Kewenangan LPPOM MUI dalam penentuan sertifikasi halal pasca berlaku nya uu no. 33 Tahun 2014

(1)

Oleh:

M. ADE SEPTIAWAN PUTRA NIM : 1110043200010

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM (PH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

2014 “. Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum , Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.

Skripsi ini menjelaskan mengenai perubahan wewenang Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam penetapan jaminan produk halal dan Prospek kedepan dalam penentuan sertifikasi halal setelah lahir dan berlakunya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wewenang LPPOM dalam penetapan produk halal pasca berlakunya UU No.33 Tahun 2014.

Metode Penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu metode penelitian hukum terhadap aturan hukum yang tertulis, dimana perundangan yang menjadi objek penelitian dan sumber data primer dalam penelitian yang dilakukan yang kemudian dianalisis oleh penulis.

Berdasakan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa terdapat perubahan wewenang LPPOM MUI sebelum dan sesudah berlakunya UU No.33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Sebelum berlakunya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 atau selama 23 tahun semenjak berdirinya LPPOM MUI, LPPOM MUI berwenang penuh atas penetapan sertifikasi halal namun pasca lahir dan berlakunya Undang-Undang No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal LPPOM MUI tidak lagi memiliki hak penuh atas pengeluaran dan penetapan sertifikasi jaminan produk halal, melainkan hanya sebagai mitra. Tidak bisa dipungkiri ,bahwa kebutuhan sertifikasi halal atau label halal sangat dibutuhkan di Indonesia ,terlebih masyarakat awam dan khususnya masyarakat muslim di Indonesia .karena dengan tersedia nya produk makanan halal, setidaknya konsumen,khususnya konsumen muslim tidak lagi khawatir akan adanya campuran bahan bahan yang mengandung zat berbahaya yang dilarang baik secara hukum negara maupun agama .

Kata kunci : Kewenangan, LPPOM MUI, sertifikasi halal, UU No.33 Tahun 2014

Pembimbing : Dr.H.Ahmad Mukri Aji, MA Datar Pustaka : Tahun 1987 s/d Tahun 2011


(6)

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, inayah dan taufiknya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh studi di Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang berhasil menyampaikan risalahnya kepada umat manusia di seluruh dunia, pendobrak revolusi akbar dalam peradaban sosial kehidupan kita yang kita harapkan syafaatnya kelak di akhirat.

Selanjutnya dalam proses penyusunan skripsi ini, penyusun tidak berdiri sendiri. Dalam arti, penyusunan banyak mendapatkan kontribusi dari pihak-pihak lain. Untuk itu, penyusun menghaturkan ribuan terima kasih kepada:

1. Allah SWT dan Rasul Nya yang selalu memberikan nikmat dan hidayah-Nya kepada seluruh hamba nya, serta menjadi tauladan bagi ummat hidayah-Nya. 2. Kepada orang tua penulis, ayahanda Abu Hasan dan ibunda Suryani

beserta kedua adik ku tercinta (A,Chandrika Jaya Kusuma dan Intan Kesuma Ayu), Abang, saudara, serta semua keluarga besar penulis Di lampung, terima kasih atas do’a, dukungan serta motivasi nya baik secara moril maupun materil. dengan do’a yang kalian panjatkan akhirnya penulisan skripsi ini dapat selesai dengan baik.


(7)

vi

sehingga penulis mampu menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik. 4. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar ,MA Selaku dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Dr. Khamami Zada ,MA dan ibu Siti Hana MA ,Selaku Kepala Jurusan Dan sekretaris jurusan Pebandingan Madzhab dan Hukum yang telah membantu banyak hal kepada penulis.

6. Bapak Dr.H.Ahmad Mukri Aji ,MA Selaku dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan banyak masukan dan arahan kepada penulis. serta ikhlas meluangkan waktunya untuk membimbing serta memberikan arahan dan masukan yang bersifat membangun kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. semoga apa yang telah diberikan dapat bermanfaat dan mendapat ganjaran dari allah swt,amin ya rabbal alamin.

7. Pimpinan , Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum Unuversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk mengadakan studi kepustakaan.

8. Para dosen Fakultas Syaria’ah dan Hukum, para Guru. Asatidz dan asatidzah yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada antum semua selaku pendidik


(8)

vii

kami. yang telah mendidik penulis baik secara langsung atau tidak, terimakasih telah membantu pemahaman penulis selama study.

9. Kepada pihak Lembaga Pengkajian Pangan Obat Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) atau Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat beserta stafnya dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat( MPR & DPR ) yg telah meluangkan waktu dan mengizinkan, serta memberi kemudahan penulis untuk melakukan Penelitian dalam Tugas Akhir ini .

10.Kanda Asep sholahuddin selaku senior saya di fakultas syari’ah dan hukum sekaligus Ketua umum HMI cabang CIPUTAT periode 2013/2014, Kanda Ridho Akmal Nasution Direktur LKBHMI cabang CIPUTAT Periode 2010/2011,yg selalu menjadi inspirasi untuk penulis pribadi atas kepribadian mereka berdua. Terima kasih kanda , telah mengajarkan saya arti kekeluargaan, pengorbanan, perjuangan dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama .

11.Kakanda Humaedullah Irpan ,kakanda Ismail Fadilah (imung) ,kanda Abiyuddin S.H ,kanda irpan pasaribu, kanda Ahmad Masyhud (Dimas) direktur LKBHMI Periode 2015 ,kanda Fariz Abdurrahman, kanda Muhammad Roies, kanda A.Zaki Al Fajri Nas ,kanda Kevin Dea Putra ,kanda Husnul Qari,yunda Sena Siti Arafiah S.sy ,Alan Novandi ,Abdul Gopur ,Lisanul Fikri ,Muhammad irfan ,Asmu’I S.sy ,Taslim Aditiya ,A.Chaesal Regia, serta kawan kawan seperjuagan lainnya ,yg tidak bisa saya sebutkan satu persatu ,namun tidak mengurangi rasa hormat saya


(9)

viii

12. Kawan-kawan dan Adik-adik Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Khususnya Komisariat Fakultas Syari’ah dan Hukum,dan umum nya HMI se-CABANG CIPUTAT, pengurus Badan Pengelola Latihan (BPL) HMI Cabang Ciputat ,kanda Muhammad Adam ,kanda Aco ,kanda Wawan , kanda bryan, kanda Fikri Abdillah, kanda Andri, yang selalu membuat penulis menjadi bersemangat dalam segala hal, dari kalian saya belajar militansi dan solidaritas yang tinggi terhadap organisasi dan sesama. Semoga Kita dipertemukan kembali dilain waktu dan kesempatan . Salam INSTRUKTUR .

13. Kepada Puakhi Himpunan Mahasiswa Lampung (HML) tangerang Selatan ,abang juned ,abang dayat, abang uchal ,abang indra hadi ,Saudara Abdurrahman (bhe’el) selaku Ketua umum periode 2013/2014,adinda Rahmat Ramdhani, (ketua umum HML terpilih 2015) Muhammad Afif ,Glamora lionda ,Pakuan ,Meiriza ,Rahmalia, Redno, Azriyani, Nursolehah ,Lely , Syifa Conita, hanny , Zekha, Ilham Harsya ,suhendra , Zakia Nisa ,Libom, ipul, Radi , Merina Tri Okta ,Ecil , Mar’atu Sholehah ,Brilliant Al Tamin Al Deri,ibnu Nugraha Aris ,ryan dan puakhi yang lain nya yg tidak bisa penulis sebutkan satu persatu .terimakasih telah memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan tulisan ini. dari kalian saya belajar arti persaudaraan .Semoga Allah SWT mengizinkan semua


(10)

mimpi-ix

mimpi kita menjadi nyata puakhi, dan semoga kita dipertemukan kembali di mana tempat dan suasananya yang berbeda . amien yaa rabbal ‘alamin . 14.Kepada kawan kawan HMI,PMII ,IMM ,GMNI beserta Organ ekstra dan

organ intra kampus UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA , terimakasih telah menjadi warna dalam dunia kampus di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perbedaan bukan lah kendala untuk kita menjadi Organisatoris sejati . dari perbedaan kita bisa bertukar fikiran dan argument, Terimakasih telah memberi pelajaran kepada penulis pribadi tentang apa itu DEMOKRASI . semoga kita dapat berjumpa kembali di lain kesempatan dan waktu .

15.Kepada kawan-kawan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum (BEM-FSH) diaz islami noor (presiden dema FSH periode 2015),dan Humaidi (Selaku wakil dema FSH periode 2015), Ketua HMPS ,fawwazul haqqie, ella lazim,Avicenna, Nurul Rizkillah pomalingo, Muhammad Yusuf, Rhomi Prayoga , Kamilina khidmati ,budiarti ,budiman, adik adik Ilmu Hukum ,PMH ,SJS ,SAS,dan MUAMALAT Angkatan 2014 ,yg selalu ada saat penulis membutuhkan sesuatu , terimakasih kawan kawan. Pertemanan kita tidak sampai disini . semoga kita berjumpa dilain waktu dan tempat yang berbeda .

16.Terimakasih kepada Annisa fauziah yg selalu memberi semangat kepada penulis dalam penulisan skripsi ini .

17.Semua teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2010, laka ramadhan Mubarok,Ramdhani, ilyas , wiwin ,dayat, Aidz , fanny , ramdhani dan


(11)

(12)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian... 7

E. Review Studi Terdahulu ... 12

BAB II PENGERTIAN HALAL DALAM ISLAM A. Halal dan Haram dalam Islam ... 15

B. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Ummat Islam ... 25

C. Penentuan Kehalalan dalam Hukum Islam ... 33

BAB III PROFILE LEMBAGA A. Sejarah LPPOM MUI ... 35

B. Tugas dan Fungsi LPPOM MUI ... 42

C. Sistem dan Prosedur Sertifikasi Halal MUI ... 46


(13)

xii

B. Kewenangan dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca UU No. 33 Tahun 2014 ... 68 C. Prospek Sertifikasi Halal di Indonesia ... 73

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82 B. Saran ... 83

DAFTAR PUSATAKA ... 84


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan, manusia membutuhkan makanan sehari-harinya. Mereka membutuhkan makanan untuk kebutuhan dan kesehatan jasmani serta rohaninya. Sejak dahulu ummat dan bangsa-bangsa ini berbeda-beda dalam persoalan makanan dan minuman ,apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.1Dalam memilih makanan yang baik, hendaknya sebagai ummat muslim memilih makanan yang sehat menurut Islam. Dalam ajaran islam banyak peraturan yang berkaitan dengan “makanan”, dari mulai mengatur makanan yang halal dan haram, etika makanan, sampai mengatur idealitas dan kuantitas di dalam perut. Salah satu peraturan yang terpenting adalah larangan menkonsumsi makanan atau minuman yang haram. Mengonsumsi yang haram atau belum diketahui kehalalannya akan berakibat serius, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Sebagaimana hadis yang artinya,” setiap daging yang tumbuh yang diperoleh dari kejahatan (jalan haram), makan neraka lebih layak baginya.” (HR. Imam Ahmad)2

Seruan Allah kepada umat manusia agar menkonsumsi makananan yang halal lagi baik dan menyehatkan tidak lain adalah demi tercapainya kemaslahatan bagi umat manusia itu sendiri dalam Al Qur‟an dituliskan:

1

.Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers,2002), h.45 2

Ahmad bin Hambal, Kitab Musnad Ahmad, Muassasah Qurthubah, Kairo, Jilid: 3 hal. 399, No hadits : 15319


(15)

مني ِبُمٌّبدَعممبكَلمبهڰّ إم ناَطيڰّلام تاَوبطبخماوبع ِڰَّتماَّماِ يَطمااَحم ضرأامي فماڰّ ُماوبلبكمبساڰّلاماَهڱيَأماَي

٢م

)٨٦١

مم:

:

بةَروبسمبةَرَقَِلا

)

Artinya : ”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa

yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”(QS Al-Baqarah: 2 :168).

Hikmah dibalik perintah itu adalah agar agama, jiwa, akal serta keturunan dan harta dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Dengan terjaganya kemaslahatan tersebut seorang mukallaf diharapkan akan sanggup menjalankan tugasnya sebagai khalifah dimuka bumi ini dan akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Dewasa ini, isu tentang produk makanan dan minuman yang diharamkan dan berbahaya sedang mendapatkan perhatian masyarakat. Produk-produk makanan instan, makanan cepat saji, restoran sampai jajanan pasar merupakan hal yang rawan dicemari oleh jenis makanan yang tidak halal baik dari segi bahan, maupun prosesnya.3 Tuntutan konsumen akan produk halal belakangan memang semakin kritis, mereka tidak sekedar menuntut produk yang higienis dan terjamin kandungan gizinya, tetapi bagi yang muslim, salah satu yang menjadi konsen mereka adalah juga kehalalannya dan label halal pun menjadi ketentuan ,makanan tersebut dapat dikonsumsi atau tidak.

3


(16)

3

Melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Agama RI Nomor 518 tanggal 30 November 2001 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal, pemerintah kembali berusaha menerapkan labelisasi halal pada produk makanan dan minuman. Keputusan tersebut disusul dengan SK 519 Tahun 2001 yang menunjuk Majelis Ulama Indonesia (MUI)4 sebagai lembaga pelaksana pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal dan dikemas untuk diperdagangkan. Selain itu, melalui SK Nomor 525 Tahun 2001, Menteri Agama juga menunjuk peran percetakan Uang Republik Indonesia (PERURI) untuk mencetak label halal yang nantinya akan diberikan kepada produk yang dinyatakan halal oleh MUI.5

Sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam.6 Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mencantumkan label halal sehingga suatu produk layak untuk dikonsumsi oleh konsumen muslim . Pelaku usaha harus memenuhi syarat tertentu dan melewati serangkaian proses yang telah ditetapkan oleh MUI untuk memperoleh sertifikat halal. Setelah memperoleh sertifikat halal, pelaku usaha memperoleh label halal dari MUI untuk kemudian dicantumkan pada label produknya. Sertifikat halal ini hanya berlaku untuk jangka waktu tertentu dan pelaku usaha harus melakukan perpanjangan untuk memperoleh sertifikasi kehalalan produknya kembali.

4

Selanjutnya penulis menggunakan singkatan MUI untuk menyebutkan Majelis Ulama Indonesia

5

Diana Candra Dewi, Rahasia Dibalik Makanan Haram (Malang: UIN-Malang,2007), h.iii 6

Wiku Adi sasmito Analisis Kebijakan Nasional MUI dan BPOM dalam Labeling Obat dan Makanan” dalam Studi Kasus: Analisis Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008, hlm. 14.


(17)

Dalam proses sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI dalam menentukan makanan mana yang dapat dan tidaknya di konsumsi, maka makanan tersebut harus memenuhi syarat kehalalanya. Selain itu juga dalam sertifikasi halal ini MUI menerapkan tarif untuk setiap makanan yang akan diberikan sertifikat halal. Biaya tarif yang diterapkan oleh MUI dalam setiap sertifikasi produk berkisar antara 3/4 juta rupiah. Biaya ini dirasakan cukup mahal untuk dikeluarkan terutama bagi kalangan menengah ke bawah.

Predikat halal yang pada dasarnya merupakan ketentuan hukum islam yang memiliki tujuan untuk melindungi dan menjaga kemaslahatan umat dari perbuatan diluar hukum Islam. Namun sayang nya hal tersebut telah dijadikan peluang untuk meraih keuntungan dengan dijadikannya sebagai objek bisnis. Oleh karena itu kewenangan MUI ini telah menjadi bahan perbincangan yang serius di Parlemen.

Peraturan Perundang Undangan di Indonesia menjamin Setiap konsumen berhak untuk memperoleh informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu produk. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 4 butir c UU Perlindungan Konsumen; bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Hak atas informasi ini sangat penting karena jika informasi yang diberikan kepada konsumen tentang suatu produk tidak memadai, maka dapat


(18)

5

merupakan salah satu bentuk cacat produk, yakni disebut dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai7.

Untuk itu penulis ingin memaparkan dalam skripsi ini tentang undang undang sertifikasi halal yang sudah di sahkan oleh pemerintah, UU No.33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), kesesuaian ndengan hukum Islam, Serta Kewenangan lembaga penjamin produk halal menurut ketentuan Undang Undang No. 33 tahun 2014.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis ingin meneliti dan membahasnya dalam skripsi yang berjudul: KEWENANGAN LPPOM

MUI DALAM PENENTUAN SERTIFIKASI HALAL PASCA

BERLAKU NYA UU NO. 33 TAHUN 2014’’

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Untuk menghindari terlalu luasnya pembahasan dalam skripsi ini, penulis hanya memokuskan pada masalah Undang-Undang Sertifikasi halal yang sudah di sahkan di DPR RI pada tahun 2014 dalam kajian hukum islam dan kewenangan LPPOM MUI dalam UU No. 33 Tahun 2014.serta Prospek sertifikasi halal di Indonesia.

Oleh karena itu rumusan masalah yang dikaji dalam perumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Kewenangan LPPOM MUI pasca Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 ?

2. Bagaimana Prospek Sertifikasi halal di Indonesia ?

7

Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet ke-7, Edisi ke-1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 41.


(19)

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan penelitian ini, adalah sebagai berikut:

a. Untuk mendeskripsikan halal dan haram dalam pandangan agama islam.

b. Untuk menjelaskan kewenangan LPPOM MUI dalam Undang-Undang No. 33 tahun 2014.

c. Untuk mengetahui bagaimana prospek sertifikasi halal di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Penulis berharap penulisan skripsi ini dapat memberi manfaat sebagai berikut:

a. Bagi penulis yaitu untuk menambah wawasan sekaligus pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan produk halal. b. Secara praktis yaitu untuk mengetahui batasan-batasan

pengkonsumsian yang benar dan halal untuk menambah keyakinan kepada konsumen terutama terhadap umat Islam dalam mengonsumsi sesuatu.

c. Secara teoritis untuk mengetahui kewenangan LPPOM MUI dalam Undang Undang No.33 tahun 2014.

d. Bagi akademisi, yaitu upaya menambah khazanah pengetahuan bidang hukum Islam, khususnya yang berkenaan dengan lembaga penjamin produk halal .


(20)

7

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah metode-metode yang dapat mempermudah dalam penelitian yaitu sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan Penelitian Hukum Normatif Tertulis,Metode Penelitian Hukum Normatif Tertulis adalah metode penelitian hukum terhadap aturan hukum yang tertulis. Pada penelitian hukum Normatif, peraturan perundangan yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data primer dalam penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian hukum tertulis yang dilakukan peneliti adalah melakukan pengumpulan bahan-bahan baik yang terpublikasi atau tidak yang berkenaan dengan bahan hukum positif yang dikaji dengan terkumpulnya bahan-bahan tersebut maka akan mudah melakukan sistematisasi dan analisis selanjutnya.

Bahan pustaka lain yang merupakan berhubungan dengan tema walaupun menjadi dasar yang dalam ilmu hukum digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi ,buku harian, buku-buku, UU JPH, SK kemenag, LPPOM MUI, UU Perlindungan Konsumen, buku buku yang berkenaan tentang halal dalam islam, Risalah Sidang, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. adapun data sekunder, sebagai berikut:


(21)

2. Opini yang Berhubungan Tentang Halal / JPH di indonesia 3. LPPOM MUI

Dengan adanya data sekunder tersebut ,seorang peneliti tidak perlu melakukan penilaian sendiri.

Metode penelitian Hukum Normatif dapat berupa : a. Sinkronisasi Hukum

Penelitian normatif memiliki 2 (dua) bentuk ,yaitu horizontal dan Vertikal. Dalam kedua bentuk penelitian tersebut, penelitian sinkronisasi hukum meneliti bagaimana hukum positif tertulis yang ada dalam peraturan perundangan yang ada di Indonesia sesuai.

Hal itu dapat ditinjau secara vertical, yakni apakah perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila ia dilihat dari segi hirarki perundang-undangan tersebut. Mengenai penelitian ini, dapat di pergunakan sebagai titik tolak tata urutan peraturan perundangan Republik Indonesia:


(22)

9

Bagan No. 01Tentang Dasar Hukum

Hirarki peraturan perundangan yang ada di Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam UU No.12 Tahun 2012, Pasal 7 ayat 1. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan tersebut adalah sesuai dengan hirarki. Dengan kata lain tidak boleh ada pertentangan dari bawah .inti kajian pada sinkronisasi vertical ada pada taraf peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan di atasnya, misalnya UU dengan UUD 1945. Hal ini sesuai dengan sistem konstitusi Indonesia yang menjelaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang tertinggi menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundangan yang ada dibawahnya .

Berbeda dengan sinkronisasi Horizontal, dimana yang dikaji adalah perundang-undangan yang setingkat dengan tingkatan peraturan perundangan. Dengan kata lain penelitian sinkronisasi horizontal, yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat yang mengatur bidang yang sama atau bidang yang bersentuhan.

UU DASAR TAHUN 1945

UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU) Peraturan Daerah Propinsi Peraturan Daerah Kabupaten/kota Peraturan pemerintah desa


(23)

misalnya, antara UU perlindungan konsumen dan jaminan produk halal.

b. Perbandingan Hukum

Kemajemukan hukum yang ada di Indonesia dimana ada Hukum islam , Hukum Adat ,dan tentunya hukum positif . hal ini Sangat menarik untuk dikaji dengan metode perbandingan hukum menjadi suatu alternatif kajian.Kajian perbandingan hukum ini dapat dilakukan terhadap sistem hukum yang mencakup 3 unsur pokok8

1. Struktur hukum yang mencakup lembaga-lembaga Hukum 2. Substansi hukum yang mencakup perangkat kaidah prilaku

3. Budaya hukum yang mencakup ,bagaimana hukum itu diperlakukan . Dengan melihat pokok system hukum tersebut maka penelitian perbandingan hukum tidak hanya dilakukan secara normatif belaka. Karena membutuhkan kajian sosial lain untuk memahami mengapa perbedaan itu terjadi dan dampak yang di akibatkan.9

2. Sumber Data Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis memperoleh data penelitian dari berbagai sumber, sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu sumber penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli. Sumber bahan hukum primer dapat

8

Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si, Dr.jaenal Aripin, M.Ag Metode Penelitian Hukum, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet ke-1, Jakarta tahun.2010

9

Fahmi Muhammad Ahmadi,M.Si, Dr.jaenal Aripin, M.Ag Metode Penelitian Hukum, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet ke-1, Jakarta tahun. 2010 hal. 38-41


(24)

11

berupa opini subjek (orang) secara individu atau kelompok, hasil observasi atau kegiatan dan hasil pengujian. Dalam hal ini peneliti mengambil sumber hukum primer melalui:

1).Pedoman sertifikasi halal MUI

2).Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.10 Bahan hukum terdiri atas buku-buku (textbooks), jurnal-jurnal hukum dan hasil-hasil simposium yang berkaitan dengan topik penelitian ini.11 Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia UU Perlindungan Konsumen .

c. Bahan Hukum Terster

Bahan hukum terster adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.12

3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan studi pustaka (Library Research) yaitu penulis melakukan

10

Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h. 94

11

Amirudin, H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004) , h.30

12

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Noormatif (Malang : Bayu Media Publishing, 2008), h.294


(25)

pengumpulan data dengan cara menelusuri buku-buku dan literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

4. Pengolahan dan Analisa Data

a. Metode Induktif yaitu suatu cara menganalisa yang bertitik tolak dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.

b. Metode deduktif, yaitu logika yang bertitik tolak dari pengetahuan yang bersifat umum, kemudian dijadikan titik tolak yang menilai suatu fakta yang bersifat khusus atau konkrit.

5. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta 2012.

E. Riview Study Terdahulu

No Identitas Subtansi Perbedaan

1. Mahwiyah, Konsentrasi

Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum. 2010. “Pengaruh

Labelisasi Halal Terhadap Terhadap Keputusan

Pembelian Konsumen.”

Skripsi ini membahas bagaimana persepsi atau pandangan masyarakat (konsumen) terhadap label halal pada suatu prodak makanan dan juga membahas mengenai pengaruh label halal terhadap keputusan konsumen (dosen Fakultas Syariah dan

Hukum) dalam

membeli produk makanan.

Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, penulisn membahas mengenai bagaimana prosedur dan persyaratan sertifikasi halal oleh MUI dan bagaimana kesesuaian sertifikasi halal MUI dengan ketentuan pada Maqasid Syariah.


(26)

13

2. Hasyim As‟ari, Konsentrasi

Perbandingan Mahzab Fikih Fakultas Syariah dan Hukum. 2011. “Kriteria Sertifikasi Makanan Halal Dalam Perspektif Ibn Hazm dan MUI.”

Skripsi ini membahas mengenai kriteria atau persyaratan dalam pemberian halal oleh MUI dan kriteria halal menurut pendapat ibn Hazm.

Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, penulisn membahas mengenai bagaimana prosedur dan persyaratan sertifikasi halal oleh MUI dan bagaimana kesesuaian sertifikasi halal MUI dengan ketentuan pada Maqasid Syariah.

3. Zuriah binti Semoni,

Konsentrasi

Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum.2013. ”Implementasi Aturan Produk Halal di Malaysia Berdasarkan Akta 730 Perihal Dagangan 2011”

Skripsi ini membahas mengenai peranan Jakim di Malaysia dan Bagaimana Pelaksanaan dan Penerapan Akta 730 Perihal Dagangan 2011.

Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan, penulisan membahas mengenai bagaimana prosedur dan persyaratan sertifikasi halal oleh MUI dan bagaimana kesesuaian sertifikasi halal MUI dengan ketentuan pada Maqasid Syariah.

F. Sistematika Penulisan

Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab, setiap bab terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.

BAB II Dasar hukum diantaranya membahas Halal dan haram dalam Islam. Sertifikasi halal sebagai bentuk perlindungan umat Islam. Penentuan Kehalalan dalam hukum Islam.

BAB III Tinjauan umum mengenai Sejarah LPPOM MUI, Tugas dan Fungsi LPPOM MUI. Kewenangan penentuan jaminan produk halal.


(27)

BAB IV lembaga sertifikasi pasca Undang-Undang No. 33 Tahun 2014: Lembaga Sertifikasi Halal dalam UU No. 33 Tahun 2014, Kewenangan dan Kedudukan LPPOM MUI Pasca UU No 33 Tahun 2014, Prospek Sertifikasi Halal Di Indonesia, Lembaga Sertifikasi Halal dalam Undang Undang No. 33 tahun 2014, kewenangan dan kedudukan LPPOM MUI Pasca Undang Undang No. 33 Tahun 2014.


(28)

15

BAB II

PENGERTIAN HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM

A. Halal Dan Haram Dalam Islam

Halal adalah sesuatu yang (diperkenankan) atau boleh dikonsumsi, yang terlepas dari ikatan larangan, dan dizinkan oleh pembuat syari‟ah untuk dilakukan.1 Halal juga diartikan sesuatu yang jika digunakan tidak mengakibatkan mendapat siksa (dosa).2 Sedangkan, haram adalah sesuatu yang dilarang oleh pembuat syari‟at dengan larangan yang pasti, dimana orang yang melanggarnya akan dikenai hukuman di akhirat, dan ada kalanya dikenai hukuman juga di dunia.3

Hukum Islam mencakup berbagai dimensi abstrak dan dimensi konkret. Dalam wujud memola yang bersifat ajeg dikalangan orang Islam sebagai upaya untuk melaksanakan Titah Allah dan Rasulnya itu lebih konkret lagi, dalam wujud prilaku manusia (amaliah), baik individual maupun kolektif, hukum Islam juga mencakup substansi yang terinternalisasi ke dalam berbagai pranata sosial. Dimensi dan substansi hukum Islam itu dapat disilang yang kemudian disebut hukum islam dan pranata sosial 4 .

Terdapat catatan berkenaan dengan pengidentifikasian hukum Islam dengan fiqh, atau sebaliknya. Hal itu mengundang berbagai komentar, bahkan kecaman, terutama dari kalangan sarjana hukum yang memiliki kepedulian

1

Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram (Jakarta: Rabbani Pers, 2002), h.13 2Ma‟ruf Amin,

Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2011) Cet. Ke-3. h. 313

3

Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram(Jakarta: Rabbani Pers, 2002), h.13 4

Cik Hasan Bisri, Pilar Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2004), h.38


(29)

terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia. Sebagai contoh seperti dikemukakan Mohammad Daud dan Yahya Harahap, ketika membahas tentang beberapa masalah hukum Islam, yang berkenaan dengan diundangkan dan berlakunya Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,5 menyatakan, bahwa manakala membicarakan hukum Islam, apakah yang dimaksud syari‟at Islam itu adalah fiqih Islam?. Syari‟at Islam adalah hukum islam yang berlaku abadi sepanjang masa. Sedangkan fiqh adalah perumusan konkret syari‟at Islam untuk diterapkan pada suatu kasus tertentu pada tempat dan suatu masa. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan.

Hal yang serupa dikemukakan oleh Harahap, ketika menyampaikan informasi tentang latar belakang penyusunan dan perumusan hukum Islam (KHI), yang menyatakan adanya kerancuan pemahaman dan penghayatan masyarakat Islam Indonesia selama ini. Kerancuan itu tidak terbatas pada masyarakat awam tetapi meliputi kalangan ulama dan lingkungan pendidikan serta perguruan– perguruan tinggi Islam. Mereka selalu mengindentikan “fiqih” dengan “syariah” atau “hukum Islam”. Pengindentikan fiqih dengan hukum Islam telah melahirkan kekeliruan penerapan yang sangat keterlaluan. Dalam menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama, para hakim menoleh pada kitab – kitab fiqih.6

Rujukan utama mereka pada kitab-kitab fiqih ulama mazhab.7

5

Dapat dibaca tulisan Muhammad Daud Ali 1990 : 28 , dalam buku Cik hasan bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja grafindo persada 2004)

6

Cik hasan bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja grafindo persada 2004), h.39

7

Tulisan M. Yahya Harahap, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri (Penyunting), Komplikasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Logos Wacana Ilmu, 1999, hal 21-97


(30)

17

Catatan kedua, berkenan dengan fiqih sebagai salah satu dimensi hukum Islam dan sebagai Ilmu hukum. Secara umum fiqh didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum syara‟ yang bersifat amaliah yang diperoleh melalui dalil – dalil yang rinci 8 Namun juga diartikan sebagai kumpulan hukum tentang hal yang bersifat praktis yang digali dari dalil yang rinci9, sebagaimana dikemukakan oleh „Abd Wahab Kallaf. Apabila fiqih didefinisikan sebagai ilmu, maka dinyatakan secara deskriptif. Bahwa Ia merupakan wacana intelektual dengan menggunakan cara berfikir tertentu, tentang penataan kehidupan manusia. Apabila diindentifikasi sebagai hukum merupakan kumpulan hukum, atau sebagai salah satu dimensi hukum Islam. Yakni produk pemikiran fuqoha yang dijadikan salah satu dalam penataan kehidupan manusia .10

Menurut Asaf Fyzee, syariah dapat diartikan kedalam bahasa inggris sebagai canon law of Islam, keseluruhan perintah Allah. Perintah itu dinamakan hukm (jamaknya ahkam). Sedangkan fiqih atau ilmu hukum Islam adalah pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban seseorang seagaimana diketahui dalam Al-Qur‟an dan sunah, atau yang disimpulkan dari keduanya, atau tentang apa yang telah disepakati oleh kaum cerdik pandai. Sementara itu menurut „Abd Al-„Ati, hukum Islam mempunyai fungsi ganda, yaitu fungsi syariah dan fungsi fiqih. Syariah merupakan fungsi kelembagan yang diperintahkan Allah untuk dipatuhi sepenuhnya, atau saripati petunjuk Allah untuk perseorangan dalam

8

Al-ilmu bil ahkam assyar‟iyah al-amaliyyah al-mukhtasabu minn adillatiha al tafshiliyah 9al majmu‟atu al

- akhkami assyariyati al-amaliyyati al-mustafaadatu min adillatiha atafshiliyah

10

Dapat dibaca Tulisan Mohammad Daud Ali dan Yahya Harahap ,dalam buku Cik hasan bisri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta : PT. Raja grafindo persada 2004)


(31)

mengatur hubunganya dengan Allah, sesama manusia dan dengan semua mahluk didunia ini. Sedangkan fiqih produk daya pikir manusia, fiqih merupakan usaha manusia yang dengan daya intelektualnya mencoba menafsirkan penerapan prinsip-prinsip syariah secara sistematis.

Berkenaan dengan hal itu, maka fiqih merupakan produk daya nalar fuqaha, yang di deduksi dari sumber yang autentik kemudan dijadikan patokan kehidupan yang dikembangkan secara berkelanjutan dalam rentang waktu yang sangat panjang. Ia disosialisasikan dan memberikan makna Islami terhadap pranata sosial yang tersedia atau, bahkan, menjadi cikal bakal pranata sosial yang baru. Produk pemikiran para fuqaha ini sangat besar pengaruhnya di kalangan umat Islam sehingga terdapat kecendrungan dikalangan mereka bahwa fiqih indentik dengan hukum Islam dan dapat ditemukan dalam berbagai kitab fiqih dari berbagai aliran mazhab.11

Dalam tradisi pemikiran fuqaha, pemilahan fiqih memilki dasar yang kuat dan jelas. Pada awal perumusannya, fiqih mencakup 4 bidang yakni,

Rubu’ibadah, rubu’ munakahah, rubu’ muamalah, dan rubu’ jinayah. Ia

kemudian dikembangkan kebidang lain, diantaranya fiqih siyasah dan fiqih qadha‟. Selanjutnya fiqih dijadikan salah satu sasaran pengkajian dalam “pohon ilmu” agama Islam, dalam lingkungan sekolah, madrasah, pesantren, dan unit penyelenggara pengkajian Islam diluar penyelenggaraan pendidikan. Bahkan dalam lingkungan perguruan tinggi agama islam, khususnya pada lingkungan Fakultas Syariah, fiqih menjadi salah satu bidang keahlian yang dikembangkan

11

Tulisan M. Yahya Harahap, Cara lengkap, dapat dibaca dalam Cik Hasan Bisri (Penyunting), Komplikasi Hukum Islam Tentang Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Logos Wacana Ilmu, 1999, hal 21-97


(32)

19

dalam beberapa program studi (Akhwal Syaksiyyah, Muamalah, Jinayah dan Siyasah,serta perbandingan mazhab dan hukum).

Berkenaan dengan kedua catatan di atas diharapkan kedudukan dan posisi masing-masing menjadi jelas. Dimensi dan subtansi hukum Islam, bagaikan bentuk dan isi. Gabungan keduanya dipandang sebagai aspek statis hukum Islam. Sedangkan aspek dinamisnya terlihat dalam proses pemikiran dan interaksi pengguna hukum Islam dalam kehidupan masyarakat yang amat luas dan rumit, terutama dalam sistem masyarakat bangsa, baik dalam perspektif masa lalu dan masa kini maupun prospeknya pada masa datang.

Hukum Islam berpangkal dari keyakinan dan penerimaan terhadap sumber ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al-Qur‟an dan kitab-kitab hadist. Kedua sumber itu kemudian dijadikan patokan dalam menata hubungan antar hubungan sesama manusia dan antar manusia dan mahluk lainnya.

Hukum, sebagai unsur normatif dalam penataan kehidupan, dalam bentuk dan jenis apapun, berkenaan dengan pengaturan dan kekuasaan. Sedangkan kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi atau mengarahkan manusia untuk melakukan atau meninggalkan perbuatan sesuai dengan kehendak (perintah atau larangan) yang berkuasa. Berkenaan dengan hal itu, kekuasaan melekat pada Tuhan, melekat pada manusia dan melekat pada organisasi masyarakat yaitu negara. Hal itu menunjukan bahwa kekuasaan itu bervariasi baik graduasinya maupun kawasannya. Oleh karena itu, daya atur, daya ikat dan daya paksa hukum dalam penataan kehidupan manusia tergantung pada graduasi kekuasaan yang memproduknya. Ada hukum yang memiliki daya


(33)

atur dan daya ikat yang longgar dan adapula yang kuat. Disamping itu ada yang memiliki daya paksa walaupun dalam batas-batas tertentu.

Prinsip dan fungsi hukum Islam dan Hubungannya dengan keyakinan dan kekuasaan, pada penjelasan diatas, menjukan bahwa hukum, dalam hal ini hukum Islam, dibangun atas prinsip tawhid „l-lah. dengan prinsip itu, ia memiliki beberapa fungsi. Pertama fungsi transformasi keyakinan terhadap kekuasaan (al-qudrah) dan kehendak (al-iradah) Allah dan Rasulnya kedalam nilai-nilai etik dan moral yang dijadikan rujukan perilaku manusia, baik secara individual maupun secara kolektif.

Prinsip itu menjadi dasar dan landasan dalam rumusan kaidah hukum yang mnegatur tentang apa yang harus dilakukan (al-„awamir) dan apa yang dilarang dan mesti ditinggalkan (al-nawahi) oleh manusia. Kedua, fungsi mengatur berbagai kehidupan manusia yang diinternalisasikan kedalam pranata sosial yang tersedia, atau menjadi cikal bakal pranata sosial baru. Ketiga, fungsi mengikat manakala melakukan transaksi (al-„uqud) diantara manusia, baik antara individu (al akhwal al syakhshiyyah), maupun antar individu dengan masyarakat termasuk yang berkenaan dengan hak-hak kebendaan (al-madaniyah), dengan berpatokan dengan hukum. Keempat, fungsi memaksa manakala ditetapkan oleh kekuasaan kolektif yang memiliki kelengkapan alat, dalam hal ini penyelenggara dan aparatur negara, seperti badan peradilan (al- qadha’).

Berkenaan dengan graduasi dan kawasan hukum Islam dapat dipilah menjadi beberapa dimensi. Ia merupakan wujud hukum yang relatif konkret, dibandingkan dengan nilai dan kaidah, dan berhubungan dengan yang


(34)

21

memproduknya. Dimensi-dimensi hukum Islam itu adalah: syari’ah, ilmu, fiqh, fatwa, nizham, qanun, idarah, qadha, dan adat.12

1. Dimensi syariah

Berdasarkan prinsip dan fungsi di atas, sumber hukum (mashadir al ahkam atau al-adillah al-syari’ah) yakni ayat-ayat Al-Qur‟an (kalam Ilahi) mencakup ayat akidah dan ayat hukum kemudian diimplementasikan dalam sunah rasulullah (yang didokumentasikan dalam berbagai kitab hadist), dipahami sebagai hukum Islam. Ia dideduksi dari kedua sumber itu, dengan dasar pandangan bahwa Allah dan Rosulnya memilki kekuasaan dan bentuk mengatur kehidupan manusia

(Al-Syar’i) dalam berbagai aspeknya.

Hukum yang didasarkan pada kedua sumber itu dikenal sebagai syari’ah. Ia merupakan dimensi hukum Islam yang utama, yang menjadi sumber dalam pembentukan dan pengembangan hukum Islam dimensi lainnya, dan menjadi patokan dalam mengarahkan dan memberi makna terhadap berbagai pranata sosial. Ia bersifat universal dan abadi, memilki daya atur dan daya ikat terhadap orang-orang yang beriman dan ia menjadi rujukan serta tolak ukur bagi dan terhadap hukum Islam dalam dimensi lainnya.

2. Dimensi Ilmu

Upaya untuk mengeluarkan hukum (istinbath al-ahkam) dari kedua sumber diatas, disusun berbagai perangkat dengan menggunakan cara berpikir tertentu, terutama cara berpikir logis. Dengan mengacu kepada kedua sumber hukum diatas, disusun dan metode dan alat memahami ayat dan hadis hukum.

12

Sebagai Bahan Perbandingan: menurut Sunayati Hartono (1997: 246-247). Terdapat arti tentang hukum yakni: 1.Peristiwa hukum, 2.Kaidah Hukum 3.Pranata Hukum 4.Lembaga Hukum 5.Badan hukum 6.Keputusan Hukum (Pengadilan) 7.Petugas hukum 8.Profesi hukum.


(35)

Oleh karena itu, dikenal hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah (al-„ilm) postulat yang digunakan bahwa ulama yang menyusun dan merumuskannya, memiliki kekuasaan (baca: otoritas atau kompetensi) ilmiah di bidang hukum Islam.

Oleh karena dimensi hukum Islam sangat lentur, maka daya atur dan daya ikat amat longgar. Hukum Islam dalam dimensi pengetahuan ilmiah memiliki unsur-unsur subtansi, informasi dan metode sebagai penyangga utamanya. Ia menjadi bagian sistem keilmuan yang bersifat universal dan otonom, tanpa terikat oleh sistem sosial manapun. Ia seolah-olah anti struktur, dan hanya menjadi konvensi dikalangan komunitas ilmiah (ulama). Termasuk dalam dimensi ini, falsafah hukum, ilmu ushul fiqh,13 ilmu fiqh dan tarikh tasyri’ yang belakangan ini dapat diindentikan dengan apa yang disebut sebagai sejarah sosial hukum islam.

3. Dimensi Fiqh

Salah satu hukum islam yang dikenal di masyarakat, baik umat Islam maupun komunitas ilmiah adalah fiqh. Ia merupakan produk penalaran fuqaha yang dideduksi dari sumber (ayat Al-Qur‟an dan teks hadis) yang otentik. Produk pemikiran mereka didokumentasikan dalam berbagai kitab fiqih yang disusun secara tematik dan mencakup berbagai bidang kehidupan. Mulai dari thaharah sampai jihad. Ia dapat diidentifikasi sebagai kumpulan hukum yang bersifat praktis (amaliah atau terapan).

13Mahdi Fadhl„i

-Lah(1987:5) mengindentikan ilmu ushul fiqh dengan ilmu mantiq syar‟I dengan mengadaptasi ilmu mantiq Aristoteles.


(36)

23

Sementara itu, menurut al-„Asymawi, fiqih memiliki beberapa karakteristik. Pertama, selalu disajikan sebagai suatu yang unik, yang tidak dapat dibandingkan dengan kebudayan-kebudayan lain. Tetapi sebetulnya fiqih sangat dipengaruhi oleh hukum yurisprudensi Romawi-Bizantium.

Kedua, mula-mula fiqih berkembang secara kasuistis, tanpa rencana dan sistem, karena itu tidak mempunyai teori tentang hukum, politik atau ekonomi selain yang dikembangkan oleh imam syafi‟i. Ketiga, fiqih kurang memberi kebebasan kepada fuqaha karena situasi-situasi politik sepanjang sejarah Islam. Keempat, ada kekurangan indenpendensi ijtihad, disebabkan oleh banyak faktor luar. Keadaan ini memaksa fuqaha untuk tidak mencari pendapat baru tetapi mencari hilah. Kelima, pembaruan hanya terbatas pada pemilihan terhadap pendapat-pendapat dalam berbagai mazhab, pandangan yang mengindentikkan fiqih dengan hukum Islam.

Pandangan yang mengindentikan fiqih dengan hukum Islam, sebagaiman dikemukakan di atas, ditunjang oleh beberapa hal:

a) Berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadis yang terantum secara eksplisit dan otentik. b) Tersusun secara tematik. Mencakup unsur hukum taklifi dan hukum wadh’i. c) Mencakup berbagai bidang kehidupan manusia, disertai dengan kaifah

masing-masing dalam berbagai hal pararel dengan pertumbuhan dan perkembangan pranata sosial.


(37)

d) Bersifat praktis („amaliyah) sehingga mudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Fiqh dijadikan rujukan dalam menghadapi maslah hukum yang memerlukan pemecahan segera.14

e) Terdokumentasi dalam kitab-kitab fiqih, yang tersebar pada berbagai mazhab. f) Diajarkan dalam berbagai lingkungan.

4. Dimensi Fatwa

Dimensi lain dari hukum Islam itu adalah fatwa ulama (al ifta). Ia merupakan respon ulama atas pertanyaan yang diajukan. Salah satu ciri fatwa adalah kasuistis dan parsial. Berkenaan dengan hal itu, fatwa tidak memiliki daya ikat bagi penataan kehidupan manusia, termasuk bagi pemohon fatwa itu sendiri, hanya mengikat secara moral. Namun demikian, kebutuhan terhadap fatwa semakin meningkat berkenaan dengan munculnya berbagai masalah dalam kehidupan masyarakat.

Fatwa-fatwa MUI misalnya, merupakan respon ulama terhadap perkembangan pranata-pranata sosial di Indonesia, berkenaan dengan perubahan sosial yang dirancang secara nasional 15. Penelitian tentang fatwa Muhamadiyyah dan Nadlatul Ulama dapat disimak dalam tulisan Rifyal Ka‟bah16. Sedangkan penelitian tentang fatwa Persatuan Islam dalam tulisan Dede Rosyada17. Disamping itu dikenal berbagai himpunan dan pembahasan tentang fatwa, diantaranya dihimpun dalam Muhimmat al-Nafais fi Bayan As’ilat Al hadits.18

14

Yusuf Qhardawi ,Halal dan Haram , cetakan 1995 15

Lihat tulisanMuhammad Atho Mudzhar. 1993:83-84 16Lihat Tulisan Rifyal Ka‟bah 1999

17

Lihat tulisan Dede Rosyada (1999) 18


(38)

25

Dewasa ini, ketika produk industri makanan, minuman, dan kosmetika dilakukan secara besar-besaran dan bervariasi, serta dipromosikan secara gencar, MUI bekerja sama dengan Kementrian Kesehatan RI dan didukung oleh kalangan perguruan tinggi, melakukan pengujian terhadap produk industri itu. Dalam bidang pangan, makanan dan minuman kemudian didirikan sebuah Lembaga yang menangani hal tersebut, yaitu Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM). Dalam proses tersebut dilakukan kerjasama oleh MUI, pemerintah, dan pengusaha atau pelaku usaha (produsen). Berdasarkan hasil pengujian itu dikeluarkan fatwa ulama tentang kehalalan produk, yang kemudian disertifikasi halal bagi produk itu. Fatwa yang dikeluarkan hanya memiliki daya atur setelah dilegalisasi oleh MUI dalam kedudukannya sebagai satuan administrasi Islam.

5. Dimensi Nizham

Dimensi lainnya adalah tatanan atau sistem hukum (al-nizham). Ia merupakan suatu kompleks hukum Islam yang tumbuh dan bekembang didalam kehidupan masyarakat. Mencakup materi hukum, bagaimana penerapan hukum, institusi dan badan penyelenggara penerapan hukum, dan sarana penunjang dalam penerapannya.

B. Sertifikasi Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Umat Islam

Menurut ajaran Islam, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu tidak dapat didasarkan hanya pada asumsi atau rasa suka atau rasa tidak suka. Sebab, tindakan demikian dipandang sebagai tindakan membuat-buat hukum atau


(39)

tahakkum dan perbuatan dusta atas nama Allah yang sangat dilarang Agama. Perhatikan firman Allah berikut:













)



فارْعٔاا

:

٧

:

٣٣

(

Artinya:“Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang

nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar (mengharamkan,) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S al a’raf: 7 :33) Imam ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin mas’ud bahwa rasulullah saw ,bersabda

َّحادحا

ال

و

ً݈طب

ا݅و

اݎ݊݅

رݎًظ

ا݅

شحاوفلا

مَرح

كل

܎݂ف

ها

݈݅

ريغًا

دحا

ال

(

ْ݄݂س݅و

ْي܏اخ۴ْل

݋او܏

)

ها

݈݅

܃د݆لا

݌يلا

Artinya : “Tiada Yang lebih cemburu dari pada allah .oleh karena itu ,dia mengharamkan perbuatan yang keji baik yang tampak maupun yang tersembunyi.

dan tiada yang lebih menyukai pujian selain allah .” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadits ini dikemukakan dalam shahihain. Pembicaraan ihwal perkara yang berkaitan dengan aneka perbuatan keji , baik yang tampak maupun yang tersembunyi telah dikemukakan dalam surat al an’am ayat 151. Firman Allah Ta’ala “perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar .” Al-itsm berarti aneka kesalahan yang berkaitan dengan si pelaku itu sendiri. Al-Baghyu berarti menzalimi manusia tanpa alasan yang benar.

Firman Allah Ta’ala “Mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu ” yakni kamu menetapkan sekutu baginya


(40)

27

dalam menyembahnya” dan mengada adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu

ketahui” berupa perbuatan mengada ada dan dusta seperti menetapkan anak kepada Nya dan hal lain yang tidak kamu ketahui. Ayat ini seperti ”maka jauhilah berhala berhala yang najis itu.”19

Dalam Firman-Nya yang lain secara tegas melarang tahakkum (penetapan hukum tanpa didasari argument, dalil) ini dapat dipahami dari ayat berikut:















(

ْ݀حَ݊لا

:

٦١

:

٦٦١

)

Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.(Q.S an nahl: 16 :116)

Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba hamba nya agar memakan

rezekinya yang halal lagi baik dan mensyukurinya. Selanjutnya Allah Ta’ala menerangkan makanan yang diharamkan kepada mereka karena membahayakan mereka, baik bahaya yang menyangkut agama maupun dunia. Makanan yang diharamkan itu diantara nya bangkai, darah,daging babi, dan apa yang disembeih dengan menyebut nama selain Allah.

Kemudian Allah melarang hambanya untuk menghalalkan dan mengharamkan makanan hanya berdasarkan penjelasan mereka semata dan mengharamkan nama nama yang mereka istilahkan sendiri, seperti bahirah,

19

Muhammad Nasib ar-Rifa’I “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu Katsir,jilid


(41)

sa’ibah, washilah dan haam yang mereka ciptakan pada masa jahiliah. Maka Allah berfirman “ dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut sebut oleh lidahmu secara dusta „ini halal ini haram’ , untuk mengada adakan kebohongan terhadap Allah .” termasuk dalam kategori ini maka apa yang mereka ciptakan sebagai bid’ah dengan Menghalalkan yang haram dan Mengharamkan yang halal20.

Atas dasar itu penentuan halal haram hanyalah hak Prerogatif Allah. Dengan kata lain, penentuan kehalalan atau keharaman sesuatu termasuk bidang pangan, harus didasarkan pada Al-Qur’an, sunnah dan kaidah-kaidah hukum.Dari sini timbul pertanyaan, dapatkah setiap orang mengetahui mana pangan yang halal dan mana pangan yang haram dengan hanya mencukupkan diri merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah?. Jika pada saat ini kehalalan pangan merupakan suatu persoalan yang rumit, karena jenis dan bahan pangan yang halal dan mudah dikenali, serta cara pemerosesannya pun bermacam-macam.

Produk-produk pangan olahan, dengan menggunakan bahan dan peralatan yang canggih, kiranya dapat dikategorikan kedalam kelompok pangan yang tidak mudah diyakini kehalalannya. Apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non-muslim, sekalipun bahan bakunya berupa bahan suci atau tercampur, menggunakan atau bersentuhan dengan bahan-bahan yang tidak suci atau tercampur dengan bahan haram.

Dari paparan diatas kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak setiap orang (muslim) akan dengan mudah dapat mengetahuinya secara pasti halal

20

Muhammad Nasib ar-Rifa’I “Taisir Al-Aliyyul Qadir Li Ikhishari Tafsir Ibnu Katsir”,


(42)

29

tidaknya suatu produk pangan, obat-obatan maupun kosmetika. Karena untuk mengetahui hal tersebut diperlukan pengetahuan yang cukup memadai tentang pedoman atau kaidah-kaidah syariah Islam, itulah kiranya apa yang jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Nabi SAW, dalam sebuah hadist popular :

݈يب مارحلا و ݈يب ܿاحلا

Artinya: “Halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas.

Hadis ini menunjukan bahwa segala sesuatu itu ada yang sudah jelas kehalalannya dan ada pula yang sudah jelas keharamkannya. Disamping itu, dalam hadis tersebut disebutkan juga cukup banyak hal yang samar-samar (syubhat) status hukumnya, apakah ia halal ataukah haram, tidak diketahui oleh banyak orang. Bagi umat Islam, hal tersebut yakni hal atau pangan kategori syubhat, tidak dipandang sebagai persoalan yang mendapat perhatian besar dan serius.

Oleh karena tidak setiap orang dapat dengan mudah mengetahui kehalalan atau keharaman suatu pangan sebagiamana dikemukakan diatas, maka peranan ulama sebagai kelompok orang yang dipandang memiliki pengetahuan memadai tentang hal tersebut sangat diperlukan untuk memberikan penjelasan (fatwa) kepada masyarakat luas mengenai status hukum pangan tersebut.

Fatwa produk halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh komisi fatwa MUI mengenai produk pangan, minuman, obat-obatan dan kosmetika. Fatwa tersebut ditetapkan setelah dilakukan serangkaian pembahasan dalam rapat komisi fatwa yang didahului dengan laporan hasil auditing oleh LPPOM. jika rapat memandang bahwa produk dimaksud tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, baik dari


(43)

aspek bahan maupun dalam proses produksinya. Setelah akan ditetapkan kehalalannya, serta dibuat satu keputusan fatwa untuk produk-produk yang diputuskan dalam rapat secara tertulis. Selanjutya, untuk setiap produk dari suatu produsen dibuatlah satu sertifikat yang disebut dengan sertifikat halal.

Sertifikat halal ini berlaku untuk jangka waktu dua tahun dengan syarat produk tersebut tetap memenuhi standar atau kriteria sebagaimana dilaporkan pada saat rapat komisi fatwa. Setelah dua tahun, atau jika ada perubahan bahan, produk bersangkutan harus diproses kembali untuk memperoleh setifikat baru. Hal ini demi terciptanya kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk makanan minuman dan obat obatan. Semua peraturan yang ada untuk kenyamanan konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk.

Sebagaimana dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada Bab III pasal 4 ayat (a). bahwa pengkonsumsi makanan, minuman dan obat-obatan mempunyai hak dilindungi, memiliki hak kenyamanan dalam mengkonsumsi suatu produk, khususnya masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam. Oleh sebab itu, bagaimana sinergisitas antara pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat berjalan beriringan untuk mengontrol pelaku usaha yang ada di Indonesia.

Telaah atas perlindungan konsumen muslim atas produk barang dan jasa menjadi sangat penting setidaknya disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: Pertama, bahwa konsumen Indonesia mayoritas merupakan konsumen beragama Islam yang sudah selayaknya mendapatkan perlindungan atas segala jenis produk barang dan dan jasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah dalam hukum Islam.


(44)

31

Berdasarkan hal tersebut, maka konsumen muslim harus mendapatkan perlindungan atas kualitas mutu barang dan jasa serta tingkat kehalalan suatu barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Kedua, bahwa Pemerintah Indonesia sudah harus melakukan upaya aktif untuk melindungi konsumen-konsumen yang mayoritas beragama Islam. Perlindungan konsumen-konsumen merupakan hak warga negara yang pada sisi lain merupakan kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya khususnya atas produk yang halal dan baik.

Perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan yang halal dan baik telah terdapat dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2) ayat 168:

ني ِبُمٌّبدَعممبكَلمبهڰّ إم ناَطيڰّلام تاَوبطبخماوبع ِڰَّتماَّماِ يَطمااَحم ضرأامي فماڰّ ُماوبلبكمبساڰّلاماَهڱيَأماَي

م

)٨٦١

مم: ٢: بةَرَقَِلامبةَروبس )

Artinya: “Wahai manusia makanlah dari makanan yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah

syetan. Sungguh setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”( QS

Al-Baqarah : 2 : 168)

Berdasarkan ayat tersebut di atas, maka terdapat garis hukum, yaitu: Pertama, bahwa perintah ditujukan bagi manusia, tidak saja kaum muslim. Kedua, bahwa manusia diwajibkan memakan makanan yang halal dan baik. Ketiga, bahwa mengikuti langkah-langkah setan yang merupakan musuh utama manusia.

Konsep makanan berdasarkan ayat itu tidak sekedar halal, baik dari cara memperolehnya, mengolahnya, hingga menyajikannya. Tetapi makanan juga harus baik, baik secara fisik yang diharapkan tidak mengganggu kesehatan yang mengkonsumsinya. Hal menarik adalah bahwa konsep makanan juga terkait dengan nilai ketuhanan, bahwa ketika kita menolak memakan-makanan yang halal dan baik, maka Allah menganggap telah mengikuti jejak langkah setan, padahal


(45)

setan adalah musuh nyata manusia. Allah menyatakan tentang kehalalan pangan tertuang dalam Al-Qura’n Surah Al Maidah )5( ayat: 3.































(

:

اْ݆لا

۵دئ

:

٥

:

٣

)

Artinya :

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging

hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya[395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah[396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini[397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa[398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang”.(Q.S Al-Maidah :5 : 3)

Berdasarkan ayat tersebut maka dapat kita klasifikasikan atas segi fisik hewan, meliputi: bangkai, darah, dan daging babi. Serta klasifikasi atas cara atau proses, meliputi: hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, hewan yang tercekik, hewan dipukul, hewan yang jatuh, hewan yang ditanduk dan hewan yang diterkam binatang buas. Tujuan pelaksanaan konsumsi yang harus diperhatikan, yaitu dilarangnya mengkonsumsi pangan yang ditujukan untuk berhala. Secara


(46)

33

fisik hewan: bangkai, darah, dan daging babi merupakan zat yang secara tegas diharamkan. Zat pangan yang halal akan menjadi haram jika proses serta tujuan konsumsi tidak sesuai dengan norma hukum yang tertuang dalam Surah Al-Maidah ayat 3 tersebut.

Menarik untuk dikaji secara mendalam adalah berkaitan pula dengan peranan negara untuk melindungi masyarakat muslim dalam kaitan dengan hak-hak konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen di Indonesia masih belum menyentuh permasalahan ini, mengingat fokus masih terbatas pada sisi fisik barang serta jasa dan masih belum menyentuh pada kehalalan. Tingkat kehalalan rupanya diatur oleh lembaga tersendiri yaitu LPPOM MUI padahal sesungguhnya ini merupakan hal yang harus terintegrasi. Konsumen Muslim yang sangat besar di Indonesia seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah membentuk sebuah lembaga perlindungan konsumen muslim.21

C. Penentuan Kehalalan Dalam Hukum Islam

Islam menetapkan bahwa asal segala sesuatu dan kemanfaatan yang diciptakan Allah adalah halal, dan tidak ada yang haram kecuali apa yang telah disebutkan oleh nash yang shahih dan tegas dari pembuat syari’at yang mengharamkannya. Apabila tidak terdapat penunjukan-Nya kepada yang haram maka tetaplah sesuatu itu pada hukum asalnya, yaitu mubah

)22۶ح اباا يف ݀صاا(

Di dalam menetapkan prinsip bahwa pada asalnya segala sesuatu yang bermanfaat itu mubah. Allah sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu ini dan

21

http://uai.ac.id/2011/04/13/opini-ilmiah-hukum/, jum’at ,6 maret 2015 jam . 11.58

22

يواضرقلا فوسوي ماساا يف مارحلاواحلا :


(47)

menundukkannya untuk kepentingan manusia dan memberikannya sebagai nikmat bagi mereka, kemudian mengharamkan semuanya buat mereka. Bagaimana mungkin Dia menciptakannya untuk mereka, menundukannya buat mereka, dan memberi mereka nikmat dengannya, lantas semuanya diharamkan-Nya?, Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja karena suatu sebab dan hikmah tertentu sebagaimana yang termaktub dalam al qur’an dan sunnah .

Dengan demikian wilayah haram dalam Syari’at Islam sangat sempit, sedang wilayah halal sangat luas. Hal itu disebabkan nash-nash yang secara shahih dan tegas mengharamkan itu jumlahnya amat sedikit, sedangkan mengenai sesuatu yang tidak terdapat nash yang menghalalkan atau mengharamkannya berarti tetap pada hukum asalnya yaitu mubah, dan termasuk dalam wilayah yang dimaafkan Allah. Diriwatkan pula oleh Salman Al-Farisi: Rasulullah SAW ditanya tentang mentega, keju, dan keledai liar, lalu beliau menjawab:

فلا ݇ ا݆݂س ݈عو

݂ع ها ݒ݂ص ها ܿوس܏ ݀ۮس :سر

݄݂سو ݌ݑ

݈۴܂لا و ݈݆سلا ݈ع :

اتك يف ها ݀حا ا݅ ܿاحلاو : ܿاقف ءارفلاو

݌݊ع ݈ܾس ا݅و ݌ب

݄ܾل افع ا݆݅وݎف

23

Yang halal ialah apa yang dihalalkan oleh Allah didalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan Allah di dalam kitab-Nya, sedang apa yang didiamkan oleh-Nya berarti di maafkan untukmu.”

Rasulullah memberi jawaban secara parsial terhadap para penanya ini, melainkan dijawab dengan kaidah yang dapat mereka jadikan rujukan untuk mengetahui halal dan haram. Keharaman dpat diketahui dengan nash, Al-Qur’an dan Hadits.

23

: يواضرقلا فوسوي ماساا يف مارحلاواحلا 02

-02


(48)

35 BAB III

PROFILE LEMBAGA

A.Sejarah LPPOM MUI

1. Sejarah MUI

MUIadalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri, pada Tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.1

Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.

1


(49)

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi, maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penjajahan dan perjuangan kemerdekaan. Disisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.

Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.2

2


(50)

37

Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun MUlI sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah swt memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama, pemerintah dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.

Dalam khittah pengabdian MUI telah dirumuskan lima fungsi dan peran utamanya yaitu:

1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya) 2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)

3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah) 4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid

5. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar

MUI bertujuan untuk terwujudnya masyarakat yang berkualitas (khaira ummah), dan negara yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridhai Allah Swt (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Untuk


(51)

mencapai tujuannya, MUI melaksanakan berbagai usaha, antara lain memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat, merumuskan kebijakan dakwah Islam, memberikan nasehat dan fatwa, serta merumuskan pola hubungan keumatan, dan menjadi penghubung antara ulama dan umara.

Sampai saat ini MUI mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.3

Sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zuama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, MUI adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, MUI tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian, dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi. Keterkaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, MUI tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut. MUI harus

3

http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.html, diakses Rabu, 11 maret 2015, 21.50


(52)

39

memosisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam.

MUI, sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zuama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam. Kemandirian MUI tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, Terbinanya kerjasama yang dijalin atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi MUI. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran MUI, bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antar komponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa.4

2. Sejarah LPPOM MUI

a. LPPOM MUI, Pelopor Standar Halal & Pendiri Dewan Pangan Halal Dunia Dalam sejarahnya, LPPOM MUI yang kini memasuki usia ke-23, mencatat sejumlah prestasi yang membanggakan. Dalam negeri, kiprah pelayanan LPPOM MUI semakin meningkat. Sejak tahun 2005 hingga Desember 2011, LPPOM MUI telah mengeluarkan sedikitnya 5896 sertifikat halal, dengan jumlah produk mencapai 97.794 item dari 3561 perusahaan. Angka tersebut tentu akan meningkat jika ditambah dengan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPPOM MUI daerah yang kini tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim mencapai 200 juta jiwa, Indonesia sudah seharusnya

4


(53)

melakukan langkah-langkah proaktif dalam mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai pasar sekaligus penyedia produk halal bagi konsumen. Berkaitan dengan itu, pada 24 Juni 2011, Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia, Dr. Ir. M. Hatta Rajasa telah mendeklarasikan Indonesia sebagai Pusat Halal Dunia. Deklarasi tersebut sejalan dengan berbagai langkah yang dilakukan oleh LPPOM MUI, antara lain dengan mendesain dan menyusun Sistem Sertifikasi Halal (SH) dan Sistem Jaminan Halal (SJH) yang telah diadposi lembaga-lembaga sertifikasi halal luar negeri. LPPOM MUI adalah pelopor dalam Sertifikasi Halal dan Sistem Jaminan Halal secara internasional.

Diadopsinya standar halal Indonesia oleh lembaga luar negeri tentu sangat menguntungkan Indonesia, baik bagi konsumen maupun produsen. Sebab, konsumen terlindungi dari produk-produk yang tidak dijamin kehalalannya. Selain itu, dengan standar yang telah diakui bersama, kalangan pelaku bisnis juga memperoleh kepastian tentang persyaratan halal yang harus mereka penuhi sebelum memasarkan produk mereka.

Sejarah perkembangan sertifikasi halal di Indonesia tak luput dari merebaknya kasus lemak babi pada tahun 1988. Kasus yang berasal dari temuan peneliti dari Universitas Brawijaya, Malang itu tidak hanya menghebohkan umat Islam, tapi juga berpotensi meruntuhkan perekonomian nasional karena tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk pangan olahan menurun drastis.5

Menyadari tanggung jawabnya untuk melindungi masyarakat, maka MUI pada 6 Januari 1989 mendirikan LPPOM MUI sebagai bagian dari upaya untuk

5

http://www.halalmui.org/newMUI/index.php/main/go_to_section/2/31/page/1, Selasa, 17 Maret 2015, 19.44


(1)

- 9 - Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “keterangan tidak halal” adalah

pernyataan tidak halal yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Produk. Keterangan dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.


(2)

- 10 - Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.


(3)

- 11 - Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Kriteria “usaha mikro dan kecil” didasarkan pada ketentuan

peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha mikro dan kecil.

Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain Pemerintah

melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas.

Ayat (3) Cukup jelas.


(4)

- 12 - Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53 Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.


(5)

- 13 - Huruf b

Pengawasan Produk dan Produk Halal yang beredar antara lain pengawasan terhadap masa berlaku Sertifikat Halal, pencantuman Label Halal atau keterangan tidak halal, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.


(6)

- 14 - Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.