Hubungan Kapasitas fiskal dan Kemiskinan

JEJAK, Volume 1, Nomor 1, September, 2008 67 Pada tabel 1 di atas juga mengindikasikan adanya kesenjangan kapasitas fiskal yang cukup parah antar daerah. Di Sumatera misalnya, hanya Sumatera Utara yang memiliki kapasitas fiskal lebih dari 80 persen. Di lain pihak, kapasitas fiskal di Jawa relatif lebih merata kecuali Jogjakarta. Bandingkan dengan pencapaian kapasitas fiskal di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Bahkan di daerah yang terkenal memiliki sumber daya alam melimpah seperti; Riau dan Kalimantan Timur, pencapaian kapasitas fiskal tergolong rendah. Kondisi ini meng- indikasikan bahwa daerah-daerah di Indonesia banyak bergantung pada “faktor pemberian alam”. Selain itu, eksplorasi sumber daya alam di dae- rah justru banyak menyumbang pada penerimaan pungutan pusat sehingga tidak memberi implikasi langsung pada PAD. Fiscal gap yang terjadi di daerah-daerah akan mempengaruhi kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan fasilitas daerah atau fasilitas publik.

2. Hubungan Kapasitas fiskal dan Kemiskinan

a. Regresi Data Panel Data Panel adalah merupakan kombinasi dari data runtut waktu dan silang tempat yaitu memiliki observasi dari analisis unit pada titik waktu tertentu. Keunggulan data panel antara lain; pertama , memunculkan heterogenitas secara eksplisit ke dalam perhitungan dengan memasukkan variabel- variabel spesifik. Kedua , menyajikan data yang informatif, bervariasi, kolinearitas antar variabel lebih rendah, menambah jumlah derajat kebebasan, dan lebih efisien. Ketiga , dengan masuknya observasi silang tempat, data panel dianjurkan untuk studi perubahan dinamis. Keempat , lebih mampu mende- teksi dan mengukur efek dibandingkan dengan data silang tempat dan silang waktu murni. Kelima , menghasilkan model perilaku yang lebih kompleks. Keenam , meminimumkan bias pada data ketika dilakukan agregasi. Regresi data panel berbeda dengan regresi runtut waktu time series dan regresi silang tempat cross section . Model persamaannya ditunjukkan berikut: i t 2 2 t 1 1 u PDRB fiskal _ kap poor + α + α + α = Variabel-variabel yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Kapasitas fiskal kap_fiskal diukur dengan rasio PAD terhadap Belanja Rutin di masing-masing propinsi --- sebagai proyeksi kemampuan fiskal daerah 2. Kemiskinan poor – sebagai variabel independen yang menunjukkan kondisi sosial. 3. Produk Domestik Regional Bruto PDRB--- seba- gai pangsa pasar daerah dan variabel kontrol kebijakan fiskal. Dengan menggunakan metode Generalized Least Square GLS dan model fixed effect maka diperoleh hasil estimasi sebagai berikut: i t 2 t 1 u PDRB 000164 , fiskal _ kap 21 , 4 poor + − − = t-stat -3,79 -5,24 R 2 = 0,96 dw-stat = 1,8 Interpretasi model 1. Pada model fixed effect , intersep terletak pada masing-masing provinsi. 2. Berdasarkan uji t-statistik kapasitas fiskal bertanda negatif dan secara statistik signifikan terhadap kemiskinan. Berarti ketika kapasitas fiskal meningkat maka akan menurunkan tingkat kemiskinan. Perbedaan kapasitas fiskal masing- masing daerah juga kan mempengaruhi pengalo- kasian atau skal prioritas juga akan bervariasi. 3. Produk Domestik Regional Bruto PDRB bertanda negatif dan secara signifikan terhadap kemiskinan berarti ada stimulus fiskal terhadap kemiskinan. 4. R 2 menunjukkan variasi proporsi kontribusi varia- bel kapasitas fiskal dan PDRB terhadap kemis- kinan sebesar 96,3. b. Pengujian Asumsi Klasik 1. Multikolinearitas Multikolinearitas diartikan sebagai adanya hubungan yang pasti exact di antara beberapa atau semua variabel bebasnya dalam suatu model regresi. Pada kasus munculnya multikolinearitas, R 2 Keterkaitan Desentralisasi Fiskal . . . Sebayang: 63 - 69 68 sangat tinggi namun tidak ada koefisien regresi yang signifikan secara statistik. Dari model yang diestimasi dengan bobot menunjukkan R 2 yang tinggi yakni 0,96 namun hanya satu koefisien yang tidak signifikan. Artinya, multi- kolinearitas dalam model ini bisa diabaikan 2. Heterokedastisitas Pada umumnya model OLS masih terdapat informasi yang tidak seimbang sehingga peluang munculnya masalah heteroskedastisitas lebih besar. Gujarati 2003:395 menyarankan estimasi dengan menggunakan Generalized Least Square GLS yang mempunyai kapasitas secara eksplisit menghasilkan estimator yang BLUE. 3. Autokorelasi Istilah autokorelasi diartikan sebagai adanya “korelasi antar anggota series dari observasi baik pada time series maupun cross-section . Autokorelasi sebagai masalah klasik seringkali terjadi karena; masalah inersia dalam variabel ekonomi, bias spesifikasi, fenomena Cobweb ada pola musiman, penggunaan time-lag , manipulasi data, transformasi data yang tidak tepat, dan non-stasionaritas. Salah satu teknik untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi adalah dengan memperhatikan nilai Durbin-Watson statistik d -statistik dan membandingkannya dengan nilai d - tabel. Berdasar- kan nilai dw-statitik sebesar 1,86 dL = 1,613; du = 1,736 menunjukkan bahwa model persamaan bebas autokorelasi positif dan negatif . Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 1. Kesimpulan