Klebsiella Enterobacter Bakteri Coliform

isolasi bakteri enterik. C.freundii memproduksi H2S dari natrium thiosulat, tetapi spesies yang lain tidak. Kebanyakan isolat memproduksiurease lemah yang akan menghidrolisis urea dalam waktu dua hari. C.diversus merupakan penyebab penting dari meningitis pada neonatus dan abses otak. C.freundii enterotoksigenik diisolasi dari penderita dengan diare. Pada suatu penelitian, 46 dari 328 penderita diare didapatkan C. Freundii pada tinjanya Tim Mikrobiologi FK Universitas Brawijaya,2003.

2.2.2. Klebsiella

Klebsiella adalah bakteri batang gram negatif, panjang-pendek, berpasangan atau berderet, tidak berspora, tidak bergerak dan berkapsul. Jika tumbuh pada media sederhana, dapat membentuk koloni yang mukoid. Pada media blood agar plate, memiliki koloni besar, abu-abu, smooth, cembung, mukoid atau tidak, dan anhaemolytis. Sedangkan pada Mac Conkey agar plate, akan tampak koloni besar-besar, mukoid, cembung, berwarna merah muda-merah bata. Kalau koloni ini diambil dengan ose akan kelihatan seperti talibenangSoemarno,2000. Klebsiella dapat hidup sebagai saprofit pada lingkungan hidup, pada air, tanah, makanan, dan sayur-sayuran. Bakteri ini dapat menimbulkan infeksi pada saluran urin, paru-paru, saluran pernapasan, luka-luka, dan septiksemia Soemarno,2000. Berdasarkan studi hubungan DNA, genus ini terdiri atas K. Pneumonia, K. Planticola, K. Terrigena, dan Klebsiella group 47. Klebsiella pneumonia adalah yang paling sering terisolasi. K. Pneumonia dapat menyebabkan primary community-acquired pneumonia serta pneumonia nosokomial. Biasanya terjadi pada penderita usia pertengahan dan usia tua dengan latar belakang alkoholisme, penyakit bronkopulmonari kronik atau diabetes mellitus. Disamping itu K. pneumonia juga menyebabkan infeksi saluran kemih, infeksi pada luka, bakterimia, dan meningitis. Peranan mikroorganisme enterotoksigenik dan sitotoksik pada penderita diare masih sukar dinilai. Masih belum ada studi yang sistematis untuk mencari organisme pada penderita diare, dan kebanyakan isolat didapat dari negara tropis tempat diare merupakan problem yang kronis Tim Mikrobiologi FK Universitas Brawijaya,2003.

2.2.3. Enterobacter

Enterobacter adalah bakteri batang gram negatif, tidak berspora, kadang- kadang berkapsul dan aktif dengan flagella peritrich. Pada blood agar plate memiliki koloni sedang-besar, putih, abu-abu, sedikit cembung, bulat, smooth, dan anhaemolytis. Pada Mac Conkey agar plate memiliki koloni besar, putih-merah keruh, cembung, bulat, smooth, dan 2x24 jam mukoid Jawetz,2007. Genus enterobacter yang terdiri atas 12 spesies, hidup di tanah, air, dan usus besar manusia dan hewan. Ada delapan spesies Enterobacter yang berhubungan dengan penyakit pada manusia yaitu E. cloacae, E. aerogenes, E. agglomerans, E. gergoviae, E. sakazakii, E. taylorae, E. asburiae, dan E. hoemaechii. Kebanyakan dari isolat meragikan laktosa dengan cepat dan memberikan warna pada koloni. Enterobacter tergolong bakteri tidak patogen, walaupun demekian bakteri ini dapat ditemukan di dalam darah, urin, feses, sputum, pus, makanan dan minuman, serta air Soemarno,2000. E. sakazakii dapat dibedakan dengan anggota yang lain karena pigmen kuning yang diproduksinya. Enterobacter lebih jarang terisolasi dibandingkan Klebsiella dan E. coli, dan meskipun bisa menginfeksi berbagai jaringan dalam tubuh, namun lebih sering dihubungkan dengan infeksi saluran kemih ISK. Kebanyakan infeksi yang terjadi adalah nosokomial. Penderita- penderita tua dengan penyakit-penyakit komplikasi lebih muda terkena infeksi Enterobacter. E. cloacae merupakan penyebab infeksi yang tersering, diikuti oleh E. aerogenes dan E. agglomerans. Organisme ini biasanya terdapat dalam cairan infuse di rumah sakit. E. gergoviae berhubungan dengan infeksi saluran kemih, nosokomial dan dapat diisolasi dari bahan pemeriksaan dari saluran napas dan darah. E. sakazakii paling sering diisolasi dari luka dan saluran napas, tetapi juga dapat menyebabkan meningitis, abses otak, dan bakterimia pada neonatus Tim Mikrobiologi FK Universitas Brawijaya,2003.

2.2.4. Pseudomonas