Deiksis Persona Dalam Bahasa Simalungun

(1)

DEIKSIS PERSONA DALAM BAHASA SIMALUNGUN

Skripsi

Oleh

MARTI S. NABABAN

030701015

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi saya ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memproleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.


(3)

DEIKSIS PERSONA DALAM BAHASA SIMALUNGUN

OLEH

Marti S. Nababan ABSTRAK

Skripsi ini ditulis untuk mengetahui bagaimana bentuk dan perilaku deiksis persona dalam bahasa Simalungun. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pragmatik.

Dalam pengumpulan data metode yang digunakan adalah metode simak dan metode cakap dengan teknik pancing dan teknik catat. Dalam pengkajian data digunakan metode padan yang referensial dan metode agih dengan teknik ganti.

Leksem-leksem yang menjadi bahan pembicaraan dalam deiksis persona adalah bentuk-bentuk nominal dan pronominal persona. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kata ganti persona bahasa Simalungun terdiri atas tiga bagian, yaitu kata ganti persona pertama, kata ganti persona kedua, dan kata ganti persona ketiga. Adapun perilaku deiksis persona dalam bahasa Simalungun adalah:

a. Bentuk i- dalam bahasa Simalungun dapat diikuti persona ketiga yang tidak pronominal. Bentuk i- tidak dapat diikuti persona pertama dan kedua.

b. Leksem persona tunggal dalam bahasa Simalungun dapat dirangkaikan dengan kata demonstratif ini dan itu, sedangkan bentuk jamaknya tidak. c. Bentuk terikat persona dalam bahasa Simalungun dapat dirangkaikan

dengan kata ini dan itu.

d. Kata ganti persona dalam bahasa Simalungun tidak dapat direduplikasikan.


(4)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Deikisis Persona dalam Bahasa Simalungun, yang membahas tentang deiksis persona (kata ganti orang) dalam bahasa Simalungun.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum. sebagai Pembimbing I dan Bapak Drs. Asrul Siregar, M.Hum. sebagai Pembimbing II yang telah banyak membantu, memberikan arahan, dorongan dan masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dengan senang hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca pada umumnya.

Medan, Desember 2008

Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

PRAKATA... i

DAFTAR ISI... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah... 1

1.1.1 Latar Belakang ... 1

1.1.2 Masalah ... 9

1.2 Batasan Masalah ... 10

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.3.1 Tujuan Penelitian... 10

1.3.2 Manfaat Penelitian ... ... 10

1.4 Metode dan Teknik Penelitian ... 11

1.4.1 Meode dan Teknik Pengumpulan Data... 11

1.4.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data ... 12

1.5 Landasan Teori... 13

1.5.1 Deiksis Persona ... 13

1.5.2 Bentuk-bentuk Deiksis Persona ... 17

1.5.3 Perilaku Deiksis Persona... 19

BAB II DEIKSIS PERSONA DALAM BAHASA SIMALUNGUN ... 21

2.1 Bentuk-Bentuk Deiksis Persona... 21

2.1.1 Kata Ganti Persona Pertama ... 22


(6)

2.1.1.2 Kata Ganti Persona Pertama Jamak ... 25

2.1.2 Kata Ganti Persona Kedua ... 28

2.1.2.1 Kata Ganti Persona Kedua Tunggal... 28

2..1.2.2 Kata Ganti Persona Kedua Jamak... 31

2.1.3 Kata Ganti Persona Ketiga... 37

2.1.3.1 Kata Ganti Persona Ketiga Tunggal ... 37

2.1.3.2 Kata Ganti prsona Ketiga Jamak ... 39

2.1.4 Perilaku Deiksis Persona dalam Bahasa Simalungun... 42

BAB III SIMPULAN DAN SARAN 3.1 Simpulan ... 45

3.2 Saran ... 46 LAMPIRAN


(7)

DEIKSIS PERSONA DALAM BAHASA SIMALUNGUN

OLEH

Marti S. Nababan ABSTRAK

Skripsi ini ditulis untuk mengetahui bagaimana bentuk dan perilaku deiksis persona dalam bahasa Simalungun. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pragmatik.

Dalam pengumpulan data metode yang digunakan adalah metode simak dan metode cakap dengan teknik pancing dan teknik catat. Dalam pengkajian data digunakan metode padan yang referensial dan metode agih dengan teknik ganti.

Leksem-leksem yang menjadi bahan pembicaraan dalam deiksis persona adalah bentuk-bentuk nominal dan pronominal persona. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kata ganti persona bahasa Simalungun terdiri atas tiga bagian, yaitu kata ganti persona pertama, kata ganti persona kedua, dan kata ganti persona ketiga. Adapun perilaku deiksis persona dalam bahasa Simalungun adalah:

a. Bentuk i- dalam bahasa Simalungun dapat diikuti persona ketiga yang tidak pronominal. Bentuk i- tidak dapat diikuti persona pertama dan kedua.

b. Leksem persona tunggal dalam bahasa Simalungun dapat dirangkaikan dengan kata demonstratif ini dan itu, sedangkan bentuk jamaknya tidak. c. Bentuk terikat persona dalam bahasa Simalungun dapat dirangkaikan

dengan kata ini dan itu.

d. Kata ganti persona dalam bahasa Simalungun tidak dapat direduplikasikan.


(8)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah

1.1.1 Latar Belakang

Yule dalam bukunya (1996: 3) yang berjudul Pragmatik, mengatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar atau pembaca. Yule juga menjelaskan bahwa tipe studi ini melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang dikatakan dan diperlukan suatu pertimbangan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan yang disesuaikan dengan orang yang mereka ajak bicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa.

Levinson (dalam Asrul 1996: 23) mengatakan Pragmatics is the study of

deictic (at least in part), implicature, persupposition, speech act, and aspect of

discourse structure ‘pragmatik adalah penelitian di bidang deiksis, implikatur,

praanggapan, pertuturan (tindak ujaran), dan struktur wacana’.

Deiksis sebagai salah satu bidang kajian pragmatik menjadi topik dalam penelitian ini, tetapi yang dibahas hanya terbatas pada deiksis persona (deiksis waktu dan tempat tidak dibahas).

Di dalam bukunya, Moeliono (2003:42) mengemukakan pengertian deiksis, yaitu:

Deiksis adalah gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. Kata atau konstruksi seperti itu bersifat deiksis.


(9)

Contoh :

(1) a. Kita harus berangkat sekarang. b. Harga barang naik semua sekarang.

c. Sekarang pemalsuan barang terjadi di mana-mana.

Pada kalimat (1a) sekarang merujuk ke jam atau bahkan ke menit. Pada kalimat (1b) cakupan waktunya lebih luas, mungkin sejak minggu lalu sampai hari ini. Pada kalimat (1c) cakupannya lebih luas lagi, mungkin berbulan-bulan dan tidak mustahil bertahun-tahun. Kata

sekarang beroperasi dengan kata deiktis penunjuk waktu lain, seperti besok atau nanti; acuan kata sekarang selalu merujuk pada saat

peristiwa pembicaraan.

Contoh berikut, seperti yang dikutip dari Chaer (2004: 57) akan menjelaskan pengertian deiksis:

A dan B sedang bercakap-cakap, bagian akhir dari percakapan itu berupa:

A : Saya belum bayarSPP, belum punya uang. B : Sama, saya juga.

Jelas, kata saya pada percakapan itu pertama mengacu pada A, lalu mengacu pada B. Maka kata saya itu disebut bersifat deiksis.

Bahasa Simalungun sebagai bahasa daerah sekaligus sebagai bahasa ibu bagi penutur etnis Simalungun, merupakan bahasa yang paling dominan digunakan masyarakat yang tinggal di Kabupaten Simalungun. Selain bahasa Simalungun, bahasa Indonesia, bahasa Karo, bahasa Jawa, dan bahasa Toba juga digunakan di tempat ini. Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Simalungun tidak hanya berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah dan alat komunikasi di dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga berfungsi sebagai pendukung bahasa nasional, sebagai pengantar bahasa di sekolah, di pedesaan, pada tingkat permulaan serta sebagai alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah.


(10)

Beranalogi kepada keterangan di atas, perlu dipikirkan usaha pembinaan bahasa Simalungun yang didahului oleh suatu perencanaan sehingga pembinaan dan pengembangan bahasa Simalungun merupakan suatu keharusan di samping pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia, seperti yang tercantum dalam UUD 1945, Bab XV: Pasal 36 yang berbunyi:”Bahasa negara ialah bahasa Indonesia” dengan penjelasan bahwa di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Madura, Sunda, dan sebagainya), bahasa-bahasa itu akan dipelihara oleh negara, karena bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.

Bahasa Simalungun merupakan salah satu bahasa etnis Batak di Provinsi Sumatera Utara. Seperti halnya bahasa daerah lain, bahasa Simalingun terus hidup dan berkembang hingga saat ini. Etnik Batak Simalungun yang menggunakan bahasa Simalungun berada di Kabupaten Simalungun dan sebagian wilayah Deli Serdang. Kabupaten Simalungun yang merupakan pusat populasi penutur bahasa Simalungun berbatasan dengan empat kabupaten tetangga, yaitu Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Karo, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Asahan. Luas wilayah Kabupaten Simalungun 4.386,6 Km2 atau 6,12 % dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara dan terdiri dari 34 kecamatan, 17 kelurahan, dan 334 desa/nagori. Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2003, jumlah penduduknya 808.288 jiwa dan populasi terbesar berada di Kecamatan Raya Siantar (59.064 jiwa) dan populasi terkecil di Kecamatan Haranggaol Horison (5.534 jiwa).

Penelitian tentang bahasa Simalungun sudah banyak dilakukan orang, baik oleh sarjana maupun ahli bahasa, namun dari penelitian tersebut belum ada yang


(11)

mempermasalahkan bagaimana deiksis persona dalam bahasa Simalungun. Jadi, peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana bentuk dan perilakunya. Penelitian dengan judul Verba Tindak Tutur dalam Bahasa Simalungun pernah dilakukan oleh Nainggolan (2006). Penelitian ini membahas masalah makna verba tindak tutur bahasa Simalungun sekaligus klasifikasi dan penggunaan verba tindak tutur dengan menggunakan teori NSM (Natural Semantic Metalangue). Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Semantics Primes and Universals oleh Anna Wierzbicka. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa verba tindak tutur dalam bahasa Simalungun dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe polisemi yang berasal dari elemen makna asali yaitu tipe mengatakan/terjadi, tipe mengatakan/melakukan, tipe mengatakan/mengetahui, tipe mengatakan /merasakan, tipe mengatakan/mengatakan. Berdasarkan tipe polisemi tersebut dijelaskan penggunaan verba tindak tutur sesuai dengan konteks budayanya sehingga terungkap persamaan dan perbedaan makna di antara kelompok verba tindak tutur tersebut.

Penelitian dengan judul Konstruksi Kausatif Bahasa Simalungun pernah juga dilakukan oleh Sipayung (2007). Penelitian ini membahas konstruksi kausatif dalam bahasa Simalungun. Teori yang digunakan adalah teori yang dikemukakan Comrie, yang mengemukakan dua parameter dalam meneliti konstruksi kausatif. Parameter tersebut adalah parameter morfosintaksis dan parameter semantik. Berdasarkan parameter morfosintaksis, bahasa Simalungun memiliki tiga jenis kausatif yaitu kausatif morfologis, kausatif analitis, dan kausatif leksikal. Berdasarkan parameter semantik, kausatif dalam bahasa Simalungun dapat dibedakan


(12)

menjadi dua bagian besar yaitu kausatif sejati dan permisif (kesejatian kausatif), dan kausatif langsung dan tak langsung (durasi terjadinya sebab dan akibat).

Penelitian tentang deiksis pernah dilakukan oleh Purwo (1984). Penelitian itu mengemukakan bahwa deiksis dibagi atas tiga, yaitu deiksis persona, ruang, dan waktu. Deiksis persona dibaginya atas tiga bagian, yaitu kata ganti persona pertama tunggal seperti aku, saya; pertama jamak seperti kami, kita; kata ganti persona kedua tunggal seperti kau, engkau, kedua jamak seperti kalian; kata ganti persona ketiga tunggal seperti dia; ketiga jamak seperti mereka.

Khusus tentang deiksis persona pernah diteliti oleh Sitepu (1999) dengan judul Deiksis Persona pada Cerpen Bromocorah. Dia hanya meneliti deiksis persona pada cerpen, oleh sebab itu deiksis yang dikaji hanya terbatas apa yang terdapat pada cerpen tersebut. Jadi, tidak semua deiksis dibahasnya. Deiksis persona yang dibahasnya hanya terbatas pada persona yang sering muncul seperti kata dia (persona ketiga tunggal), dan mereka (persona ketiga jamak).

Penelitian tentang deiksis pernah juga dilakukan oleh Kristiana (2000) dengan judul Deiksis dalam Bahasa Batak Toba. Dia menyimpulkan bahasa Batak Toba mengenal deiksis persona, deiksis ruang dan deiksis waktu. Dalam membicarakan deiksis persona, dia membagi deiksis persona atas tiga bagian, yaitu kata ganti persona pertama tunggal seperti ahu, iba; pertama jamak seperti hami, hita; kata ganti persona kedua tunggal seperti ho, kedua jamak seperti hamu; kata ganti persona ketiga tunggal seperti ibana, ketiga jamak seperti nasida.

Penelitian tentang deiksis persona juga dilakukan oleh Marli (2004) dengan judul Deiksis Persona dalam Bahasa Jawa. Penelitian ini membahas masalah deiksis


(13)

persona dalam bahasa Jawa dengan menggunakan teori pragmatik. Marli menyimpulkan bahwa pemakaian deiksis persona dalam bhasa Jawa disesuaikan dengan tingkatan tutur (undak usuk) yang dalam bahasa Jawa dibagi atas tiga, yaitu

ngoko (kasar), madya (sedang), dan krama (halus). Kata ganti persona dalam bahasa

Jawa terbagi atas tiga bagian yaitu kata ganti persona pertama tunggal seperti aku,

awakedhewe (untuk tingkat tutur ngoko), kulo (untuk tingkat tutur madya), kulo,

dalem (untuk tingkat tutur krama); pertama jamak seperti awakekabeh (untuk tingkat

tutur ngoko), kulosedoyo (untuk tingkat tutur madya), dalem (untuk tingkat tutur

krama); kata ganti persona kedua tunggal seperti kowe, siro (untuk tingkat tutur

ngoko), sampeyan (untuk tingkat tutur madya), panjenengan (untuk tingkat tutur

krama); kedua jamak seperti kowekabeh (untuk tingkat tutur ngoko), sampeyansedoyo

(untuk tingkat tutur madya), panjenengansedoyo, panjenengansami (untuk tingkat tutur krama); kata ganti persona ketiga tunggal seperti deweke, de’e,e (untuk tingkat tutur ngoko), piyambake (untuk tingkat tutur madya), piyanbakipun (untuk tingkat tutur krama); ketiga jamak seperti wongiku (untuk tingkat tutur ngoko), tiyangmeniko (untuk tingkat tutur madya), piyantun meniko, piyambakipunsedoyo (untuk tingkat tutur krama). Bentuk di- dalam bahasa Jawa dapat diikuti persona ketiga yang tidak pronominal. Bentuk di- tidak dapat diikuti persona pertama dan kedua. Leksem persona tunggal dalam bahasa Jawa dapat dirangkaikan dengan kata ganti demonstratif ini, itu sedangkan bentuk jamaknya tidak. Bentuk terikat persona dalam bahasa Jawa tidak dapat dirangkaikan dengan kata ini, itu. Dan kata ganti persona dalam bahasa Jawa tidak dapat direduplikasikan.


(14)

Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, bergantung pada siapa pembicaranya, dan bergantung pada saat dan tempat dituturkan kata itu. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiksis. Kata-kata seperti ini tidak memiliki referen yang tetap. Berbeda halnya dengan kata-kata seperti kursi, rumah, kertas, di tempat mana pun, pada waktu kapan pun, referen yang diacu tetaplah sama. Akan tetapi, referen dari kata saya, sini,

sekarang barulah dapat diketahui jika diketahui siapa, di mana, dan pada waktu kapan

kata-kata itu diucapkan.

Leksem-leksem yang menjadi bahan pembicaraan dalam deiksis persona adalah bentuk-bentuk nomina dan pronomina persona. Seperti halnya bahasa Indonesia, bahasa Simalungun juga mengenal kata ganti persona. Fenomena yang menarik dalam bahasa Simalungun antara lain adalah adanya bentuk yang berbeda dalam mengungkapkan makna yang sama. Kedua bentuk itu digunakan berdasarkan usia pembicara, seperti dijelaskan berikut ini.

Contoh:

(2) a. Bapa : “Laho huja nasiam” “Mau ke mana kalian” “Mau ke mana kalian?” b. Tulang : “Laho hu juma”

“Mau ke ladang” “Mau ke ladang” (3) a. Lindung : “Laho huja hanima?”


(15)

“Mau ke mana kalian?’ b. Robert : “Hanami laho hu juma”

“Kami mau ke ladang” “Kami mau ke ladang”

Dalam contoh (2) di atas, bapa (bapak) sebagai orang pertama tunggal menyapa Tulang (paman) dengan beberapa temannya yang memiliki usia sebaya dengan bapak. Jadi, untuk menjaga kesopanan dalam berbahasa, bapak harus menggunakan kata ganti persona nasiam, sedangkan dalam contoh (3) Lindung menyapa Robert dan teman-temannnya yang memiliki usia lebih muda daripada Lindung. Jadi, Lindung dapat menyapa Robert dengan menggunakan kata ganti persona hanima.

Di dalam bahasa Simalungun, kata ganti persona hanima dan nasiam memiliki makna yang sama, yaitu kalian, tetapi pemakaian kata ganti tersebut dapat menunjukkan perbedaan usia antara penutur dan lawan tutur. Kata ganti persona

nasiam dipakai untuk menyapa orang kedua jamak yang memiliki usia lebih tua, atau

penutur dan lawan tutur memiliki usia yang sama (yang sudah orang tua), sedangkan

hanima, dipakai untuk menyapa orang kedua jamak yang usianya lebih muda

daripada penutur, atau penutur masih seumur (sebaya) dengan lawan tutur (masih anak-anak atau pemuda).

Bila dibandingkan dengan bahasa Indonesia yang mengenal satu kata ganti orang kedua jamak yaitu kalian, bahasa Simalungun mengenal dua kata ganti orang kedua jamak, yaitu nasiam dan hanima. Berdasarkan contoh di atas itulah peneliti merasa tertarik untuk meneliti deiksis persona dalam bahasa Simalungun.


(16)

Selanjutnya, akan penulis utarakan fenomena-fenomena lain yang mendukung bahwa deiksis persona ini layak untuk diteliti.

1.1.2 Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, dapatlah dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apa sajakah bentuk deiksis persona dalam bahasa Simalungun? 2. Bagaimanakah perilaku deiksis persona dalam bahasa Simalungun?

1.2 Batasan Masalah

Sehubungan dengan masalah di atas, penelitian ini dibatasi pada deiksis persona bahasa Simalungun dalam bentuk persona pertama, kedua, dan ketiga baik bentuk tunggal maupun yang jamak dalam situasi formal atau informal dalam kehidupan sehari-hari.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Pada hakikatnya sebuah penelitian mempunyai tujuan tertentu yang memberi arah pelaksanaan penelitian tersebut. Hal ini dianggap penting agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai.

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan bentuk deiksis persona dalam bahasa Simalungun. 2. Menjelaskan perilaku deisis persona dalam bahasa Simalungun.


(17)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Menambah pengetahuan masyarakat bahasa tentang bentuk, dan perilaku deiksis persona dalam bahasa Simalungun.

2. Menjadi salah satu rujukan terhadap penelitian sejenis untuk bahasa daerah lainnya.

3. Menjadi bahan inventarisasi dalam usaha pelestarian bahasa Simalungun.

1.4 Metode dan Teknik Penelitian

1.4.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian ini adalah data tulis dan lisan. Data tulis diperoleh dari buku yang menjadi sumber data, terutama yang berhubungan dengan deiksis persona. Untuk memperoleh data tulis digunakan metode simak (Sudaryanto, 1993: 133-136) yaitu dengan menyimak penggunaan bahasa. Data tulis yang akan diteliti diperoleh dari tulisan yang menggunakan bahasa Simalungun. Data tulis yang digunakan adalah data dari buletin Ambilan Pakon Barita edisi 366/Oktober/2004. Buletin ini merupakan buletin yang menggunakan bahasa Simalungun dalam penyajiannya.

Data lisan diperoleh dari informan yang menggunakan bahasa Simalungun. Data lisan ini berupa percakapan lisan dalam bahasa Simalungun yang menggunakan deiksis persona. Pengumpulan data lisan ini akan dilakukan di Desa Sondi Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Pengumpulan data lisan dilakukan dengan metode cakap (Sudaryanto, 1993: 137-138), yaitu percakapan antara peneliti dengan penutur sebagai narasumber. Teknik dasar yang


(18)

digunakan adalah teknik pancing, yaitu peneliti berusaha memancing narasumber untuk berbicara. Selanjutnya, digunakan teknik cakap semuka, yaitu percakapan langsung dengan tatap muka antara peneliti dengan informan. Teknik ini dilanjutkan dengan teknik rekam bila dan teknik catat, yaitu dengan merekam dan mencatat data lisan yang diperoleh dari informan.

Dalam pemilihan informan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Persyaratan-persyaratan yang dimaksud adalah:

1. Berjenis kelamin pria atau wanita. 2. Berusia antara 20-65 tahun.

3. Berpendidikan minimal tamat sekolah dasar.

4. Memiliki kebanggaan terhadap bahasa Simalungun. 5. Dapat berbahasa Indonesia.

6. Sehat jasmani dan rohani (Mahsun, 1995:150).

Persyaratan di atas dimaksudkan agar data lisan yang diperoleh dari informan akurat dan terandalkan.

1.4.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data

Metode pengkajian data dalam penelitian ini adalah metode padan dan metode agih (Sudaryanto, 1993:13-15). Metode padan digunakan untuk menyeleksi serangkaian bentuk deiksis persona dalam bahasa Simalungun dengan menggunakan teknik dasar teknik pilah unsur penentu dengan daya pilah pembeda referen, yaitu melihat referen yang ditunjuk oleh data. Metode agih diterapkan dengan


(19)

menggunakan teknik ganti. Dalam hal ini data akan digantikan dengan unsur yang menjadi pokok perhatian dan mengganti unsur itu dengan data yang lain.

Contoh :

(4) a.“Maningon marhorja ahu sonari,” nini bapa “Harus bekerja aku sekarang,” kata bapak Bapak berkata,“Aku harus bekerja sekarang.”

b.“Maningon marhorja ahu sonari,” nini tulang “Harus bekerja aku sekarang,” kata tulang Paman berkata, “aku harus kerja sekarang”

c.“Maningon marhorja ahu sonari,” nini mamak “Harus bekerja aku sekarang,” kata ibu Ibu berkata ,“Aku harus bekerja sekarang.”

Pada kalimat (4a), kata aku referennya mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu bapak, kalimat (4b) kata aku referennya berganti mengacu pada paman, dan pada kalimat (4c) kata aku referennya berganti mengacu pada ibu. Jadi, jelas kalau kata aku pada kalimat di atas referennya selalu berganti-ganti bergantung pada siapa yang menjadi pembicara.

1.5 Landasan Teori 1.5.1 Deiksis Persona

Pengertian tentang deiksis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pengertian yang dikemukakan oleh Purwo (1984: 1-2) :


(20)

“Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi si pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu, seperti kata saya, sini, sekarang. Istilah deiksis dipinjam dari istilah Yunani Kuno, yaitu deiktikos yang bermakna ‘hal penunjukan secara langsung’. Dalam logika istilah Inggris deictic dipergunakan sebagai istilah untuk pembuktian tidak langsung”.

Hal yang senada dengan Purwo dikemukakan juga oleh Chaer dan Leoni dan Siregar. Menurut Chaer dan Leoni (2004: 57) deiksis adalah hubungan antara kata yang digunakan dalam tindak tutur dengan referen kata itu yang tidak tetap atau berubah dan berpindah. Kata-kata yang referennya bisa menjadi tidak tetap ini disebut kata-kata deiksis. Kata-kata yang referennya deiksis ini antara lain, kata-kata berkenaan dengan persona (seperti aku, saya, kamu), tempat (seperti di sini, di sana,

di situ), waktu (seperti tadi, besok, nanti, kemarin).

Menurut Siregar (1996: 24) deiksis lazim juga diartikan sebagai salah satu segi makna dari kata atau kalimat yang memiliki referen tidak tetap (seperti saya,

sini, sekarang), makna kata atau kalimat itu mempunyai makna deiksis. Berbeda

halnya dengan kata-kata seperti: buku, gedung, dan pisau, di mana pun dan oleh siapa pun kata-kata itu diucapkan, referen yang diacu tetaplah sama. Akan tetapi, referen dari kata saya, sini, sekarang baru dapat diketahui jika diketahui pula tempat, oleh siapa, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan.

Dari pendapat para ahli di atas, dapat diambil simpulan bahwa deiksis adalah kata yang digunakan dalam tindak tutur, yang referennya berpindah-pindah atau berganti-ganti, bergantung pada siapa yang menjadi pembicara, dan bergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu.


(21)

Contoh berikut seperti yang dikatakan oleh Purwo dalam Asrul (1996: 24-25) akan memperjelas apa yang dimaksud dengan deiksis :

“Andaikan Anda seorang wanita muda yang berjalan seorang diri, lalu mendengar bunyi siulan, dan Anda merasa seolah-olah ingin menyatakan reaksi Anda kepada si penyiul bahwa Anda merasa sebal atau marah terhadap apa yang dilakukan si penyiul itu. Apa yang hendak Anda lakukan? Situasi seperti ini sebenarnya ada dua ketidakpastian. Pertama, Anda tidak tahu siapa yang menyuarakan siulan itu. Kedua, Anda barangkali bukanlah orang yang dituju oleh orang yang membuat siulan itu. Jika Anda memalingkan wajah Anda dan mencemberuti si penyiul itu, berarti Anda mengakui bahwa siulan itu memang dialamatkan kepada Anda. Perbuatan yang Anda lakukan itu, dapat dianggap sebagai perbuatan “ge-er”, terlalu cepat merasa “dibegitukan”. Arti semantis dari siulan itu sendiri jelas. Yang tidak jelas identitas si pengirim berita dan si penerima berita; dengan kata lain aspek deiksis personanya tidak jelas. Contoh berikut, aspek deiksis personanya jelas tetapi aspek deiksis waktunya tidak jelas. Anda ingin bertemu dengan seseorang di tempat ia bekerja. Ketika sampai di kantornya, Anda melihat sepotong kertas tertempel pada pintunya yang bertuliskan “kembali dua jam lagi”. Beritanya jelas, identitas si pengirim berita juga jelas, dan yang dituju pun juga jelas. Yang kurang pada informasi itu adalah waktu pada saat berita itu ditulis. Dengan kata lain, aspek deiksis waktunya tidak jelas. Contoh berikut lebih parah lagi, bila dipandang dari sudut deiksis. Anda menemukan sebuah botol kosong (yang tertutup rapat) terapung-apung di tengah laut. Botol itu Anda ambil, dan di dalamnya ada sepotong kertas bertuliskan “Temui saya di sini pada jam dua belas siang besok dengan membawa tongkat sepanjang ini”. Konteks yang kurang pada kalimat itu bersangkutan dengan deiksis persona, deiksis tempat, dan deiksis waktu.

Purwo (1984: 22) mengatakan bahwa deiksis persona adalah referen yang ditujukan oleh kata ganti persona yang berganti-ganti tergantung dari peranan yang dibawakan oleh peserta tindak ujaran. Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut persona pertama. Apabila dia tidak berbicara lagi, dan kemudian menjadi pendengar, maka ia disebut persona kedua. Orang yang tidak hadir dalam pembicaraan tetapi menjadi bahan pembicaraan disebut persona ketiga.


(22)

Levinson (dalam Antilan, 2002: 33) mengatakan bahwa deiksis persona adalah penyandian peran partisipan di dalam peristiwa berbahasa. Pengertian yang sama dengan Levinson dibuat oleh Nababan. Nababan (1984: 41) mengemukakan bahwa di dalam kategori deiksis persona yang menjadi kriterianya adalah peran peserta di dalam peristiwa berbahasa.

Dalam kaitannya dengan kompetensi pragmatik, bagaimana menggunakan deiksis persona itu secara tepat perlu diperhatikan. Dengan ungkapan lain, dalam setiap peristiwa berbahasa pemakai bahasa dituntut dapat menggunakan deiksis persona sesuai kaidah sosial dan santun berbahasa dengan tepat. Sebagai contoh persona pertama aku dan saya masing-masing memiliki perbedaan dalam pemakaian. Kata aku hanya dapat dipakai dalam situasi informal, misalnya di antara dua peserta tindak ujaran yang saling kenal atau akrab hubungannya. Sedangkan kata saya dipergunakan dalam situasi formal, misalnya dalam situasi ceramah, kuliah, atau di antara dua peserta tindak ujaran yang belum saling kenal, tetapi kata saya juga dapat dipakai dalam situasi informal seperti kata aku. Leksem-leksem yang menjadi bahan pembicaraan dalam deiksis persona adalah bentuk-bentuk nomina dan pronomina persona (Purwo 1984: 22).

1.5.2 Bentuk-bentuk Deiksis Persona

Kridalaksana (1994: 76) mengatakan pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain (lihat Ramlan, 1991: 52 & Moeliono, 2003: 249). Nomina perawat dapat diacu dengan pronomina dia atau ia. Bentuk –nya pada


(23)

dikatakan bahwa pronomina menduduki posisi yang umumnya diduduki oleh nomina, seperti subjek, objek, dan-dalam macam kalimat tertentu-juga predikat. Ciri lain yang dimiliki pronomina adalah bahwa acuannya dapat berpindah-pindah karena bergantung kepada siapa yang menjadi pembicara/penulis, siapa yang menjadi pendengar/pembaca, atau siapa/apa yang dibicarakan.

Ramlan (1991) membagi pronomina menjadi tiga macam, yaitu (1) pronomoina persona, (2) pronomina penunjuk, (3) pronomina penanya. Penelitian ini hanya mengkhususkan pada pronomina persona.

Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu pada orang (Kridalaksana, 1994: 77). Kridalaksana membagi pronomina persona atas tiga bagian yaitu:

(1) Pronomina persona pertama

a. Pronomina pertama tunggal: aku, saya, dan daku. b. Pronomina pertama jamak: kami, kita.

(2) Pronomina persona kedua

a. Persona kedua tunggal: engkau, kamu, anda.

b. Persona kedua jamak: kamu sekalian, anda sekalian. (3) Pronomina persona ketiga

a. Persona ketiga tunggal: ia, dia, beliau.


(24)

Berikut ini adalah kata ganti persona yang disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 1 Kata Ganti Persona

Persona Tunggal Jamak

Pertama saya, aku, daku, ku-, -ku Kami, kita

Kedua engkau, kamu, anda, dikau, kau, -mu Kalian, kalian semua Ketiga ia, dia, beliau, -nya Mereka, mereka semua

Purwo (1984) dan Chaer (1994) membagi pronomina persona atas tiga bagian, yaitu (1) kata ganti orang pertama misalnya saya, aku (tunggal), kalian, kamu

sekalian (jamak); dan (3) kata ganti orang ketiga ia, dia, -nya, beliau (tunggal),

mereka (jamak)’.

Dengan mengacu dari pendapat ahli di atas, dapatlah dibagi pronomina persona yang dipakai dalam penelitian ini atas tiga bagian, yaitu: kata ganti persona pertama, kata ganti persona kedua, dan kata ganti persona ketiga dalam bentuk tunggal dan jamak.

1.5.3 Perilaku Deiksis Persona

Purwo (1984: 33-36) membagi beberapa perilaku deiksis persona dalam konteks kalimat (sintaksis) bahasa Indonesia, yaitu:

1. Menurut pengamatan Mess, Poerwadarminta, dan Slametmuljana (dalam Purwo 1984) konstruksi di- hanya dapat disusul dengan pelaku persona ketiga saja. Dalam rangkaian dengan bentuk di- itu persona ketiga dapat berupa bentuk pronomina atau tidak.


(25)

Contoh:

(5) Buku itu sudah dibacanya. (6) Buku itu sudah dibaca Ali.

2. Leksem persona dapat dirangkaikan dengan kata demonstratif ini,itu. Contoh:

(7) Saya ini bodoh, tidak tahu apa-apa.

(8) Lelaki macam apa aku ini, sampai tidak bisa menarik kesimpulan sederhana dari masalah yang sesederhana ini.

(9) Kita ini adalah pemuda yang menjadi harapan bangsa!

(10) Dia itu siapa, bermimpi bertemu dengan presiden.

3. Bentuk terikat persona dapat pula dirangkaikan dengan kata ini dan itu. Contoh:

(11) Bukuku ini baru dibeli. (12) Dibeli di mana bajumu ini?

4. Kata ganti persona dapat direduplikasikan. Bentuk reduplikasi ini dipergunakan untuk memberikan warna emosi negatif, seperti kejengkelan, kejemuan, dan depresi. Kalau warna-warna itu tidak ada, maka bentuk reduplikasi tidak gramatikal.

Contoh:

(13) Mengapa aku-aku saja yang diberi tugas seperti ini.

(14) Kami-kami ini yang selalu kena tegor, yang lain tidak pernah.


(26)

BAB II

DEIKSIS PERSONA DALAM BAHASA SIMALUNGUN 2.1 Bentuk-Bentuk Deiksis Persona

Kridalaksana membagi pronomina persona atas tiga bagian yaitu (1) pronomina persona pertama, (2) pronomina persona kedua, dan (3) pronomina persona ketiga, masing-masing dalam bentuk tunggal dan jamak. Bahasa Simalungun menggunakan ahu ‘aku’ untuk kata ganti persona pertama tunggal, hanami ‘kami’,

hita ‘kita’ untuk kata ganti persona pertama jamak, ham ‘kamu’, ho ‘kau’ untuk kata

ganti persona kedua tunggal, hanima ‘kalian’, nasiam ‘kalian’ untuk kata ganti persona kedua jamak, ia ‘dia’ untuk kata ganti persona ketiga tunggal, dan sidea ‘mereka’ untuk kata ganti persona ketiga jamak.

Berikut ini kata ganti persona dalam bahasa Simalungun yang disajikan dalam bentuk tabel.

Tabel 2. Kata Ganti Persona dalam Bahasa Simalungun

Persona Tunggal Jamak

Pertama Ahu hanami, hanami haganupan, hita,hita haganupan

Kedua ham, ho hanima, hanima haganupan, nasiam, nasiam haganupan


(27)

Dari data yang dikumpulkan dapat diketahui bahwa bentuk-bentuk kata ganti persona bahasa Simalungun di atas adalah deiksis. Berikut ini akan diuraikan bentuk-bentuk deiksis persona dalam bahasa Simalungun dan disertai dengan contoh dalam kalimat.

2.1.1 Kata Ganti Persona Pertama

2. 1. 1. 1 Kata Ganti Persona Pertama Tunggal

Di dalam bahasa Simalungun, kata ganti untuk persona pertama tunggal digunakan ahu ‘aku’. Kata ganti ini boleh dipergunakan oleh siapa saja dalam percakapan sehari-hari. Dalam bahasa Simalungun, kata ganti ahu ini dianggap netral, dalam arti berbeda dengan bahasa Indonesia. Kalau dalam bahasa Indonesia, kata ganti ahu ‘aku’ ini dianggap kasar dan mengandung nilai kesombongan. Dalam bahasa Simalungun, semua tingkat usia (muda, tua, sebaya) boleh menggunakan kata ganti ahu ‘aku’ dalam berbicara.

Contoh:

(16) a. Adek marsahap, “Maningon hu rumah ni tulang ahu sonari.” Adek berkata, “harus ke rumah nya paman aku sekarang.” Adik berkata,” Aku harus ke rumah paman sekarang.”

b. Bapa marsahap,“ Maningon hu rumah ni tulang ahu sonari.” Bapak berkata, “ Harus ke rumah nya paman aku sekarang.”

Bapak berkata,” Aku harus ke rumah paman sekarang.”

c. Opung marsahap, “ Maningon hu rumah ni tulang ahu sonari.”

Kakek berkata, “ harus ke rumah nya paman aku sekarang.” Kakek berkata,” Aku harus ke rumah paman sekarang.”

Pada kalimat (16a) kata ahu referennya mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu adek (adik), kalimat(16b) kata ahu referennya berganti mengacu pada


(28)

orang yang sedang berbicara, yaitu bapa (bapak), dan pada kalimat (16c) kaya ahu referennya berganti lagi mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu opung (kakek). Jadi, jelas kalau kata ahu pada kalimat di atas referennya selalu berganti-ganti tergantung pada siapa yang menjadi pembicara. Dari kalimat di atas tampak juga bahwa di dalam bahasa Simalungun kata ahu ‘aku’ dapat dipergunakan oleh semua tingkat usia. Pada kalimat (16a) adek sebagai orang yang sedang berbicara, dapat ditafsirkan masih berusia muda, kalimat (16b) bapa sebagai orang yang sedang berbicara, dapat ditafsirkan sudah berusia tua (dituakan), dan kalimat (16c) opung sebagai orang yang sedang berbicara dapat ditafsirkan sudah berusia tua juga.

Kata ganti persona ahu mempunyai variasi bentuk, yakni hu- dan –hu. Bentuk hu- umummnya diletakkan di depan kata yang dilekatinya. Kata yang dilekati

hu- biasanya verba. Misalnya husapu ‘kusapu’, hututung ‘kubakar’.

Contoh:

(17) a. Pangusoan marsahap, “Hupamatei ulok i juma natuari Pangusoan berkata, “Kumatikan ular di ladang kemarin.” Pangusoan berkata, “Kemarin kubunuh ular di ladang.”

b. Ano marsahap, “Hupamatei ulok i juma natuari.”

Ano berkata, “Kumatikan ular di ladang kemarin.” Ano berkata,” Kemarin kubunuh ular di ladang.” c. Ary marsahap, “Hupamatei ulok i juma natuari.”

Ary berkata, “Kubunuh ular di ladang kemarin.” Ary berkata, “Kemarin kubunuh ular di ladang.”

Pada kalimat (17a) di atas, kata hu- referennya mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu Pangusoan, kalimat (17b) kata hu- referennya berganti mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu Ano, dan pada kalimat (17c) kata


(29)

hu- referennya berganti lagi mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu Ary.

Dengan demikian, kata hu- referennya selalu bergani-ganti bergantung pada siapa yang menjadi pembicara.

Bentuk –hu biasanya menyatakan kepunyaan, dan bentuk ini diletakkan sesudah kata yang dilakatinya. Biasanya kata yang dilekati –hu adalah nomina. Misalnya uhurhu ‘hatiku’, jambulanhu ‘rambutku’. Dalam hal ini bentuk utuh ahu tidak dapat digunakan, misalnya uhur ahu ‘hati aku’, jambulan ahu ‘rambut aku’,

boltok ahu perut aku’.

Contoh:

(18) a. “Marga ni hasomanhu ai Situmorang.” Nini Dola

“ marga nya temanku itu Situmorang.” kata Dola

“ Temanku itu marganya Situmorang.” Kata Dola b. “Marga ni hasomanhu ai Situmorang.” Nini Tison

“Marga nya temanku itu Situmorang.” kata Tison “Temanku itu marganya Situmorang.” Kata Tison c.* “Marga ni hasoman ahu ai Situmorang.” Nini Davin

“Marga nya teman aku itu Situmorang.” kata Davin “Teman aku itu marganya Situmorang.” Kata Davin

Pada kalimat (18a) kata -hu referennya mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu Dola, kalimat (18b) kata –hu referennya berganti mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu Tison. Pada kalimat (18c) bentuk utuh ahu tidak berterima.

2.1.1.2 Kata Ganti Persona Pertama Jamak

Kata ganti persona pertama jamak dalam bahasa Simalungun menggunakan


(30)

apabila si pembicara terlibat dalam pembicaran dengan teman-temannya. Kata ganti

hanami ini boleh dipergunakan semua tingkat usia. Dalam bahasa Simalungun kata

ganti persona pertama jamak dapat ditandai dengan pemarkah jamak haganupan ‘semua’, yaitu hanami haganupan ‘kami semua’, hita haganupan ‘kita semua’. Contoh:

(19) a. “Mardalan nahei do hanami tiap ari tu sikola.” Nini Gordon “Berjalan kaki nya kami tiap hari ke sekolah.” kata Gordon “Setiap hari kami berjalan kaki ke sekolah.” Kata Gordon b. “ Mardalan nahei do hanami tiap ari tu sikola.” Nini bapak guru

“Berjalan kaki nya kami tiap hari ke sekolah.” kata bapak guru “Setiap hari kami berjalan kaki ke sekolah.” Kata bapak guru c. “Mardalan nahei do hanami tiap ari tu sikola.” Nini adek

“Berjalan kaki nya kami tiap hari ke sekolah.” kata adik “Setiap hari kami berjalan kaki ke sekolah.” Kata adik

Pada kalimat (19a) di atas, kata hanami referennya mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu Gordon dan teman-temannya, kalimat (19b) kata hanami referennya berganti mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu bapak guru dan teman-temannya, dan kalimat (19c) kata hanami referennya berganti lagi mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu adik dan teman-temannya. Dengan demikian, kata hanami selalu menunjuk pada referen yang berbeda-beda. Dari kalimat di atas tampak juga bahwa di dalam bahasa Simalungun, kata hanami dapat dipergunakan oleh semua tingkat usia. Pada kalimat (19a) Gordon sebagai orang yang sedang berbicara dapat ditafsirkan masih berusia muda, kalimat (19b) bapak guru sebagai orang yang sedang berbicara dapat ditafsirkan sudah berusia tua (dituakan), dan pada kalimat (19c) adik sebagai orang yang sedang berbicara dapat ditafsirkan masih berusia muda.


(31)

Kata ganti hita ‘kita’ pemakaiannya sama dengan hanami, tetapi dalam hal ini lawan bicara ikut terlibat langsung dalam pembicaraan.

Contoh:

(20) a. “Maningon mulak hita paima roh udan.” Nini kakak

“Harus pulang kita sebelum datang hujan.” kata kakak “Kita harus pulang sebelum hujan turun.” Kata kakak b. “Maningon mulak hita paima roh udan.” Nini adek

“Harus pulang kita sebelum datang hujan.” kata adik

“Kita harus pulang sebem hujan turun.” Kata adik c. “Maningon mulak hita paima roh udan.” Nini inang

“Harus pulang kita sebelum datang hujan.” kata ibu

“Kita harus pulang sebelum hujan turun.” Kata ibu

Pada kalimat (20a) di atas, kata hita referennya mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu kakak dan teman-temannya, kalimat (20b) kata hita referennya berganti mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu adik dan teman-temannya, dan pada kalimat (20c) kata hita referennya berganti lagi mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu inang (ibu) dan teman-temannya. Dengan demikian, kata hita referennya selalu berganti-ganti bergantung pada siapa yang menjadi pembicara. Dari kalimat di atas tampak juga bahwa di dalam bahasa Simalungun kata hita dapat dipergunakan oleh semua tingkat usia. Pada kalimat (20a) kakak sebagai orang yang sedang berbicara dapat ditafsirkan sudah berusia dewasa, kalimat (20b) inang (ibu) sebagai orang yang sedang berbicara dapat ditafsirkan sudah berusia tua.

Contoh:

(21) a. “Hanami haganupan modom i rumah opung.” Nini Eko “Kami semua tidur di rumah kakek.” kata Eko


(32)

b. “Hanami haganupan modom i rumah opung.” Nini abang

“Kami semua tidur di rumah kakek.” kata abang “Kami semua tidur di rumah kakek.” kata Abang

c. “Hanami haganupan modom i rumah opung,” nini Adek

“Kami semua tidur di rumah kakek,” kata Adek “Kami semua tidur di rumah kakek,” kata Adek

Pada kalimat (21 a) kata hanami haganupan referennya mengacu kepada orang yang tersebut dalam kalimat, yaitu Eko dan teman-temannya, kalimat (21b) kata hanami haganupan referennya berganti mengacu kepada orang yang tersebut dalam kalimat yaitu abang, dan kalimat (21c) kata hanami haganupan referennya berganti lagi mengacu kepada adik. Dengan demikian, kata hanami haganupan selalu menunjuk pada referen yang berbeda.

Contoh :

(22) a. “Kue on iboli bani hita haganupan.” nini Ibu “Kue ini dibeli untuk kita semua.” kata ibu

“Kue ini dibeli untuk kita semua.” Kata ibu b. “Kue on iboli bani hita haganupan.” Nini Adik

“Kue ini dibeli untuk kita semua.” kata Adik “Kue ini dibeli untuk kita semua.” Kata Adik c. “Kue on iboli bani hita haganupan.” Nini Tulang

“Kue ini dibeli untuk kita semua.” kata paman “Kue ini dibeli untuk kita semua.” Kata paman

Pada kalimat (22a) kata hita haganupan referennya mengacu pada orang yang sedang berbicara, yaitu Ibu dan teman-temannya, kalimat (22c) kata hita

haganupan referennya berganti mengacu pada adik dan teman-temannya, dan kalimat

(22c) kata hita haganupan referennya berganti lagi mengacu pada Paman dan teman-temannya. Dengan demikian kata hita haganupan referennya selalu berganti-ganti bergantung pada siapa yang menjadi pembicara.


(33)

2.1.2 Kata Ganti Persona Kedua

21.3.1 Kata Ganti Persona Kedua Tunggal

Bahasa Simalungun menggunakan kata ganti ham ‘kamu’ dan ho ‘kau’ untuk kata ganti persona kedua tunggal. Di dalam bahasa Simalungun, kata ganti persona ham dan ho memiliki makna yang sama, yaitu menunjukkan persona kedua tunggal, tetapi pemakaian kata ganti tersebut dapat menunjukkan perbedaan usia si penutur dan lawan tutur. Kata ganti ham dipakai apabila lawan tutur lebih tua daripada si penutur, sedangkan kata ganti ho dipakai apabila penutur dan lawan tutur masih sebaya, atau penutur lebih tua daripada lawan tutur.

Contoh:

(23) a. “Jam piga do ham roh hu jabu nokkan?” sungkun adek bani abang.

“pukul berapa nya kamu datang ke rumah tadi?” tanya adik kepada abang.

“Tadi kamu datang pukul berapa ke rumah?” tanya adik kepada abang b. “Jam piga do ham roh hu jabu nokkan?” sungkun adek bani tulang.

“pukul berapa nya kamu datang ke rumah tadi?” tanya adik kepada

paman.

“Tadi kamu datang pukul berapa ke rumah?” tanya adik kepada paman.

c. “Jam piga do ham roh hu jabu nokkan?” sungkun adik bani bapa. “pukul berapa nya kamu datang ke rumah tadi?” tanya adik kepada bapak.

“Tadi kamu datang pukul berapa ke rumah?” tanya adik kepada bapak.

Pada kalimat (23a) kata ham referennya mengacu pada abang, yaitu lawan bicara dari adik, kalimat (23b) kata ham berganti mengacu pada

tulang (paman), yaitu lawan bicara dari adik, dan kalimat (23c) kata


(34)

bicara dari adik. Dengan demikian, kata ham referennya selalu berganti-ganti bergantung kepada siapa kalimat itu dutujukan. Dari contoh kalimat di atas tampak juga bahwa kata ganti ham biasanya dipakai jika lawan tutur lebih tua daripada si penutur. Pada kalimat (23a) adik sebagai penutur memiliki usia yang lebih muda daripada abang sebagai lawan bicaranya. Oleh sebab itu, adik harus menggunakan kata ganti

ham agar lebih sopan. Kalimat (23b) adik sebagai penutur memiliki usia

yang lebih muda daripada tulang sebagai lawan bicaranya. Oleh sebab itu, adik harus menggunakan kata ganti ham agar lebih sopan. Dan pada kalimat (23c) adik sebagai penutur memiliki usia yang lebih muda daripada bapak sebagai lawan bicara adik. Oleh sebab itu, adik harus menggunakan kata ganti ham agar lebih sopan.

Melihat bentuknya, kata ganti ham ‘kamu’ sering mengalami perubahan bentuk menjadi –mu apabila kata ganti tersebut didahului oleh nomina yang artinya menunjukkan milik. Misalnya parangmu ‘pisaumu’, pangkireanmu ‘jemuranmu’,

sipatumu ‘sepatumu’. Dalam hal ini bentuk utuh ahu tidak dapat dipergunakan.

Misalnya parang ham ‘pisau kamu’, pangkirean ham ‘jemuran kamu’, sipatu ham ’sepatu kamu’.

Contoh:

(24) a. “Domma ponggol parangmu on.” nini inang bani Endang. “Sudah patah pisaumu ini.” kata ibu kepada Endang . “Pisaumu ini sudah patah.” kata ibu kepada Endang.

b. “Domma ponggol parangmu on.” nini inang bani Kristian.

“Sudah patah pisaumu ini.” kata ibu kepada Kristian. “Pisaumu ini sudah patah.” kata ibu kepada Kristian.


(35)

c.* “Domma ponggol parang ham on.”nini inang bani Penni.

“sudah patah pisau kamu ini.” kata ibu kepada Penni. “Pisau kamu ini sudah patah.” kata ibu kepada Penni.

Pada kalimat (24a) di atas, kata –mu referennya mengacu kepada Endang sebagai lawan bicara dari ibu, lalimat (24b) kata –mu referennnya berganti mengacu pada Kristian sebagai lawan bicara dari ibu. Pada kalimat (24c) pemakaian utuh ham tidak berterima.

Kata ganti ho biasanya dipergunakan apabila usia si pembicara lebih tua dengan lawan bicaranya, atau si pembicara sebaya/sederajat dengan lawan bicaranya. Oleh karena itu, kata ho tidak boleh dipergunakan oleh orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua.

Contoh:

(25) a. “Sai na manggila do ibahen ho bapak guru.” nini Rosdiana bani Dina. “selalu yang marah nya membuat kau bapak guru.” kata Rosdiana kepada

Dina.

“Kau selalu membuat bapak guru marah.” kata Rosdiana kepada Dina.

b. “Sai na manggila do ibahen ho bapak guru.” nini Rosdiana bani adek.

“selalu yang marah nya membuat kau bapak guru.” kata Rosdiana kepada adik.

“Kau selalu membuat bapak guru marah.” kata Rosdiana kepada adik. c. “Sai na manggila do ibahen ho bapak guru.” nini Rosdiana bani Roy.

“Selalu yang marah nya membuat kau bapak guru.” kata Rosdiana kepada Roy.

“Kau selalu membuat bapak guru marah.” kata Rosdiana kepada Roy. Pada kalimat (25a) kata ho referennya mengacu pada Dina sebagai lawan bicara dari Rosdiana, kalimat (25b) kata ho referennnya berganti mengacu pada adik sebagai lawan bicara dari Rosdiana, dan pada kalimat (25c) kata ho referennnya


(36)

berganti lagi mengacu pada Roy sebagai lawan bicara dari Rosdiana. Jadi, jelas kalau kata ho pada kalimat di atas referennnya berganti-ganti bergantung kepada siapa kalimat itu ditujukan. Dari kalimat di atas tampak juga bahwa kata ho hanya dipergunakan apabila si penutur masih sebaya atau lebih tua daripada lawan lawan tuturnya. Pada kalimat (25a) Rosdiana sebagai orang yang berbicara dapat ditafsirkan masih sebaya dengan Dina sebagai lawan bicaranya, kalimat (25b) Rosdiana sebagai orang yang sedang berbicara ditafsirkan berusia lebih tua daripada adik sebagai lawan bicaranya, dan pada kalimat (25c) Rosdiana sebagai orang yang sedang berbicara ditafsirkan masih sebaya dengan Roy sebagai lawan bicaranya.

2.1.2.2 Kata Ganti Persona Kedua Jamak

Bahasa Simalungun menggunakan hanima dan nasiam untuk menunjukkan persona kedua jamak. Di dalam bahasa Simalungun, kata ganti persona hanami dan

nasiam memiliki makna yang sama, yaitu kalian, tetapi pemakaian kata ganti tersebut

dapat menunjukkan perbedaan usia antara penutur dengan lawan tutur. Kata ganti persona nasiam dipakai untuk menyapa orang kedua jamak yang memiliki usia lebih tua, atau penutur dan lawan tutur memiliki usia yang sama (yang sudah orang tua), sedangkan hanima, dipakai untuk menyapa orang kedua jamak yang usianya lebih muda daripada penutur, atau penutur masih seumur (sebaya) dengan lawan tutur (masih anak-anak atau pemuda). Dalam bahasa Simalungun, kata ganti persona jamak dapat ditandai dengan pemarkah jamak haganupan ‘semua’, yaitu hanima haganupan ‘kalian semua’, nasiam haganupan ‘kalian semua’.


(37)

Contoh:

(26) a. “Maningon itaruhon hanima buku-buku on hu kantor guru.” nini

guru bani Josep pakon hasomanni.

“harus diantarkan kalian buku-buku ini ke kantor guru.” kata

bapak guru kepada Josep dan teman-temannya.

“Kalian harus mengantarkan buku-buku ini ke kantor guru.” kata bapak guru kepada Josep dan teman-temannya.

b. “Maningon itaruhon hanima buku-buku on hu kantor guru.”nini

bapak guru bani Viktor pakon hasomanni.

“Harus diantarkan kalian buku-buku ini ke kantor guru.”kata

bapak guru kepada Viktor dan teman-temannya.

“Kalian harus mengantarkan buku-buku ini ke kantor guru.” kata bapak guru kepada Viktor dan teman-temannya.

c. “Maningon itaruhon hanima buku-buku on hu kantor guru.” nini bapak guru bani Donna pakon hasomanni.

“harus diantarkan kalian buku-buku ini ke kantor guru.” kata bapak guru kepada Dona dan teman-temanya.

“Kalian harus mengantarkan buku-buku ini ke kantor guru.” kata bapak guru kepada Donna dan teman-temannya.

Pada kalimat (26a) kata hanima referennya mengacu kepada Josep dan teman-temannya, yaitu lawan bicara dari bapak guru, kalimat (26b) kata hanima referennya berganti mengacu kepada Viktor dan teman-temannya, yaitu lawan bicara dari bapak guru, dan kalimat (26c) kata hanima referennya berganti lagi mengacu kepada Donna dan teman-temannya, yaitu lawan bicara dari bapak guru. Dengan demikian, kata hanima refernnya selalu berganti bergantung kepada siapa kalimat itu ditujukan. Dari kalimat di atas tampak juga bahwa hanima dipergunakan apabila lawan tutur memiliki usia yang lebih muda daripada penutur. Pada kalimat (26a) bapak guru sebagai penutur memiliki usia yang lebih tua daripada lawan tuturnya, yaitu Josep dan teman-temannya, kalimat (26b) bapak guru sebagai penutur memiliki usia yang lebih tua daripada Viktor dan teman-temannya, dan kalimat (26c) bapak


(38)

guru sebagai penutur memiliki usia yang lebih tua daripada Donna dan teman-temannya.

Kata ganti hanima dapat juga dipakai apabila penutur dan lawan tutur memiliki usia yang sama (sebaya), seperti dijelaskan dalam contoh kalimat berikut ini.

Contoh:

(27) a. “Mase lang saud hanima marlangui natuari?” sungkun Riste bani Mega pakon hasomanni.

“mengapa tidak jadi kalian berenang kemarin?” tanya Riste kepada Mega dan teman-temannya.

“Mengapa kalian tidak jadi berenang kemarin?” tanya Riste kepada Mega dan teman-temannya.

b. “Mase lang saud hanima marlangui natuari?” sungkun Riste

bani Juli pakon hasomanni.

“mengapa tidak jadi kalian berenang kemarin?” tanya Riste kepada Juli dan teman-temannya.

“Mengapa kalian tidak jadi berenang kemarin?” tanya Riste kepada Juli dan teman-temannya.

c. “Mase lang saud hanima marlangui natuari?” sungkun Riste bani Nita pakon hasomanni.

“mengapa tidak jadi kalian berenang kemarin?” tanya Riste kepada Nita dan teman-temannya.

“Mengapa kalian tidak jadi berenang kemarin? tanya Riste kepada Nita dan teman-temannya.

Pada kalimat (27a) kata hanima referennya mengacu kepada Mega dan teman-temannya, yaitu lawan tutur dari Riste, kalimat (27b) kata hanima referennya berganti mengacu kepada Juli dan teman-temannya, yaitu lawan bicara dari Riste, dan kalimat (27c) kata hanima referennya berganti lagi mengacu kepada Nita dan teman-temannya, yaitu lawan bicara dari Riste. Dengan demikian, kata hanima referennya selalu berganti-ganti bergantung pada siapa yang menjadi lawan bicara.


(39)

Contoh:

(28) a. “Arap ahu nasiam mamboan barita na jenges.” nini inang bani tulang pakon hasomanni.

“berharap aku kalian membawa berita yang baik.” kata ibu kepada

paman dan teman-temannya.

“Aku berharap kalian membawa berita yang baik.” kata ibu kepada paman dan teman-temannya.

b. “Arap ahu nasiam mamboan barita na jenges.” nini inang bani makkela pakon hasomanni.

“berharap aku kalian membawa berita yang baik.” kata ibu kepada

paman dan teman-temannya.

“Aku berharap kalian membawa berita yang baik.” kata ibu kepada paman dan teman-temannya.

c. “Arap ahu nasiam mamboan barita na jenges.” nini inang bani

opung pakon hasomanni.

“berharap aku kalian membawa berita yang baik.” kata ibu kepada

kakek dan teman-temannya.

“Aku berharap kalian membawa berita yang baik.” kata ibu kepada kakek dan teman-temannya.

Pada kalimat (28a) kata nasiam referennya mengacu kepada tulang dan teman-temannya, yaitu lawan tutur dari ibu, kalimat (28b) kata nasiam referennya berganti lagi mengacu kepada makkela (paman) dan teman-temannya, yaitu lawan tutur dari ibu, dan kalimat (28c) kata nasiam referennya berganti lagi mengacu kepada opung (kakek) dan teman-temannya, yaitu lawan tutur dari ibu. Jadi, jelas kalau kata nasiam referennya selalu berganti-ganti bergantung pada siapa yang menjadi lawan bicara. Dari kalimat di atas tampak juga bahwa kata ganti nasiam dipakai jika lawan tutur lebih tua usianya daripada penutur, atau lawan tutur sebaya dengan penutur (yang sudah orang tua). Kalimat (28a) inang (ibu) sebagai penutur memiliki usia yang sebaya dengan tulang (paman), yaitu lawan tutur daripada ibu, kalimat (28b) inang (ibu) sebagai penutur memiliki usia yang sebaya dengan makkela


(40)

(paman), yaitu lawan tutur dari ibu, dan kalimat (28c) inang (ibu) sebagai penutur memiliki usia yang lebih muda dari opung (kakek), yaitu lawan tutur dari ibu.

Contoh :

(33) a. “Roh ma nasiam haganupan hu pesta ai,” nini inang bani opung pakon

hasomanni.

“datanglah kalian semua ke pesta itu, “ kata ibu kepada kakek dan

teman-temannya.

“Datanglah kalian kepesta itu,” kata ibu kepada kakek dan teman-temannya.

b. “Roh ma nasiam haganupan hu pesta ai,” nini inang bani bapak guru

pakon hasomanni.

“Datanglah kalian semua ke pesta itu,” kata ibu kepada bapak guru

teman-temannya.

“Datanglah kalian kepesta itu,” kata ibu kepada bapak guru dan teman-temannya..

c. “Roh ma nasiam haganupan hu pesta ai.” nini inang bani tulang

pakon hasomanni.

“datanglah kalian semua ke pesta itu.” kata ibu kepada tulang dan

teman-temannya.

“Datanglah kalian ke pesta itu.” kata ibu kepada tulang dan teman-temannya.

Pada kalimat (33a) kata nasiam haganupan referennya mengacu kepada

opung (kakek) dan teman-temannya, kalimat (33b) kata nasiam haganupan

referennya berganti mengacu kepada bapak guru dan teman-temannya, dan kalimat (33c) kata nasiam haganupan referennya berganti lagi mengacu kepada paman dan teman-temannya. Dengan demikian kata nasiam haganupan referennya selalu berganti bergantung kepada siapa kalimat itu ditujukan.

Contoh :

(34) a. “Ahu lang boi manlupahon habujuron hanima haganupan.” nini Maria

bani adik pakon hasomanni.

“aku tidak bisa melupakan kebaikan kalian semua.” kata Maria kepada adik


(41)

“Aku tidak akan bisa melupakan kebaikan kalian semua.” kata Maria kepada adik dan teman-temannya.

b.”Ahu lang boi manlupahon habujuron hanima haganupan.” nini Maria bani

Riki pakon hasomanni.

“aku tidak bisa melupakan kebaikan kalian semua.” kata Maria kepada Riki dan teman-temannya.

“Aku tidak akan bisa melupakan kebaikan kalian semua.” kata Maria kepada Riki dan teman-temannya.

c. ”Ahu lang boi manlupahon habujuron hanima haganupan.” Nini Maria bani Corry pakon hasomanni.

“aku tidak bisa melupakan kebaikan kalian semua.” kata Maria

pada Corry dan teman-temannya.

“Aku tidak akan bisa melupakan kebaikan kalian semua.” kata Maria kepada Corry dan teman-temannya.

Pada kalimat (34a) kata hanima haganupan referennya mengacu kepada adik dan teman-temannya, yaitu lawan bicara dari Maria, kalimat (34b) kata hanima

haganupan referennya berganti mengacu pada Riki dan teman-temannya, yaitu lawan

bicara dari Maria, dan kalimat (34c) kata hanima haganupan referennya berganti lagi mengacu kepada Corry dan teman-temannya, yaitu lawan bicara dari Maria. Dengan demikian kata hanima haganupan referennya selalu berganti bergantung kepada siapa kalimat itu ditujukan.

2.1.3 Kata Ganti Persona Ketiga

2.1.3.1 Kata Ganti Persona Ketiga Tunggal

Bahasa Simalungun menggunakan ia ‘dia’ untuk menunjukkan persona ketiga tunggal. Kata ganti persona ia ‘dia’ ini boleh dipakai oleh semua usia, baik tua maupun muda.


(42)

Contoh:

(31) a. Marti marsahap bani Ano (sambil menunjuk Andy) “Ia domma opat hali madabu han bona ni mangga.”

Marti berbicara kepada Ano,“dia sudah empat kali jatuh dari pohon mangga.”

Marti berbicara kepada Ano,”Dia sudah empat kali jatuh dari pohon mangga.”

b. Marti marsahap bani Ano (sambil menunjuk Agus)

“Ia domma opat hali madabu han bona ni mangga.”

Marti berbicara kepada Ano,”dia sudah empat kali jatuh dari pohon mangga.”

Marti berbicara kepada Ano,”Dia sudah empat kali jatuh dari pohon mangga.”

c. Marti marsahap bani Ano (sambil menunjuk Viktor) “Ia domma opat hali madabu han bona ni mangga.”

Marti berbicara kepada Ano,”dia sudah empat kali jatuh dari pohon mangga.”

Marti berbicara kepada Ano,”Dia sudah empat kali jatuh dari pohon mangga.”

Pada kalimat (31a) kata ia referennya mengacu kepada orang yang ditunjuk atau yang dimaksudkan oleh Marti, yaitu Andy, kalimat (31b) kata ia referennya berganti mengacu kepada orang yang ditunjuk atau dimaksudkan oleh Marti, yaitu Agus, dan kalimat (31c) kata ia referennya berganti lagi mengacu kepada orang yang ditunjuk atau dimaksudkan oleh Marti, yaitu Viktor. Dengan demikian, kata ia referennya selalu berganti, yaitu Andy, Agus, dan Viktor.

Dalam pemakaian sehari-hari, ia ‘dia’ ini sering berubah bentuknya menjadi –

ni ‘nya’ apabila diletakkan pada nomina yang menunjukkan milik.

Contoh:

(32) a. Emsi marsahap bani Roni (sambil menunjuk Sihar) “Jumani do sibolakan i huta on.”

Emsi berkata kepada Roni,”sawahnya yang paling luas di kampung ini.” Emsi berkata kepada Roni,”Sawahnya yang paling luas di kampung ini.”


(43)

b. Emsi marsahap bani Roni (sambil menunjuk Fritjen)

“Jumani do sibolakan i huta on.”

Emsi berkata kepada Roni,”sawahnya yang paling luas di kampung ini.” Emsi berkata kepada Roni,”Sawahnya yang paling luas di kampung ini.” c. Emsi marsahap bani Roni (sambil menunjuk Pasca)

“Jumani do sibolakan do i huta on.”

Emsi berkata kepada Roni,”sawahnya yang paling luas di kampung ini.” Emsi berkata kepada Roni,”Sawahnya yang paling luas di kampung ini.” Pada kalimat (32a) kata –ni referennya mengacu kepada orang yang ditunjuk atau yang dimaksudkan oleh Emsi, yaitu Sihar, kalimat (32b) –ni referennya berganti mengacu kepada orang yang ditunjuk atau dimaksudkan oleh Emsi, yaitu Fritjen, dan kalimat (32c) kata –ni referennya berganti lagi mengacu kepada orang yang ditunjuk atau dimaksudkan oleh Emsi, yaitu Pasca. Dengan demikian, kata –ni referennya selalu berganti-ganti, yaitu Sihar, Fritjen, dan Pasca.

2.1.3.2 Kata Ganti Persona Ketiga Jamak

Bahasa Simalungun menggunakan sadea ‘mereka’ dan halak ai ‘orang itu’ untuk menunjukkan persona ketiga jamak. Sama halnya dengan kata ganti persona ia ‘dia’, kata ganti persona sadea ‘mereka’ dan halak ai ‘orang itu’ boleh dipakai oleh semua umur. Dalam bahasa Simalungun, kata ganti persona ketiga jamak dapat ditandai dengan pemarkah jamak haganupan ‘semua’, yaitu sadea haganupan ‘mereka semua’.

Contoh:

(33) a. Yang dimaksudkan oleh Dedi adalah Eva dan Bolin

Dedi marsahap bani kakakni,”Laho marhajabuan sidea bulan na roh.”

Dedi berkata kepada kakaknya,”akan menikah mereka bulan yang datang.” Dedi berkata kepada kakaknya,”Mereka akan menikah bulan depan.”


(44)

b. Yang dimaksudkan oleh Dedi adalah Loid dan Chery

Dedi marsahap bani kakakni,”Laho marhajabuan sidea bulan na roh.”

Dedi berkata kepada kakaknya,”akan menikah mereka bulan yang datang.” Dedi berkata kepada kakaknya,”Mereka akan menikah bulan depan.” c. Yang dimaksudkan oleh Dedi adalah Ben dan Clarisa

Dedi marsahap bani kakakni,”Laho marhajabuan sidea bulan na roh.”

Dedi berkata kepada kakaknya,”akan menikah mereka bulan yang datang.” Dedi berkata kepada kakaknya,”Mereka akan menikah bulan depan.”

Pada kalimat (33a) kata sidea rerferennya mengacu kepada orang yang ditunjuk atau dimaksudkan oleh Dedi dalam kalimat itu, yaitu Eva dan Bolin, kalimat (33b) kata sidea referennya berganti mengacu kepada orang yang ditunjuk atau dimaksudkan oleh Dedi di dalam kalimat itu, yaitu Loid dan Chery, dan kalimat (33c) kata sidea referennya berganti lagi mengacu kepada orang yang ditunjuk dan dimaksudkan oleh Dedi di dalam kalimat itu, yaitu Ben dan Clarisa. Dengan demikian, kata sidea referennya selalu berganti-ganti bergantung pada siapa yang dimaksudkan di dalam kalimat itu.

Contoh:

(34) a. Yang dimaksudkan oleh Berto adalah Sudung dan Kardo

Berto marsahap bani Juni,”Lang i rumah halak ai.”

Berto berkata kepada Juni,”tidak di rumah orang itu.” Berto berkata kepada Juni,”Orang itu tidak di rumah.” b. Yang dimaksudkan oleh Berto adalah Amos dan kakaknya

Berto marsahap bani Juni,”Lang i rumah halak ai.”

Berto berkata kepada Juni,”tidak di rumah orang itu.” Berto berkata kepada Juni,”Orang itu tidak di rumah.” c. Yang dimaksudkan oleh Berto adalah Julford dan bapaknya

Berto marsahap bani Juni,”Lang i rumah halak ai.”

Berto berkata kepada Juni,”tidak di rumah orang itu.” Berto berkata kepada Juni,”Orang itu tidak di rumah.”


(45)

Pada kalimat (34a) kata halak ai referennya mengacu kepada orang yang dimaksudkan oleh Berto dalam kaliamat itu, yaitu Sudung dan Kardo, kalimat (34b) kata halak ai referennya berganti mengacu kepada orang yang dimaksudkan oleh Berto dalam kalimat itu, yaitu Amos dan kakaknya, dan kalimat (34c) kata halak ai referennya berganti lagi mengacu kepada orang yang dimaksudkan oleh Berto dalam kalimat itu, yaitu Julford dan bapaknya. Dengan demukian, kata halak ai referennya selalu berganti-ganti bergantung pada siapa yang dimaksudkan di dalam kalimat itu. Contoh :

(35) a. Yang dimaksud Acha adalah Rio dan teman-temannya

“Hu ja sadea haganupan misir?” sukun Acha.

“kemana mereka semua pergi?” tanya Acha. ”Kemana mereka semua pergi?” tanya Acha.

b. Yang dimaksud Acha adalah Friska dan teman-temannya

“Hu ja sadea haganupan misir?” sukun Acha.

“kemana mereka semua pergi?” tanya Acha. “Kemana mereka semu pergi?” tanya Acha.

c. Yang dimaksud Acha adalah Nelly dan teman-temannya

“Hu ja sadea haganupan misir?” sukkun Acha.

“kemana mereka semua pergi?” tanya Acha. “Kemana mereka semua pergi?” tanya Acha.

Pada kalimat (35a) kata sadea haganupan referennya mengacu kepada Rio dan teman-temannya, yaitu orang yang dimaksud oleh Acha dalam kalimat tersebut, kalimat (35b) kata sadea haganupan referennya berganti mengacu kepada Friska dan teman-temannya, yaitu orang yang dimaksu oleh Acha dalam kalimat tersebut, dan kalimat (35c) kata sadea haganupan referennya berganti lagi mengacu kepada Nelly dan teman-temannya, yaitu orang yang dimaksud oleh Acha dalam kalimat tersebut.


(46)

Dengan demikian, kata saea haganupan referenya selalu berganti bergantung pada siapa yang dimaksudkan dalam kalimat itu.

2.1.4 Perilaku Deiksis Persona dalam Bahasa Simalungun

Berikut ini perilaku deiksis persona dalam bahasa Simalungun:

1. Bentuk i- dalam bahasa Simalungun dapat diikuti persona ketiga yang tidak pronominal.

Contoh:

(36) Domma ibolih Wariel rumah ai

Sudah dibeli Wariel rumah itu ‘Rumah itu sudah dibeli Wariel’ (37)* Domma iboli ia rumah ai

Sudah dibeli dia rumah itu ‘Rumah itu sudah dibeli dia’

2. Leksem persona tunggal dalam bahasa Simalungun dapat dirangkaikan dengan kata demonstratif ini, itu, sedangkan bentuk jamaknya tidak.

Contoh:

(38) Inang na songon aha ma ahu on, lang boi pasikolahon niombakhu ibu yang seperti apa lah aku ini, tidak bisa menyekolahkan anakku

‘Ibu seperti apa aku ini, tidak bisa menyekolahkan anakku’ (39) Hita on ma na maposo harapanni bangsa

kita ini lah yang muda harapannya bangsa ‘Kita inilah pemuda harapan bangsa’ (40) Ia ai ise, marnipi pajumpah pakon presiden

dia itu siapa, bermimpi bertemu dengan presiden ‘Dia itu siapa, bermimpi bertemu dengan presiden’


(47)

(41) * Sidea ai ise, marnipi pajumpah pakon presiden Mereka itu siapa, bermimpi bertemu dengan presiden ‘Mereka itu siapa, bermimpi bretemu dengan presiden’ (42) * Hanami on asalna han Perdagangan

Kami ini asalnya dari Perdagangan ‘Kami ini asalnya dari Perdagangan’ (43) * Nasiam on mase manggila bakhu?

kalian ini mengapa marah kepadaku? ‘Mengapa kalian ini marah kepadaku?’

3. Bentuk terikat persona dalam bahasa Simalungun dapat dirangkaikan dengan kata

ini dan itu.

Contoh:

(44) Bukuhu on baru ibolih Bukuku ini baru dibeli Bukuku ini baru dibeli (45) Ibolih ija bajumu on?

Dibeli di mana bajumu ini? Dibeli di mana bajumu ini?

4. Kata ganti persona dalam bahasa Simalungun tidak dapat direduplikasikan. Melekatkan kata dassa ‘saja’, tumang ‘hanya’, pitah ‘hanya’ di depan kata ganti sudah dapat memberikan warna emosi negatif, seperti kejengkelan, kejemuan, dan depresi.

Contoh:

(46) I rumah on, ahu dassa do na manussi piring Di rumah ini, aku saja nya yang mencuci piring Di rumah ini, aku saja yang mencuci piring


(48)

(47) * I rumah on, ahu-ahu dassa do na manussi piring Di rumah ini, aku-aku saja nya yang mencuci piring Di rumah ini, aku-aku saja yang mencuci piring (48) Sadea tumang do na iberei duit, hanami lang ongga

Mereka hanya nya yang diberi uang, kami tidak pernah Hanya mereka yang diberi uang, kami tidak pernah (49) * Sadea-sadea tumang do na iberei duit, hanami lang ongga

Mereka-mereka hanya nya yang diberi uang, kami tidak pernah ‘Hanya mereka-mereka yang diberi uang, kami tidak pernah’ (50) Mase hanami tumanng na gati igilai?

Mengapa kami hanya yang sering dimarahi? ‘Mengapa hanya kami yang sering dimarahi?

(51) * Mase hanami-hanami tumang na gati igilai? mengapa kami-kami hanya yang sering dimarahi? ‘Mengapa hanya kami-kami yang sering dimarahi?


(49)

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN 3.1 Simpulan

Adapun simpulan yang diperoleh dalam simpulan ini adalah sebagai berikut. 1. Kata ganti persona dalam bahasa Sialungun terdiri atas tiga bagian, yaitu (1)

kata ganti persona pertama, (2) kata ganti persona kedua, dan (3) kata ganti persona ketiga, masing-masing dalam bentuk tunggal dan jamak. Bahasa Simalungun menggunakan ahu ‘aku’ untuk kata ganti persona pertama tunggal, hanami ‘kami’, hita ‘kita’ untuk kata ganti persona pertama jamak,

ham ‘kamu’ untuk kata ganti persona kedua tunggal, hanima ‘kalian’, nasiam

‘kalian’ untuk kata ganti persona kedua jamak, ia ‘dia’ untuk kata ganti persona ketiga tunggal, dan sidea ‘mereka’ untuk kata ganti persona ketiga jamak.

2. Perilaku deiksis persona dapat dibagi atas empat, yaitu :

a. bentuk i- dalam bahasa Simalungun dapat diikuti bentuk persona ketiga yang tidak pronominal,

b. leksem persona tunggal dalam bahasa Simalungun dapat dirangkaikan dengan kata demonstratif ini, itu, sedangkan bentuk jamaknya tidak,

c. bentuk terikat persona dalam bahasa Simalungun dapat dirangkaikan dengan kata ini dan itu,


(50)

3. 2 Saran

Seperti yang dikemukan oleh Bambang Kaswanti Purwo bahwa deiksis dibagi atas tiga, yaitu deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu. Penelitian ini hanya menggambarkan dan menjelaskan mengenai deiksis persona dalam bahasa Simalungun, sehingga terbuka kesempatan bagi peneliti lain untuk membahas deiksis ruang dan waktu, karena dalam penelitian ini hal tersebut belum dibicarakan.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Alrasjid, Chainur dan Syafruddin Kalo.1998. Pancasila sebagai Filsafat Bangsa

dan Negara. Medan: Yani Corporation.

Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Universitas Airlangga.

Chaer, Abdul. 1994. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Batara. Chaer, Abdul dan Leoni, Agustina. 2004. Sosiolinguistik Suatu Pengantar.

Jakarta: Rineka Cipta.

Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Kristina, Natalia. 2000. “Deiksis dalam Bahasa Batak Toba” (Skripsi). Fakultas Sastra USU.

Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Marli, Wahyudi. 2004. “Deiksis Persona dalam Bahasa Jawa” (Skripsi). Fakultas Sastra USU.

Moeliono, Anton. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Perum Balai Pustaka.

Nainggolan, Tetty Hariani. 2006. “Verba Tindak Tutur dalam Bahasa Simalungun” (Skripsi). Fakultas Sastra USU.

Purba, Antilan. 2002. Pragmatik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.


(52)

Saragih, Rosen. 2006. “Barita Simalungun-Barita Simalungun: Memperkenalkan…”. Dalam http://www. Barita Simalungun.com/.

Sipayung, Roni. 2007. “Konstruksi Kausatif Bahasa Simalungun” (Skripsi). Fakultas Sastra USU.

Siregar, Asrul. 1996. “Pragmatik dalam Linguistik” (Diktat). Medan: Fakultas Sastra USU.

Sitepu, Tabir. 1999. “Deiksis Persona pada Cerpen Bromocorah” (Karya Ilmiah). Medan: Fakultas Sastra USU.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Yule, George. 2006. Pragmatik.Terjemahan . Indah Fajar Wahyuni dan Rombe Mustajab. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.


(53)

Lampiran

Jadwal Penelitian WAKTU KETERANGAN

Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Penulisan proposal

Ujian proposal

Pengumpulan data

Analisis data Perbaikan analisi s Penulisan skrips i Penyelesaian skrips i


(1)

(47) * I rumah on, ahu-ahu dassa do na manussi piring Di rumah ini, aku-aku saja nya yang mencuci piring Di rumah ini, aku-aku saja yang mencuci piring (48) Sadea tumang do na iberei duit, hanami lang ongga

Mereka hanya nya yang diberi uang, kami tidak pernah Hanya mereka yang diberi uang, kami tidak pernah (49) * Sadea-sadea tumang do na iberei duit, hanami lang ongga

Mereka-mereka hanya nya yang diberi uang, kami tidak pernah ‘Hanya mereka-mereka yang diberi uang, kami tidak pernah’ (50) Mase hanami tumanng na gati igilai?

Mengapa kami hanya yang sering dimarahi? ‘Mengapa hanya kami yang sering dimarahi?

(51) * Mase hanami-hanami tumang na gati igilai? mengapa kami-kami hanya yang sering dimarahi? ‘Mengapa hanya kami-kami yang sering dimarahi?


(2)

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN 3.1 Simpulan

Adapun simpulan yang diperoleh dalam simpulan ini adalah sebagai berikut. 1. Kata ganti persona dalam bahasa Sialungun terdiri atas tiga bagian, yaitu (1)

kata ganti persona pertama, (2) kata ganti persona kedua, dan (3) kata ganti persona ketiga, masing-masing dalam bentuk tunggal dan jamak. Bahasa Simalungun menggunakan ahu ‘aku’ untuk kata ganti persona pertama tunggal, hanami ‘kami’, hita ‘kita’ untuk kata ganti persona pertama jamak, ham ‘kamu’ untuk kata ganti persona kedua tunggal, hanima ‘kalian’, nasiam ‘kalian’ untuk kata ganti persona kedua jamak, ia ‘dia’ untuk kata ganti persona ketiga tunggal, dan sidea ‘mereka’ untuk kata ganti persona ketiga jamak.

2. Perilaku deiksis persona dapat dibagi atas empat, yaitu :

a. bentuk i- dalam bahasa Simalungun dapat diikuti bentuk persona ketiga yang tidak pronominal,

b. leksem persona tunggal dalam bahasa Simalungun dapat dirangkaikan dengan kata demonstratif ini, itu, sedangkan bentuk jamaknya tidak,

c. bentuk terikat persona dalam bahasa Simalungun dapat dirangkaikan dengan kata ini dan itu,

d. kata ganti persona dalam bahasa Simalungun tidak dapat direduplikasikan.


(3)

3. 2 Saran

Seperti yang dikemukan oleh Bambang Kaswanti Purwo bahwa deiksis dibagi atas tiga, yaitu deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu. Penelitian ini hanya menggambarkan dan menjelaskan mengenai deiksis persona dalam bahasa Simalungun, sehingga terbuka kesempatan bagi peneliti lain untuk membahas deiksis ruang dan waktu, karena dalam penelitian ini hal tersebut belum dibicarakan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alrasjid, Chainur dan Syafruddin Kalo.1998. Pancasila sebagai Filsafat Bangsa dan Negara. Medan: Yani Corporation.

Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Universitas Airlangga.

Chaer, Abdul. 1994. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Batara. Chaer, Abdul dan Leoni, Agustina. 2004. Sosiolinguistik Suatu Pengantar.

Jakarta: Rineka Cipta.

Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Kristina, Natalia. 2000. “Deiksis dalam Bahasa Batak Toba” (Skripsi). Fakultas Sastra USU.

Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Marli, Wahyudi. 2004. “Deiksis Persona dalam Bahasa Jawa” (Skripsi). Fakultas Sastra USU.

Moeliono, Anton. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Perum Balai Pustaka.

Nainggolan, Tetty Hariani. 2006. “Verba Tindak Tutur dalam Bahasa Simalungun” (Skripsi). Fakultas Sastra USU.

Purba, Antilan. 2002. Pragmatik Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.


(5)

Saragih, Rosen. 2006. “Barita Simalungun-Barita Simalungun: Memperkenalkan…”. Dalam http://www. Barita Simalungun.com/.

Sipayung, Roni. 2007. “Konstruksi Kausatif Bahasa Simalungun” (Skripsi). Fakultas Sastra USU.

Siregar, Asrul. 1996. “Pragmatik dalam Linguistik” (Diktat). Medan: Fakultas Sastra USU.

Sitepu, Tabir. 1999. “Deiksis Persona pada Cerpen Bromocorah” (Karya Ilmiah). Medan: Fakultas Sastra USU.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Yule, George. 2006. Pragmatik.Terjemahan . Indah Fajar Wahyuni dan Rombe Mustajab. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.


(6)

Lampiran

Jadwal Penelitian WAKTU KETERANGAN

Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember

Penulisan proposal

Ujian proposal

Pengumpulan data

Analisis data Perbaikan analisi s Penulisan skrips i Penyelesaian skrips i