AKOMODASI NILAI-NILAI KEISN DALAM KURIKULUM MADRASAH IBTIDAIYAH | | ELEMENTARY 281 1155 1 PB

(1)

DALAM KURIKULUM

MADRASAH IBTIDAIYAH

Mas’udi

Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus Email: [email protected]

Abstract: Education in its growth has consequences that are

very basic to the participants or the culprit. It is bound with the main patterns of education that continues to provide a major contribution in the future after the implementation of its educational system. The reality of life borne in a race against the form of contributory education held. Reforming the curriculum in Elementary School (MI) educational unit is a necessity that must be done to organize the structure of learning in it to the directed and competent region. MI has a great responsibility to drive in between the globalized and competitive times. Educational formulation with the composition of the present curriculum without leaving Islamic messages is an absolute entity that must be realized in MI curriculum. Consequently, the dynamics of an increasingly globalized age is not a challenge to be annuled MI curriculum away from its Islamic nuances. Elementary School is undoubtedly the best growth pace in with the global space and time realities. Hence, both acculturation current curriculum and Islamic curriculum at the past need to be realized in order to deny the traditional stereo-type past curriculum. Principally, it calls for integrative spirited afirmation in the fulillment of educational spirited MI curriculum.

Key Words: Education, rapid growth rate, Integration, Life,

Humanizing Human.

A. Pendahuluan

Pertumbuhan dunia pendidikan masa kini secara niscaya memberikan dampak besar terhadap formulasi pertumbuhan anak-anak. Anak-anak di masa kini berpola beriringan dengan kontribusi yang disajikan dalam pemenuhan hakikat pendidikan di tengah-tengah kehidupan mereka. Mustahil dipungkiri bahwa entitas pendidikan dalam kehidupan masyarakat


(2)

akan senantiasa berlanjut beriringan dengan realitas kehidupan masyarakat yang mengitarinya.

Pendidikan secara niscaya memberikan arahan yang tidak dapat disangkal kenyataannya akan membentuk sikap, perasaan, dan logika pribadi sekelilingnya. Untuk alasan inilah, Zaprulkhan menjelaskan bahwa pendidikan dapat dipahami sebagai ‘pembudayaan kehidupan manusia’, dan dengan kebudayaanlah manusia mendapatkan arti dan perannya sebagai manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu sistem

kegiatan ‘enkulturasi’ untuk menjadikan manusia sebagai manusia yang

manusiawi. Dalam arti luas pendidikan dapat diidentifkasi karakteristiknya sebagai berikut;

1. Pendidikan berlangsung sepanjang zaman (life long education). Artinya,

dari generasi ke generasi, pendidikan berproses tanpa pernah berhenti. 2. Pendidikan berlangsung di setiap bidang kehidupan manusia. Artinya,

pendidikan berproses di samping pada bidang pendidikan sendiri, juga di bidang ekonomi, politik, hukum, kesehatan, keamanan, teknologi, perindustrian, dan sebagainya. Di setiap bidang kehidupan, pasti terkandung pendidikan, terlepas apakah persoalan itu sengaja diciptakan atau memang ada secara alami.

3. Pendidikan berlangsung di setiap tempat di mana pun, dan di segala waktu kapanpun. Artinya, pendidikan berproses di setiap kegiatan kehidupan manusia.

4. Objek utama pendidikan adalah pembudayaan manusia dalam

memanusiawikan diri dan kehidupannya.1

Mengamati dasar persepsional yang dikemukakan oleh Zaprulkhan di atas dapat dimengerti bahwa pendidikan pada realitasnya merupakan esensi dan eksistensi hidup yang mengarahkan segenap pribadi di sekitarnya bekerja menuju kepada harapan tertinggi masing-masing. Untuk alasan inilah, Emile Durkheim mencatat bahwa pembicaraan mengenai masalah pengajaran apa pun hanya akan bermanfaat keberadaannya apabila dimulai dari ruang dan waktu seseorang bertempat, yakni situasi yang dihadapi anak-anak yang

menjadi sasaran dalam dunia pendidikan.2

1

Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik (Jakarta: RajaGraindo Persada,

2012), hlm. 2986-297.

2

Emile Durkheim, Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosilogi Pendidikan, terj., Lukas Ginting (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm.13.


(3)

Ruang dan waktu sebagai medium gerak pendidikan yang akan diimplementasikan di tengah-tengah peserta didik niscaya dimengerti dan didudukkan dalam posisi penting. Hal ini mengingat keberadaan peserta didik sebagai salah unsur pendidikan yang akan dimanifestasikan keberadaan mereka dalam kehidupan. Senada dengan perspektif ini, Jasa Ungguh Muliawan menjelaskan bahwa pendidikan adalah suatu proses. Proses interaksi antara pendidik dan peserta didik (terdidik). Sebagai suatu proses pendidikan merupakan hasil rekayasa manusia. Di samping sebagai suatu proses yang direkayasa, pendidikan juga merupakan proses alamiah dalah kehidupan manusia. Pendidikan sama dengan hidup. Proses pertumbuhan dalam kehidupan manusia yang terjadi dengan sendirinya tanpa direkayasa. Pada hakikatnya, pendidikan sebagai hasil rekayasa manusia maupun alamiah terjadi bersamaan, tidak mungkin terjadi proses rekayasa pendidikan tanpa pengaruh alamiah dan sebaliknya proses alamiah pendidikan tanpa ada

pengaruh manusia, sekurang-kurangnya pengaruh manusia sebagai subjek.3

Beranjak dari perspektif yang dijelaskan oleh Jasa Ungguh Muliawan di atas, Zaprulkhan mengutip Maxine Greene merumuskan aksentuasi

logis pendidik bagi para peserta didik adalah “To feel oneseilf en route, to

feel oneself in place where there are always possibilities of clearings, of new opening, this is what we must communicate to the young if we want to awaken them to their situations and enable them to make sense of and to name their worlds (Merasa sedang dalam perjalanan atau tengah berada di suatu tempat, di mana selalu terdapat kemungkinan penjelasan dan keterbukaan baru, kesadaran inilah yang harus dikomunikasikan kepada kaum muda jika kita hendak menyadarkan mereka tentang kondisi mereka dan membuat mereka mampu memahami sekaligus mengidentiikasi dunia

mereka.”4 Pendidikan secara niscaya dirancang untuk mengenalkan para

peserta didik akan nuansa hidup yang bisa dihadirkan pada setiap pribadi. Anak-anak memiliki dunia mereka masing-masing. Dari dunia perjumpaan mereka semua akses kehidupan dibentuk dan dijalankan. Dinamika kehidupan akan senantiasa berpacu dengan penopangan mereka akan nilai dasar pendidikan itu sendiri.

3 Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islan Integratif Upaya Mengintegrasikan Kembali

Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 131.

4 Deinisi ini dikupas oleh Joy. Palmer, ed., dalam karyanya Fifty Modern Thinkers on

Education. Pernyataan ini disampaikan sebagai ekseptasi dirinya terhadap kebutuhan hakiki

masyarakat akan pendidikan. Lihat, Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik, hlm. 289.


(4)

Merancang suatu nilai dasar dalam bangunan pendidikan akan memberi implikasi logis keberadaannya. Kenyataan ini mengacu kepada asas hakiki pendidikan yang akan senantiasa memberikan efek masa depan baik bagi individu, masyarakat, dan bangsa secara keseluruhan. Hakikat pendidikan secara niscaya hadir mewarnai kehidupan sosial kemasyarakatan dalam lingkup yang lebih global. Lebih terperinci lagi dapat dilihat pada batasan pendidikan Islam. Jika ditinjau dari beberapa pendapat pakar pendidikan muslim, pendidikan Islam memiliki penekanan dan perhatian yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing. Omar Muhammad al-Toumy al-Syaebani sebagaimana dikutip oleh Assegaf mengumpamakan pendidikan Islam sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan dan

kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses pendidikan.5

Batasan yang dirumuskan oleh beberapa pakar pendidikan Islam sebagaimana salah satu contohnya dibahas pada pembahasan terdahulu menunjukkan bahwa para ahli yang notabene dalam ruang gerak mereka sistem pendidikan dipertaruhkan memiliki tanggung jawab yang tidak bisa dianggap ringan. Tanggung jawab para praktisi pendidikan menjadi asas utama pengukuhan dasar pembentukan orientasi pendidikan yang ingin dicanangkan. Masing-masing personal dalam wilayah pendidikan memiliki kewenangan besar untuk membentuk sistem dan pola pendidikan yang akan diwujudnyatakan.

B. Merancang Struktur Pendidikan Bernuansa Filosois

Merancang kurikulum terhadap pola pengembangan pendidikan di tingkat manapun dalam satuan pendidikan secara niscaya akan dipertemukan dengan harapan keilsafatan di dalamnya. Nilai-nilai ilosois merupakan keniscayaan yang akan senantiasa dipersinggungkan dalam membuat komposisi kurikulum yang akan ditawarkan. Hal ini sebagaimana dirumuskan oleh al-Qabisi sebagaimana dikutip oleh Assegaf bahwa pencapaian pendidikan bagi setiap anak mutlak diwujudkan dengan melakukan pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar. Al-Qabisi juga menghendaki tujuan pendidikan harus mampu mengarahkan anak didik agar memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis

5

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: RajaGraindo Persada, 2011),


(5)

yang dapat mendukung mereka bekerja untuk mencari nafkah. Bagi al-Qabisi,

tujuan pembelajaran adalah untuk meningkatkan kepribadi (syakhsiah)

pelajar slaras dengan nilai-nilai Islam. Lebih spesiik lagi, tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan kekuatan akhlak, menimbulkan rasa cinta kepada agama, berpegang teguh kepada ajaran-Nya serta berperilaku yang sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu, al-Qabisi juga menghendaki agar para pelajar dapat memiliki keterampilan yang dapat mendukung mereka mencari nafkah.6

Tinjaun pragmatik pendidikan yang diajukan oleh al-Qabisi di atas memberikan satu cerminan positif bahwa pendidikan dalam realitas ilosoisnya akan berargumen menuju kepada kebijaksanaan para pelaku dan objek pekerjaannya. Untuk itulah, sekiranya pragmatisme pendidikan dalam dimensi keilsafatannya sangat membumbung tinggi dalam cakrawala pemikiran, penting pula mengkaji eksistensi ilsafat pendidikan guna menlandasi bahasannya. Wacana tentang Filsafat Pendidikan

merupakan gabungan dari dua kata, ilsafat dan pendidikan. Karena

itu, untuk menyingkap pengertian holistik ilsafat pendidikan, sudah seharunsya mengurai pengertian kedua kata tersebut masing-masing. Istilah

ilsafat berasal dari Bahasa Yunani philosophia, yang berarti “cinta akan kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis”. Filsafat dalam pengertian tersebut menunjukkan bahwa manusia tidak pernah secara sempurna memiliki pengertian menyeluruh tentang segala sesuatu yang dimaksudkan kebijaksanaan, namun terus-menerus harus mengerjarnya. Berkaitan dengan apa yang dilakukannya, ilsafat adalah pengetahuan yang dimiliki rasio manusia yang menembusi dasar-dasar terakhir dari segala sesuatu. Filsafat menggumuli seluruh realitas, tetapi teristimewa eksistensi

dan tujuan manusia.7

Berpinjak kepada semua rumusan tentang ilsafat dalam bahasan di atas istilah pendidikan yang terangkum dalam terminologi keislaman

dengan istilah tarbiyah mengandung arti dasar sebagai pertumbuhan,

peningkatan, atau membuat sesuatu menjadi lebih tinggi. Zaprulkhan selanjutnya memijakkan argumentasinya karena makna dasar pendidikan

dalam istilah agama Islam disebut tarbiyah dengan rumus kajiannya sebagai

hakikat pertumbuhan atau peningkatan, maka hal ini mengandung asumsi

6

Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam; Hadharah Keilmuan Tokoh

Klasik Sampai Modern (Jakarta: RajaGraindo Persada, 2013), hlm. 66-67.

7


(6)

bahwa dalam setiap diri manusia suadah terdapat bibit-bibit kebaikan. Zaprulkhan menguatkan bahwa kewajiban orang tua dan para pendidik untuk mengembangkan bibit-bibit positif anak-anak meraih kebaikan

masing-masing. Dengan demikian, pendidikan (tarbiyah) merupakan sebuah proses

meningkatkan potensi-potensi positif yang bersemayam dalam jiwa setiap anak hingga mencapai kualitas yang setinggi-tingginya dan proses pendidikan

itu tidak pernah berakhir selama hayat masih di kandung badan.8

Mengamati konseptualisasi pendidikan sebagaimana terangkum dalam rumusan ilosoi pendidikan di atas nyata secara sistematis bahwa segenap praktisi pendidikan memiliki tanggung jawab besar dalam memangku aktivitas pendidikan yang akan diimplementasikan. Fakta ini diamini sepenuhnya dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal I. Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5105), diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 diubah, di antara angka 17 dan angka 18 disisipkan 1 (satu) angka yakni angka 17A dan ketentuan angka 22 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pengelolaan pendidikan adalah pengaturan kewenangan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat, dan satuan pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. 2. Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Rumusan peraturan pemerintah terangkum di atas menjelaskan kepada

masing-masing stakeholder pendidikan bahwa manifestasi pendidikan adalah

tanggung jawab terikat kepada mereka. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memobilisasi pendidikan ke arah pencapaian yang diinginkan. Hal ini secara niscaya patut diapresiasi oleh setiap pribadi mengingat semangat akan pendidikan sebagaimana dijelaskan oleh Zaprulkhan bahwa pendidikan

8


(7)

berlangsung sepanjang zaman, menurut jenjang-jenjang tertentu secara linier-kausalistis. Dimulai dari jenjang pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan berlangsung terus-menerus di berbagai jenis kegiatan dan pekerjaan di dalam kehidupan bermasyarakat. Pendidikan berlangsung di

setiap kegitan sosial, hukum, ekonomi, kebudayaan, dan keagamaan.9

Perspektif yang mengemuka di atas menjadi penanda kuat bahwa perspektif yang tertuang dalam Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan Pasal I, ayat 3. Pendidikan anak usia dini adalah

suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 (enam) tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut; dan ayat 4. Taman Kanak-kanak, yang selanjutnya disingkat TK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berusia 4 (empat)

tahun sampai dengan 6 (enam) tahun; kemudian ayat 5. Raudhatul Athfal,

yang selanjutnya disingkat RA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan dengan kekhasan agama Islam bagi anak berusia 4

(empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun; ayat 6. Pendidikan formal

adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas

pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi; ayat 7.

Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal yang melandasi jenjang pendidikan menengah, yang diselenggarakan pada satuan pendidikan berbentuk Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta menjadi satu kesatuan kelanjutan pendidikan pada satuan pendidikan yang berbentuk Sekolah Menengah Pertama dan

Madrasah Tsanawiyah, atau bentuk lain yang sederajat; ayat 8. Sekolah

Dasar, yang selanjutnya disingkat SD, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang

pendidikan dasar; ayat 9. Madrasah Ibtidaiyah, yang selanjutnya disingkat

MI, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama

Islam pada jenjang pendidikan dasar; ayat 10. Sekolah Menengah Pertama,

yang selanjutnya disingkat SMP, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan

9


(8)

formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau

lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI; ayat

11. Madrasah Tsanawiyah, yang selanjutnya disingkat MTs, adalah salah

satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD

atau MI; ayat 12. Pendidikan menengah adalah jenjang pendidikan pada jalur

pendidikan formal yang merupakan lanjutan pendidikan dasar, berbentuk Sekolah Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan,

dan Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain yang sederajat; ayat 13.

Sekolah Menengah Atas, yang selanjutnya disingkat SMA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui

sama atau setara SMP atau MTs; ayat 14. Madrasah Aliyah, yang selanjutnya

disingkat MA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar

yang diakui sama atau setara SMP atau MTs; ayat 15. Sekolah Menengah

Kejuruan, yang selanjutnya disingkat SMK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau

setara SMP atau MTs; ayat 16. Madrasah Aliyah Kejuruan, yang selanjutnya

disingkat MAK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs, keseluruhan dari butir ayat di atas menjadi landasan sistematis bahwa komposisi pendidikan berlangsung sepanjang zaman pengembangan peserta didik.

Konseptualisasi dasar pendidikan dengan nuansa ilosois patut dicerna eksistensinya sebagai modal awal bahwa pendidikan memiliki kontribusi besar bagi pertumbuhan anak-anak. Menyikapi kondisi ini pula, Jasa


(9)

Ungguh Muliawan meneguhkan secara eksistensial fase-fase pertumbuhan pendidikan bagi setiap peserta didik dimulai dari kesadaran mereka bahwa pendidikan merupakan kegiatan dalam kehidupan masing-masing orang. Pendidikan dalam pengertian operasional sistematis adalah proses belajar-mengajar. Belajar adalah suatu proses mengonstruksi pengetahuan baik yang alami maupun manusiawi. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah suatu proses yang aktif. Beberapa faktor , seperti pengalaman, pengetahuan yang dipunyai, kemampuan kognitif, dan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar. Kenyataan ini pula menuntut kesadaran persepsional dari setiap pribadi bahwa mengajar dalam pencapaiannya merupakan proses membantu seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfre pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang belum tahu (murid), melainkan membantu sesorang agar dapat mengonstruksi sendiri pengetahuannya

terhadap fenomena dan objek yang ingin diketahui.10

B. Antara Integrasi dan Pola Dikotomi

Mencipta sesuatu yang baru secara niscaya membutuhkan kepekaan terhadap komponen-komponen integratif dalam ciptaan tersebut. Begitu pula dengan semangat untuk memulai sistem pendidikan Islam melalui

integrasi interkoneksi keilmuan di dalamnya. Huzni Thoyyar11 mencatat

awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi oleh adanya dualisme atau dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama di sisi lain. Dikotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam dikotomi institusi pendidikan—antara pendidikan umum dan pendidikan agama—telah berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern. Dikotomi keilmuan Islam tersebut berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan di lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya. Berkenaan dengan cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan, di kalangan masyarakat Islam berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu agama Islam-lah yang pantas dan layak dikaji atau dipelajari oleh umat Islam,

10

Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islan Integratif Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, hlm. 132-133.

11

Lihat Makalah Huzni Thoyyar “Model-Model Integrasi Ilmu dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam (Survey Literatur terhadap Pemikiran Islam Kontemporer)”, Ketua LPP UIN Sunan Gunung Djati, hlm. 1-5.


(10)

terutama anak-anak dan generasi mudanya. Sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan patut dipelajari. Cara pandang dengan menggunakan perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara ontologis ini, kemudian berimplikasi juga terhadap cara pandang sebagian umat Islam terhadap pendidikan. Pernyataan ini sepenuhnya diamini oleh Assegaf bahwa konstruk berpikir masyarakat yang

menyatakan menuntut ilmu agama sebaga fardhu ‘ain dan ilmu umum

fardhu kifayah telah menimbulkan banyaknya umat yang mempelajari agama sebagai kewajiban seraya mengabaikan pentingnya mempelajari

ilmu-ilmu non-agama.12 Implikasi dari kenyataan ini sebagian umat Islam

hanya memandang lembaga-lembaga pendidikan yang berlabel Islam yang akan mampu mengantarkan anak-anak dan generasi mudanya mencapai cita menjadi Muslim yang sejati demi mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan “umum” dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusif mengantarkan anak-anak dan generasi muda Islam menjadi Muslim sejati yang diidolakan orang tua.

Kontras dengan cara pandang di atas adalah pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian umat Islam. Mereka lebih cenderung memilih lembaga-lembaga pendidikan umum dengan pertimbangan jaminan mutu serta jaminan pekerjaan yang bakal diperoleh setelah lulus. Bagi mereka ini, lembaga pendidikan yang berlabel Islam cenderung dipandang sebagai tradisional, ketinggalan zaman, dan oleh karena itu mutu dan kesempatan kerja setelah lulus tidak terjamin. Realitas cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan itu, kemudian berimplikasi kepada respon para pengambil kebijakan pendidikan yang menetapkan adanya dua versi lembaga pendidikan, yakni pendidikan umum dan pendidikan agama, yang dalam implementasinya seringkali menimbulkan perlakukan diskriminatif. Bukti dari perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan umum di satu sisi dengan pendidikan keagamaan di sisi lain, adalah pada kebijakan dua kementrian/departeman, di mana Kementerian Pendidikan Nasional mengurusi lembaga-lembaga pendidikan umum dengan berbagai fasilitas dan dana yang relatif “melimpah”, sementara Kementerian Agama mengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dengan fasilitas dan pendanaan yang “amat terbatas”. Keterbatasan dana, fasilitas, sarana

12

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam Paradigma Baru Pendidikan Hadhari


(11)

dan prasarana yang dimiliki oleh kebanyakan lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama tersebut tentu berpengaruh terhadap kinerja dan kualitas pendidikan di banyak Madrasah dan lembaga pendidikan sejenisnya. Akibatnya, pengelolaan Madrasah tidak dapat optimal dan seringkali menyebabkan mutu lulusan Madrasah kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga setingkat yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional.

Dampak lain yang tidak kalah seriusnya dari dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu agama Islam di satu sisi dengan ilmu-ilmu di sisi lain adalah terhadap kerangka ilsafat keilmuan Islam. Kendati dikotomi keilmuan Islam telah terjadi semenjak beberapa abad yang lampau, namun dampaknya terhadap kerangka ilsafat keilmuan Islam dirasakan semakin serius pada masa-masa kemudian. Salah satu kerangka keilmuan Islam yang kurang “lazim” bila dibandingkan dengan kerangka ilsafat keilmuan “sekuler”

adalah kurang dikenalnya konsep paradigma, normal science, anomali, dan

revolusi sains, yang selama ini “mengatur” perkembangan dan pertumbuhan sains modern. Kerangka keilmuan Islam justru dihinggapi romantisisme yang menjadikan masa lalu justru sebagai kerangka utama—kalau bukan satu-satunya, pola berpikir umat Islam. Romantisisme dalam arti yang sederhana memang diperlukan, terutama untuk menghindari terjadinya proses pencabutan pemikiran kontemporer dengan sejarah keilmuan masa lampau. Tetapi apabila romantisisme mendominasi kerangka berpikir keilmuan umat Islam, maka dinamika dan revolusi keilmuan Islam tidak akan pernah terwujud. Pada bagian lain Assegaf mencatat akibat berangkai dari pola pikir pendidikan yang dikotomis ini adalah terjadi disharmoni relasi antara

pemahaman ayat-ayat ilahiah dengan ayat-ayat kauniyah, antara iman

dengan ilmu, antara ilmu dengan amal, anatara dimensi duniawi dengan ukhrawi, dan relasi dimensi ketuhanan (teosentris) dengan kemanusiaan (antroposentris).13

Berbagai alasan secara niscaya menjadi faktor pendukung munculnya dikotomi dalam ilmu agama dan ilmu umum. Seperti dicatat oleh Jasa Ungguh Muliawan dalam dataran praktik, struktur hierarki ilmu pengetahuan dibedakan atas peringkat kompleksitas, fungsi, dan struktur ontologinya. Pada tingkat terendah mengandung kompleksitas pemikiran sederhana, bersifat inderawi, jasmaniah, praktis, dan diketahui sebagai ilmu pasti.

13


(12)

Dikatakan pasti karena kebenarannya tidak dapat diragukan. Semakin tinggi semakin berkompleksitas rumit, abstrak, teoritis, metaisis, luas (dan padat), dan relatif. Pada puncak tertinggi objek ilmu pengetahuan mencakup realitas yang konkret dan abstrak.14

Fragmentasi keilmuan umum yang lebih merambah ke dalam dunia yang penuh dengan kompleksitas karena mengarah kepada kepastian kajian sangatlah berbeda dengan tradisi keilmuan muslim yang lebih cenderung pada pola pikir normatif-deduktif. Hal itu terlihat pada praktik pendidikan Islam

yang saat ini lebih mengarah pada pola mengajar (teaching, ta’lim) daripada

mendidik (education, tarbiyah atau ta’dib). Mengajar jelas berbeda dengan

mendidik. Aktivitas mengajar dibatasi oleh ruang kelas dan mengandalkan peran guru yang amat besar. Sedang mendidik atau pendidikan tidak harus dilaksanakan dalam ruang kelas, bisa di aula, auditorium, laboratorium, bahkan di luar sekolah atau kampus. Dalam pendidikan terdapat interaksi edukatif antara guru-murid, murid-murid, bahkan guru-guru, sehingga murid

dipandang sebagai peserta aktif dalam keseluruhan proses pendidikan.15

Pola-pola pendidikan sebagaimana diarahkan pada konsepsi dialogis di atas memberikan suatu sumbangan berharga bahwa realitas pendidikan masa kini di tengah-tengah kehidupan masyarakat muslim masih jauh dari titik pijak positif. Terjadinya demarkasi yang sangat menjurang dengan pengukuhan ilmu agama sebagai basis pendidikan dominan masih mendudukkan dikotomi sebagai kepastian dalam realitas pendidikan dimaksud. Di atas alasan inilah, membangun kesadaran baru akan konsepsi pendidikan yang integratif-interkonektif mustahil ditolak keberadaannya. Setiap individu muslim patut menyadari bahwa kepastian dari integrasi disiplin ilmu merupakan kemutlakan pola pengembangan pendidikan di masa kini dan yang akan datang.

C. Mengisi Ruang Gerak Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah dengan

Pendidikan Islam Progresif

Doktrinasi Islam di tengah-tengah masyarakat masih cenderung berhaluan kepada eksklusivisme berpikir. Hal ini secara niscaya dapat disaksikan pada maraknya perseteruan-perseteruan sosial yang berakibat

14

Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islan Integratif Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, hlm. 65-66.

15

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam Paradigma Baru Pendidikan


(13)

kepada terjadinya konlik dengan dalih agama, ras, budaya, atau bahkan ekonomi. Kenyataan ini secara niscaya memberikan agenda tersendiri kepada segenap pendidik untuk menyadarkan umat akan tujuan hakiki keberagamaan mereka di dunia. Secara terfokus, masyarakat patut disadarkan kepada perspektif mereka akan agama Islam yang diyakini keberadaannya dalam kehidupan. Pada posisi inilah mereka memiliki tanggung jawab besar untuk memaknai dasar keimanan mereka dalam beragama.

Nurcholish Madjid mencatat, bagi seorang muslim, iman adalah bagian penting mendasar dari kesadaran keagamaannya. Dalam berbagai makna dan tafsirannya, perkataan iman menjadi bahan pembicaraan di setiap pertemuan keagamaan, yang selalu disebutkan dalam rangka peringatan agar dijaga dan diperkuat. Iman itu, sebagaimana senantiasa diingatkan oleh para pengajur, terkait erat dengan amal. Amal yang praktis itu merupakan tuntutan langsung iman yang spiritual. Tidak ada iman tanpa amal, dan muspralah amal tanpa iman. Juga digunakan istilah-istilah lain untuk menunjukkan eratnya hubungan antara dua aspek jalan hidup yang benar itu, seperti taqwa dan akhlak serta tali hubungan dengan Allah dan

tali hubungan dengan sesama manusia (habl min Allah wa habl min al-nas).

Juga mengarah ke pengertian itu ialah keterkaitan antara salat dan zakat,

serta—dari sudut komitmen kejiwaan—takbir (bacaan Allah Akbar) di awal

salat dan taslim (bacaan al-salam ‘alaykum—“assalamualaikum”) pada akhir

bacaan salat.16

Perspektif keimanan yang dibangun oleh Nurcholish Madjid di atas memberikan suatu gambaran niscaya bahwa nilai-nilai kemanusiaan merupakan kunci utama kehidupan. Bingkai keislaman yang diyakini oleh masing-masing penganut keyakinan keislaman merupakan suatu atribut semata untuk memupuk keyakinan mereka akan kemanusiaan itu sendiri. Dari perspektif yang dibangunnya tersebut, Nurcholish Madjid mengisyaratkan dialektika pemahaman keagamaan masyarakat muslim dalam bingkai keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan. Pemahaman ini secara gamblang dirumuskannya sebagai teologi inklusif. Teologi inklusif pada dasarnya berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam. Yang dimaksud dengan semangat humanitas di sini, pada dasarnya

pembentukan mind setting keagamaan masyarakat akan eksistensi Islam

sebagai agama kemanusiaan (itrah) atau dengan kata lain, cita-cita Islam

16


(14)

itu sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya. Dan kerasulan atau misi Nabi Muhammad saw., adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Jadi, perspektif ini menjelaskan bahwa eksistensi Islam tidak ditujukan semata-mata demi menguntungkan komunitas Islam saja. Lebih lanjut pula, pengertian universalitas dalam penjelasan ini, jika ditafsirkan secara sosiologis, mengandung makna bahwa Islam itu merupakan agama yang berwatak kosmopolitan. Karena kosmopolitan, dengan sendirinya ia juga modern.17

Semangat pembaharuan Islam sebagai wadah utama pencapaian pendidikan yang mendewasakan secara niscaya berdialektika kuat dengan perspektif masing-masing pribadi muslim dengan dinamika keislaman itu sendiri. Prinsip kemanusiaan sebagai kerangka utama dalam keagamaan dan keberagamaan harus utuh dipenuhi demi menjadikan nilai-nilai keislaman yang dilestarikan bersambung dengan kerahmatan Islam bagi alam semesta. Untuk itulah, pemenuhan prinsip keislaman berhaluan sosial, ekonomi, dan antropologis mutlak dibutuhkan demi mendudukkan Islam itu sendiri dalam bingkai inklusiitasnya. Dalam kerangka inilah, memacu progresivitas Islam dalam kancah Antropologi Pendidikan, Mahmud dan Ija Suntana menjelaskan terkait dengan sasarannya, antropologi pendidikan Islam memfokuskan diri pada telaah sistem pendidikan dalam lingkup norma dan budaya Islam. Pendidikan sebaggai suatu ilmu memiliki seperangkat norma yang harus dipenuhi oleh pendidika dan anak didik dalam rangka menuju tujuan yang diinginkan. Norma-norma tersebut mengacu pada nilai-nilai ideal yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Pada umumnya, norma diartikan sebagai aturan yang menentukan kebiasaan, perilaku yang diterapkan dalam kehidupan sosial. Sasaran kajian antropologi pendidikan Islam adalah fenomena yang berarah balik dengan kajian pendidikan agama Islam. Arah pendidikan agama Islam bermula dari atas ke bawah, sedangkan antropologi pendidikan Islam dari bawah ke atas. Konsep pendidikan Islam menekankan agar wahyu dan ajaran Islam dapat dijadikan pandangan hidup anak didik (manusia). Adapun antropologi pendidikan Islam menekankan agar anak didik dapat membangun pandangan hidup berdasarkan pengalaman agamanya. Kajian antropologi pendidikan Islam dapt memberikan informasi tentang sosialisasi, akulturasi, dan internalisasi yang mengacu pada moral

17 M. Syai’i Anwar, “Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid” dalam

Asep Gunawan, ed., Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah (Jakarta: Srigunting, 2004), hlm. 532.


(15)

pendidikan Islam dalam kenyataan. Antropologi pendidikan Islam tidak mengartikan masyarakat Islam sebagai suatu sistem kehidupan manusia yang terpisah secara geograis dari masyarakat lain. Masyarakat Islam berada di berbagai tempat yang anggota-anggotanya tidak hanya berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat yang beragama Islam, tetapi dengan pemeluk

agama lain dengan pola kehidupan yang beragam.18

Perspektif antropologis keislaman sebagaimana tercatat di atas menunjuk akan arti penting nilai-nilai pendidikan yang ditawarkan kepada segenap peserta didik berpacu dalam progresivitas keislaman yang penuh keramahtamahan. Menyikapi kondisi ini, inklusiitas keberagamaan umat Islam mutlak bermuara kepada nilai-nilai humanitas sebagaimana dijelaskan dalam beberapa bahasan di awal. Islam harus dihadirkan dengan penciri

keberadaannya yang terbuka (open religion). Prinsip Islam sebagai agama

terbuka adalah bahwa ia menolak eksklusiisme dan absolutisme, dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme. Dalam perspektif ini, umat Islam menurut Nurcholish Madjid sebagaimana dikuatkan oleh Syai’i Anwar juga harus menjadi golongan yang terbuka, yang bisa tampil

dengan rasa percaya diri yang tinggi, dan bisa bersikap sebagai pamong

yang bisa ngemong golongan-golongan lainnya. Sementara penolakan

terhadap absolutisme mengandung makna bahwa Islam itu memberikan

tempat yang tinggi terhadap ide pertumbuhan dan perkembangan (growth

and development), yakni paradigma tentang etos gerak yang dinamis dalam ajaran Islam.19

Harapan demi harapan untuk membentuk kesadaran beragama masyarakat yang inklusif dan terbuka adalah agenda besar bagi segenap

stakeholder baik di wilayah agama dan pendidikan. Pendidikan agama Islam dalam hal ini sebagai lokomotif utama pencapaian atas keterbukaan tersebut harus mampu dihadirkan dengan penuh semangat kemanusiaan sehingga cita dan fakta Islam yang toleran, ramah, dan penuh rahmat bagi alam semesta mutlak dicapai. Dalam kerangka ini pula, pemenuhan pendidikan dimulai

dari tingkat paling rendah, Play Group, PAUD, MI, dan seterusnya harus

senantiasa diajarkan signiikansi progresivitas masyarakat akan keterbukaan beragama. Formulasi pendidikan dalam jenjang Pendidikan Madrasah

18

Mahmud dan Ija Suntana, Antropologi Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 21.

19 M. Syai’i Anwar, “Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid” dalam


(16)

Ibtidaiyah sebagai kajian utama dalam bahasan ini mutlak dihadapkan dengan pendidikan dan pengajaran yang menanamkan arti inklusiitas dalam beragama. Pluralisme adalah bahasan lanjutan dari pengkajian akan progresivitas dalam pemahaman agama. Untuk itulah, kerangka dasar agama yang penuh dengan keluasan perspektif, kekayaan cakrawala, dan kepastian multi interpretasi harus sedini mungkin bisa dijelaskan sehingga akhirnya, anak-anak didik terbebas dari jeratan ambiguitas berpikir atau kekauan dalam mengkaji agama dan kebenaran lain di sekelilingnya.

D. Penutup

Dalam perjalanannya, penjelasan akan nilai-nilai ilosois pada pembentukan mata kuliah di Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) akan bersinggungan dengan perspektif-perspektif pendahulunya. Mustahil ditolak bahwa kontribusi pemikiran di masa lalu akan memberikan nuansa beragam terhadap formulasi mata kuliah yang akan ditawarkan. Dinamika pemikiran dan perspektif keilmuan yang telah mengawali akan memilter kuat sehingga reformulasi akan keberadaannya pasti akan menjumpai titik komplikatif dengan aneka pertanyaan seperti relevansi, dan kesesuaian terhadap realitas zaman yang berkembang. Apakah menjadi suatu tuntutan untuk membangun paradigma baru yang berhaluan kepada aspek-aspek integratif keilmuan atau cukupkah semua pengembangan yang ada dijalankan sebagaimana roda awal merotasi keberadaannya?

Sebagai suatu catatan berharga, formulasi mata kuliah dalam Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) harus dikembangkan dan diarahkan keberadaannya kepada penjelasan dari kemurnian agama Islam sebagai agama yang ramah dan toleran. Islam harus dikonklusikan dalam pengembangan mata kuliah PGMI sebagai eksistensi yang ramah dan penuh rahmat bagi alam semesta. Kesadaran akan arti penting integrasi dan interkoneksi keilmuan mutlak diperlukan sehingga segenap peserta didik mampu menjelaskan bahwa dikotomi keilmuan yang terimbas oleh dikotomi keagamaan dan keberagamaan umat harus dilucuti dan diberangus

dari mind setting segenap masyarakat muslim. Dalam kelanjutannya pula,

melalui bangun persepsional yang baru ini, maka titik baru benih masyarakat muslim yang pluralis, ilosois, dan membangun paradigma keagamaannya secara progresif akan terwujud dan berpartisipasi kuat bagi pengembangan pendidikan dan pengajaran terhadap umat.


(17)

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam; Hadharah

Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern (Jakarta: RajaGraindo

Persada, 2013), hlm. 66-67.

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGraindo

Persada, 2011.

Durkheim, Emile. Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosilogi

Pendidikan, terj., Lukas Ginting. Jakarta: Erlangga, 1990.

Huzni Thoyyar “Model-Model Integrasi Ilmu dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam (Survey Literatur terhadap Pemikiran Islam Kontemporer)”, Ketua LPP UIN Sunan Gunung Djati.

Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islan Integratif Upaya Mengintegrasikan

Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islan Integratif Upaya Mengintegrasikan

Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, hlm. 132-133.

M. Syai’i Anwar, “Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish

Madjid” dalam Asep Gunawan, ed., Artikulasi Islam Kultural dari

Tahapan Moral ke Periode Sejarah (Jakarta: Srigunting, 2004), hlm. 532.

Mahmud dan Ija Suntana, Antropologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia,

2012.

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina,

1992), hlm. 130.

Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta:


(18)

(1)

kepada terjadinya konlik dengan dalih agama, ras, budaya, atau bahkan

ekonomi. Kenyataan ini secara niscaya memberikan agenda tersendiri kepada segenap pendidik untuk menyadarkan umat akan tujuan hakiki keberagamaan mereka di dunia. Secara terfokus, masyarakat patut disadarkan kepada perspektif mereka akan agama Islam yang diyakini keberadaannya dalam kehidupan. Pada posisi inilah mereka memiliki tanggung jawab besar untuk memaknai dasar keimanan mereka dalam beragama.

Nurcholish Madjid mencatat, bagi seorang muslim, iman adalah bagian penting mendasar dari kesadaran keagamaannya. Dalam berbagai makna dan tafsirannya, perkataan iman menjadi bahan pembicaraan di setiap pertemuan keagamaan, yang selalu disebutkan dalam rangka peringatan agar dijaga dan diperkuat. Iman itu, sebagaimana senantiasa diingatkan oleh para pengajur, terkait erat dengan amal. Amal yang praktis itu merupakan tuntutan langsung iman yang spiritual. Tidak ada iman tanpa amal, dan muspralah amal tanpa iman. Juga digunakan istilah-istilah lain untuk menunjukkan eratnya hubungan antara dua aspek jalan hidup yang benar itu, seperti taqwa dan akhlak serta tali hubungan dengan Allah dan tali hubungan dengan sesama manusia (habl min Allah wa habl min al-nas). Juga mengarah ke pengertian itu ialah keterkaitan antara salat dan zakat, serta—dari sudut komitmen kejiwaan—takbir (bacaan Allah Akbar) di awal salat dan taslim (bacaan al-salam ‘alaykum—“assalamualaikum”) pada akhir bacaan salat.16

Perspektif keimanan yang dibangun oleh Nurcholish Madjid di atas memberikan suatu gambaran niscaya bahwa nilai-nilai kemanusiaan merupakan kunci utama kehidupan. Bingkai keislaman yang diyakini oleh masing-masing penganut keyakinan keislaman merupakan suatu atribut semata untuk memupuk keyakinan mereka akan kemanusiaan itu sendiri. Dari perspektif yang dibangunnya tersebut, Nurcholish Madjid mengisyaratkan dialektika pemahaman keagamaan masyarakat muslim dalam bingkai keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan. Pemahaman ini secara gamblang dirumuskannya sebagai teologi inklusif. Teologi inklusif pada dasarnya berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam. Yang dimaksud dengan semangat humanitas di sini, pada dasarnya pembentukan mind setting keagamaan masyarakat akan eksistensi Islam sebagai agama kemanusiaan (itrah) atau dengan kata lain, cita-cita Islam

16


(2)

itu sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya. Dan kerasulan atau misi Nabi Muhammad saw., adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Jadi, perspektif ini menjelaskan bahwa eksistensi Islam tidak ditujukan semata-mata demi menguntungkan komunitas Islam saja. Lebih lanjut pula, pengertian universalitas dalam penjelasan ini, jika ditafsirkan secara sosiologis, mengandung makna bahwa Islam itu merupakan agama yang berwatak kosmopolitan. Karena kosmopolitan, dengan sendirinya ia juga modern.17

Semangat pembaharuan Islam sebagai wadah utama pencapaian pendidikan yang mendewasakan secara niscaya berdialektika kuat dengan perspektif masing-masing pribadi muslim dengan dinamika keislaman itu sendiri. Prinsip kemanusiaan sebagai kerangka utama dalam keagamaan dan keberagamaan harus utuh dipenuhi demi menjadikan nilai-nilai keislaman yang dilestarikan bersambung dengan kerahmatan Islam bagi alam semesta. Untuk itulah, pemenuhan prinsip keislaman berhaluan sosial, ekonomi, dan antropologis mutlak dibutuhkan demi mendudukkan Islam itu sendiri dalam

bingkai inklusiitasnya. Dalam kerangka inilah, memacu progresivitas Islam

dalam kancah Antropologi Pendidikan, Mahmud dan Ija Suntana menjelaskan terkait dengan sasarannya, antropologi pendidikan Islam memfokuskan diri pada telaah sistem pendidikan dalam lingkup norma dan budaya Islam. Pendidikan sebaggai suatu ilmu memiliki seperangkat norma yang harus dipenuhi oleh pendidika dan anak didik dalam rangka menuju tujuan yang diinginkan. Norma-norma tersebut mengacu pada nilai-nilai ideal yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Pada umumnya, norma diartikan sebagai aturan yang menentukan kebiasaan, perilaku yang diterapkan dalam kehidupan sosial. Sasaran kajian antropologi pendidikan Islam adalah fenomena yang berarah balik dengan kajian pendidikan agama Islam. Arah pendidikan agama Islam bermula dari atas ke bawah, sedangkan antropologi pendidikan Islam dari bawah ke atas. Konsep pendidikan Islam menekankan agar wahyu dan ajaran Islam dapat dijadikan pandangan hidup anak didik (manusia). Adapun antropologi pendidikan Islam menekankan agar anak didik dapat membangun pandangan hidup berdasarkan pengalaman agamanya. Kajian antropologi pendidikan Islam dapt memberikan informasi tentang sosialisasi, akulturasi, dan internalisasi yang mengacu pada moral

17 M. Syai’i Anwar, “Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid” dalam

Asep Gunawan, ed., Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah (Jakarta: Srigunting, 2004), hlm. 532.


(3)

pendidikan Islam dalam kenyataan. Antropologi pendidikan Islam tidak mengartikan masyarakat Islam sebagai suatu sistem kehidupan manusia yang

terpisah secara geograis dari masyarakat lain. Masyarakat Islam berada di

berbagai tempat yang anggota-anggotanya tidak hanya berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat yang beragama Islam, tetapi dengan pemeluk agama lain dengan pola kehidupan yang beragam.18

Perspektif antropologis keislaman sebagaimana tercatat di atas menunjuk akan arti penting nilai-nilai pendidikan yang ditawarkan kepada segenap peserta didik berpacu dalam progresivitas keislaman yang penuh

keramahtamahan. Menyikapi kondisi ini, inklusiitas keberagamaan umat

Islam mutlak bermuara kepada nilai-nilai humanitas sebagaimana dijelaskan dalam beberapa bahasan di awal. Islam harus dihadirkan dengan penciri keberadaannya yang terbuka (open religion). Prinsip Islam sebagai agama

terbuka adalah bahwa ia menolak eksklusiisme dan absolutisme, dan

memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme. Dalam perspektif ini, umat Islam menurut Nurcholish Madjid sebagaimana dikuatkan oleh

Syai’i Anwar juga harus menjadi golongan yang terbuka, yang bisa tampil

dengan rasa percaya diri yang tinggi, dan bisa bersikap sebagai pamong

yang bisa ngemong golongan-golongan lainnya. Sementara penolakan terhadap absolutisme mengandung makna bahwa Islam itu memberikan tempat yang tinggi terhadap ide pertumbuhan dan perkembangan (growth

and development), yakni paradigma tentang etos gerak yang dinamis dalam

ajaran Islam.19

Harapan demi harapan untuk membentuk kesadaran beragama masyarakat yang inklusif dan terbuka adalah agenda besar bagi segenap

stakeholder baik di wilayah agama dan pendidikan. Pendidikan agama Islam dalam hal ini sebagai lokomotif utama pencapaian atas keterbukaan tersebut harus mampu dihadirkan dengan penuh semangat kemanusiaan sehingga cita dan fakta Islam yang toleran, ramah, dan penuh rahmat bagi alam semesta mutlak dicapai. Dalam kerangka ini pula, pemenuhan pendidikan dimulai dari tingkat paling rendah, Play Group, PAUD, MI, dan seterusnya harus

senantiasa diajarkan signiikansi progresivitas masyarakat akan keterbukaan

beragama. Formulasi pendidikan dalam jenjang Pendidikan Madrasah

18

Mahmud dan Ija Suntana, Antropologi Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hlm. 21.

19 M. Syai’i Anwar, “Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid” dalam


(4)

Ibtidaiyah sebagai kajian utama dalam bahasan ini mutlak dihadapkan

dengan pendidikan dan pengajaran yang menanamkan arti inklusiitas

dalam beragama. Pluralisme adalah bahasan lanjutan dari pengkajian akan progresivitas dalam pemahaman agama. Untuk itulah, kerangka dasar agama yang penuh dengan keluasan perspektif, kekayaan cakrawala, dan kepastian multi interpretasi harus sedini mungkin bisa dijelaskan sehingga akhirnya, anak-anak didik terbebas dari jeratan ambiguitas berpikir atau kekauan dalam mengkaji agama dan kebenaran lain di sekelilingnya.

D. Penutup

Dalam perjalanannya, penjelasan akan nilai-nilai ilosois pada

pembentukan mata kuliah di Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) akan bersinggungan dengan perspektif-perspektif pendahulunya. Mustahil ditolak bahwa kontribusi pemikiran di masa lalu akan memberikan nuansa beragam terhadap formulasi mata kuliah yang akan ditawarkan. Dinamika pemikiran dan perspektif keilmuan yang telah

mengawali akan memilter kuat sehingga reformulasi akan keberadaannya

pasti akan menjumpai titik komplikatif dengan aneka pertanyaan seperti relevansi, dan kesesuaian terhadap realitas zaman yang berkembang. Apakah menjadi suatu tuntutan untuk membangun paradigma baru yang berhaluan kepada aspek-aspek integratif keilmuan atau cukupkah semua pengembangan yang ada dijalankan sebagaimana roda awal merotasi keberadaannya?

Sebagai suatu catatan berharga, formulasi mata kuliah dalam Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) harus dikembangkan dan diarahkan keberadaannya kepada penjelasan dari kemurnian agama Islam sebagai agama yang ramah dan toleran. Islam harus dikonklusikan dalam pengembangan mata kuliah PGMI sebagai eksistensi yang ramah dan penuh rahmat bagi alam semesta. Kesadaran akan arti penting integrasi dan interkoneksi keilmuan mutlak diperlukan sehingga segenap peserta didik mampu menjelaskan bahwa dikotomi keilmuan yang terimbas oleh dikotomi keagamaan dan keberagamaan umat harus dilucuti dan diberangus dari mind setting segenap masyarakat muslim. Dalam kelanjutannya pula, melalui bangun persepsional yang baru ini, maka titik baru benih masyarakat

muslim yang pluralis, ilosois, dan membangun paradigma keagamaannya

secara progresif akan terwujud dan berpartisipasi kuat bagi pengembangan pendidikan dan pengajaran terhadap umat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam; Hadharah

Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern (Jakarta: RajaGraindo

Persada, 2013), hlm. 66-67.

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: RajaGraindo

Persada, 2011.

Durkheim, Emile. Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosilogi Pendidikan, terj., Lukas Ginting. Jakarta: Erlangga, 1990.

Huzni Thoyyar “Model-Model Integrasi Ilmu dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam (Survey Literatur terhadap Pemikiran Islam Kontemporer)”, Ketua LPP UIN Sunan Gunung Djati.

Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islan Integratif Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islan Integratif Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, hlm. 132-133.

M. Syai’i Anwar, “Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish

Madjid” dalam Asep Gunawan, ed., Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah (Jakarta: Srigunting, 2004), hlm. 532.

Mahmud dan Ija Suntana, Antropologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2012.

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), hlm. 130.

Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta:


(6)