Mas’udi
Akomodasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah
Dikatakan pasti karena kebenarannya tidak dapat diragukan. Semakin tinggi semakin berkompleksitas rumit, abstrak, teoritis, metaisis, luas dan padat,
dan relatif. Pada puncak tertinggi objek ilmu pengetahuan mencakup realitas
yang konkret dan abstrak.
14
Fragmentasi keilmuan umum yang lebih merambah ke dalam dunia yang penuh dengan kompleksitas karena mengarah kepada kepastian kajian
sangatlah berbeda dengan tradisi keilmuan muslim yang lebih cenderung pada pola pikir normatif-deduktif. Hal itu terlihat pada praktik pendidikan Islam
yang saat ini lebih mengarah pada pola mengajar teaching, ta’lim daripada
mendidik education, tarbiyah atau ta’dib. Mengajar jelas berbeda dengan
mendidik. Aktivitas mengajar dibatasi oleh ruang kelas dan mengandalkan peran guru yang amat besar. Sedang mendidik atau pendidikan tidak harus
dilaksanakan dalam ruang kelas, bisa di aula, auditorium, laboratorium, bahkan di luar sekolah atau kampus. Dalam pendidikan terdapat interaksi
edukatif antara guru-murid, murid-murid, bahkan guru-guru, sehingga murid dipandang sebagai peserta aktif dalam keseluruhan proses pendidikan.
15
Pola-pola pendidikan sebagaimana diarahkan pada konsepsi dialogis di atas memberikan suatu sumbangan berharga bahwa realitas pendidikan
masa kini di tengah-tengah kehidupan masyarakat muslim masih jauh dari titik pijak positif. Terjadinya demarkasi yang sangat menjurang
dengan pengukuhan ilmu agama sebagai basis pendidikan dominan masih mendudukkan dikotomi sebagai kepastian dalam realitas pendidikan
dimaksud. Di atas alasan inilah, membangun kesadaran baru akan konsepsi pendidikan yang integratif-interkonektif mustahil ditolak keberadaannya.
Setiap individu muslim patut menyadari bahwa kepastian dari integrasi disiplin ilmu merupakan kemutlakan pola pengembangan pendidikan di
masa kini dan yang akan datang.
C. Mengisi Ruang Gerak Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah dengan
Pendidikan Islam Progresif Doktrinasi Islam di tengah-tengah masyarakat masih cenderung
berhaluan kepada eksklusivisme berpikir. Hal ini secara niscaya dapat disaksikan pada maraknya perseteruan-perseteruan sosial yang berakibat
14
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islan Integratif Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, hlm. 65-66.
15
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam Paradigma Baru Pendidikan
Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, hlm. 22-23.
ELEMENTARY
Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
kepada terjadinya konlik dengan dalih agama, ras, budaya, atau bahkan ekonomi. Kenyataan ini secara niscaya memberikan agenda tersendiri
kepada segenap pendidik untuk menyadarkan umat akan tujuan hakiki keberagamaan mereka di dunia. Secara terfokus, masyarakat patut disadarkan
kepada perspektif mereka akan agama Islam yang diyakini keberadaannya dalam kehidupan. Pada posisi inilah mereka memiliki tanggung jawab besar
untuk memaknai dasar keimanan mereka dalam beragama. Nurcholish Madjid mencatat, bagi seorang muslim, iman adalah
bagian penting mendasar dari kesadaran keagamaannya. Dalam berbagai makna dan tafsirannya, perkataan iman menjadi bahan pembicaraan
di setiap pertemuan keagamaan, yang selalu disebutkan dalam rangka peringatan agar dijaga dan diperkuat. Iman itu, sebagaimana senantiasa
diingatkan oleh para pengajur, terkait erat dengan amal. Amal yang praktis itu merupakan tuntutan langsung iman yang spiritual. Tidak ada iman tanpa
amal, dan muspralah amal tanpa iman. Juga digunakan istilah-istilah lain untuk menunjukkan eratnya hubungan antara dua aspek jalan hidup yang
benar itu, seperti taqwa dan akhlak serta tali hubungan dengan Allah dan tali hubungan dengan sesama manusia habl min Allah wa habl min al-nas.
Juga mengarah ke pengertian itu ialah keterkaitan antara salat dan zakat, serta—dari sudut komitmen kejiwaan—takbir bacaan Allah Akbar di awal
salat dan taslim bacaan al-salam ‘alaykum—“assalamualaikum” pada akhir bacaan salat.
16
Perspektif keimanan yang dibangun oleh Nurcholish Madjid di atas memberikan suatu gambaran niscaya bahwa nilai-nilai kemanusiaan
merupakan kunci utama kehidupan. Bingkai keislaman yang diyakini oleh masing-masing penganut keyakinan keislaman merupakan suatu
atribut semata untuk memupuk keyakinan mereka akan kemanusiaan itu sendiri. Dari perspektif yang dibangunnya tersebut, Nurcholish Madjid
mengisyaratkan dialektika pemahaman keagamaan masyarakat muslim dalam bingkai keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan. Pemahaman
ini secara gamblang dirumuskannya sebagai teologi inklusif. Teologi inklusif pada dasarnya berpijak pada semangat humanitas dan universalitas
Islam. Yang dimaksud dengan semangat humanitas di sini, pada dasarnya pembentukan mind setting keagamaan masyarakat akan eksistensi Islam
sebagai agama kemanusiaan itrah atau dengan kata lain, cita-cita Islam
16
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Jakarta: Paramadina, 1992, hlm. 130.
Mas’udi
Akomodasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah
itu sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya. Dan kerasulan atau misi Nabi Muhammad saw., adalah untuk mewujudkan rahmat bagi
seluruh alam. Jadi, perspektif ini menjelaskan bahwa eksistensi Islam tidak ditujukan semata-mata demi menguntungkan komunitas Islam saja. Lebih
lanjut pula, pengertian universalitas dalam penjelasan ini, jika ditafsirkan secara sosiologis, mengandung makna bahwa Islam itu merupakan agama
yang berwatak kosmopolitan. Karena kosmopolitan, dengan sendirinya ia juga modern.
17
Semangat pembaharuan Islam sebagai wadah utama pencapaian pendidikan yang mendewasakan secara niscaya berdialektika kuat dengan
perspektif masing-masing pribadi muslim dengan dinamika keislaman itu sendiri. Prinsip kemanusiaan sebagai kerangka utama dalam keagamaan dan
keberagamaan harus utuh dipenuhi demi menjadikan nilai-nilai keislaman yang dilestarikan bersambung dengan kerahmatan Islam bagi alam semesta.
Untuk itulah, pemenuhan prinsip keislaman berhaluan sosial, ekonomi, dan antropologis mutlak dibutuhkan demi mendudukkan Islam itu sendiri dalam
bingkai inklusiitasnya. Dalam kerangka inilah, memacu progresivitas Islam dalam kancah Antropologi Pendidikan, Mahmud dan Ija Suntana menjelaskan
terkait dengan sasarannya, antropologi pendidikan Islam memfokuskan diri pada telaah sistem pendidikan dalam lingkup norma dan budaya Islam.
Pendidikan sebaggai suatu ilmu memiliki seperangkat norma yang harus dipenuhi oleh pendidika dan anak didik dalam rangka menuju tujuan yang
diinginkan. Norma-norma tersebut mengacu pada nilai-nilai ideal yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Pada umumnya, norma diartikan
sebagai aturan yang menentukan kebiasaan, perilaku yang diterapkan dalam kehidupan sosial. Sasaran kajian antropologi pendidikan Islam adalah
fenomena yang berarah balik dengan kajian pendidikan agama Islam. Arah pendidikan agama Islam bermula dari atas ke bawah, sedangkan antropologi
pendidikan Islam dari bawah ke atas. Konsep pendidikan Islam menekankan agar wahyu dan ajaran Islam dapat dijadikan pandangan hidup anak didik
manusia. Adapun antropologi pendidikan Islam menekankan agar anak didik dapat membangun pandangan hidup berdasarkan pengalaman
agamanya. Kajian antropologi pendidikan Islam dapt memberikan informasi tentang sosialisasi, akulturasi, dan internalisasi yang mengacu pada moral
17
M. Syai’i Anwar, “Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid” dalam Asep Gunawan, ed., Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah Jakarta:
Srigunting, 2004, hlm. 532.
ELEMENTARY
Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
pendidikan Islam dalam kenyataan. Antropologi pendidikan Islam tidak mengartikan masyarakat Islam sebagai suatu sistem kehidupan manusia yang
terpisah secara geograis dari masyarakat lain. Masyarakat Islam berada di berbagai tempat yang anggota-anggotanya tidak hanya berinteraksi dengan
sesama anggota masyarakat yang beragama Islam, tetapi dengan pemeluk agama lain dengan pola kehidupan yang beragam.
18
Perspektif antropologis keislaman sebagaimana tercatat di atas menunjuk akan arti penting nilai-nilai pendidikan yang ditawarkan kepada
segenap peserta didik berpacu dalam progresivitas keislaman yang penuh keramahtamahan. Menyikapi kondisi ini, inklusiitas keberagamaan umat
Islam mutlak bermuara kepada nilai-nilai humanitas sebagaimana dijelaskan
dalam beberapa bahasan di awal. Islam harus dihadirkan dengan penciri keberadaannya yang terbuka open religion. Prinsip Islam sebagai agama
terbuka adalah bahwa ia menolak eksklusiisme dan absolutisme, dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme. Dalam perspektif
ini, umat Islam menurut Nurcholish Madjid sebagaimana dikuatkan oleh Syai’i Anwar juga harus menjadi golongan yang terbuka, yang bisa tampil
dengan rasa percaya diri yang tinggi, dan bisa bersikap sebagai pamong
yang bisa ngemong golongan-golongan lainnya. Sementara penolakan terhadap absolutisme mengandung makna bahwa Islam itu memberikan
tempat yang tinggi terhadap ide pertumbuhan dan perkembangan growth and development, yakni paradigma tentang etos gerak yang dinamis dalam
ajaran Islam.
19
Harapan demi harapan untuk membentuk kesadaran beragama masyarakat yang inklusif dan terbuka adalah agenda besar bagi segenap
stakeholder baik di wilayah agama dan pendidikan. Pendidikan agama Islam dalam hal ini sebagai lokomotif utama pencapaian atas keterbukaan tersebut
harus mampu dihadirkan dengan penuh semangat kemanusiaan sehingga cita dan fakta Islam yang toleran, ramah, dan penuh rahmat bagi alam semesta
mutlak dicapai. Dalam kerangka ini pula, pemenuhan pendidikan dimulai dari tingkat paling rendah, Play Group, PAUD, MI, dan seterusnya harus
senantiasa diajarkan signiikansi progresivitas masyarakat akan keterbukaan beragama. Formulasi pendidikan dalam jenjang Pendidikan Madrasah
18
Mahmud dan Ija Suntana, Antropologi Pendidikan Bandung: Pustaka Setia, 2012, hlm. 21.
19
M. Syai’i Anwar, “Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid” dalam Asep Gunawan, ed., Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, hlm. 532.
Mas’udi
Akomodasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah
Ibtidaiyah sebagai kajian utama dalam bahasan ini mutlak dihadapkan dengan pendidikan dan pengajaran yang menanamkan arti inklusiitas
dalam beragama. Pluralisme adalah bahasan lanjutan dari pengkajian akan
progresivitas dalam pemahaman agama. Untuk itulah, kerangka dasar agama yang penuh dengan keluasan perspektif, kekayaan cakrawala, dan kepastian
multi interpretasi harus sedini mungkin bisa dijelaskan sehingga akhirnya, anak-anak didik terbebas dari jeratan ambiguitas berpikir atau kekauan
dalam mengkaji agama dan kebenaran lain di sekelilingnya.
D. Penutup