dengan tahapan-tahapan upacara pelepasan status atau sering disebut Rites de Passage, hal ini tidak lain karena hakekat perkawinan sebagai penyatuan dua
keluarga besar, yang bertujuan untuk
3
: 1.
melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib – teratur ; 2.
melahirkan generasi baru sebagai pelanjut garis hidup kelompoknya. 3.
meneruskan garis keluarga tertentu yang termasuk dalam persekutuan tersebut.
Banyaknya tata cara dan atau aturan yang harus dilalui untuk mencapai sahnya suatu perkawinan, menimbulkan pemikiran untuk menyederhanakan dan
membuat praktis. Keinginan kuat penyederhanaan sahnya perkawinan ini semakin terwujud, dengan adanya perubahan sahnya perkawinan secara adat menjadi
secara agama. Sahnya suatu perkawinan secara agama semakin diperkuat dengan keluarnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, terutama Pasal 2 ayat 1 yang
berbunyi sebagai berikut : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu ”
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan UU perkawinan ini, maka suatu perkawinan itu
tidak akan ada, jika dilakukan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah dilakukan
perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1, segera dilanjutkan dengan pencatatan perkawinan tidak hanya sebagai suatu bentuk tata tertib administrasi,
3
Iman Sudiyat, Hukum Adat : Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta, 1981, Hlm. 107
akan tetapi adanya pencatatan perkawinan ini membuktikan telah dilaksanakan atau belum perbuatan hukum perkawinan yang ditentukan dalam ketentuan Pasal
2 ayat 1 tersebut di atas. Oleh karena itulah, pencatatan perkawinan sesuai ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU perkawinan ini, sangat penting kedudukannya
dalam hal terjadinya akibat hukum dari adanya perbuatan hukum perkawinan tersebut.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan 2 tersebut, maka timbul suatu hal yang menarik dalam masyarakat mengenai perkawinan dengan
memanfaatkan teknologi telekomunikasi khususnya media teleconference, suatu hal yang dulu dirasakan tidak mungkin terjadi, akan tetapi pada saat ini telah
dapat dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari semakin canggih dan berkembangnya sarana teknologi telekomunikasi.
Fenomena menarik berkaitan dengan pemanfaatan media teleconference dalam suatu perkawinan menimbulkan suatu kajian baru berkaitan dengan sah
atau tidaknya perkawinan yang dilangsungkan secara jarak jauh, yang mendorong
penulis melakukan penelitian mengenai : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perkawinan Teleconference
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah
Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan
dalam penulisan skripsi ini hanya berkisar pada “Hukum Perkawinan
Teleconference”.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang penelitian tersebut maka dapat
dimunculkan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana status hukum bagi pernikahan Teleconference? 2. Bagaimanakah prosedur perkawinan yang dilakukan melalui media
teleconference? 3. Kendala-kendala apa saja yang timbul dalam pelaksanaan perkawinan
melalui media teleconference?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya tentang bagaimana Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang
perkawinan teleconference. Adapun tujuan dapat dirinci sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui sejauh mana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan mengatur tentang perkawinan khususnya mengenai perkawinan melalui media teleconference.
2. Untuk mengetahui prosedur perkawinan yang dilakukan dengan memanfaatkan
media teleconference secara hukum. 3. Untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dan bagaimana solusinya
dalam menangani kendala-kendala tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan manfaat bagi pihak- pihak yang berkepentingan, baik secara :
1. Teoritis
Yaitu dalam rangka pengembangan llmu Hukum Perdata pada umumnya dan Hukum Perkawinan pada khususnya
2. Praktis
a. Memberikan suatu masukan bagi instansi yang terkait dalam bidang
perkawinan dan juga masyarakat. b.
Memberikan suatu alternatif atau terobosan baru dalam pelaksanaan proses perkawinan melalui media perantara.
c. Penelitian ini dapat berguna untuk bahan rujukan atau acuan untuk
penelitian yang diadakan berikutnya.
E. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan penelitian yang berkaitan dengan adanya perkawinan melalui pemanfaatan media teleconference, berlandaskan pada teori atau pemikiran yang
timbul dari Pasal 2 UU Perkawinan, pada ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
1 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu
2 Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.”
Selain kedua pasal di atas, landasan pemikiran lainnya adalah Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
4
, khususnya pada ayat 3, yang berbunyi:
“Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai
pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi” Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UU Perkawinan serta
Pasal 10 ayat 3 PP No. 91975 tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan dan tatacara
perkawinan tidak menentukan dengan cara bagaimanakah perkawinan itu harus dilangsungkan
, karena tidak adanya ketentuan mengenai cara berlangsungnya suatu proses perkawinan, maka akan dapat dimunculkan dua
penafsiran, yaitu
apakah perkawinan
harus dilangsungkan
dengan mempertemukan kedua mempelai atau sebaliknya, bahwa proses perkawinan
dapat dilangsungkan tanpa perlu kedua mempelai bertemu langsung. Untuk menjawab dua penafsiran di atas, jika mengacu pada ketentuan
pasal tersebut, hanya akan mendapat jawaban yang sama. Hal ini tidak lain, karena Pasal 2 ayat 1 yang menentukan sahnya perkawinan hanya memberikan
4
Untuk selanjutnya disingkat menjadi PP No. 91975