Latar Belakang dan Masalah .1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Yule dalam bukunya 1996: 3 yang berjudul Pragmatik, mengatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis dan ditafsirkan oleh pendengar atau pembaca. Yule juga menjelaskan bahwa tipe studi ini melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan dan diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan yang disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa. Levinson dalam Asrul 1996: 23 mengatakan Pragmatics is the study of deictic at least in part, implicature, persupposition, speech act, and aspect of discourse structure ‘pragmatik adalah penelitian di bidang deiksis, implikatur, praanggapan, pertuturan tindak ujaran, dan struktur wacana’. Deiksis sebagai salah satu bidang kajian pragmatik menjadi topik dalam penelitian ini, tetapi yang dibahas hanya terbatas pada deiksis persona deiksis waktu dan tempat tidak dibahas. Di dalam bukunya, Moeliono 2003:42 mengemukakan pengertian deiksis, yaitu: Deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. Kata atau konstruksi seperti itu bersifat deiksis. 1 Universitas Sumatera Utara Contoh : 1 a. Kita harus berangkat sekarang. b. Harga barang naik semua sekarang. c. Sekarang pemalsuan barang terjadi di mana-mana. Pada kalimat 1a sekarang merujuk ke jam atau bahkan ke menit. Pada kalimat 1b cakupan waktunya lebih luas, mungkin sejak minggu lalu sampai hari ini. Pada kalimat 1c cakupannya lebih luas lagi, mungkin berbulan-bulan dan tidak mustahil bertahun-tahun. Kata sekarang beroperasi dengan kata deiktis penunjuk waktu lain, seperti besok atau nanti; acuan kata sekarang selalu merujuk pada saat peristiwa pembicaraan. Contoh berikut, seperti yang dikutip dari Chaer 2004: 57 akan menjelaskan pengertian deiksis: A dan B sedang bercakap-cakap, bagian akhir dari percakapan itu berupa: A : Saya belum bayarSPP, belum punya uang. B : Sama, saya juga. Jelas, kata saya pada percakapan itu pertama mengacu pada A, lalu mengacu pada B. Maka kata saya itu disebut bersifat deiksis. Bahasa Simalungun sebagai bahasa daerah sekaligus sebagai bahasa ibu bagi penutur etnis Simalungun, merupakan bahasa yang paling dominan digunakan masyarakat yang tinggal di Kabupaten Simalungun. Selain bahasa Simalungun, bahasa Indonesia, bahasa Karo, bahasa Jawa, dan bahasa Toba juga digunakan di tempat ini. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Simalungun tidak hanya berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah dan alat komunikasi di dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga berfungsi sebagai pendukung bahasa nasional, sebagai pengantar bahasa di sekolah, di pedesaan, pada tingkat permulaan serta sebagai alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah. 2 Universitas Sumatera Utara Beranalogi kepada keterangan di atas, perlu dipikirkan usaha pembinaan bahasa Simalungun yang didahului oleh suatu perencanaan sehingga pembinaan dan pengembangan bahasa Simalungun merupakan suatu keharusan di samping pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, seperti yang tercantum dalam UUD 1945, Bab XV: Pasal 36 yang berbunyi:”Bahasa negara ialah bahasa Indonesia” dengan penjelasan bahwa di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik misalnya bahasa Jawa, Madura, Sunda, dan sebagainya, bahasa-bahasa itu akan dipelihara oleh negara, karena bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup. Bahasa Simalungun merupakan salah satu bahasa etnis Batak di Provinsi Sumatera Utara. Seperti halnya bahasa daerah lain, bahasa Simalingun terus hidup dan berkembang hingga saat ini. Etnik Batak Simalungun yang menggunakan bahasa Simalungun berada di Kabupaten Simalungun dan sebagian wilayah Deli Serdang. Kabupaten Simalungun yang merupakan pusat populasi penutur bahasa Simalungun berbatasan dengan empat kabupaten tetangga, yaitu Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Karo, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Asahan. Luas wilayah Kabupaten Simalungun 4.386,6 Km 2 atau 6,12 dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara dan terdiri dari 34 kecamatan, 17 kelurahan, dan 334 desanagori. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2003, jumlah penduduknya 808.288 jiwa dan populasi terbesar berada di Kecamatan Raya Siantar 59.064 jiwa dan populasi terkecil di Kecamatan Haranggaol Horison 5.534 jiwa. Penelitian tentang bahasa Simalungun sudah banyak dilakukan orang, baik oleh sarjana maupun ahli bahasa, namun dari penelitian tersebut belum ada yang 3 Universitas Sumatera Utara mempermasalahkan bagaimana deiksis persona dalam bahasa Simalungun. Jadi, peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana bentuk dan perilakunya. Penelitian dengan judul Verba Tindak Tutur dalam Bahasa Simalungun pernah dilakukan oleh Nainggolan 2006. Penelitian ini membahas masalah makna verba tindak tutur bahasa Simalungun sekaligus klasifikasi dan penggunaan verba tindak tutur dengan menggunakan teori NSM Natural Semantic Metalangue. Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Semantics Primes and Universals oleh Anna Wierzbicka. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa verba tindak tutur dalam bahasa Simalungun dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe polisemi yang berasal dari elemen makna asali yaitu tipe mengatakanterjadi, tipe mengatakanmelakukan, tipe mengatakanmengetahui, tipe mengatakan merasakan, tipe mengatakanmengatakan. Berdasarkan tipe polisemi tersebut dijelaskan penggunaan verba tindak tutur sesuai dengan konteks budayanya sehingga terungkap persamaan dan perbedaan makna di antara kelompok verba tindak tutur tersebut. Penelitian dengan judul Konstruksi Kausatif Bahasa Simalungun pernah juga dilakukan oleh Sipayung 2007. Penelitian ini membahas konstruksi kausatif dalam bahasa Simalungun. Teori yang digunakan adalah teori yang dikemukakan Comrie, yang mengemukakan dua parameter dalam meneliti konstruksi kausatif. Parameter tersebut adalah parameter morfosintaksis dan parameter semantik. Berdasarkan parameter morfosintaksis, bahasa Simalungun memiliki tiga jenis kausatif yaitu kausatif morfologis, kausatif analitis, dan kausatif leksikal. Berdasarkan parameter semantik, kausatif dalam bahasa Simalungun dapat dibedakan 4 Universitas Sumatera Utara menjadi dua bagian besar yaitu kausatif sejati dan permisif kesejatian kausatif, dan kausatif langsung dan tak langsung durasi terjadinya sebab dan akibat. Penelitian tentang deiksis pernah dilakukan oleh Purwo 1984. Penelitian itu mengemukakan bahwa deiksis dibagi atas tiga, yaitu deiksis persona, ruang, dan waktu. Deiksis persona dibaginya atas tiga bagian, yaitu kata ganti persona pertama tunggal seperti aku, saya; pertama jamak seperti kami, kita; kata ganti persona kedua tunggal seperti kau, engkau, kedua jamak seperti kalian; kata ganti persona ketiga tunggal seperti dia; ketiga jamak seperti mereka. Khusus tentang deiksis persona pernah diteliti oleh Sitepu 1999 dengan judul Deiksis Persona pada Cerpen Bromocorah. Dia hanya meneliti deiksis persona pada cerpen, oleh sebab itu deiksis yang dikaji hanya terbatas apa yang terdapat pada cerpen tersebut. Jadi, tidak semua deiksis dibahasnya. Deiksis persona yang dibahasnya hanya terbatas pada persona yang sering muncul seperti kata dia persona ketiga tunggal, dan mereka persona ketiga jamak. Penelitian tentang deiksis pernah juga dilakukan oleh Kristiana 2000 dengan judul Deiksis dalam Bahasa Batak Toba. Dia menyimpulkan bahasa Batak Toba mengenal deiksis persona, deiksis ruang dan deiksis waktu. Dalam membicarakan deiksis persona, dia membagi deiksis persona atas tiga bagian, yaitu kata ganti persona pertama tunggal seperti ahu, iba; pertama jamak seperti hami, hita; kata ganti persona kedua tunggal seperti ho, kedua jamak seperti hamu; kata ganti persona ketiga tunggal seperti ibana, ketiga jamak seperti nasida. Penelitian tentang deiksis persona juga dilakukan oleh Marli 2004 dengan judul Deiksis Persona dalam Bahasa Jawa. Penelitian ini membahas masalah deiksis 5 Universitas Sumatera Utara persona dalam bahasa Jawa dengan menggunakan teori pragmatik. Marli menyimpulkan bahwa pemakaian deiksis persona dalam bhasa Jawa disesuaikan dengan tingkatan tutur undak usuk yang dalam bahasa Jawa dibagi atas tiga, yaitu ngoko kasar, madya sedang, dan krama halus. Kata ganti persona dalam bahasa Jawa terbagi atas tiga bagian yaitu kata ganti persona pertama tunggal seperti aku, awakedhewe untuk tingkat tutur ngoko, kulo untuk tingkat tutur madya, kulo, dalem untuk tingkat tutur krama; pertama jamak seperti awakekabeh untuk tingkat tutur ngoko, kulosedoyo untuk tingkat tutur madya, dalem untuk tingkat tutur krama; kata ganti persona kedua tunggal seperti kowe, siro untuk tingkat tutur ngoko, sampeyan untuk tingkat tutur madya, panjenengan untuk tingkat tutur krama; kedua jamak seperti kowekabeh untuk tingkat tutur ngoko, sampeyansedoyo untuk tingkat tutur madya, panjenengansedoyo, panjenengansami untuk tingkat tutur krama; kata ganti persona ketiga tunggal seperti deweke, de’e,e untuk tingkat tutur ngoko, piyambake untuk tingkat tutur madya, piyanbakipun untuk tingkat tutur krama; ketiga jamak seperti wongiku untuk tingkat tutur ngoko, tiyangmeniko untuk tingkat tutur madya, piyantun meniko, piyambakipunsedoyo untuk tingkat tutur krama. Bentuk di- dalam bahasa Jawa dapat diikuti persona ketiga yang tidak pronominal. Bentuk di- tidak dapat diikuti persona pertama dan kedua. Leksem persona tunggal dalam bahasa Jawa dapat dirangkaikan dengan kata ganti demonstratif ini, itu sedangkan bentuk jamaknya tidak. Bentuk terikat persona dalam bahasa Jawa tidak dapat dirangkaikan dengan kata ini, itu. Dan kata ganti persona dalam bahasa Jawa tidak dapat direduplikasikan. 6 Universitas Sumatera Utara Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, bergantung pada siapa pembicaranya, dan bergantung pada saat dan tempat dituturkan kata itu. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiksis. Kata-kata seperti ini tidak memiliki referen yang tetap. Berbeda halnya dengan kata-kata seperti kursi, rumah, kertas, di tempat mana pun, pada waktu kapan pun, referen yang diacu tetaplah sama. Akan tetapi, referen dari kata saya, sini, sekarang barulah dapat diketahui jika diketahui siapa, di mana, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Leksem-leksem yang menjadi bahan pembicaraan dalam deiksis persona adalah bentuk-bentuk nomina dan pronomina persona. Seperti halnya bahasa Indonesia, bahasa Simalungun juga mengenal kata ganti persona. Fenomena yang menarik dalam bahasa Simalungun antara lain adalah adanya bentuk yang berbeda dalam mengungkapkan makna yang sama. Kedua bentuk itu digunakan berdasarkan usia pembicara, seperti dijelaskan berikut ini. Contoh: 2 a. Bapa : “Laho huja nasiam” “Mau ke mana kalian” “Mau ke mana kalian?” b. Tulang : “Laho hu juma” “Mau ke ladang” “Mau ke ladang” 3 a. Lindung : “Laho huja hanima?” “Mau ke mana kalian?” 7 Universitas Sumatera Utara “Mau ke mana kalian?’ b. Robert : “Hanami laho hu juma” “Kami mau ke ladang” “Kami mau ke ladang” Dalam contoh 2 di atas, bapa bapak sebagai orang pertama tunggal menyapa Tulang paman dengan beberapa temannya yang memiliki usia sebaya dengan bapak. Jadi, untuk menjaga kesopanan dalam berbahasa, bapak harus menggunakan kata ganti persona nasiam, sedangkan dalam contoh 3 Lindung menyapa Robert dan teman-temannnya yang memiliki usia lebih muda daripada Lindung. Jadi, Lindung dapat menyapa Robert dengan menggunakan kata ganti persona hanima. Di dalam bahasa Simalungun, kata ganti persona hanima dan nasiam memiliki makna yang sama, yaitu kalian, tetapi pemakaian kata ganti tersebut dapat menunjukkan perbedaan usia antara penutur dan lawan tutur. Kata ganti persona nasiam dipakai untuk menyapa orang kedua jamak yang memiliki usia lebih tua, atau penutur dan lawan tutur memiliki usia yang sama yang sudah orang tua, sedangkan hanima, dipakai untuk menyapa orang kedua jamak yang usianya lebih muda daripada penutur, atau penutur masih seumur sebaya dengan lawan tutur masih anak-anak atau pemuda. Bila dibandingkan dengan bahasa Indonesia yang mengenal satu kata ganti orang kedua jamak yaitu kalian, bahasa Simalungun mengenal dua kata ganti orang kedua jamak, yaitu nasiam dan hanima. Berdasarkan contoh di atas itulah peneliti merasa tertarik untuk meneliti deiksis persona dalam bahasa Simalungun. 8 Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, akan penulis utarakan fenomena-fenomena lain yang mendukung bahwa deiksis persona ini layak untuk diteliti.

1.1.2 Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dapatlah dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apa sajakah bentuk deiksis persona dalam bahasa Simalungun? 2. Bagaimanakah perilaku deiksis persona dalam bahasa Simalungun?

1.2 Batasan Masalah