ARAH BARU DESAIN KURIKULUM (Mengejawantahkan Nilai-Nilai KKNI dalam Konstruks Kurikulum PGMI) | Mas'udi | ELEMENTARY 1461 4873 1 SM

(1)

ARAH BARU DESAIN KURIKULUM

(Mengejawantahkan Nilai-Nilai KKNI dalam

Konstruks Kurikulum

PGMI)

Mas’udi

Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus

Abstract: In its process, the National Education System (SNP) in the target quality of education serves leaning to positive values of social development in the community. This has become a necessity because the state has a great responsibility to direct the main concepts of education to a more mature and make the child the best education dimensionless generation of people in his life. This demand is undoubtedly switch to stakeholders in a more focused area that is College. In this framework the Universities largely responsible for providing instructional design good for students who join the educational units built.

The studies on the formulation of the current curriculum design is necessarily directed to the contemporary frameworks formulated by the government. In terms of social values that want to be introduced to the world of education, should be realized by all practitioners in the development of education that education itself will be held accountable to the common values that thrive in the community. For this reason, contemporary social values that developed in the middle of the community would essentially become a major capital references must be embodied in education.

Key words: Design, Curriculum, the National Education System,

Quality, Policy

A. Latar Belakang

Dalam perkembangannya, analisis tentang kurikulum merupakan hakikat mutlak yang harus dilakukan oleh instansi pendidikan. Hal ini


(2)

berbanding lurus dengan tuntutan peningkatan mutu lembaga yang terikat sepenuhnya dengan kurikulum pendidikan yang disajikan. Keberhasilan dalam mutu pendidikan yang terdapat pada suatu lembaga pendidikan akan ditopang oleh kesesuaian kurikulum yang ada dengan orientasi umum lembaga terkait. Dalam hal ini Zamroni menjelaskan bahwa kurikulum menempati posisi yang menentukan. Ibarat tubuh, kurikulum merupakan jantungnya pendidikan. Kurikulum merupakan seperangkat rancangan nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang harus ditransfer kepada peserta didik dan bagaimana proses transfer tersebut harus dilaksanakan.1

Berpijak kepada signiikansi peran kurikulum dalam rancangan

pendidikan tersebut, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan muatan pendidikan yang mengunggulkan orientasi kesejahteraan masyarakat. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan utama stabilisasi mutu pendidikan di berbagai instansi pendidikan

secara de jure perlu memberikan wadah kontributif atas terlaksananya

pendidikan yang bermutu. Untuk itulah, dalam orientasi rancangan tersebut pemerintah mewadahinya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Pada analisa tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pemerintah menguatkan pentingnya analisa kesadaran pelaku pendidikan terhadap lingkup pokok SNP dimaksud. Beberapa cakupan SNP yang niscaya disadari oleh para

pelaku pendidikan adalah, pertama; “Standar Isi”. Standar Isi sendiri

merupakan ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Cakupan kedua yang harus diperhatikan oleh pelaku pendidikan adalah “Standar Proses”. Standar Proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Cakupan berikutnya yang harus diwujudkan dalam pengukuhan SNP adalah “Standar Kompetensi Lulusan”. Maksud dari cakupan ini adalah keniscayaan untuk menguatkan

1 Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000),


(3)

kualiikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan

keterampilan. Selanjutnya, pada cakupan keempat, dituntut sepenuhnya hadir pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) “Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan”. Maksud utama dari penjabaran ini adalah keniscayaan untuk menguatkan kriteria pendidikan prajabatan dan

kelayakan isik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Cakupan

berikut yang harus terwujud dalam Standar Nasional Pendidikan adalah “Standar Sarana dan Prasarana”, yaitu standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Sementara bagian lain yang harus tercakup juga adalah “Standar Pengelolaan”, yaitu standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai

eisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Bagian akhir dari

cakupan SNP yang harus ada adalah “Standar Pembiayaan”, yaitu standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun; dan “Standar Penilaian Pendidikan”, yakni standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.

Berangkat dari lingkup Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagaimana dijelaskan pada pembahasan di atas, tampak berdiri dengan kuat satuan orientasi pendidikan nasional yang mengikat semua unsur termaktub pada diri pelaku pendidikan. Cakupan yang telah terdeskripsikan pada pembahasan di atas menggiring segenap

stakeholders dalam pendidikan untuk senantiasa mengingat

unsur-unsur termaktub demi tercapainya mutu pendidikan yang baik serta mengarahkan. Hal ini dapat dilihat pula pada tuntutan adanya pemenuhan standar isi dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 19 Tahun 2005. Dalam Pasal 5 mengenai tuntutan pemenuhan Standar Isi dijelaskan bahwa (1) Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi lulusan


(4)

pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Pada bagian kedua dijelaskan bahwa standar isi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik.

Berbagai penjelasan yang tercakup pada pemenuhan nilai-nilai Standar Nasional Pendidikan sebagaimana terdeskripsikan pada beberapa pembahasan di atas menunjukkan dinamika yang akan muncul terhadap pencapaian mutu terbaik dalam pendidikan. Akan tetapi, keanekaragaman kondisi yang mengitari kondisi utama realitas pendidikan mustahil

menaikan berbagai polemik yang akan muncul. Hal ini senada dengan

argumentasi Zamroni yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan berjangka panjang. Berbagai aspek yang tercakup dalam proses tersebut berkaitan erat antara satu sama lain dan bermuara pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai hidup, pengetahuan hidup, dan keterampilan hidup. Kompleksitas tersebut tercipta pula karena interaksi di antara berbagai aspek terkait pendidikan, seperti guru, bahan ajar, fasilitas, kondisi siswa, kondisi lingkungan, dan metode mengajar yang digunakan tidak selamanya memiliki sifat dan bentuk yang konsisten serta dapat dikendalikan.2

Menyikapi berbagai kondisi yang tercakup pada pertimbangan munculnya kompleksitas dalam pendidikan tersebut, Buchori mengungkapkan pentingnya menghadirkan dua unsur pokok dalam kecakapan atau kompetensi mengajar seorang guru, yaitu penguasaan bidang pengetahuan dan penguasaan keterampilan pedagogik atau

kepiawaian mengajar.3 Menganalisa tentang kondisi tersebut pada

realitasnya Buchori juga menegaskan tentang terjadinya perdebatan di antara keduanya. Untuk itulah Zamroni dengan gigih menjelaskan bahwa fenomena dalam dunia pendidikan di atas semua unsur yang terintegrasi ke dalam dinamika pendidikan itu sendiri akan selalu berdimensi jangka panjang. Zamroni menjelaskan bahwa pendidikan disebut berdimensi jangka panjang karena proses pendidikan adalah mempersiapkan manusia untuk dapat hidup layak di masa depan, yaitu suatu masa yang

2 Zamroni, Paradigma Pendidikan, hlm.128.

3 Mochtar Buchori, Evolusi Pendidikan di Indonesia dari Kweekschool sampai ke IKIP:


(5)

tidak mesti sama bahkan cenderung berbeda dengan masa kini.4

Melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul pada perkembangan dunia pendidikan beriring dengan timbulnya dinamika pertumbuhan masyarakat di dalamnya dituntut sepenuhnya agar kondisi tersebut tertata dengan rapi dan mengarahkan. Hal ini sebagai kontribusi terhadap analisa Zamroni bahwa pendidikan senantiasa berjalan dalam dimensinya yang panjang. Untuk itulah, mengisi ruang-ruang dari semua dimensi yang berjalan penting menghadirkan sistem manajerial yang mengarahkan. Sebagaimana perspektif yang dijelaskan oleh Bush dan Coleman bahwa aspek utama dalam manajemen pendidikan adalah

menyusun arah, tujuan, dan sasaran.5 Arah pendidikan dan tujuan serta

sasarannya akan terungkap dengan jelas seiring dengan pemenuhan nilai-nilai dasar akumulatif dalam pendidikan.

Dimensi jangka panjang dalam pendidikan akan terlihat efektif ketika dipahami bahwa kurikulum yang tersaji di dalamnya merupakan jembatan yang akan mengantarkan para peserta didik dari kehidupan

masa kini ke kehidupan masa depan.6 Setiap stakeholders dalam dunia

pendidikan harus menyadari bahwa peserta didik yang ada di bangku sekolah dewasa ini dipersiapkan untuk dapat hidup secara layak dan bermanfaat baik bagi diri, keluarga, dan masyarakatnya di masa mendatang.

Beranjak dari pentingnya menghadirkan mutu kurikulum yang berorientasi pada pencapaian hasil bermutu pendidikan di masa mendatang, perlu menyadari muatan yang harus tersaji di dalamnya. Berpijak kepada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional pada muatan Pasal 9 disebutkan di dalamnya dengan gamblang bahwa kurikulum yang tersaji dalam SNP adalah (1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan untuk setiap program studi; (2) Kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia,

4

Zamroni, Paradigma Pendidikan, hlm. 129.

5 Tony Bush dan Marianne Coleman, Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan,

terj., Fahrurrozi (Yogyakarta: Ircisod, 2006), hlm. 20.

6


(6)

dan Bahasa Inggris; (3) Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kurikulum tingkat satuan pendidikan tinggi program Sarjana dan Diploma wajib memuat mata kuliah yang bermuatan kepribadian, kebudayaan, serta mata kuliah Statistika, dan/atau Matematika; (4) Kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kedalaman muatan kurikulum pendidikan tinggi diatur oleh perguruan tinggi masing-masing. Melanjutkan dari rumusan Pasal 9 di atas penting pula mengkaji rumus pembahasan pada Pasal 15 yang menjelaskan; (1) Beban SKS minimal dan maksimal program pendidikan pada pendidikan tinggi dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri; (2) Beban SKS efektif program pendidikan pada pendidikan tinggi diatur oleh masing-masing perguruan tinggi.

Berbagai kebijakan yang telah dilimpahkan kepada masing-masing perguruan tinggi terkait dengan kurikulum yang semestinya dihadirkan membuka pintu baru bagi segenap pemangku kebijakan di perguruan tinggi agar mengarahkan struktur pendidikan di dalamnya ke muara visi dan misi perguruan tinggi dimaksud. Hal ini mutlak dilakukan karena setiap perguruan tinggi dituntut untuk memberikan distingsi positif berhubungan dengan wilayah bertempatnya lembaga pendidikan tinggi yang ada. Semakin baik arahan pemunculan dari lokus studi pada perguruan tinggi tertentu, maka semakin terekspos kepada publik akan identitas terikat lembaga dimaksud.

Untuk selanjutnya, berpijak kepada gambaran kondisional yang telah diberikan kepada masing-masing perguruan tinggi terkait dengan kebijakan internalnya, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus dalam pengembangan akademik di dalamnya memunculkan beberapa identitas penting pendukung eksistensinya. Hal ini terlihat pada Pola Ilmiah Pokok (PIP) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus yang mendukung kepada tercapainya realitas Islam Transformatif. Di antara beberapa PIP yang dirancang eksistensinya pada STAIN Kudus adalah membumikan nilai-nilai keislaman, dengan mengembangkan keilmuan Islam yang transformatif, mengedepankan perubahan dari teks ke dalam konteks, perubahan dari pemikiran ke dalam aksi, dan perubahan dari individu ke dalam kehidupan sosial. Visi, misi, tujuan dan


(7)

PIP tersebut bercita-cita ingin menjadikan STAIN Kudus sebagai motor penggerak perubahan dari masyarakat berkembang menuju masyarakat religius yang modern. Pembentukan masyarakat religius yang modern selalu diikuti oleh proses transformasi sosial, yang menandai suatu perubahan dari masyarakat yang potensi keberagamaannya kurang berkembang menuju masyarakat maju yang dapat mengaktualisasikan potensi keberagamaannya secara optimal dalam konteks masyarakat multikultural.7

Segenap Stakeholder STAIN Kudus menyadari bahwa di era global

sekarang ini, transformasi itu berjalan dengan sangat cepat yang kemudian

mengantarkan pada masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based

society). Di dalam masyarakat berbasis pengetahuan, peranan ilmu

pengetahuan dan teknologi sangat dominan. Dalam analisis internalnya, STAIN Kudus memperjelas kondisi riil masyarakat wilayah Pantura Jawa Tengah Bagian Timur yang pada umumnya indeks teknologi penguasaan mereka masih rendah dan belum secara optimal memanfaatkan Iptek

sebagai penggerak utama (prime mover) perubahan masyarakat. Oleh

karena itu STAIN Kudus memfasilitasi peningkatan indeks teknologi tersebut, dengan menggeser dan mengembangkan keilmuan Islam yang bukan hanya sebuah ajaran yang berada di dalam diri (saleh individual), melainkan ajaran yang integral menyatu di luar diri (saleh sosial) dengan arus kesadaran diri dan denyut kehidupan masyarakat yang multikultural, serta bermanfaat bagi seluruh kehidupan manusia, tanpa membedakan golongan, etnis dan agama. Di samping kondisi tersebut, STAIN Kudus juga berupaya penuh melakukan transfer teknologi yang biasanya terjadi

melalui investasi sumber daya manusia (human investment). Dengan

demikian, kebijakan pendidikan di STAIN Kudus dirancang sepenuhnya sejalan dengan kebijakan investasi, yang ditempuh melalui tiga jalur transformasi: 1) Transformasi diri; (transformation of self) terwujudnya

tanggung jawab dan pemahaman secara kritis dan relektif terhadap diri

dan orang lain, 2) Transformasi pendidikan (transformation of schools), yang menuntut penalaran kritis terhadap semua aspek pengajaran yang

berpusat pada mahasiswa (student centered), dan 3) Transformasi

7


(8)

masyarakat (transformation of society), yang secara proaktif mendorong peran serta masyarakat menerapkan dan menumbuhkembangkan

kekuatan beragama, nilai keragaman (diversity), keadilan, dan

kebersamaan.8

B. Bangunan Teoritis Studi tentang Kurikulum

Perbincangan tentang kurikulum tak ubahnya mengarah kepada

perbincangan tentang ruh yang ingin diterapkan pada suatu lembaga.

Keberadaannya menjadi suatu ketentuan dari out put yang akan dihasilkan oleh lembaga tersebut. Untuk itulah, guna memberikan deskripsi teoritis tentang maksud dari desain kurikulum sebagaimana rumusan judul pada penelitian ini “” beberapa teori berikut akan mengantarkannya;

1) Kurikulum dalam Pandangan Para Ahli

Membahas desain kurikulum pada Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) adalah perkara yang cukup pokok. Pokok dari pembahasan tersebut berkorelasi kuat dengan pengembangan-pengembangan akademik yang akan dihadirkan pada keberlanjutan aktivitas belajar dan mengajar di suatu perguruan tinggi dimaksud. Kenyataan yang berkembang ini harus berbanding lurus dengan tujuan

utama ilosoi pendidikan. Sebagaimana dijelaskan oleh Burbules

dalam Moon, dkk., ed., bahwa isu-isu penting tentang pendidikan yang berkembang di beberapa wilayah di luar Eropa menunjukkan pendidikan sebagai hakikat menyatu dengan spiritualitas, moralitas, dan pengembangan budaya. Pada bagian ini dapat dijelaskan bahwa kebijaksanaan pendidikan juga harus dimaknai sebagai kebijaksanaan pada keimanan atau aktivitas yang meluas kepada penggunaan

identitas atau pengidentiikasian terhadap keberadaan diri sendiri.9 Berpijak kepada penjabaran kebijaksanaan pendidikan sebagai pengejawantahan Filsafat Pendidikan pada pembahasan di atas dapat dimunculkan pemahaman bahwa hakikat utama dari kebutuhan lembaga pendidikan adalah kebijaksanaan akan mutu kurikulum

8 Ibid., hlm. 11.

9 Lebih lanjut, baca; Nisholas C. Burbules, “Philosophy of Education” dalam Boob Moon,


(9)

yang dirancang. Spiritualitas pada beberapa wilayah di luar Eropa telah disepakati sebagai objek utama pemenuhan kurikulum yang mengarahkan. Pada bagian ini Sikes dan Goodson dalam Sikes, dkk., ed., menjelaskan bahwa kurikulum secara nasional pada suatu negara harus dirancang sepenuhnya dengan berhaluan kepada nilai-nilai sosial yang berkembang. Untuk membuat suatu sistem berjalan secara efektif nilai-nilai sosial secara niscaya harus terwujud pada

suatu kurikulum secara eisien.10

Berpijak kepada pandangan Hayes, kurikulum dijelaskannya sebagai program formal dari suatu kegiatan dengan mengajarkan beberapa hal pokok; elemen dari kurikulum itu sendiri guna memunculkan perubahan, perbaikan atau nilai dan perilaku yang bisa diraih oleh para siswa sebagaimana hal tersebut telah dicanangkan sebagai pendidikan yang bernilai efektif oleh para ahli.11 Pernyataan ini dengan gamblang merumuskan bahwa penentu kebijakan dalam pendidikan memiliki hak prerogatif terhadap pencapaian mutu pendidikan berdasar kepada kurikulum yang ditawarkan. Pendidik memiliki kewenangan besar guna mengarahkan struktur pendidikan yang diterapkan kepada pencapaian tertinggi pada masyarakat pendidikan itu sendiri.

Masyarakat menjadi hakikat objektif terhadap ketentuan kurikulum pada suatu institusi pendidikan. Nilai-nilai yang dihadirkan pada suatu kurikulum secara niscaya perlu diorientasikan secara

kokoh kepada eiensi nilai dari kehidupan umum di masyarakat.

Inventarisasi dari data kerja masyarakat dalam rutinitas kehidupan mereka merupakan kebutuhan utama demi mencanangkan rumusan kurikulum yang akan direalisasikan dalam kelas. Kenyataan ini dikuatkan oleh Kitson dalam John O’Neill and Neil Kitson bahwa mengemukakan beberapa pertanyaan dan agenda pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik tanpa merumuskan kebutuhan utama

masyarakat pada pengembangan pendidikan mereka.12

10

Pat Sikes and Ivor Goodson, “Living Research: Thoughts on Educational Research as Moral

Practice” dalam Pat Sikes, dkk., ed., The Moral Foundations of Educational Research Knowledge,

Inquiry and Values (Philadelphia, Open University Press, 2003), hlm. 36.

11 Denis Hayes, Encyclopedia of Primary Education (London: Routledge, 2010), hlm. 7. 12


(10)

Rumusan sistem pendidikan merupakan faktor penguat terhadap institusi sosial di masyarakat. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Kelly bahwa terwujudnya institusi sosial yang baik akan secara niscaya mengubah rumusan sistemik pendidikan di

masyarakat secara menyeluruh.13 Dalam hal ini Kelly menegaskan

bahwa pengembangan model kurikulum harus ditujukan sepenuhnya untuk menjadikan desain dari kurikulum tersebut menjadi efektif. Keberadaannya harus dirancang untuk mempromosikan rancangan

kurikulum yang ditawarkan.14 Lebih lanjut Kelly menjelaskan bahwa

terdapat dua kondisi dalam merancang suatu kurikulum yang saling berhubungan. Dualisasi dari rancangan tersebut adalah kebijakan dan implementasi. Menyikapi keberadaan ini Kelly menjelaskan bahwa dua rancangan tersebut secara realitas menjadi unsur pokok berdirinya suatu lembaga.15

Eksistensi kurikulum pada suatu lembaga menjadi aspek mendasar bagi relevansi kehidupan masyarakat pendidikan yang berada di dalamnya. Dalam keberadaan ini komponen kurikulum yang ditawarkan akan sepenuhnya memberikan warna bagi keberlanjutan dan partisipasi dari sekolah yang sedang berjalan. Pada bagian ini Hayes menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk dasar bagi pembentukan siswa di suatu lembaga; (a) Dibentuk mengalir dengan memisahkan anak-anak ke dalam unsur kelompok berdasar dengan kemampuan yang mereka miliki. Setiap anak yang berdiam di tempat ini berasaskan kepada kurikulum yang dipertaruhkan bagi keberadaan anak-anak yang menetap di dalamnya. Untuk selanjutnya, pada bagian (b) Pengaturan dengan memisahkan pada anak berdasar kepada kemampuan mereka berpijak kepada sub-sub pembidangan yang diketahui, seperti memisahkan siswa dari dua kemampuan

berbeda pada pembelajaran Bahasa Inggris dan Matematika. 16

Neil Kitson, ed., Effective Management Curriculum (New York: Routledge, 1996), hlm. 184.

13

A. V. Kelly, The Curriculum; Theory and Practice (London: Sage Publication, 2004), hlm. 1.

14Ibid., hlm. 101. 15 Ibid., hlm. 104. 16


(11)

2) Signiikansi Desain pada Kurikulum

Pencapaian mutu pendidikan yang baik tidak bisa dipisahkan dari formulasi yang ditawarkan pada kurikulum yang diterapkan di suatu lembaga. Pada bagian ini, desain suatu kurikulum menduduki posisi sentral dari pencapaian tertinggi pendidikan yang dicanangkan oleh para penentu kebijakan dalam pendidikan. Sebagaimana dikukuhkan oleh Hayes bahwa isu kontemporer yang berkembang di dunia pendidikan berhubungan dengan keberlanjutan pengembangan dan kesadaran umum masyarakat. Hal ini secara niscaya menguat seiring dengan penyebarluasan dari kurikulum di sekolah yang didesain berbasis kepada lingkungan pendidikan atau kenyataan yang lebih dikenal dengan istilah ‘green’ pemurnian isu.17

Analisa yang dikemukakan oleh Hayes di atas secara mendasar menjelaskan kepada segenap pemerhati pendidikan bahwa formulasi yang ditawarkan sekolah terhadap dinamika kehidupan siswa di

dalamnya akan berdampak signiikan bagi keberlanjutan hidup

mereka. Kenyamanan siswa di sekolah atau lembaga pendidikan apa pun bersinergi kuat dengan sajian tematis konstruk kurikulum yang telah didesainkan. Untuk itulah, kurikulum yang tersaji pada suatu

lembaga pendidikan akan berimplikasi signiikan terhadap pola hidup

anak didik di masa yang akan datang.

Melanjutkan dimensi korelatif kurikulum terhadap masa depan pendidikan peserta didik di masa depannya, Pinar merumuskan dalam bahasannya. Dalam pandangan Pinar desain dalam kurikulum sepenuhnya harus terancang secara terarah guna memaksimalkan pencapaian tinggi dalam susunan pendidikan. Hal ini berpijak kepada hakikat tematis Pinar bahwa teoritisasi dalam kurikulum dapat membantu pengungkapan kebenaran di masa depan suatu negara. Keberadaannya mustahil menipu meskipun kemungkinan tekanan

politis mungkin akan timbul di tengah-tengah ketentuannya.18

17 Ibid., hlm. 10.

18 William F. Pinar, What Is Curriculum Theory? (London: Lawrence Erlbaum Associates


(12)

C. Landasan Kepustakaan

Mendeskripsikan status dari penelitian ini adalah sebuah fakta yang secara niscaya harus diketengahkan. Hal ini berdasar kepada kenyataan dari mata rantai penelitian yang harus diposisikan ke dalam fragmentasi khusus kenyataannya. Kekhususan penelitian ini akan terungkap pada saat keberadaannya terarah ke dalam lini lain atau lanjutan atas penelitian-penelitian sebelumnya.

Melalui telusur data atas model penelitian yang diajukan ini, belum ada satu penelitian serupa atas pengerjaannya. Penelitian ini merupakan analisis baru terlebih wilayah kajiannya yang menyentuh pada lokasi terfokus, yakni Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus.

Namun, sebagai ilter terhadap penelitian ini terdapat beberapa analisa

tematis yang mengarah kepada kajian tentang kurikulum. Dalam karya

S. Nasution, “Pengembangan Kurikulum” tercatat di dalamnya suatu

penjabaran bahwa kurikulum secara hakiki merupakan falsafah suatu bangsa. Pada pengukuhan dari kenyataan ini, Nasution memaparkan bahwa tujuan nasional yang sangat umum masih harus diuraikan menjadi tujuan yang lebih khusus. Untuk itulah, dalam karya yang ditulisnya ini mata rantai penggunaan kurikulum di sekolah harus dirumuskan berdasar kepada kondisi sosio-kultur perkembangan wilayah yang ada. Secara niscaya, penelitian ini memberikan deskripsi tentang sistematisasi perumusan kurikulum di masing-masing lembaga.

Pada kajian pustaka lain, Dimyati dan Mudjiono “Belajar dan

Mengajar” mengulas bahwa hakikat dari pembelajaran merupakan

kenyataan yang kompleks. Dari kenyataan ini keduanya memberikan deskripsi tentang beberapa langkah taktis metodis guna mencapai kajian yang objektif dalam pendidikan. Karya yang dirumuskan keduanya ini memberikan dasar pijakan kepada pembaca bahwa kompleksitas pembelajaran dan belajar itu sendiri dapat dimanifestasikan berdasar kepada rumusan kurikulum yang benar dan mengarahkan.

D. Metode Penelitian


(13)

kualitatif. Sebagaimana penjabaran Sugiyono bahwa metode kualitatif merupakan proses penelitian yang lebih bersifat seni (kurang terpola). Dalam penjelasannya yang lain juga dia menjelaskan bahwa metode kualitatif merupakan metode interpretatif dengan dasar pengungkapan datanya berdasar kepada interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan.19

Sebagaimana penjabaran metodis penelitian ini, metode yang dipergunakannya adalah metode kualitatif. Untuk selanjutnya, aspek motodologis yang dikembangkan di dalamnya berdasar kepada studi kepustakaan. Studi ini dikembangkan sebagai kerangka nyata penelitian yang lebih menekankan kepada penafsiran baru terhadap desain kurikulum di STAIN Kudus yang harus menitikberatkan kepada pola-pola perwujudan kurikulum khususnya yang berhaluan kepada muatan Kerangka Kurikulum Nasional Indonesia (KKNI). Muatan-muatan yang perlu dihadirkan tersebut harus menginduk seutuhnya kepada

KKNI (Kerangka Kerja Kualiikasi Nasional), Perpres 8 tahun 2012 dan

Permendikbud No. 73 tahun 2012 (penerapan KKNI di PT), Standar Nasional PT, Permendikbud 49 tahun 2014. Sistem Penjaminan Mutu PT, dan Permendikbud 50 tahun 2014.

1) Metode Pengumpulan Data

Berpijak kepada dasar pendekatan penelitian ini yang bersifat kualitatif, maka beberapa metode pengumpulan data berikut menjadi acuannya;

I. Interpretasi

Berpijak kepada penjelasan Anton Bakker dan Achmad Harris Zubair tentang interpretasi, metode pengumpulan data model ini dirancang dengan merekonstruksi teks naskah atau sambil diterjemahkan isi naskah diselami untuk mengungkap arti dan nuansa

yang dimaksudkan secara khas.20 Pengumpulan data model ini secara

niscaya diarahkan untuk memberikan pemaknaan baru terhadap data-data terkumpul yang telah ditemukan melalui naskah atau buku.

19

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D

(Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 13-14.

20 Anton Bakker dan Achmad Harris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:


(14)

II. Dokumentasi

Pengambilan model pengumpulan data semacam ini diarahkan untuk memberikan informasi tentang bahan-bahan pustaka terdahulu yang masih relevan terhadap penelitian yang diajukan. Hal ini bersandar kepada penjelasan Sugiyono bahwa pengumpulan data dengan dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya

monumental dari seseorang.21

21


(15)

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, Bakker dan Achmad Harris Zubair, Metodologi Penelitian

Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Buchori, Mochtar. Evolusi Pendidikan di Indonesia dari Kweekschool

sampai ke IKIP: 1852-1998. Yogyakarta: Insist Press, 2007.

Bush, Tony dan Marianne Coleman. Manajemen Strategis Kepemimpinan

Pendidikan, terj., Fahrurrozi. Yogyakarta: Ircisod, 2006.

F. Pinar, William. What Is Curriculum Theory?. London: Lawrence

Erlbaum Associates Publishers, 2004.

Hayes, Denis. Encyclopedia of Primary Education. London: Routledge,

2010.

Kelly, A. V. The Curriculum; Theory and Practice. London: Sage

Publication, 2004.

Moon, Boob, dkk., ed., Routledge International Companion to Education. New York: Routledge, 2000.

O’Neill, John dan Neil Kitson, ed., Effective Management Curriculum.

New York: Routledge, 1996.

Rancangan Pengajuan Prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Jurusan Dakwah STAIN Kudus Tahun 2010.

Renstra dan Renop STAIN Kudus 2004-2014.

Saputro, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: Rajagraindo

Persada, 2011.

Sikes, Pat, dkk., ed., The Moral Foundations of Educational Research

Knowledge, Inquiry and Values. Philadelphia, Open University

Press, 2003.

Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2010.

Zamroni. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf


(1)

Rumusan sistem pendidikan merupakan faktor penguat terhadap institusi sosial di masyarakat. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Kelly bahwa terwujudnya institusi sosial yang baik akan secara niscaya mengubah rumusan sistemik pendidikan di masyarakat secara menyeluruh.13 Dalam hal ini Kelly menegaskan

bahwa pengembangan model kurikulum harus ditujukan sepenuhnya untuk menjadikan desain dari kurikulum tersebut menjadi efektif. Keberadaannya harus dirancang untuk mempromosikan rancangan kurikulum yang ditawarkan.14 Lebih lanjut Kelly menjelaskan bahwa

terdapat dua kondisi dalam merancang suatu kurikulum yang saling berhubungan. Dualisasi dari rancangan tersebut adalah kebijakan dan implementasi. Menyikapi keberadaan ini Kelly menjelaskan bahwa dua rancangan tersebut secara realitas menjadi unsur pokok berdirinya suatu lembaga.15

Eksistensi kurikulum pada suatu lembaga menjadi aspek mendasar bagi relevansi kehidupan masyarakat pendidikan yang berada di dalamnya. Dalam keberadaan ini komponen kurikulum yang ditawarkan akan sepenuhnya memberikan warna bagi keberlanjutan dan partisipasi dari sekolah yang sedang berjalan. Pada bagian ini Hayes menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk dasar bagi pembentukan siswa di suatu lembaga; (a) Dibentuk mengalir dengan memisahkan anak-anak ke dalam unsur kelompok berdasar dengan kemampuan yang mereka miliki. Setiap anak yang berdiam di tempat ini berasaskan kepada kurikulum yang dipertaruhkan bagi keberadaan anak-anak yang menetap di dalamnya. Untuk selanjutnya, pada bagian (b) Pengaturan dengan memisahkan pada anak berdasar kepada kemampuan mereka berpijak kepada sub-sub pembidangan yang diketahui, seperti memisahkan siswa dari dua kemampuan berbeda pada pembelajaran Bahasa Inggris dan Matematika. 16

Neil Kitson, ed., Effective Management Curriculum (New York: Routledge, 1996), hlm. 184. 13

A. V. Kelly, The Curriculum; Theory and Practice (London: Sage Publication, 2004), hlm. 1.

14Ibid., hlm. 101. 15 Ibid., hlm. 104. 16


(2)

2) Signiikansi Desain pada Kurikulum

Pencapaian mutu pendidikan yang baik tidak bisa dipisahkan dari formulasi yang ditawarkan pada kurikulum yang diterapkan di suatu lembaga. Pada bagian ini, desain suatu kurikulum menduduki posisi sentral dari pencapaian tertinggi pendidikan yang dicanangkan oleh para penentu kebijakan dalam pendidikan. Sebagaimana dikukuhkan oleh Hayes bahwa isu kontemporer yang berkembang di dunia pendidikan berhubungan dengan keberlanjutan pengembangan dan kesadaran umum masyarakat. Hal ini secara niscaya menguat seiring dengan penyebarluasan dari kurikulum di sekolah yang didesain berbasis kepada lingkungan pendidikan atau kenyataan yang lebih dikenal dengan istilah ‘green’ pemurnian isu.17

Analisa yang dikemukakan oleh Hayes di atas secara mendasar menjelaskan kepada segenap pemerhati pendidikan bahwa formulasi yang ditawarkan sekolah terhadap dinamika kehidupan siswa di

dalamnya akan berdampak signiikan bagi keberlanjutan hidup

mereka. Kenyamanan siswa di sekolah atau lembaga pendidikan apa pun bersinergi kuat dengan sajian tematis konstruk kurikulum yang telah didesainkan. Untuk itulah, kurikulum yang tersaji pada suatu

lembaga pendidikan akan berimplikasi signiikan terhadap pola hidup

anak didik di masa yang akan datang.

Melanjutkan dimensi korelatif kurikulum terhadap masa depan pendidikan peserta didik di masa depannya, Pinar merumuskan dalam bahasannya. Dalam pandangan Pinar desain dalam kurikulum sepenuhnya harus terancang secara terarah guna memaksimalkan pencapaian tinggi dalam susunan pendidikan. Hal ini berpijak kepada hakikat tematis Pinar bahwa teoritisasi dalam kurikulum dapat membantu pengungkapan kebenaran di masa depan suatu negara. Keberadaannya mustahil menipu meskipun kemungkinan tekanan politis mungkin akan timbul di tengah-tengah ketentuannya.18

17 Ibid., hlm. 10.

18 William F. Pinar, What Is Curriculum Theory? (London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 2004), hlm. 208.


(3)

C. Landasan Kepustakaan

Mendeskripsikan status dari penelitian ini adalah sebuah fakta yang secara niscaya harus diketengahkan. Hal ini berdasar kepada kenyataan dari mata rantai penelitian yang harus diposisikan ke dalam fragmentasi khusus kenyataannya. Kekhususan penelitian ini akan terungkap pada saat keberadaannya terarah ke dalam lini lain atau lanjutan atas penelitian-penelitian sebelumnya.

Melalui telusur data atas model penelitian yang diajukan ini, belum ada satu penelitian serupa atas pengerjaannya. Penelitian ini merupakan analisis baru terlebih wilayah kajiannya yang menyentuh pada lokasi terfokus, yakni Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus.

Namun, sebagai ilter terhadap penelitian ini terdapat beberapa analisa

tematis yang mengarah kepada kajian tentang kurikulum. Dalam karya S. Nasution, “Pengembangan Kurikulum” tercatat di dalamnya suatu penjabaran bahwa kurikulum secara hakiki merupakan falsafah suatu bangsa. Pada pengukuhan dari kenyataan ini, Nasution memaparkan bahwa tujuan nasional yang sangat umum masih harus diuraikan menjadi tujuan yang lebih khusus. Untuk itulah, dalam karya yang ditulisnya ini mata rantai penggunaan kurikulum di sekolah harus dirumuskan berdasar kepada kondisi sosio-kultur perkembangan wilayah yang ada. Secara niscaya, penelitian ini memberikan deskripsi tentang sistematisasi perumusan kurikulum di masing-masing lembaga.

Pada kajian pustaka lain, Dimyati dan Mudjiono “Belajar dan Mengajar” mengulas bahwa hakikat dari pembelajaran merupakan kenyataan yang kompleks. Dari kenyataan ini keduanya memberikan deskripsi tentang beberapa langkah taktis metodis guna mencapai kajian yang objektif dalam pendidikan. Karya yang dirumuskan keduanya ini memberikan dasar pijakan kepada pembaca bahwa kompleksitas pembelajaran dan belajar itu sendiri dapat dimanifestasikan berdasar kepada rumusan kurikulum yang benar dan mengarahkan.

D. Metode Penelitian


(4)

kualitatif. Sebagaimana penjabaran Sugiyono bahwa metode kualitatif merupakan proses penelitian yang lebih bersifat seni (kurang terpola). Dalam penjelasannya yang lain juga dia menjelaskan bahwa metode kualitatif merupakan metode interpretatif dengan dasar pengungkapan datanya berdasar kepada interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan.19

Sebagaimana penjabaran metodis penelitian ini, metode yang dipergunakannya adalah metode kualitatif. Untuk selanjutnya, aspek motodologis yang dikembangkan di dalamnya berdasar kepada studi kepustakaan. Studi ini dikembangkan sebagai kerangka nyata penelitian yang lebih menekankan kepada penafsiran baru terhadap desain kurikulum di STAIN Kudus yang harus menitikberatkan kepada pola-pola perwujudan kurikulum khususnya yang berhaluan kepada muatan Kerangka Kurikulum Nasional Indonesia (KKNI). Muatan-muatan yang perlu dihadirkan tersebut harus menginduk seutuhnya kepada

KKNI (Kerangka Kerja Kualiikasi Nasional), Perpres 8 tahun 2012 dan

Permendikbud No. 73 tahun 2012 (penerapan KKNI di PT), Standar Nasional PT, Permendikbud 49 tahun 2014. Sistem Penjaminan Mutu PT, dan Permendikbud 50 tahun 2014.

1) Metode Pengumpulan Data

Berpijak kepada dasar pendekatan penelitian ini yang bersifat kualitatif, maka beberapa metode pengumpulan data berikut menjadi acuannya;

I. Interpretasi

Berpijak kepada penjelasan Anton Bakker dan Achmad Harris Zubair tentang interpretasi, metode pengumpulan data model ini dirancang dengan merekonstruksi teks naskah atau sambil diterjemahkan isi naskah diselami untuk mengungkap arti dan nuansa yang dimaksudkan secara khas.20 Pengumpulan data model ini secara

niscaya diarahkan untuk memberikan pemaknaan baru terhadap data-data terkumpul yang telah ditemukan melalui naskah atau buku.

19

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D

(Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 13-14.

20 Anton Bakker dan Achmad Harris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 74.


(5)

II. Dokumentasi

Pengambilan model pengumpulan data semacam ini diarahkan untuk memberikan informasi tentang bahan-bahan pustaka terdahulu yang masih relevan terhadap penelitian yang diajukan. Hal ini bersandar kepada penjelasan Sugiyono bahwa pengumpulan data dengan dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.21

21


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, Bakker dan Achmad Harris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Buchori, Mochtar. Evolusi Pendidikan di Indonesia dari Kweekschool sampai ke IKIP: 1852-1998. Yogyakarta: Insist Press, 2007.

Bush, Tony dan Marianne Coleman. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan, terj., Fahrurrozi. Yogyakarta: Ircisod, 2006.

F. Pinar, William. What Is Curriculum Theory?. London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 2004.

Hayes, Denis. Encyclopedia of Primary Education. London: Routledge, 2010.

Kelly, A. V. The Curriculum; Theory and Practice. London: Sage Publication, 2004.

Moon, Boob, dkk., ed., Routledge International Companion to Education. New York: Routledge, 2000.

O’Neill, John dan Neil Kitson, ed., Effective Management Curriculum. New York: Routledge, 1996.

Rancangan Pengajuan Prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Jurusan Dakwah STAIN Kudus Tahun 2010.

Renstra dan Renop STAIN Kudus 2004-2014.

Saputro, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: Rajagraindo Persada, 2011.

Sikes, Pat, dkk., ed., The Moral Foundations of Educational Research Knowledge, Inquiry and Values. Philadelphia, Open University Press, 2003.

Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2010.

Zamroni. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000.