Merancang Struktur Pendidikan Bernuansa Filosois

Mas’udi Akomodasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah Merancang suatu nilai dasar dalam bangunan pendidikan akan memberi implikasi logis keberadaannya. Kenyataan ini mengacu kepada asas hakiki pendidikan yang akan senantiasa memberikan efek masa depan baik bagi individu, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. Hakikat pendidikan secara niscaya hadir mewarnai kehidupan sosial kemasyarakatan dalam lingkup yang lebih global. Lebih terperinci lagi dapat dilihat pada batasan pendidikan Islam. Jika ditinjau dari beberapa pendapat pakar pendidikan muslim, pendidikan Islam memiliki penekanan dan perhatian yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing. Omar Muhammad al-Toumy al-Syaebani sebagaimana dikutip oleh Assegaf mengumpamakan pendidikan Islam sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses pendidikan. 5 Batasan yang dirumuskan oleh beberapa pakar pendidikan Islam sebagaimana salah satu contohnya dibahas pada pembahasan terdahulu menunjukkan bahwa para ahli yang notabene dalam ruang gerak mereka sistem pendidikan dipertaruhkan memiliki tanggung jawab yang tidak bisa dianggap ringan. Tanggung jawab para praktisi pendidikan menjadi asas utama pengukuhan dasar pembentukan orientasi pendidikan yang ingin dicanangkan. Masing-masing personal dalam wilayah pendidikan memiliki kewenangan besar untuk membentuk sistem dan pola pendidikan yang akan diwujudnyatakan.

B. Merancang Struktur Pendidikan Bernuansa Filosois

Merancang kurikulum terhadap pola pengembangan pendidikan di tingkat manapun dalam satuan pendidikan secara niscaya akan dipertemukan dengan harapan keilsafatan di dalamnya. Nilai-nilai ilosois merupakan keniscayaan yang akan senantiasa dipersinggungkan dalam membuat komposisi kurikulum yang akan ditawarkan. Hal ini sebagaimana dirumuskan oleh al-Qabisi sebagaimana dikutip oleh Assegaf bahwa pencapaian pendidikan bagi setiap anak mutlak diwujudkan dengan melakukan pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar. Al-Qabisi juga menghendaki tujuan pendidikan harus mampu mengarahkan anak didik agar memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis 5 Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam Jakarta: RajaGraindo Persada, 2011, hlm. 35-36. ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013 yang dapat mendukung mereka bekerja untuk mencari nafkah. Bagi al-Qabisi, tujuan pembelajaran adalah untuk meningkatkan kepribadi syakhsiah pelajar slaras dengan nilai-nilai Islam. Lebih spesiik lagi, tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan kekuatan akhlak, menimbulkan rasa cinta kepada agama, berpegang teguh kepada ajaran-Nya serta berperilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu, al-Qabisi juga menghendaki agar para pelajar dapat memiliki keterampilan yang dapat mendukung mereka mencari nafkah. 6 Tinjaun pragmatik pendidikan yang diajukan oleh al-Qabisi di atas memberikan satu cerminan positif bahwa pendidikan dalam realitas ilosoisnya akan berargumen menuju kepada kebijaksanaan para pelaku dan objek pekerjaannya. Untuk itulah, sekiranya pragmatisme pendidikan dalam dimensi keilsafatannya sangat membumbung tinggi dalam cakrawala pemikiran, penting pula mengkaji eksistensi ilsafat pendidikan guna menlandasi bahasannya. Wacana tentang Filsafat Pendidikan merupakan gabungan dari dua kata, ilsafat dan pendidikan. Karena itu, untuk menyingkap pengertian holistik ilsafat pendidikan, sudah seharunsya mengurai pengertian kedua kata tersebut masing-masing. Istilah ilsafat berasal dari Bahasa Yunani philosophia, yang berarti “cinta akan kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis”. Filsafat dalam pengertian tersebut menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki pengertian menyeluruh tentang segala sesuatu yang dimaksudkan kebijaksanaan, namun terus-menerus harus mengerjarnya. Berkaitan dengan apa yang dilakukannya, ilsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio manusia yang menembusi dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu. Filsafat menggumuli seluruh realitas, tetapi teristimewa eksistensi dan tujuan manusia. 7 Berpinjak kepada semua rumusan tentang ilsafat dalam bahasan di atas istilah pendidikan yang terangkum dalam terminologi keislaman dengan istilah tarbiyah mengandung arti dasar sebagai pertumbuhan, peningkatan, atau membuat sesuatu menjadi lebih tinggi. Zaprulkhan selanjutnya memijakkan argumentasinya karena makna dasar pendidikan dalam istilah agama Islam disebut tarbiyah dengan rumus kajiannya sebagai hakikat pertumbuhan atau peningkatan, maka hal ini mengandung asumsi 6 Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam; Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern Jakarta: RajaGraindo Persada, 2013, hlm. 66-67. 7 Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik, hlm. 291. Mas’udi Akomodasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah bahwa dalam setiap diri manusia suadah terdapat bibit-bibit kebaikan. Zaprulkhan menguatkan bahwa kewajiban orang tua dan para pendidik untuk mengembangkan bibit-bibit positif anak-anak meraih kebaikan masing- masing. Dengan demikian, pendidikan tarbiyah merupakan sebuah proses meningkatkan potensi-potensi positif yang bersemayam dalam jiwa setiap anak hingga mencapai kualitas yang setinggi-tingginya dan proses pendidikan itu tidak pernah berakhir selama hayat masih di kandung badan. 8 Mengamati konseptualisasi pendidikan sebagaimana terangkum dalam rumusan ilosoi pendidikan di atas nyata secara sistematis bahwa segenap praktisi pendidikan memiliki tanggung jawab besar dalam memangku aktivitas pendidikan yang akan diimplementasikan. Fakta ini diamini sepenuhnya dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal I. Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5105, diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah, di antara angka 17 dan angka 18 disisipkan 1 satu angka yakni angka 17A dan ketentuan angka 22 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pengelolaan pendidikan adalah pengaturan kewenangan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupatenkota, penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat, dan satuan pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. 2. Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Rumusan peraturan pemerintah terangkum di atas menjelaskan kepada masing-masing stakeholder pendidikan bahwa manifestasi pendidikan adalah tanggung jawab terikat kepada mereka. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memobilisasi pendidikan ke arah pencapaian yang diinginkan. Hal ini secara niscaya patut diapresiasi oleh setiap pribadi mengingat semangat akan pendidikan sebagaimana dijelaskan oleh Zaprulkhan bahwa pendidikan 8 Ibid., hlm. 293-294. ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013 berlangsung sepanjang zaman, menurut jenjang-jenjang tertentu secara linier-kausalistis. Dimulai dari jenjang pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan berlangsung terus-menerus di berbagai jenis kegiatan dan pekerjaan di dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan berlangsung di setiap kegitan sosial, hukum, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan. 9 Perspektif yang mengemuka di atas menjadi penanda kuat bahwa perspektif yang tertuang dalam Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal I, ayat 3. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut; dan ayat 4. Taman Kanak-kanak, yang selanjutnya disingkat TK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berusia 4 empat tahun sampai dengan 6 enam tahun; kemudian ayat 5. Raudhatul Athfal, yang selanjutnya disingkat RA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan dengan kekhasan agama Islam bagi anak berusia 4 empat tahun sampai dengan 6 enam tahun; ayat 6. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi; ayat 7. Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang melandasi jenjang pendidikan menengah, yang diselenggarakan pada satuan pendidikan berbentuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta menjadi satu kesatuan kelanjutan pendidikan pada satuan pendidikan yang berbentuk Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, atau bentuk lain yang sederajat; ayat 8. Sekolah Dasar, yang selanjutnya disingkat SD, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar; ayat 9. Madrasah Ibtidaiyah, yang selanjutnya disingkat MI, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar; ayat 10. Sekolah Menengah Pertama, yang selanjutnya disingkat SMP, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan 9 Ibid., hlm. 301. Mas’udi Akomodasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI; ayat 11. Madrasah Tsanawiyah, yang selanjutnya disingkat MTs, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI; ayat 12. Pendidikan menengah adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang merupakan lanjutan pendidikan dasar, berbentuk Sekolah Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain yang sederajat; ayat 13. Sekolah Menengah Atas, yang selanjutnya disingkat SMA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs; ayat 14. Madrasah Aliyah, yang selanjutnya disingkat MA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs; ayat 15. Sekolah Menengah Kejuruan, yang selanjutnya disingkat SMK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs; ayat 16. Madrasah Aliyah Kejuruan, yang selanjutnya disingkat MAK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs, keseluruhan dari butir ayat di atas menjadi landasan sistematis bahwa komposisi pendidikan berlangsung sepanjang zaman pengembangan peserta didik. Konseptualisasi dasar pendidikan dengan nuansa ilosois patut dicerna eksistensinya sebagai modal awal bahwa pendidikan memiliki kontribusi besar bagi pertumbuhan anak-anak. Menyikapi kondisi ini pula, Jasa ELEMENTARY Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013 Ungguh Muliawan meneguhkan secara eksistensial fase-fase pertumbuhan pendidikan bagi setiap peserta didik dimulai dari kesadaran mereka bahwa pendidikan merupakan kegiatan dalam kehidupan masing-masing orang. Pendidikan dalam pengertian operasional sistematis adalah proses belajar- mengajar. Belajar adalah suatu proses mengonstruksi pengetahuan baik yang alami maupun manusiawi. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah suatu proses yang aktif. Beberapa faktor , seperti pengalaman, pengetahuan yang dipunyai, kemampuan kognitif, dan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar. Kenyataan ini pula menuntut kesadaran persepsional dari setiap pribadi bahwa mengajar dalam pencapaiannya merupakan proses membantu seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfre pengetahuan dari orang yang sudah tahu guru kepada yang belum tahu murid, melainkan membantu sesorang agar dapat mengonstruksi sendiri pengetahuannya terhadap fenomena dan objek yang ingin diketahui. 10

B. Antara Integrasi dan Pola Dikotomi