Pengaruh Telekomunikasi Terhadap Perkawinan Di Indonesia

jual beli, bahkan melakukan pernikahan atau biasa disebut perkawinan. Melakukan perkawinan memakai sarana telepon pun sampai sekarang masih dianggap aneh oleh sebagian besar masyarakat Indonesia karena dianggap tidak wajar. Bahkan dapat menimbulkan perdebatan di antara para pakar atau aparat hukum dalam hubungannya untuk menetapkan keabsahan perkawinan memakai media telepon ataupun teleconference. Tetapi meskipun begitu, perkawinan yang dilakukan melalui media telepon ataupun teleconference ini sudah mulai sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Selama ini, perkawinan biasanya dilangsungkan dalam satu majelis atau satu tempat. Namun seiring dengan perkembangan tekhnologi komunikasi, terdapat kemungkinan dilangsungkannya perkawinan tidak dalam satu majelis. Salah satu kasus menarik serta merupakan terobosan pertama dalam mengatasi permasalahan ketidakmungkinan perkawinan satu majelis, adalah perkawinan yang pada saat pengucapan ijab dan kabul antara mempelai pria dan mempelai wanita dilakukan melalui telepon yang dilakukan oleh pasangan Aria dan Noer pada tanggal 13 Mei 1989 8 . Aria Sutarto bin Drs. Suroso Darmoatmojo atau biasa dipanggil Aria menjalin cinta dengan Nurdiani binti Prof. Dr. Baharudin Harahap atau biasa dipanggil Noer, keduanya adalah pemeluk agama Islam. Pada mulanya Aria, seorang dosen di Unversitas Terbuka UT dan Noer mereka berdua bertempat tinggal di Jakarta. Tetapi kemudian Aria ditugasbelajarkan ke Amerika Serikat USA untuk memperdalam ilmu yang 8 Majalah Varia Peradilan Tahun VI No.62 Tahun 1990, Hlm. 5. menjadi bidangnya. Setelah beberapa tahun ditugasbelajarkan di USA, Aria meminta agar segera dilangsungkan perkawinan antara dirinya dengan Noer yang masih menetap di Jakarta, seperti yang telah direncanankan sebelumnya yaitu pada tanggal 13 Mei 1989. Akan tetapi muncul suatu hambatan, yaitu Aria sebagai calon mempelai pria, tidak dapat pulang ke Indonesia. Karena tugas belajar tersebut akan gugur atau batal jika peserta tugas belajar tersebut pulang ke negara asalnya. Adanya hambatan ini kemudian ditanggulangi oleh pihak keluarga Noer dengan meminta nasehat ke Pejabat KUA dan Kanwil Departemen Agama Jakarta. Kedua instansi ini memberikan jalan keluar yaitu dengan pengiriman surat taukil oleh Aria. Surat Taukil adalah surat yang menerangkan bahwa salah satu mempelai akan diwakilkan pada saat perkawinan berlangsung karena berhalangan hadir. Maka terjadilah korespondensi antara Jakarta-USA, dengan maksud agar dari calon mempelai pria mengirimkan surat taukil yang dimaksud oleh KUA tersebut ke Indonesia. Setelah sekian lama menunggu, yang datang bukanlah surat taukil, melainkan Surat Kuasa untuk menandatangani Akta Nikah. Karena tiadanya surat taukil yang diharapkan itu, sedangkan pendaftaran untuk rencana pernikahan di KUA sudah dilaksanakan dan dengan makin mendekatnya hari dan tanggal serta bulan dilangsungkannya pernikahan, maka pihak ayah mempelai wanita menemukan jalan keluar, yaitu acara pernikahan Ijab dan Kabul antara wali mempelai wanita dengan mempelai pria akan dilaksanakan melalui sarana telepon Internasional Jakarta-USA. Usulan ini kemudian disampaikan orang tua Noer ke KUA Kecamatan Kebayoran Baru dan juga ke KASI URAIS Kodya Jakarta Selatan. Pihak KASI URAIS sendiri hanya memberi jawaban “dapat dilaksanakan, walaupun tidak sesuai dengan undang-undang, dan ketiadaan surat taukil itu dapat menyusul setelah proses perkawinan”. Alasan yang membenarkan dilaksanakan perkawinan melalui telepon ini adalah karena telah terpenuhinya syarat-syarat perkawinan selain yang berkaitan dengan kehadiran mempelai pria dalam satu majelis. Pernyataan pemberian izin dari KASI URAIS merupakan langkah awal bagi KUA Kecamatan Kebayoran Baru dan juga sebagai jalan keluar bagi keluarga Noer, untuk segera melaksanakan proses ijab-kabul tanpa adanya surat taukil dan orang tua Noer segera menghubungi Aria untuk menyetel telepon terus sampai selesai pada hari Sabtu tanggal 13 Mei 1989, pukul 10.00 WIB atau hari jum’at pukul 22.00 waktu Indianan, Amerika, untuk menyelenggarakan proses Ijab-Kabul. Perkawinan tersebut benar-benar dilaksanankan pada tanggal 13 Mei 1989 melalui telepon yang disambungkan dengan pengeras suara menurut surat keterangan Perumtel No. 137KP.W04.10090, ditandatangani Iwan Krisnadi MBA. PH, bahwa telepon yang disambungkan dengan pengeras suara akan didengar oleh orang-orang yang berada di sekitarnya, disaksikan oleh kurang lebih 100 undangan di Jakarta, termasuk juga pejabat dari KUA Kecamatan Kebayoran Baru, yang hadir pada saat itu, bertindak untuk mengawasi dan menyaksikan proses tersebut dan 10 sampai dengan 15 orang saksi di Amerika. Proses ijab-kabul itu sendiri berjalan lancar, diawali dengan adanya percakapan antara ayah Noer, sebagai wali, dengan Aria, sebagai cara untuk memastikan suara maupun kesiapan dari Aria. Dan juga percakapan dengan saksi- saksi yang ada di Amerika, termasuk yang menjadi saksi dari pengantin pria. Setelah pemastian suara dan kesiapan masing-masing pihak, proses ijab-kabul ini dilanjutkan dengan percobaan pengucapan ijab oleh wali Noer dan kabul oleh Aria. Dan setelah semua benar, baru diadakan ijab-kabul yang sebenarnya. Pada akhir dari upacara akad nikah itu terdengar ucapan takbir oleh sebagian yang hadir, termasuk kepala KUA Kecamatan Kebayoran Baru dan wali Noer, dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh ayah Noer. Namun masalah yang kemudian timbul adalah pada saat dimintakan pencatatan nikah di buku nikah, pihak KUA Kecamatan Kebayoran Baru menolak dilakukan pencatatan dan juga menolak memberikan buku nikah. Karena beranggapan bahwa proses ijab-kabul yang dilakukan di tempat yang berjauhan atau dengan kata lain, tidak terjadi pertemuan yang langsung antara kedua mempelai, adalah tidak sah. Adanya penolakan pencatatan oleh KUA Kecamatan Kebayoran Baru ini, menyebabkan ayah Noer mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk menetapkan sah perkawinan yang dilangsungkan melalui sarana telekomunikasi dalam hal ini adalah melalui telepon, yang disebabkan keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengadakan ijab-kabul dalam satu majelis. Untuk kemudian dapat kiranya perkawinan tersebut dicatatkan dan dibukukan ke dalam suatu buku nikah, sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam undang- undang perkawinan, khususnya Pasal 2 ayat 2 jo. Pasal 2 PP No. 91975 mengenai pencatatan perkawinan.

C. Perkawinan Teleconference di Indonesia

Kasus perkawinan yang dilakukan dengan jarak jauh tidak dalam satu majelis tidak hanya terjadi pada perkawinan Aria dan Noer saja. Apabila pada tahun 1989 mereka memakai sarana telepon. Dan untuk mengetahui bahwa yang berbicara di ujung saluran telepon adalah benar-benar calon mempelai pria dengan cara wali dari mempelai wanita berusaha melakukan dialog untuk memastikan bahwa suara tersebut adalah benar-benar suara dari calon mempelai pria. Maka dengan bertambah majunya tekhnologi dan perkembangan telekomunikasi yang semakin canggih, masyarakat mulai memakai sarana teleconference. Yaitu selain kita bisa mendengarkan suara audio dari ujung saluran telepon, kita juga bisa melihat secara kasat mata visual melalui video. Sehingga kita bisa secara langsung melihat siapa yang menjadi lawan bicara kita. Salah satu kasus ini terjadi pada tanggal 4 Desember 2004 pada pasangan Dewi Tarunawati dengan Syarif Aburahman Achmad 9 . Jarak Bandung, Indonesia – Pittsburgh, Amerika Serikat dengan perbedaan waktu 12 jam, tidak menghalangi mereka untuk melangsungkan pernikahan. Dewi yang berada di Bandung dan Syarif di 304 Oakland Ave Apt 9 Pittsburgh PA 15213 Amerika Serikat melangsungkan pernikahan di Kantor Indosat Landing Point Jln. Terusan Buah Batu Bandung. Hal ini terjadi dikarenakan calon mempelai pria tidak dapat 9 Koran Pikiran Rakyat, Minggu 5 Desember 2004 meninggalkan pekerjaannya di Amerika karena terikat kontrak dan begitupun calon mempelai wanita yang tidak dapat meninggalkan studi S2-nya di Indonesia. Pernikahan Dewi-Syarif sebenarnya hampir sama dengan pernikahan pada umumnya, ada mempelai wanita, wali nikah, dan dua saksi. Perbedaannya, mempelai pria hadir tidak secara fisik melainkan dalam bentuk gambar di televisi. Sehingga televisi ukuran 29 inci menjadi pusat perhatian puluhan kerabat yang hadir dalam acara tersebut, khususnya orang tua Dewi dan orang tua Syarif. Sementara hadirin yang hadir dalam acara tersebut bisa menyaksikan mempelai pria dari big screen layar lebar berukuran 1,5 m x 2 m. Tepat pukul 8.45 WIB, akad nikah Dewi Tarumawati, S.Psi, putri pertama H. Daddy S. Yudha Manggala dengan Syarif Aburahman Achmad Ph.D, putra keempat H. Memed Achmad Diat T, dimulai. Dipimpin Petugas Pencatat Nikah PPN Kec. Regol Syamsul Maarif dan Cecep Budiman, pembacaan ijab kabul berjalan lancar. Ijab dari H. Daddy orang tua Dewi, Saya nikahkan Dewi Tarumawati putri kandung bapak kepada ananda dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang Rp 5 juta dibayar tunai. Dijawab denga lancar oleh Syarif, Saya terima nikahnya Dewi Tarumawati putri kandung bapak dengan memakai mas kawin seperangkat alat shalat dan uang Rp 5 juta rupiah dibayar tunai. Setelah ijab kabul, pengantin pria membacakan sighat taklik, Saya Syarif Aburahman Achmad bin H. Memed berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami. Saya akan pergauli istri saya bernama Dewi dengan baik muasyarah bil maruf menurut syariat Islam. Kemudian, Sewaktu-waktu saya meninggalkan istri saya dua tahun berturut- turut, atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, atau saya menyakiti badanjasmani istri saya, atau saya membiarkan tidak mempedulikan istri saya enam bulan lamanya, kemudian istri saya tidak rida dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima pengadilan, dan istri saya membayar uang sebesar Rp 1.000,00 sebagai iwadh pengganti kepada saya, maka jatuhlah talak satu saya kepadanya. Acara akad nikah diakhiri dengan sungkeman mempelai wanita kepada orang tua dan mertuanya. Sementara mempelai pria sungkeman dengan kata-kata. Syarif bersyukur kepada Allah SWT karena acara akad nikah berjalan lancar. Syarif berharap istrinya dapat segera menyelesaikan studi S2-nya sehingga bisa segera ke Amerika untuk secara bersama-sama membangun keluarga baru. Walaupun dalam kedua kasus perkawinan tersebut dilangsungkan di luar kebiasaan, yaitu dengan melalui media telekomunikasi atau jarak jauh, akan tetapi segala sesuatunya dilakukan dengan cara-cara seperti perkawinan yang biasa, yaitu 10 : a. Telah dilakukan pemberitahuan kehendak terlebih dahulu ke Pegawai Pencatat sesuai dengan ketentuan Pasal 3 PP No.91975. b. Telah terpenuhinya segala syarat sesuai Pasal 6 dan 7 Undang- undang No.11974 jo. PP No.91975 dan tidak ada halangan perkawinan terhadap ketentuan persyaratan perkawinan mereka. c. Segala sesuatunya dilakukan dengan itikad baik. Tidak ada suatu maksud sebagai penyelundupan hukum, yaitu bermaksud untuk menghindari ketentuan undang-undang perkawinan yang berlaku atas diri para pihak dengan memilih menggunakan undang-undang perkawinan yang tidak berlaku atas para pihak. Semua tindakan dengan maksud itikad baik ini, dapat dilihat dari dipenuhinya segala sesuatu yang dipersyaratkan oleh peraturan yang berlaku. Hanya 10 Ibid Idha Aprilyana, Hlm. 59.