Perkawinan Teleconference di Indonesia

Kemudian, Sewaktu-waktu saya meninggalkan istri saya dua tahun berturut- turut, atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, atau saya menyakiti badanjasmani istri saya, atau saya membiarkan tidak mempedulikan istri saya enam bulan lamanya, kemudian istri saya tidak rida dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima pengadilan, dan istri saya membayar uang sebesar Rp 1.000,00 sebagai iwadh pengganti kepada saya, maka jatuhlah talak satu saya kepadanya. Acara akad nikah diakhiri dengan sungkeman mempelai wanita kepada orang tua dan mertuanya. Sementara mempelai pria sungkeman dengan kata-kata. Syarif bersyukur kepada Allah SWT karena acara akad nikah berjalan lancar. Syarif berharap istrinya dapat segera menyelesaikan studi S2-nya sehingga bisa segera ke Amerika untuk secara bersama-sama membangun keluarga baru. Walaupun dalam kedua kasus perkawinan tersebut dilangsungkan di luar kebiasaan, yaitu dengan melalui media telekomunikasi atau jarak jauh, akan tetapi segala sesuatunya dilakukan dengan cara-cara seperti perkawinan yang biasa, yaitu 10 : a. Telah dilakukan pemberitahuan kehendak terlebih dahulu ke Pegawai Pencatat sesuai dengan ketentuan Pasal 3 PP No.91975. b. Telah terpenuhinya segala syarat sesuai Pasal 6 dan 7 Undang- undang No.11974 jo. PP No.91975 dan tidak ada halangan perkawinan terhadap ketentuan persyaratan perkawinan mereka. c. Segala sesuatunya dilakukan dengan itikad baik. Tidak ada suatu maksud sebagai penyelundupan hukum, yaitu bermaksud untuk menghindari ketentuan undang-undang perkawinan yang berlaku atas diri para pihak dengan memilih menggunakan undang-undang perkawinan yang tidak berlaku atas para pihak. Semua tindakan dengan maksud itikad baik ini, dapat dilihat dari dipenuhinya segala sesuatu yang dipersyaratkan oleh peraturan yang berlaku. Hanya 10 Ibid Idha Aprilyana, Hlm. 59. saja kendala yang timbul adalah permohonan pencatatan perkawinan terkadang tidak dapat diterima karena tidak dilaksanakannya perkawinan dalam satu majelis. Yang menjadi pokok permasalahan dalam proses perkawinan yang dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference adalah ketidak hadiran secara fisik mempelai pria di domisili mempelai wanita. Namun ketidakhadiran secara fisik ini tidak mengurangi keabsahan perkawinan, berdasarkan pada dalil- dalil 11 : 1 Sesuai dengan pendapat ahli Fiqih di dalam Fiqhus Sunah halaman 34 jilid Iia, ijab-kabul tidak di sela-selai harus diartikan bahwa antara ijab dan kabul tidak diantarai dengan perkataan yang bukan berkenaan dengan nikah atau sesuatu yang menurut adat dianggap tidak mau atau telah membelah pada hal-hal yang lain selain nikah. 2 Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir R.A yang intinya adanya pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dengan perantaranya adalah Rasulallah SAW, walaupun dalam perkawinan ini dilakukan tanpa mahar dan tidak ada pertemuan sama sekali. Kedua mempelai tidak saling mewakilkan dirinya pada Rasulallah, akan tetapi rasulallah hanya bertindak sebagai perantara untuk menanyakan pernyataan kesepakatan dari kedua mempelai dan Rasulallah hanya menguatkan kesepakatan tersebut. 3 Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Umi Habibah, yang intinya adalah perkawinan dilakukan di tempat yang berbeda dan berjauhan antara Rasul dan Umi Habibah. Berdasarkan pada dalil-dalil tersebut di atas, dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa proses perkawinan itu dapat dilangsungkan dengan berbagai cara, asalkan telah memenuhi syarat, yaitu adanya : 1. Mempelai pria dan Wanita 2. Antara kedua mempelai bukanlah muhrim. 3. Antara kedua mempelai sama-sama rela atau telah sepakat untuk menikah. 4. Telah tercapainya usia Nikah bagi kedua mempelai baligh. 11 Majalah Varia Peradilan Tahun VI No.62 Tahun 1990, Hlm. 9 5. Tidak adanya larangan Nikah antara kedua mempelai. 6. Adanya wali. 7. Adanya Saksi. 8. Pembayaran mahar sebagai pelengkap. 9. Didaftarkan secara resmi sesuai dengan prosedur undang-undang. 10. Adanya ijab-kabul, maka perkawinan adalah sah. Pemikiran bahwa, suatu perkawinan yang dilangsungkan menurut Hukum Agama Islam dan telah memenuhi syarat-syarat sesuai peraturan perundang- undangan adalah perkawinan yang tidak sah, hanya dikarenakan ketidakhadiran mempelai pria secara fisik. Dalam hal perkawinan yang dilakukan melalui media telekomunikasi, ketidak hadiran secara fisik ini perlu kiranya tetap menjadi pertimbangan bahwa ijab-kabul melalui teleponteleconference yang dilakukan secara langsung pada saat pernikahan, tidak hanya sekedar mewakili ketidakhadiran secara fisik mempelai pria, tetapi diucapkan langsung oleh mempelai prianya melalui sebuah media. Kedua kasus tersebut hanyalah merupakan sedikit dari contoh yang terjadi di masyarakat yang hidup di dunia yang semakin modern ini. Bukanlah tidak mungkin pada masa yang akan datang akan semakin banyak terjadinya pernikahan melalui media telekomunikasi khususnya teleconference. Sehingga dirasa perlunya aturan yang mengatur mengenai masalah perkawinan jarak jauh ini supaya tidak lagi ada perdebatan atau kesulitan dalam masalah pencatatan pernikahan. Karena pencatatan perkawinan sangatlah penting, terutama untuk mendapatkan hak-hak seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak hasil perkawinan. Akibat hukum tidak dicatatnya perkawinan adalah : a. Perkawinan Dianggap tidak Sah. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan. Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. c. Anak dan ibunya Tidak Berhak Mendapatkan Waris dan Nafkah. Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Namun demikian, Mahkamah Agung RI dalam perkara Nugraha Besoes melawan Desrina dan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam perkara Heria Mulyani dan Robby Kusuma Harta, saat itu mengabulkan gugatan nafkah bagi anak hasil hubungan kedua pasangan tersebut. 68

BAB IV HUKUM PERKAWINAN TELECONFERENCE

A. Pengaturan Perkawinan Teleconference Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, merupakan suatu ikatan yang menentukan sah atau tidaknya pergaulan antara seorang pria dan wanita. Dalam hidup berumah tangga sudah tentu saja akan menimbulkan akibat hukum yang sangat bergantung pada sah atau tidaknya terhadap perkawinan yang dilangsungkan. Tentunya suatu hal yang riskan bahaya, apabila perkawinan telah dilakukan atau dilangsungkan melalui media telepon atau teleconference, tetapi dianggap tidak sah secara hukum positif disebabkan ketiadaan bukti yang mendukung telah dilangsungkannya perkawinan tersebut. Dikatakan riskan karena perkawinan tidak saja hanya dilakukan secara agama tetapi harus pula sah menurut hukum positif. Oleh sebab itulah perlu kiranya suatu bukti yang dapat mendukung sahnya perkawinan yang telah dilakukan, sehingga dapat menjamin kepastian hukum terhadap keduanya, sehingga akibat hukum yang ditimbulkannya dapat terlindungi. Yang dimaksud dengan bukti dalam hal ini adalah surat nikah akta nikah. Negara Indonesia sebagai negara hukum, menghendaki agar segala tindakan haruslah berdasarkan atas hukum. Oleh sebab itu pula dalam bidang perkawinan haruslah sesuai dengan perundang-undangan perkawinan yang berlaku. Sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan yang sah dilakukan berdasarkan agama, dan masing-masing harus pula dicatatkan pada KUA. Adanya ketentuan yang ditetapkan ini menimbulkan suatu konsekuensi bahwa perkawinan yang sah menurut Hukum Positif itu haruslah dicatatkan di kantor Pencatatan Perkawinan. Hal ini tidak lain karena dalam suatu negara yang berdasar atas hukum, semua peristiwa hukum yang terjadi harus dapat dibuktikan. Menurut Hukum, akibat hukum yang ditimbulkannya dapat diakui oleh negara sehingga dapat menjamin kepastian hukum. Berdasarkan ketentuan itu maka KUA sebagai lembaga atau institusi yang bertugas untuk mencatatkan perkawinan, mempunyai kewajiban untuk mengetahui dan meneliti syarat-syarat perkawinan lebih dulu. Oleh karena kewajibannya sebagai pencatat perkawinan maka pegawai pencatat perkawinan yang ada di KUA maupun dapat melakukan penolakan hingga tindakan pembatalan terhadap perkawinan, hal ini tidak lain karena agar perkawinan tidak saja sah menurut agama tetapi juga sah menurut negara. Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus untuk melindungi hak-hak perempuan dalam kehidupan berumah tangga. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di dalam perkawinan, maka salah satu dari pihak suami ataupun istri dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami istri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan 1 . Dilihat dari uraian di atas tersebut, maka kedudukan pencatatan perkawinan semakin penting, khususnya apabila perkawinan tersebut dilaksanakan dengan jarak jauh, artinya calon mempelai pria dan wanita berlainan tempat. Atau pada pembahasan sekarang mengenai perkawinan yang dilangsungkan dengan memanfaatkan media telekomunikasi telepon atau teleconference. Hal ini tidak lain karena adanya pencatatan perkawinan ini akan menentukan telah terjadinya perbuatan hukum. Sebagaimana diketahui, apabila dilakukan suatu perbuatan hukum maka akan menimbulkan akibat hukum. Dalam menghadapi suatu kasus yang belum ada peraturan tertulisnya di dalam undang-undang. Sudah sewajarnya petugas pencatat perkawinan ataupun hakim memakai pandangan modern, atau biasa disebut dengan aliran problem oriented. Pokok dari aliran problem oriented ialah bahwa bukan sistem perundang- undangan yang merupakan titik tolak, tetapi masalah kemasyarakatan yang konkrit yang harus dipecahkan. Hukum undang-undang selalu ketinggalan dari peristiwanya, itu memang sifat hukum. Lebih-lebih dengan berkembang pesatnya tekhnologi dewasa ini maka hukum undang-undang akan jauh ketinggalan 2 . Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup the living law dalam 1 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995. hlm. 107. 2 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah pengantar. Liberty, Yogyakarta, 2004. Hlm.109.