Maksud dan Tujuan Penelitian
1 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu
2 Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.”
Selain kedua pasal di atas, landasan pemikiran lainnya adalah Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
4
, khususnya pada ayat 3, yang berbunyi:
“Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai
pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi” Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UU Perkawinan serta
Pasal 10 ayat 3 PP No. 91975 tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan dan tatacara
perkawinan tidak menentukan dengan cara bagaimanakah perkawinan itu harus dilangsungkan
, karena tidak adanya ketentuan mengenai cara berlangsungnya suatu proses perkawinan, maka akan dapat dimunculkan dua
penafsiran, yaitu
apakah perkawinan
harus dilangsungkan
dengan mempertemukan kedua mempelai atau sebaliknya, bahwa proses perkawinan
dapat dilangsungkan tanpa perlu kedua mempelai bertemu langsung. Untuk menjawab dua penafsiran di atas, jika mengacu pada ketentuan
pasal tersebut, hanya akan mendapat jawaban yang sama. Hal ini tidak lain, karena Pasal 2 ayat 1 yang menentukan sahnya perkawinan hanya memberikan
4
Untuk selanjutnya disingkat menjadi PP No. 91975
arahan bahwa sahnya perkawinan itu kembali pada ketentuan hukum agama dan kepercayaannya yang dianut oleh ara pihak yang bersangkutan, sedangkan
ketentuan Pasal 2 ayat 2 hanya merupakan ketentuan mengenai ketertiban administrasi saja. Begitu pula halnya Pasal 10 ayat 3 PP No. 91975 hanya
menyatakan tatacara perkawinan dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi. Dengan demikian, karena masalah sahnya
perkawinan itu kembali pada hukum agama, dapat dilihat pada agama islam, memberikan persyaratan berupa adanya :
1. Calon mempelai pria dan wanita ;
2. Wali nikah ;
3. Saksi ;
4. Ijab-kabul
5. Mahar.
Keharusan mengenai ijab-kabul atau ucapan janji setia secara berkesinambungan yang kemudian menimbulkan penafsiran, bahwa proses
perkawinan harus dilangsungkan dalam satu majelis atau satu tempat yang tidak terpisah oleh jarak. Namun jika dilakukan penafsiran terbalik, maka proses
perkawinan yang dilakukan dengan jarak atau di sela oleh suatu perantara tetaplah memenuhi keempat keharusan tersebut di atas, hanya saja tidak dilakukan di satu
majelis.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa fungsi hukum adalah melindungi kepentingan manusia, sehingga dengan demikian