dihitung sebagai masa
menjalankan pidana ; 2
Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang harus dipenuhi oleh Anak Negara adalah :
a. telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas pelanggaran
yang dilakukan ; b.
telah menunjukan budi pekerti dan moral yang positif ; c.
berhasil mengikuti program pendidikan dan pelatihan dengan tekun dan bersemangat ;
d. masyarakat dapat menerima program pembinaan Anak Negara
yang bersangkutan ; e.
berkelakuan baik ;
f. masa pendidikan yang telah dijalani di LAPAS Anak untuk :
1. Asimilasi, sekurang-kurangnya 6 enam bulan ;
2. pembebasan bersyarat, sekurang-kurangnya 1 satu tahun.
Sedangkan Pasal 7 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat menambahkan persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang harus dipenuhi
oleh Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan adalah : a.
kutipan putusan hakim ekstra vonis ; b.
laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau laporan perkembangan pembinaan Narapidana dan Anak
Didik Pemasyarakatan yang dibuat oleh Wali Pemasyarakatan ; c.
surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat terhadap
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang bersangkutan ; d.
salinan register F daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan selama menjalankan
masa pidana dari Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN ; e.
salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi, dan lain-lain dari Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN ;
f. surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima Narapidana dan
Anak Didik Pemasyarakatan, seperti pihak keluarga, sekolah, instansi pemerintah
atau swasta dengan diketahui oleh pemerintah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa ;
g. bagi Narapidana atau Anak Pidana warga negara asing diperlukan syarat
tambahan : 1. surat jaminan dari Kedutaan BesarKonsulat negara orang asing yang
bersangkutan bahwa Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan tidak melarikan diri atau mentaati syarat-syarat selama menjalankan Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat ; 2. surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai status
keimigrasian yang bersangkutan. Menurut Pasal 9 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
M.01.PK.04.10 Tahun 2007 disebutkan : 1
Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat tidak diberikan kepada :
a. Narapidana atau Anak Didik pemasyarakatan yang kemungkinan akan
terancam jiwanya ; atau b. Narapidana yang sedang menjalani pidana penjara seumur hidup.
2 Warga negara asing yang diberi Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat nama yang bersangkutan dimasukkan
dalam Daftar Pencegahan dan Penangkalan pada Direktorat Jenderal Imigrasi.
3 Narapidana warga negara asing yang akan dimasukkan dalam Daftar
Pencegahan dan Pencekalan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Tata cara untuk pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 adalah sebagai berikut :
a. Tim Pengamat Pemasyarakatan TPP LAPAS atau TPP RUTAN setelah
mendengar pendapat anggota TPP dan mempelajari laporan perkembangan pembinaan dari Wali Pemasyarakatan, mengusulkan pemberian Asimilasi,
Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat kepada Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN ;
b. Untuk Asimilasi, apabila Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN menyetujui usul
TPP LAPAS atau TPP RUTAN selanjutnya menerbitkan keputusan Asimilasi ; c.
Untuk Cuti Menjelang Bebas, atau Cuti Bersyarat, apabila Kepala LAPAS menyetujui usul TPP LAPAS atau TPP RUTAN selanjutnya meneruskan usul
tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia setempat ;
d. Untuk Pembebasan Bersyarat, apabila Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN
menyetujui usul TPP LAPAS atau TPP RUTAN selanjutnya meneruskan usul tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia setempat dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan ;
e. Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dapat
menolak atau menyetujui tentang usul Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat atau Pembebasan Bersyarat setelah mempertimbangkan hasil sidang TPP Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia setempat ; f.
Apabila menolak tentang usul Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat atau Pembebasan Bersyarat, maka dalam jangka waktu 14 empat belas hari terhitung
sejak diterimanya usul tersebut memberitahukan penolakan beserta alasannya kepada Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN ;
g. Apabila Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
menyetujui tentang usul Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat, maka Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menerbitkan
keputusan tentang Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat ; h.
Apabila Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menyetujui tentang usul Pembebasan Bersyarat, maka dalam jangka waktu14
empat belas hari terhitung sejak diterimanya usul tersebut meneruskan usul kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan ;
i. Apabila Direktur Jenderal Pemasyarakatan menolak tentang usul Pembebasan
Bersyarat, maka dalam jangka waktu 14 empat belas hari terhitung sejak tanggal penetapan memberitahukan penolakan itu beserta alasannya kepada Kepala
LAPAS atau Kepala RUTAN dan ;
j. Apabila Direktur Jenderal Pemasyarakatan menyetujui tentang usul Pembebasan
Bersyarat, maka Direktur Jenderal Pemasyarakatan menerbitkan keputusan tentang Pembebasan Bersyarat.
Menurut Pasal 24 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti
Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat dapat dicabut apabila : 1
Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan : a.
mengulangi tindak pidana ; b.
menimbulkan keresahan dalam masyarakat danatau ; c.
melanggar ketentuan mengenai pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat
2 Pencabutan Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat
tidak dapat dilakukan atas permintaan klien pemasyarakatan yang bersangkutan atau kuasa hukumnya ;
3 Pencabutan Asimilasi dilakukan oleh Kepala LAPAS atau Kepala RUTAN ;
4 Pencabutan Pembebasan Bersyarat dilakukan oleh Direktur Jenderal
Pemasyarakatan atas usul Kepala Balai Pemasyarakatan BAPAS melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia setempat ;
5 Pencabutan Cuti Menjelang Bebas atau Cuti Bersyarat dilakukan oleh Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia setempat berdasarkan usul Kepala Balai Pemasyarakatan BAPAS.
Ketentuan tersebut di atas telah dilaksanakan oleh seluruh pihak LAPAS yang berada di jajaran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Sumatera Utara yang merupakan hak para Narapidana.
57
1. Kurangnya pengetahuan dan motivasi Narapidana terhadap pelaksanaan Cuti
Menjelang Bebas CMB ;
B. Permasalahan Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas di Lembaga Pemasyarakatan
Berdasarkan hasil penelitian selama di lapangan bahwa LAPAS Klas II A Binjai dalam melakukan pelayanan dan pemenuhan terhadap hak Narapidana
khususnya dalam Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas CMB mengalami beberapa kendalahambatan. Hal demikian menjadikan salah satu faktor penyebab kegagalan
LAPAS Klas IIA Binjai dalam melakukan pembinaan terhadap Narapidana. Adapun kendalahambatan dapat dibagi 2 dua yakni hambatan yang bersifat
non-yuridis dan hambatan yang bersifat yuridis. Adapun kendalahambatan yang bersifat non-yuridis adalah :
2. Kurangnya pengertianpandangan yang positif dari masyarakat terhadap
Narapidana yang sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas CMB; 3.
Kurang optimalnya kerjasama dengan instansi terkait. Sedangkan kendalahambatan yang bersifat yuridis adalah menurut ketentuan
Pasal 6 ayat 1 huruf f angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
57
Wawancara dengan Sugihartoyo, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah
Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 menyatakan bahwa Cuti Menjelang Bebas baru dapat diberikan apabila narapidana tersebut telah mendapatkan remisi terakhir paling
lama 6 enam bulan, sedangkan dalam prakteknya ada narapidana yang tidak memperoleh remisi, sehingga tidak dapat diusulkan untuk memperoleh Cuti
Menjelang Bebas CMB. Dalam mengikuti program pembinaan, kesadaran dan motivasi Narapidana
dalam mengikuti program pembinaan sangat diharapkan, karena dalam sistem pemasyarakatan yang dikehendaki adalah tumbuhnya kesadaran bagi Narapidana
untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat hukum setelah bebas dari LAPAS.
Berdasarkan penelitian yang diperoleh penulis di LAPAS Klas II A Binjai, ternyata banyak Narapidana yang kurang berminat dalam mengusulkan Hak Cuti
Menjelang Bebas CMB, dengan berbagai alasan diantaranya keluarga Narapidana sebagai penjamin bertempat tinggal jauh di luar kota, dan baginya terasa lebih
menyenangkan hidup di dalam LAPAS daripada di luar LAPAS. Sebagian besar masyarakat masih memandang negatif terhadap bekas
narapidana. Anggapan masyarakat terhadap narapidana masih sebagai orang jahat yang harus disingkirkan dan sangat membahayakan kehidupan masyarakat apabila
dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan. Pandangan masyarakat yang masih penuh kecurigaan itu akan mengakibatkan kondisi narapidana bertambah buruk. Di samping
itu masyarakat masih banyak yang belum mengetahui bahwa selama narapidana
Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara, tanggal 12 Maret 2009
berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan telah diberi pembinaan berupa pendidikan, keterampilan dan sebagainya.
Kurang optimalnya kerjasama dengan instansi terkait, hal ini dapat dilihat dengan adanya keterlambatan Penelitian Kemasyarakatan LITMAS karena Kantor
Balai Pemasyarakatan yang ada di Sumatera Utara hanya berjumlah 2 dua buah, keterlambatan surat keterangan dari Kejaksaan yang menyatakan bahwa narapidana
yang bersangkutan tidak tersangkut perkara lain, dan keterlambatan vonis dari Pengadilan serta kurangnya pemahaman Aparat KelurahanDesa tentang membuat
Surat Pernyataan dan Surat Jaminan dari Keluarga Narapidana yang diketahui oleh LurahKepala Desa setempat. Pengawasan dan bimbingan terhadap narapidana
sebenarnya juga dilaksanakan oleh petugas Balai Pemasyarakatan. Namun karena wilayah kerja Balai Pemasyarakatan terlalu luas, maka pengawasan dan bimbingan
terhadap Narapidana yang menjalani cuti tidak dapat dilakukan secara intensif. Banyak narapidana yang tidak dapat memperoleh remisi, sehingga tidak dapat
diusulkan Cuti Menjelang Bebas. Narapidana yang dijatuhi hukuman di atas 1 satu tahun ada yang tidak mendapatkan Remisi Umum RU pada tanggal 17 Agustus,
misalnya narapidana A mulai ditahan pada tanggal 15 April 2008, dijatuhi hukuman selama 1 satu tahun 3 tiga bulan, dengan demikian tanggal bebasnya adalah 14
Juli 2009. Narapidana A tidak mendapatkan Remisi Umum RU pada tanggal 17 Agustus 2008 karena narapidana A belum menjalani masa pidana minimal 6 enam
bulan mendapatkan Remisi Khusus RK selama 15 lima belas hari, dengan
demikian narapidana A hanya dapat diusulkan Cuti Menjelang Bebas CMB selama 15 lima belas hari.
Sedangkan untuk usul Cuti Bersyarat CB, misalnya narapidana B yang dijatuhi hukuman selama 10 sepuluh bulan, apabila telah menjalani pidana minimal
6 enam bulan dapat diusulkan Cuti Bersyarat CB selama maksimal 3 tiga bulan.
BAB IV UPAYA YANG DITEMPUH GUNA MENGATASI PERMASALAHAN YANG
TIMBUL DALAM PELAKSANAAN CUTI MENJELANG BEBAS
A. Re-posisi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana Integrated
Criminal Justice di Indonesia
Reposisi pemasyarakatan merupakan kebijakan strategis untuk mengatasi berbagai permasalahan yang diakibatkan karena adanya pemahaman yang kurang
tepat. Dimana selama ini, pemasyarakatan dipersepsikan sebagai tujuan akhir dari peradilan pidana. Padahal posisi pemasyarakatan, dalam kenyataannya sudah
bergerak ketika berfungsinya Rutan dan Rupbasan dalam tahap pra-adjudikasi, Bapas dalam tahap adjudikasi, dan Lapas dalam tahap post-adjudikasi. Dampak dari itu,
maka sistem peradilan pidana belum bekerja berdasarkan sistem adanya keterkaitan satu sama lainnya, sehingga efektifitasnya diragukan. Sedangkan, revitalisasi juga
tidak kalah pentingnya karena keberhasilan pemasyarakatan ditentukan oleh daya dukung yang optimal dari petugas yang berkualitas, sarana prasarana yang memadai,
dan partisipasi masyarakat yang dicirikan dengan adanya social control dan social support.
1. Pengertian Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana merupakan salah satu kebijakan Negara public policy dalam rangka menanggulangi kejahatan yang telah mengganggu ketertiban
umum melalui proses penegakan hukum. Adapun kebijakan lainnya adalah
penanggulangan kejahatan yang bersifat non-penal antara lain melalui upaya membangun kesejahteraan rakyat.
Sebagai suatu sistem, Peradilan Pidana pada hakekatnya merupakan suatu proses dari suatu kesatuan yang bulat dan merupakan rangkaian dari berbagai sub-
sistem, punya batas, terbuka, melakukan transformasi, saling keterkaitan dan saling tergantung, mempunyai mekanisme kontrol dalam rangka mencapai tujuan.
Dikaitkan dengan itu, maka sistem Peradilan Pidana merupakan upaya managemen dari suatu sistem penegakkan hukum yang berlaku di dalam
masyarakat untuk menciptakan situasi dan kondisi masyarakat yang diinginkan. Menurut Notohamidjojo dinyatakan bahwa tujuan hukum ada tiga tri tunggal yakni :
ketertiban dan kedamaian, keadilan dan memanusiakan.
58
Sedangkan menurut Romli Atmasasmita; KUHAP menyiratkan agar tujuan mencapai ketertiban dan kepastian
hukum tidak lagi menjadi tujuan umum. Melainkan yang diutamakan dan merupakan masalah dasar adalah bagaimana mencapai tujuan tersebut sedemikian rupa sehingga
perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia sejauh mungkin dapat dihindarkan.
59
Dalam kaitan ini, Yahya Harahap menyatakan bahwa setiap manusia, apakah itu tersangka atau terdakwa harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai
harkat martabat dan harga diri. Mereka bukan benda mati atau hewan yang boleh
58
Notomihamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Jakarta : Gunung Mulya, 1975, hlm. 90
59
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bandung : Mandar Maju, 1983, hlm. 2
diperlakukan sesuka hati. Mereka bukan barang dagangan yang dapat diperas dan dieksploitasi untuk memperkaya dan mencari keuntungan bagi pejabat penegak
hukum. Mereka harus diperlakukan dengan cara pendekatan yang manusiawi dan beradab. Tersangka dan terdakwa bukan binatang dan bukan sampah masyarakat
yang dapat diperlakukan dengan kasar, kejam dan bengis. Mereka adalah manusia yang harus diakui dan dihargai :
a. Sebagai manusia yang mempunyai derajat yang sama dengan manusia selebihnya;
b. Mempunyai hak perlindungan hukum yang sama dengan manusia selebihnya; c. Mempunyai hak sama dihadapan hukum, serta perlakuan keadilan yang sama di
bawah hukum.
60
60
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta : Pustaka Kartini, 1993, hlm. 18
Hal tersebut tidak berbeda dengan bunyi Ketetapan MPR Nomor XMPR1998 Tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara yang notabene merupakan kebijakan kriminal di Negara Indonesia, yang menyatakan
bahwa salah satu tujuan Reformasi Pembangunan adalah menegakkan hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan, hak asasi manusia HAM menuju
terciptanya ketertiban umum dan perbaikan sikap mental.
Ketertiban umum yang ingin dicapai adalah ketertiban yang adil, dalam arti bahwa ketertiban tidak dicapai melalui pendekatan represif yang dalam
pelaksanaannya cenderung selalu menegaskan hak asasi manusia. Paradigma penegakan hukum yang dianut oleh negara-negara maju, sudah
bergeser dari pendekatan arbitrary process atau proses sewenang-wenang atau atas dasar kekuasaan penegak hukum, kependekatan due process of law atau proses
hukum yang adil dan layak . Sementara itu, dalam tataran Praxis masih dalam taraf perdebatan lembaga
atau institusi mana saja yang melakukan tugas-tugas untuk melaksanakan kebijakan kriminal atau institusi mana saja yang dapat disebut dalam ”Integrated criminal
justice sistem”. Disatu pihak, ada yang berpendapat, terutama para ahli hukum aliran Anglo Saxon, bahwa instansi yang termasuk melaksanakan kebijakan kriminal adalah
petugas polisi, jaksa dan hukum. Sedangkan di pihak lain, dan ini merupakan perkembangan baru dalam pendekatan hukum pidana yang dipelopori oleh ahli
hukum kontinental dan para kriminolog, berpendapat bahwa yang melaksanakan kebijakan kriminal, selain ketiga instansi tersebut adalah termasuk juga petugas
Pemasyarakatan.
61
Sebenarnya perbedaan pendapat dari dua kelompok ahli tersebut merupakan cerminan dari bagaimana mereka melakukan pendekatan terhadap masalah yang
dihadapi, yaitu menanggulangi kejahatan dan berbagai dampaknya. Kelompok pertama mendekati masalah kejahatan hanya terbatas kepada pendekatan hukum
semata, sehingga mereka berpendapat bahwa instansi yang menangani kebijakan itu juga melulu yang tersangkut dalam proses peradilan dalam hal ini penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan. Sementara kelompok lainnya menyatakan bahwa masalah kejahatan tidak hanya dapat diselesaikan oleh tindakan hukum semata
akan tetapi juga harus melalui pendekatan non hukum. Seperti dikemukakan oleh Nawawi Arif, bahwa upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan
pendekatan kebijakan, dalam arti : a Keterpaduan integralitas antara politik kriminal dan politik sosial;
b. Keterpaduan integralitas antara upaya penganggulangan kejahatan dengan ”penal” dan ” non- penal”.
62
2. Re-posisi Pemasyarakatan dalam Sistem Peradilan Pidana