ELEMENTARY
Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
Ungguh Muliawan meneguhkan secara eksistensial fase-fase pertumbuhan pendidikan bagi setiap peserta didik dimulai dari kesadaran mereka bahwa
pendidikan merupakan kegiatan dalam kehidupan masing-masing orang. Pendidikan dalam pengertian operasional sistematis adalah proses belajar-
mengajar. Belajar adalah suatu proses mengonstruksi pengetahuan baik yang alami maupun manusiawi. Proses konstruksi itu dilakukan secara
pribadi dan sosial. Proses ini adalah suatu proses yang aktif. Beberapa faktor , seperti pengalaman, pengetahuan yang dipunyai, kemampuan kognitif,
dan lingkungan berpengaruh terhadap hasil belajar. Kenyataan ini pula menuntut kesadaran persepsional dari setiap pribadi bahwa mengajar dalam
pencapaiannya merupakan proses membantu seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfre pengetahuan dari
orang yang sudah tahu guru kepada yang belum tahu murid, melainkan membantu sesorang agar dapat mengonstruksi sendiri pengetahuannya
terhadap fenomena dan objek yang ingin diketahui.
10
B. Antara Integrasi dan Pola Dikotomi
Mencipta sesuatu yang baru secara niscaya membutuhkan kepekaan terhadap komponen-komponen integratif dalam ciptaan tersebut. Begitu
pula dengan semangat untuk memulai sistem pendidikan Islam melalui integrasi interkoneksi keilmuan di dalamnya. Huzni Thoyyar
11
mencatat awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi oleh adanya
dualisme atau dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu-ilmu agama di sisi lain. Dikotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam
dikotomi institusi pendidikan—antara pendidikan umum dan pendidikan agama—telah berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan
modern. Dikotomi keilmuan Islam tersebut berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan di lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut
cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya. Berkenaan
dengan cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan, di kalangan masyarakat Islam berkembang suatu kepercayaan bahwa hanya ilmu-ilmu
agama Islam-lah yang pantas dan layak dikaji atau dipelajari oleh umat Islam,
10
Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islan Integratif Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, hlm. 132-133.
11
Lihat Makalah Huzni Thoyyar “Model-Model Integrasi Ilmu dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam Survey Literatur terhadap Pemikiran Islam Kontemporer”, Ketua LPP
UIN Sunan Gunung Djati, hlm. 1-5.
Mas’udi
Akomodasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah
terutama anak-anak dan generasi mudanya. Sementara ilmu-ilmu sekuler dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari ilmu-ilmu yang layak dan
patut dipelajari. Cara pandang dengan menggunakan perspektif oposisi biner terhadap ilmu secara ontologis ini, kemudian berimplikasi juga terhadap
cara pandang sebagian umat Islam terhadap pendidikan. Pernyataan ini sepenuhnya diamini oleh Assegaf bahwa konstruk berpikir masyarakat yang
menyatakan menuntut ilmu agama sebaga fardhu ‘ain dan ilmu umum fardhu kifayah telah menimbulkan banyaknya umat yang mempelajari
agama sebagai kewajiban seraya mengabaikan pentingnya mempelajari ilmu-ilmu non-agama.
12
Implikasi dari kenyataan ini sebagian umat Islam hanya memandang lembaga-lembaga pendidikan yang berlabel Islam yang
akan mampu mengantarkan anak-anak dan generasi mudanya mencapai cita menjadi Muslim yang sejati demi mencapai kebahagiaan di dunia dan
di akhirat. Sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan “umum” dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusif mengantarkan
anak-anak dan generasi muda Islam menjadi Muslim sejati yang diidolakan orang tua.
Kontras dengan cara pandang di atas adalah pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian umat Islam. Mereka lebih cenderung memilih
lembaga-lembaga pendidikan umum dengan pertimbangan jaminan mutu serta jaminan pekerjaan yang bakal diperoleh setelah lulus. Bagi mereka
ini, lembaga pendidikan yang berlabel Islam cenderung dipandang sebagai tradisional, ketinggalan zaman, dan oleh karena itu mutu dan kesempatan
kerja setelah lulus tidak terjamin. Realitas cara pandang umat Islam terhadap ilmu dan pendidikan itu, kemudian berimplikasi kepada respon
para pengambil kebijakan pendidikan yang menetapkan adanya dua versi lembaga pendidikan, yakni pendidikan umum dan pendidikan agama, yang
dalam implementasinya seringkali menimbulkan perlakukan diskriminatif. Bukti dari perlakuan diskriminatif pemerintah terhadap lembaga-lembaga
pendidikan umum di satu sisi dengan pendidikan keagamaan di sisi lain, adalah pada kebijakan dua kementriandeparteman, di mana Kementerian
Pendidikan Nasional mengurusi lembaga-lembaga pendidikan umum dengan berbagai fasilitas dan dana yang relatif “melimpah”, sementara Kementerian
Agama mengelola lembaga-lembaga pendidikan keagamaan dengan fasilitas dan pendanaan yang “amat terbatas”. Keterbatasan dana, fasilitas, sarana
12
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam Paradigma Baru Pendidikan Hadhari
Berbasis Integratif-Interkonektif, hlm. 22.
ELEMENTARY
Vol. 1 | No. 1 | Juli - Desember 2013
dan prasarana yang dimiliki oleh kebanyakan lembaga pendidikan di bawah Kementerian Agama tersebut tentu berpengaruh terhadap kinerja dan
kualitas pendidikan di banyak Madrasah dan lembaga pendidikan sejenisnya. Akibatnya, pengelolaan Madrasah tidak dapat optimal dan seringkali
menyebabkan mutu lulusan Madrasah kurang mampu bersaing dengan lembaga-lembaga setingkat yang berada di bawah Kementerian Pendidikan
Nasional. Dampak lain yang tidak kalah seriusnya dari dikotomi keilmuan antara
ilmu-ilmu agama Islam di satu sisi dengan ilmu-ilmu di sisi lain adalah terhadap kerangka ilsafat keilmuan Islam. Kendati dikotomi keilmuan Islam
telah terjadi semenjak beberapa abad yang lampau, namun dampaknya terhadap kerangka ilsafat keilmuan Islam dirasakan semakin serius pada
masa-masa kemudian. Salah satu kerangka keilmuan Islam yang kurang “lazim” bila dibandingkan dengan kerangka ilsafat keilmuan “sekuler”
adalah kurang dikenalnya konsep paradigma,
normal science, anomali, dan revolusi sains, yang selama ini “mengatur” perkembangan dan pertumbuhan
sains modern. Kerangka keilmuan Islam justru dihinggapi romantisisme yang menjadikan masa lalu justru sebagai kerangka utama—kalau bukan satu-
satunya, pola berpikir umat Islam. Romantisisme dalam arti yang sederhana memang diperlukan, terutama untuk menghindari terjadinya proses
pencabutan pemikiran kontemporer dengan sejarah keilmuan masa lampau. Tetapi apabila romantisisme mendominasi kerangka berpikir keilmuan
umat Islam, maka dinamika dan revolusi keilmuan Islam tidak akan pernah terwujud. Pada bagian lain Assegaf mencatat akibat berangkai dari pola
pikir pendidikan yang dikotomis ini adalah terjadi disharmoni relasi antara pemahaman ayat-ayat ilahiah dengan ayat-ayat kauniyah, antara iman
dengan ilmu, antara ilmu dengan amal, anatara dimensi duniawi dengan ukhrawi, dan relasi dimensi ketuhanan teosentris dengan kemanusiaan
antroposentris.
13
Berbagai alasan secara niscaya menjadi faktor pendukung munculnya dikotomi dalam ilmu agama dan ilmu umum. Seperti dicatat oleh Jasa
Ungguh Muliawan dalam dataran praktik, struktur hierarki ilmu pengetahuan dibedakan atas peringkat kompleksitas, fungsi, dan struktur ontologinya.
Pada tingkat terendah mengandung kompleksitas pemikiran sederhana, bersifat inderawi, jasmaniah, praktis, dan diketahui sebagai ilmu pasti.
13
Ibid., hlm. 22.
Mas’udi
Akomodasi Nilai-Nilai Keislaman dalam Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah
Dikatakan pasti karena kebenarannya tidak dapat diragukan. Semakin tinggi semakin berkompleksitas rumit, abstrak, teoritis, metaisis, luas dan padat,
dan relatif. Pada puncak tertinggi objek ilmu pengetahuan mencakup realitas
yang konkret dan abstrak.
14
Fragmentasi keilmuan umum yang lebih merambah ke dalam dunia yang penuh dengan kompleksitas karena mengarah kepada kepastian kajian
sangatlah berbeda dengan tradisi keilmuan muslim yang lebih cenderung pada pola pikir normatif-deduktif. Hal itu terlihat pada praktik pendidikan Islam
yang saat ini lebih mengarah pada pola mengajar teaching, ta’lim daripada
mendidik education, tarbiyah atau ta’dib. Mengajar jelas berbeda dengan
mendidik. Aktivitas mengajar dibatasi oleh ruang kelas dan mengandalkan peran guru yang amat besar. Sedang mendidik atau pendidikan tidak harus
dilaksanakan dalam ruang kelas, bisa di aula, auditorium, laboratorium, bahkan di luar sekolah atau kampus. Dalam pendidikan terdapat interaksi
edukatif antara guru-murid, murid-murid, bahkan guru-guru, sehingga murid dipandang sebagai peserta aktif dalam keseluruhan proses pendidikan.
15
Pola-pola pendidikan sebagaimana diarahkan pada konsepsi dialogis di atas memberikan suatu sumbangan berharga bahwa realitas pendidikan
masa kini di tengah-tengah kehidupan masyarakat muslim masih jauh dari titik pijak positif. Terjadinya demarkasi yang sangat menjurang
dengan pengukuhan ilmu agama sebagai basis pendidikan dominan masih mendudukkan dikotomi sebagai kepastian dalam realitas pendidikan
dimaksud. Di atas alasan inilah, membangun kesadaran baru akan konsepsi pendidikan yang integratif-interkonektif mustahil ditolak keberadaannya.
Setiap individu muslim patut menyadari bahwa kepastian dari integrasi disiplin ilmu merupakan kemutlakan pola pengembangan pendidikan di
masa kini dan yang akan datang.
C. Mengisi Ruang Gerak Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah dengan