Sketsa Biografi dan Metode Ibnu Hazm

18 2. Naqt al-‘Arusi fi Tawarikh al-Khulafa’ 3. Jumrat al-Ansab 4. Al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal 5. Tabdil al-Yahud wa an-Nasara fi al-Taurat wa al-Injil 6. An-Naskh al-Murji’ah min al-Fadaikh al-Mukhziyah wa al- Qabaikh al-Murdiyah min Aqwali Ahli al-Bida’i min al-Firaq al- Arba’ 7. Al-Abt al berisi argumentasi mazhab az-Zahiri 8. At-Talkhis wa at-tarikh 9. As-Sadi’ wa ar-Radi 10. Ar-Rad’ala Ibn al-Nugirilyah al-Yahudi wa Rasaika Ukhra 11. Al-Muhalla bi al-Asar 12. Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam 13. Fadl al-Andalusi 14. Risalat fi Fadl al-Andalus 15. Al-Akhlaq wa as-Sair fi Mudawamat an-Nufus 16. Al-Imam ah wa al-Khilafah al-Fihrasah 17. Jamharat an-Nasab al-‘Arabi

3. Situasi Politik Pada Masa Ibnu Hazm

Kaum muslimin di bawah pimpinan ‘Abdurrahman ad-Dakhil mulai memasuki Spanyol. Di bawah kekuasaannya, kekuatan Islam tertanam kokoh di Spanyol. Puncak kejayaan Islam di negeri itu tercapai di bawah kepemimpinan keturunannya yaitu ‘Abdurrahman an-Nasir yang mendirikan kekhalifahan Umayyah di Andalusia di awal abad ke-14 H. Pada masa kekuasaan an-Nasir ini 19 kekuasaan Islam Spanyol meluas sampai ke Negara-negara Barat Eropa, termasuk Perancis yang juga tunduk dan takut kepada kekuatan Islam Spanyol. 10 Abdurrahman an-Nasir kemudian digantikan oleh putranya yaitu Hakam yang mengikuti segala jejak dan metode pemerintahan ayahnya, meskipun ia hanya memerintah 16 tahun, tidak seperti ayahnya yang menjadi raja dan khalifah selama 50 tahun. Setelah al-Hakam wafat, ia digantikan oleh putranya yang masih berusia 9 tahun yaitu Hisyam al-Muayyad. Penasehatnya adalah al-Mansur Ibn Abi ‘Amir yang sering kali memerintah secara sewenang-senang. Al-Mansur memiliki keahlian dan kecakapan yang tinggi dalam mengendalikan jalannya pemerintah, sehingga khalifah Hisyam yang masih muda tidak mempunyai kekuasaan apapun. Pada masa inilah kedua orang tua Ibnu Hazm hidup. Setelah al- Mansur wafat, mulailah Spanyol dilanda kekacauan politik. Salah satu sebab kekacauan ini adalah kepercayaan orang-orang muslim terhadap kaum Nasrani ketika mereka baru pertama kali menaklukan Spanyol. Kaum Kristen yang dilindungi dan dipercaya tersebut seperti duri terpendam dalam pemerintahan Bani Umayyah, sehingga ketika kondisi pemerintahan melemah, barulah kekuatan Kristen muncul. Kaum Kristen senantiasa mengamati umat Islam dan setiap ada kesempatan digunakan sebaik-baiknya yakni setelah Abu Mansur wafat. 10 Faruq ‘Abdul Mu’ti, h. 52-54. 20 Ketika Hisyam al-Muayyad dinobatkan menjadi khalifah, yang menjadi panglima perang adalah Ibnu Abi Mansur al-‘Amin putra Abu Mansur . Ibnu Mansur sewenang-wenang seperti ayahnya, hanya saja ayahnya seorang politikus yang cerdik dan bijaksana. Ibnu Mansur mempunyai ambisi merebut kekuasaan dari Hisyam al-Muayyad. Kemudian terjadi pemberontakan Barbar sehingga Cordova jatuh ke tangan Barbar. Tentara Barbar yang telah menguasai Cordova membai’at al-Mahdi sebagai khalifah. Ulah mereka tidak berhenti sampai disini, mereka juga mengangkat al-Musta’in sebagai khalifah dan meminta putra Advent Pembesar Nasrani untuk mendukung al-Musta’in, sedangkan al-Mahdi ada dalam dukungan tentara Barbar sendiri. Perbuatan Barbar ini bertujuan untuk memecah belah dinasti Umayyah. Kemudian al-Musta’in diusir dari Cordova dan begitu pula al- Mahdi dikucilkan dan dibunuh, sehingga pemerintahan kembali ke tangan Hisyam al-Muayyad. Keadaan semakin kacau, ketika al-Musta’in kembali ke Cordova beserta orang-orang Barbar pada tahun 403 H. dan membunuh Hisyam secara diam-diam. Sejak itu kekuasaan Islam Andalusia terbagi-bagi dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil, yang didasarkan pada suku dan etnis. 11 Ibnu Hazm hanya sedikit menikmati masa kejayaan, kekuasaan politik umat Islam di Andalusia. Masa mudanya dipenuhi dengan kekacauan dan bencana 11 Ibid., h. 57. 21 politik sampai dia wafat. Meskipun demikian, karena rasa cinta dan tanggung jawab terhadap Negara ia pernah terjun dalam bidang politik seperti orang tuanya, sekitar tahun 408 H. Ia menjadi menteri pada masa kepemimpinan Abdurrahman al-Mustazhar dan Hisyam al-Mu’indubillah, tetapi kemudian ia berhenti dari kiprah politiknya dan menyibukkan diri dalam bidang ilmu. Dan pada tahun 422 H berakhirlah dinasti Umayyah.

4. Situasi Intelektual Pada Masa Ibnu Hazm

Bidang keilmuan mengalami masa kebangkitan yang pesat pada masa Ibnu Hazm meskipun terjadi krisis politik. Masa Ibnu Hazm merupakan masa kejayaan ilmu di Andalusia. Pada masa itu muncul pakar-pakar yang berwawasan luas yang tidak membatasi kajian pada mazhab-mazhab fiqh, disamping itu mereka menguasai sastra dan sejarah seperti Abu ‘Amr Ibn Abdul Bar sahabat Ibnu Hazm dan Abu al-Wal’id al-Baji musuh Ibnu hazm dalam perdebatan ilmiah. Faktor lain yang mempengaruhi kebangkitan pemikiran di Andalusia adalah diterjemahkannya ilmu-ilmu filsafat. Gerakan penerjemahan ini berkembang pada masa al-Ma’mun dan mencakup semua bidang ilmu Yunani, setelah itu muncul banyak filosof Islam seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Bajah. Pada masa pemerintahan Bani Umayyah kekuasaannya semakin luas, banyak ulama- 22 ulama timur yang migrasi ke Andalusia untuk menyebarkan ilmu pengetahuan mereka, begitu pula ulama-ulama Andalusia pergi ke timur untuk menuntut ilmu. 12 Kondisi keilmuan yang kondusif ini dipengaruhi oleh Abdurrahman an- Nasir yang memerintah selama 50 tahun 300-350 dia dijuluki Amir al-Mu’minin, juga dipengaruhi oleh Al-Hakam yang sangat memperhatikan ilmu. Mereka memanggil ulama-ulama dari timur, mendirikan sekolah-sekolah, mendatangkan buku-buku dari timur, mengumpulkan buku-buku dalam berbagai bidang ilmu yang khalifah sebelumnya belum pernah melakukan hal tersebut, membangun pasar untuk ilmu dan ulama, yang barang dagangannya didatangkan dari berbagai penjuru. Ulama Anadalusia pada masa itu merupakan kumpulan ulama pada abad ke-4 dan ke-5 H dan mereka mengadakan forum-forum ilmiah dan menyatukan antara aqli, naqli, ilmu salaf dan ilmu khalaf. 13 Hal ini mendukung Ibnu Hazm menjadi seorang yang alim, ia tumbuh dan berkembang diantara sumber-sumber ilmu. Sejak kecil dia bergaul dengan syeh- syeh dan menimba ilmunya.

5. Kondisi Sosial Pada Masa Ibnu Hazm

Masyarakat pada zaman Ibnu Hazm heterogen yang terdiri dari berbagai macam agama dan bangsa. Terjadi pula akulturasi dan interaksi sosial antara orang Muslim dan Nasrani. Masing-masing bangsa memiliki kekhususan seperti orang 12 Faruq Abdul Mu’ti, h. 62-63. 13 Ibid., h. 63-66. 23 Arab dengan peradabannya, mereka memunculkan seorang ahli sastra dan pemikir. Bangsa Barbar mempunyai watak yang keras yang terkadang menimbulkan keributan, tetapi yang terdidik ada pula yang menjadi satrawan. Interaksi Muslim dan Nasrani semakin kuat, ketika pemerintah Muslim melemah. Orang muslim meminta pertolongan kepada orang Nasrani dan bersama-sama mencegah kekacauan. Interaksi tersebut menimbulkan akulturasi pemikiran dan perdebatan. Penduduk Andalusia terdiri dari berbagai macam kelompok yang mempunyai sifat dan kekhasan yang berbeda-beda. Orang Arab terkenal dengan kehormatan dan kemuliaan nashabnya, tinggi cita-citanya, fasih lisannya, baik jiwanya, murah hati, dan mencegah diri dari hal-hal yang rendah. Orang-orang Hindia terkenal dengan perhatiannya yang besar terhadap ilmu, mereka menekuni dan menyebarkannya. Orang-orang Baghdad terkenal dengan kebersihannya, keteraturan, kehalusan akhlak, kemuliaan, kecerdasan, keindahan rupa, kebagusan, kehalusan hati, dan ketajaman pikirannya. Orang-orang Yunani terkenal dengan sistem irigasinya, penanaman buah-buahan dan pohon, dan pengaturan kebunnya. Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam bidang pertanian, orang yang paling sabar dalam menekuni pekerjaan untuk menghasilkan yang terbaik, paling pandai bermain kuda, dan paling sabar dalam menghadapi cobaan. Orang China terkenal dengan perindustriannya, dan orang Turki terkenal dengan keahliannya dalam bidang militer. Perbedaan dan interaksi yang terjadi antara mereka menyebabkan peradaban yang gemilang. Mereka membangkitkan sastra, seni, dan ilmu-ilmu 24 lain, tetapi mereka membuat lemah bidang politik, sehingga politik pada masa itu mengalami krisis, meskipun dalam bidang ilmu, seni, perindustrian dan agama meningkat. Bahasa Arab menjadi alat pemersatu kelompok tersebut. Penduduk fasih lidahnya, ke’ajamannya tidak mempengaruhi kemampuan mereka dalam berbahasa Arab. Hal yang unik di Andalusia adalah banyaknya sastrawan dan penyair perempuan.

6. Metode Ijtihad Ibnu Hazm

Sebagian orang menganggap bahwa Ibnu Hazm tidak berpegang pada akal dalam kajan-kajiannya 14 sebenarnya Ibnu Hazm menggunakan akal sebagai dasar pemahaman dalam bidang-bidang ilmu Islam dan pengetahuan-pengetahuan hakiki Islam. Dalam kitabnya al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ia mengatakan bahwa untuk mengetahui harus menggunakan akal dan panca indera, akal berfungsi memahami perintah dan larangan Allah SWT, menetapkan kebenaran Allah dan kebenaran risalah Nabi Muhammad dan kemu’jizatannya. 15 Tetapi semuanya itu tetap berpegang pada nas dan Ibnu Hazm memahaminya secara tekstual zahir. Ia 14 Hal ini disebabkan karena Ibn Hazm menolak qiyas, az-Zari’ah istihsan, istinbat dengan ra’yu dan ta’wil. 15 Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah t.t, Jilid 1. H. 29-65. 25 tidak memperbolehkan ta’wil. 16 Pada nas-nas yang bersifat aqidah ataupun ta’lil 17 Pada nas-nas Syar’i. 18 Istinbath yang dilakukan Ibnu Hazm berdasarkan firman Allah SWT:                                Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul nya, dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al-Qur’an dan rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” Q.S. An Nisa4 : 59 Ayat tersebut mengandung arti bahwa ada tiga sumber hukum bagi manusia yaitu Al-Qur’an ﷲا اﻮﻌﯿﻃأ khabar dari Rasulullah لﻮﺳﺮﻟا اﻮﻌﯿﻃأ و dan 16 Ta’wil adalah menafsirkan dengan lafaz tidak sesuai dengan teks zahirnya dan mengalihkannya pada makna lain. Jika pena’wilan yang dilakukan sahih dengan argumen-argumen tertentu maka bisa dikatakan benar, tetapi jika salah maka berarti salah, Ibid, h. 24. 17 Ta’lil adalah mencari persamaan ‘illat antara peristiwa atau kejadian yang salah satu dari keduanya mempunyai dalil nasnya, sedangkan yang lainnya tidak. Ta’lil berkaitan dengan Qiyas, Ibid, Jilid 2, h. 616. 18 Faruq Abdul Mu’ti, h. 89. 26 Ijma’ ﺮﻣﻻا ﻰﻟوأ و Ibnu Hazm menambahkan satu sumber hukum lagi yaitu dalil, sehingga menurutnya ada empat sumber hukum bagi umat Islam. 19 Menurutnya Al-Qur’an adalah petunjuk Allah SWT yang harus diyakini dan diamalkan kandungan isinya, yang diriwayatkan secara shahih dan tidak diragukan lagi, telah ditulis dalam mushaf, dan wajib dijadikan pedoman. Perintah dan larangan yang ada dalam Al-Qur’an harus dipahami secara tekstual dan memahaminya sebagai hukum wajib tidak pada pena’wilan lain seperti sunnah. Dengan kata lain, pengambilan kandungan al-Qur’an harus melalui pengertian lahir karena mustahil ada ayat yang mempunyai pengertian bathin tanpa ada penjelasan dari Rasul, sebab berarti Rasul belum menyampaikan risalahnya sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. Sumber hukum yang kedua adalah khabar berupa sunnah-sunnah yang diriwayatkan Rasulullah. Menurutnya khabar terbagi dua yakni: a. Khabar mutawatir yakni khabar yang diriwayatkan oleh sekelompok banyak pada setiap tingkatan periwayat sampai kepada Nabi, khabar ini wajib dijadikan pegangan tanpa diperdebatkan lagi. b. Khabar ahad, yang diriwayatkan oleh satu orang pada tiap tingkatan. Jika khabar ahad itu bersambung sanadnya sampai kepada Rasul dan periwayatnya adil dan siqat, maka wajib diamalkan. Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saling bersesuaian. Keduanya adalah sesuatu yang 19 Ibn Hazm, Juz I, h. 95 dan 70 27 satu, yang berasal dari Allah SWT, dan keduanya tidak saling bertentangan. Sunnah dapat mentakhsis Al-Qur’an, karena Sunnah adalah penjelasan bagi Al-Qur’an. Pandangan Ibn Hazm yang menerima khabar ahad ini menyebabkan ia menetapkan wajibnya mengimani banyaknya hal-hal yang ghaib yang ditetapkan berdasarkan hadis ahad dan tidak berdasarkan hadis muttawatir, seperti tentang azab kubur, turunnya Isa, adanya al-Masih dan Dajjal, jembatan di hari kiamat dan syafa’at. Sumber hukum yang ketiga adalah ijma’, menurut Ibn Hazm ijma’ hanya dapat diterima melalui tauqif, dan arena para sahabat tersebut mencakup orang- orang mukmin pada masa itu tidak ada satu mukmin pun selain mereka. Maka dapat dikatakan bahwa ijma’ mereka adalah ijma’ orang-orang mukmin. Adapun ijma’ yang terjadi pada masa setelah para sahabat adalah kesepakatan sebagian orang-orang mukmin saja tidak seluruhnya, maka kesepakatan sebagian orang mukmin tersebut tidak dikatakan sebagai ijma’. Lebih lanjut Ibn Hazm bahwa ijma’ terbagi dua yakni: 1. Ijma’ dalam sesuatu yang tidak diragukan lagi meskipun dalam satu orang Islam, bagi yang tidak sepakat dalam hal tersebut maka berarti ia bukan orang muslim, seperti bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, wajibnya shalat lima waktu, puasa ramadhan, haramnya bangkai, darah, dan babi, meyakini Al-Qur’an dan wajibnya zakat. 2. Segala sesuatu yang disaksikan oleh seluruh sahabat tentang perilaku 28 Rasulullah atau diyakini bahwa Rasulullah telah memberikan sikap beliau kepada orang-orang yang tidak menyaksikan langsung peristiwanya. 20 Sumber hukum yang keempat adalah dalil 21 yang digunakan untuk memahami nas Al-Qur’an dan Sunnah dan Ijma’, sebenarnya dalil-dalil tersebut adalah makna-makna teks yang tunduk tidak keluar dari teks. Menurutnya dalil yang diambil dari nas terbagi tujuh yakni. 22 1. Dua pernyataan yang menghasilkan suatu kesimpulan yang secara tekstual tidak eksplisit dalam dua pernyataan tersebut, sebagaimana contoh sabda Rasulullah 23 ﺮﻜﺴﻣ ﻞﻛ ماﺮﺣ ﺮﻤﺧ ﻞﻛ و ﺮﻤﺧ kesimpulannya adalah ﺮﻜﺴﻣ ﻞﻛ ماﺮﺣ Artinya: “setiap yang memabukan adalah khamar dan setiap khamar itu adalah haram”.HR.Muslim Sabda rasul terdiri dari dua pernyataan tersebut merupakan dalil burhani bahwa segala sesuatu yang memabukan itu haram. 2. Syarat yang dihubungkan dengan sifat maka sesuatu yang dihubungkan dengan syarat tersebut menjadi wajib, seperti firman Allah : 20 Ibid, h. 555. 21 Dalam hal ini Ibn Hazm menolak istilah Isthilal ﻞﯿﻟﺪﻟا ﺐﻠﻃ karena isthilal bukanlah dalil karena terkadang orang melakukan isthilal tidak berdasarkan dalil artinya malah keluar dari dalil itu sendiri, Ibid, h.102 22 Ibid, h. 100-101. 23 Muslim, Sahih Muslim., Beirut : Dar al-fikr, 1983, Juz 7, h. 172. 29 ......        ... Artinya :…”Jika mereka berhenti dari kekafirannya niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu”… Q.S. Al-Anfal8 : 38 3. Makna yang difahami dari suatu lafadz, maka makna tersebut dapat ditunjukan dengan lafadz lain, misalnya dalam Firman Allah: ......     ... Artinya: …“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun”… Q.S. At-Taubat9 : 114 Maka dari sini dapat dipahami bahwa Ibrahim bukanlah orang yang jelek akhlaknya. 4. Segala sesuatu hanya punya satu hukum. Sesuatu yang diharamkan maka haram hukumnya, sesuatu yang diwajibkan maka hukumnya wajib, dan sesuatu yang tidak haram dan tidak wajib maka hukumnya mubah. 5. Ketetapan-ketetapan yang disusun bertingkat-tingkat maka berarti menunjukan hukum yang tertinggi ada di alas derajat yang dibawahnya, meskipun secara tekstual tidak dinyatakan, misalnya: “Abu Bakar lebih 30 utama dari Umar dan Umar lebih utama dari Usman”. Maka berarti Abu Bakar lebih utama dari Usman. 6. Kita menetapkan bahwa segala sesuatu yang memabukan adalah haram, maka ini juga berarti bahwa sebagian yang haram adalah memabukan. 7. Suatu lafadz dapat mengandung makna banyak, contohnya Firman Allah:     ... Artinya: “Segala sesuatu yang bernyawa akan merasakan mati”… Q.S. Ali Imron 3 : 185 Maka berarti Zaid, Hindun dan segala sesuatu yang beryawa akan mati. Ibnu Hazm juga mengecam orang-orang yang menetapkan suatu hukum berdasarkan keragu-raguan, kehati-hatian yang ekstrim, dan tidak meyakininya, atau menetapkannya karena takut terjerumus ke dalam kejelekan. Maka ia berarti telah menetapkannya dengan perasangka dan menetapkannya atas kebohongan dan kebatilan. Menurutnya yang halal dan yang haram itu sudah jelas dan hal-hal yang syubhat bukanlah berarti haram, dan yang bukan haram berarti halal. 24 Ini merupakan penafsirannya terhadap hadits nabi yang berbunyi: 24 Ibid., h. 183. 31 ﺮﯿﺸﺑ ﻦﺑ نﺎﻤﻌﻨﻟا ﻦﻋ ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﺖﻌﻤﺳ لﻮﻘﯾ ﮫﺘﻌﻤﺳ لﺎﻗ لﻮﻘﯾ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻦﻤﻓ ءﺎﺴﻨﻟا ﻦﻣ ﺮﯿﺜﻛ ﻦﮭﻤﻠﻌﯾ ﻻ تﺎﮭﺒﺘﺸﻣ ﺎﻤﮭﻨﯿﺑ و ﻦﯿﺑ ماﺮﺤﻟا نإ و ﻦﯿﺑ لﻼﺤﻟا نإ ماﺮﺤﻟا ﻰﻓ ﻊﻗو تﺎﮭﺒﺸﻟا ﻰﻓ ﻊﻗو ﻦﻣ و ﮫﺿﺮﻋ و ﮫﻨﯾﺪﻟ أﺮﺒﺘﺷا تﺎﮭﺒﺸﻟا ﻰﻘﺗا ﻚﻠﻣ ﻞﻜﻟ ناوﻻا ﮫﯿﻓ ﻊﺗﺮﯾ نأ ﻚﺷﻮﯾ ﻰﻤﺤﻟا لﻮﺣ ﻰﻋاﺮﻟﺎﻛ ﷲا ﻰﻤﺣ ناوﻷا ﻰﻤﺣ ﮫﻣرﺎﺤﻣ ﻢﻠﺴﻣ ﮫﺟﺮﺧأ 25 Artinya: “Dari Nu’man Bin Basyir berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas. Diantara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum jelas Syubhat, banyak orang yang tidak tahu, apakah dia itu masuk bagian yang halal ataukah yang haram?, maka barang siapa yang menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya maka dia akan selamat, dan barang siapa yang mengerjakan sedikit pun daripadanya hampir-hampir dia akan jatuh kedalam haram, sebagaimana orang menggembala kambing disekitar daerah larangan, dia hampir-hampir akan jatuh kepadanya. Ingatlah bahwa tiap-tiap raja mempunyai daerah larangan, ingat pula bahwa daerah larangan Allah itu semua yang di haramkan”. HR. Muslim Oleh karena itu, ia menentang penetapan hukum dengan metode Ihtiyat dan Sadz az-Zari’ah. Ibnu Hazm juga menolak penetapan hukum dengan metode istihsan seperti yang dilakukan oleh Malikiyah dan Hanafiah. Karena menurutnya segala sesuatu harus berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang ini merupakan ijma’ yang diyakini oleh setiap orang muslim, dan istihsan tidaklah diperintahkan Allah SWT. 26 Begitu pula ia menolak metode qiyas, menurutnya dalam agama hanya ada hukum wajib, haram, dan mubah, semua hukum agama adalah ushul bukan furu’ 25 Muslim, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi Beirut: Dar al-Fikr, 983, juz 4, h. 228. 26 Ibn Hazm, Juz 2, h. 232. 32 yang semuanya telah ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ia juga mengecam ikhtilaf dan taqlid, karena menurutnya segala sesuatu hukum ada dalam Al-Qur’an, setiap muslim wajib mengikuti Al-Qur’an dan as-Sunnah bukan pada perbedaan pendapat ulama yang ada. 27 Ibnu Hazm mempunyai corak fiqh yang membedakannya dari imam- imam lain misalnya pendapatnya tentang: 1. Bahwa orang yang sakit keras mempunyai kewajiban yang sama seperti orang sehat. 2. Seorang istri boleh bersedekah dengan harta suaminya. 3. Hakim boleh melaksanakan wasiat kepada sebagian kerabat yang lemah dari orang yang meninggal yang mereka tidak mempunyai hak waris. Ibnu Hazm seperti yang dijelaskan diatas juga berbeda dengan imam-imam empat mazhab yang lain dalam metode istidlal. 28 Seperti diketahui selain kesepakatan terhadap sumber hukum al-Qur’an, sunnah, dan ijma’, asy-Syafi’I menggunakan qiyas, Abu Hanifah, Malik dan Ibnu Hanbal menggunakan istihsan,’urf dan qiyas.

B. Biografi Majelis Ulama Indonesia MUI

1. Sejarah Pembentukan MUI

Majelis Ulama Indonesia MUI merupakan suatu wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim yang mempunyai tugas sebagai 27 Ibid, h. 61 dan 233. 28 Faruq Abdul Mu’ti, Ibn Hazm az-Zahiri, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t. h. 108- 109 33 pengayom bagi seluruh umat muslim Indonesia untuk menjawab setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi oleh masyarakat. Selain itu juga, Majelis Ulama Indonesia merupakan lembaga yang mewakili umat Islam Indonesia bila ada pertemuan-pertemuan ulama-ulama internasional, atau bila ada tamu dari luar negeri yang ingin bertukar pikiran dengan ulama Indonesia. Disisi lain, Majelis Ulama Indonesia adalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang bersifat keagamaan dan independen, dalam arti terikat atau menjadi bagian dari pemerintah atau kelompok manapun. Selanjutnya, sejarah pembentukan Majelis Ulama Indonesia MUI sangat erat kaitannya dengan peran para ulama pada waktu itu. Pada masa revolusi 1945-1949 para ulama menjalankan peranan yang sangat penting dalam aksi mobilisasi masa untuk bertempur melawan Belanda. Banyak diantara para komandan kaum gerilya yang bertempur berasal dari para ulama dari berbagai tingkatan. Di bawah sistem demokrasi parlementer yaitu pada masa 1950-1959, peranan politik para ulama menjadi makin penting, karena sebagian besar partai politik berdasarkan keagamaan dan dipimpin oleh para prmuka agama. Jadi, rapat dikatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut, para ulama bukan hanya sebagai pemimpin dalam soal keagamaan saja tetapi juga dalam soal politik. Begitu juga pada masa pemerintahan Soeharto, peranan ulama semakin dibatasi hanya persoalan keagamaan. Bahkan partai politik yang masih berasaskan keagamaan tidak diperbolehkan lagi, sebaliknya seluruh partai politik harus berdasarkan kepada ideologi negara yaitu, Pancasila. Sehingga hal 34 ini telah menghambat para ulama dari kepemimpinan partai politik dan membuat mereka mundur dari kegiatan politik. Mereka pun lebih memilih kembali ke pesantren masing-masing untuk kembali mengajar ilmu agama dan sebagian lagi ada yang mengubah kegiatannya menjadi seorang mubaligh. 29 Dengan semakin berkurangnya peranan ulama dalam politik formal, timbulah sebuah gagasan untuk mencari bentuk peranan baru bagi para ulama dalam masyarakat. Gagasan ini bermula pada konferensi para ulama di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam Indonesia PDII 30 pada tanggal 30 september – 4 oktober 1970 yang mengajukan saran untuk memejukan kesatuan kaum muslimin dalam kegiatan sosial dengan membentuk sebuah majelis bagi para ulama Indonesia yang akan diberi tugas untuk memberikan fatwa-fatwa. Namun, saran tersebut baru mendapat tanggapan pada tahun 1974 ketika Pusat Dakwah Islam Indonesia PDII mengadakan letak nasional bagi juru dakwah muslim Indonesia. Dari pertemuan itu disepakati bahwa pembentukan majelis ulama harus diprakasai ditingkat daerah. Dan hal ini mendapat 29 Mudzar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarno, Jakarta: INIS, 1993, h. 54. 30 Lembaga ini berdiri tanggal 8 september 1969 di Jakarta dengan ketua Letnan Jenderal Sudirman, Badan ini merupakan badan setengah resmi di mana tokoh-tokohnya berasal dari pemerintah, organisasi Islam serta ilmuwan. Dibentuk atas dasar keputusan suatu seminar da’wah bulan Juni 1969 di Fakultas Ushuludin IAIN Jakarta. Lih. Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1983, h. 135. 35 dukungan dari presiden Soeharto bertepat pada tanggal 24 mei 1975 menemukakan alasan bahwa pemerintah menginginkan kaum muslimin bersatu dan adanya kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat diselesaikan tanpa keikutsertaan ulama. Sehingga, pada tahun 1975 majelis-majelis daerah telah terbentuk hampir seluruh daerah dari 26 propinsi di Indonesia. 31 Akhirnya pada masa orde baru desakan untuk membentuk semacam majelis ulama nasional nampak sangat jelas. Pada tanggal 1 Juli 1975, pemerintah dengan diwakili Departemen Agama mengumumkan penunjukan sebuah panitia persiapan pembentukan majelis ulama tingkat nasional. Panitia itu terdiri dari Jenderal Purn H. Sudirman, selaku ketua, dan tiga orang ulama selaku penasihat, yitu : Dr. Hamka, K.H. Abdullah Syafi’i dan K.H. Syukri Ghazali. Tepat pada tanggal 21-27 Juli 197512-18 Rajab 1395, dilangsungkan Muktamar Nasional Ulama. Para peserta terdiri wakil-wakil majelis ulama daerah yang baru dibentuk, para wakil pengurus pusat sepuluh organisasi Islam yang ada di Indonesia, sejumlah ulam bebas yang tidak mewakili organisasi tertentu dan empat orang wakil rohaniawan Islam ABRI. Dan pada akhir Muktamar, tanggal 26 Juli 1975 terbentuk sebuah deklarasi yang ditandatangani oleh 53 peserta, yang 31 Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarn, h. 54-55. 36 mengumumkan terbentuknya MUI sebagai ketua pertama adalah seorang penulis Dr. Hamka. 32 Ketika itu ada dua alasan mengapa Hamka menerima baik kedudukan sebagai ketua umum MUI. Pertama, Hamka untuk menghadapi ideologi komunis Indonesia, orang harus menggunakan ideologi yang lebih kuat, yakni Islam. Untuk mencapai hal ini, umat Islam seharusnya dapat bekerja sama dengan pemerintah Soeharto, yang juga bersikap antikomunis. Kedua, pemerintah telah senantiasa bersikap tidak percaya terhadap kaum muslimin, betapapun luhur maksud kaum muslimin. Menurut Hamka dengan terbentuknya MUI, maka keadaan demikian akan dapat diperbaiki. Akan tetapi pernyataan Hamka ini, tidak semua orang Islam setuju. Sehingga sejumlah pemuda Islam mendatangi kediaman Hamka dan menurut ia agar menolak pengakatannya sebagai ketua umum MUI, tetapi dia tetap kepada keputusannya. 33 Sebelum terbentuknya MUI, sedikitnya telah terjadi tiga peristiwa politik penting di Indonesia. Pertama, pemilihan umum tahun 1971, yang dimenangkan oleh Golkar, telah mengecewakan umat Islam. Apalagi partai Islam terbesar yaitu Masyumi tidak diperkenankan pemerintah untuk dihidupkan kembali, akibat dari pemilu yang kurang sehat itu hanya memperoleh suara 26 dari 360 kursi, sedangkan Golkar mendapatkan 65 dan ini menjadi pukulan yang amat berat bagi partai-partai Islam. Kedua, pengurangan jumlah partai-partai politik 32 Ibid, h. 56. 33 Ibid., h. 56-57.