62
kehalalannya  atau  bersitifikat  halal  dari  MUI  atau  lembaga  yang  lebih berkompenten.
5. Hasil dari  pemeriksaan dan audit  LP.POM  tersebut kemudian dituangkan dalam  sebuah  berita,  dan  kemudian  Berita  Acara  itu diajukan  ke  Komisi
Fatwa MUI untuk disidangkan. 6. Dalam  sidang  Komisi  Fatwa,  LP.POM  menyampaikan  dan  menjelaskan
isi  Berita  Acara,  dan  kemudian  dibahas  secara  teliti  dan  mendalam  oleh Sidang Komisi.
7. Suatu  produk  yang  masih  mengandung  bahan  yang  diragukan kehalalannya,  atau  terdapat  bukti-bukti  pembelian  bahan  produk  yang
dipandang  tidak  trnsparan  oleh  siding  komisi,  dikembalikan    kepada LP.POM  untuk  dilakukan  penelitian  atau  auditing  ulang  ke  perusahaan
bersangkutan. 8. Sedangkan  produk  yang  telah  diyakini  kehalalannya  oleh  sidang  komisi,
diputuskan fatwa halalnya oleh sidang komisi. 9. Hasil  sidang  komisi  yang  berupa  fatwa  kemudian  dilaporkan  kepada
Dewan  pimpinan  MUI  untuk  di  tanfiz-kan  dan  keluarkan  Surat  Fatwa Halal dalam bentuk Sertifikat Halal.
Untuk  menjamin  kehalalan  suatu  produk  yang  telah  mendapat  Sertifikat Halal,  MUI  menetapkan  dan  menekankan  bahwa  jika  sewaktu-waktu  ternyata
diketahui  produk  tersebut  mengandung  unsur-unsur  barang  haram  najis,  MUI
63
berhak  mencabut  Sertifikat  Halal  produk  bersangkutan.Disamping  itu,  setiap produk  yang  telah  mendapat  Sertifikat  Halal  diharuskan  pula  membaharui    atau
memperpanjang Sertifikat Halal.
10
C. Analisis Kriteria Makanan Halal Menurut Ibnu Hazm dan MUI
Sebenarnya  Ibnu  Hazm  menggunakan  akal  sebagian  besar  pemahaman dalam  bidang-bidang  ilmu  Islam  dan  pengetahuan-pengetahuan  hakiki  Islam.
Dalam kitabnya Al-Ihkam fi Usul Al-Ahkam Mengenai  dengan  makanan  halal,  bahwa  Ibnu  Hazm  berpendapat  sesuatu
yang tampak dzahir yang dianggap sudah najis, maka tidak boleh dikonsumsinya. Dalam  hal  ini  penulis  berpendapat  bahwa  metode  istinbath  Ibnu  Hazm
dan MUI tentang kriteria makanan halal terdapat persamaan yang signifikan, yakni Ibnu  Hazm  dan  MUI  sama-sama  beristidlal  kepada  al-Quran,  Sunnah  dan  Ijma
dalam  menetapkan  hukum,  begitu  juga  dalam  hal  penetapan  kehalalan  makanan. Perbedaannya adalah bahwa Ibnu Hazm menempatkan Dalil sebagai dalil keempat
setelah  al-Quran,  Sunnah  dan  Ijma.  Sedangkan  MUI  selain  beristidlal  kepada  al- Quran,  Sunnah dan  Ijma  ulama  juga beristidlal  dengan qiyas,  istihsan,  mashalah
mursalah, dan  sadd az-Zari’at  serta  pendapat-pendapat para  imam-imam  mazhab terdahulu. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang
difatwakan  adalah  hasil  tarjih  setelah  memperhatikan  fiqh  muqaran  dengan
10
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa majelis ulama indonesia Jakarta, majelis ulama Indonesia,  2010  hlm. 19-20
64
menggunakan  kaidah-kaidah  ushul  fiqh  muqaran  yang  berhubungan  dengan pentarjihan.  Setelah  melewati  itu  semua  baru  diambil  pandangan  tenaga  ahli
dalam bidang  masalah  yang  akan diambil  keputusan  fatwanya.  Tenaga  ahli  yang dimaksud  adalah  para  pakar  dalam  bidangnya  masing-masing.  Dari  semua
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa MUI dengan Komisi Fatwanya ketika menetapkan  fatwanya  akan  memutuskan  suatu  permasalahan  berdasarkan
kemaslahatan umat, dengan merujuk kepada metode para alim ulama terdahulu. Menurut  penulis,  metode  istinbath  yang  ditetapkan  oleh  Ibnu  Hazm
tentang  makanan  halal  tidak  tepat  dan  bahkan  mempunyai  kecenderungan  yang tidak  akurat  seiring  dengan  permasalahan  kontemporer  yang  semakin  kompleks.
Permasalahan  yang  timbul  tentang  kehalalan  makanan  sering  sekali  tidak  dapat terselesaikan dengan hanya beristidlal dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan dalil.
Banyak  persoalan  tentang  kehalalan  makanan  yang  tidak  tercantum  serta dijelaskan  secara  eksplisit  didalam  Al-Qur’an  dan  Sunnah,  maka  tidak  hanya
menetapkan  hukum  kehalalan  makanan  hanya  berdasarkan  Al-Qur’an,  Sunnah, Ijma  dan dalil. Hal ini sering menimbulkan  kerancuan, dan  dapat  mengakibatkan
makanan yang tidak dijelaskan secara terperinci dalam Nash yang tidak diketahui hukum yang pasti.
Selain  itu,  penulis  juga  berpendapat  bahwa  ketika  Ibnu  Hazm  tidak menggunakan Ta’wil dan Ta’lil dalam menetapkan hukum maka akan ditemukan
banyak  sekali  kerancuan  dan  problematika  tentang  kehalalan  makanan  yang
65
semakin  kompleks  dan  tidak  dirumuskan  secara  ekplisit  dalam  al-Quran  dan Sunnah.
Ketika  Ibnu  Hazm  hanya  menghukumi  sesuatu  yang  tampak  saja  dari makanan,  maka  penulis  berpendapat  bahwa  hal  itu  akan  menghasilkan  pendapat
hukum  yang  tidak  tepat.  Seperti  makanan  yang  tampak  halal  tetapi  bisa  saja sebenarnya  mengandung  unsur-unsur  yang haram.  Seiring  dengan perkembangan
teknologi  yang semakin canggih,  terkadang  penetapan  hukum  tidak hanya  cukup dengan menggunakan sesuatu yang tampak saja tetapi sangat perlu menggunakan
metode  yang  sistematis,  terukur  dan  terarah  seperti  yang  diterapkan  oleh  MUI sehingga Islam akan dapat beradaptasi dan relevan disetiap zaman.
Penulis  berpendapat,  sikap  Ibn  Hazm  yang  menolak  atau  mengecam kehati-hatian  ekstrim  dalam  konteks  kekinian  mengingat  permasalahan  tentang
kehalalan  makanan  yang  dihadapi  sudah  semakin  canggih.  Sebab  itu,  penulis berpendapat  bahwa  sikap  kehati-hatian  yang  ekstrim  sangat  perlu  dalam
menetapkan  kehalalan  makanan  yang  sangat  kompleks  seperti  yang  dilakukan MUI.
Penulis  lebih  cenderung  sepakat  dengan  metode  istinbath  MUI  tentang kehalalan  makanan,  permasalahan  kontemporer  tentang  kehalalan  makanan  yang
tidak  dijelaskan  secara  eksplisit  dalam  Al-Qur’an  dan  Sunnah,  maka  diperlukan metode  istinbath  yang  tersusun  secara  sistematis  dan  relevan  dengan
perkembangan  zaman,  sehingga  permasalahan  yang  semakin  kompleks  dapat terselesaikan secara akurat dan memenuhi kemaslahatan ummat.
66
Perkembangan IPTEK serta perubahan sosial yang begitu cepat, terutama dikota-kota besar menyebabkan perubahan pula dalam  jenis dan bentuk makanan
yang  diminta oleh  konsumen. Di  kota-kota besar dimana penduduknya  padat dan terjadinya  perubahan  gaya  hidup  modern  menyebabkan,  konsumen  ingin  efisien
dalam  menyediakan  makanan.  Mereka  membutuhkan  makanan  yang  mudah disajikan, berpenampilan yang menimbulkan selera, bertahan segar dengan warna,
aroma, rasa, dan tekstur yang diingini. Dengan IPTEK semua yang diingini tadi dapat disediakan. Dalam hal ini
diperlukan berbagai “zat tambahan” untuk memperoses makanan. “zat tambahan” ini  dapat  dibuat  secara  kimiawi,  atau  secara  bioteknologi  tetapi  dapat  juga  di
ekstraksi  dari  tanaman  atau  hewan.  Disinilah  kemungkinan  terjadi  perubahan makanan  dari  halal  menjadi  tidak  halal,  yaitu  jika  bahan  tambahan  berasal  dari
ekstraksi  hewan  tidak  halal  atau  dengan  permentasi  menggunakan  media-media tidak  halal.  Pengaruh  IPTEK  ini  juga  dapat  melanda  makanan  secara  tradisional.
Kue mangkok yang disajikan oleh orang tua kita sekian tahun yang lalu misalnya, tidak sama dengan kue mangkok yang diperoleh dipasar swalayan masa kini yang
mungkin  telah  diberi  pemanis  buatan,  pewarna  yang  tidak  alami  dan  lain-lain, bahan  yang  sesuai  permintaan  konsumen.  Lain  dari  pada  yang  diungkap  diatas
sering  terjadi,  beberapa  zat  pemberi  aroma,  zat  pemberi  rasa,  zat  pewarna,  dan lain-lain  sering  tidak  bisa  larut  dalam  air,  karena  itu  dilarutkan  dalam  alkohol.
Pada  produk  akhir  minuman,  alkohol  ini  sering  masih  bisa  terdeteksi,  hal  ini menjadikan minuman tadi tidak halal.
67
Dari pernyataan diatas, penulis berpendapat bahwa metode istinbath yang dirumuskan  oleh  MUI  lebih  efektif  dan  efisien  dari  pendapat  Ibn  Hazm  tentang
kehalalan  makanan.  Hal  ini  mengingat  dalam  arus  IPTEK  masa  kini  masalah kehalalan  makanan  banyak  berubah  dan  sulit  untuk  dilacak.  Bagi  ummat  Islam
semua hal ini menyebabkan sukar membedakan antara yang halal dan yang haram. Apalagi  jika  makanan  itu  sudah  mengalami proses  setengah  jadi  atau  siap  untuk
dimakan. Penulis  berkeyakinan  jika  hanya  menggunakan  metode  istinbath  Ibnu
Hazm maka akan dapat menghasilkan ketetapan hukum makanan yang tidak tepat dan  bahkan  cenderung  hanya  menampung  aspirasi  masyarakat  saja.  Oleh  karena
itu,  umat  Islam  sangat  berkepentingan  untuk  mendapat  ketegasan  tentang  status hukum  produk-produk  tersebut,  sehingga  apa  yang  mereka  konsumsi  tidak  akan
menimbulkan keresahan dan keraguan bagi umat Islam.