Analisis embriogenesis somatik kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada sistem perendaman sesaat

ANALISIS EMBRIOGENESIS SOMATIK KELAPA SAWIT
(Elaeis guineensis Jacq.) PADA SISTEM PERENDAMAN SESAAT

CYNTHIA LENDRIA MAGDALENA MARBUN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Embriogenesis Somatik
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Sistem Perendaman Sesaat adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Oktober 2013

Cynthia Lendria Magdalena Marbun
NIM P051100041

RINGKASAN

CYNTHIA LENDRIA MAGDALENA MARBUN. Analisis Embriogenesis Somatik
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Sistem Perendaman Sesaat. Dibimbing
oleh UTUT WIDYASTUTI dan NURITA TORUAN-MATHIUS.

Perbanyakan kelapa sawit melalui embriogenesis somatik masih kurang efisien
karena rendahnya persentase pembentukan embrio somatik dan perkecambahan embrio
somatik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan (i) komposisi medium cair
terbaik dengan teknik pengocokan, (ii) komposisi medium dan periode perendaman
terbaik dengan sistem perendaman sesaat (SPS), (iii) identifikasi pembeda kalus
embriogenik dan kalus non embriogenik menggunakan Scanning Electron Microscope
(SEM), dan (iv) identifikasi perubahan genetik (off-type) secara in vitro embrio somatik
umur 14 bulan menggunakan marka SSR. Bahan tanam yang digunakan adalah kalus

embriogenik dari lini S15.355 dan S82.132. Dua jenis medium yang digunakan adalah
MSK dan MSD digunakan pada teknik pengocokan, dengan penambahan beberapa
vitamin dan asam amino dan kombinasi ZPT 2.4-D sebesar 0; 0.3; 0.6; 0.9 mg/L dengan
NAA sebesar 0; 4.0; 8.0 mg/L. Medium MSD0 dan MSD2 digunakan di dalam SPS
dengan frekuensi perendaman setiap 1, 3, dan 6 jam sekali dan direndam selama 3
menit. Identifikasi kalus embriogenik dan kalus non embriogenik menggunakan SEM
dan 20 primer mikrosatelit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa medium MSD2
merupakan medium terbaik untuk meningkatkan persentase embriogenesis somatik dan
pembesaran embrio somatik tanaman kelapa sawit. Selain itu, genotipe yang berbeda
menghasilkan rataan proliferasi yang berbeda di dalam komposisi medium dan periode
perendaman yang berbeda. Periode perendaman 1, 3, dan 6 jam sekali tidak berbeda
nyata dalam rataan berat basah kalus embriogenik untuk lini S15.355 dan S82.132.
Kalus embriogenik dan kalus non embriogenik dianalisis menggunakan SEM dan
menunjukkan bahwa kalus embriogenik memiliki permukaan yang halus dan mengkilap
dibandingkan dengan kalus non embriogenik. Tidak terjadi perubahan genetik (off-type)
embrio somatik secara in vitro pada umur 14 bulan menggunakan marka SSR karena 20
primer yang digunakan menunjukkan pola pita dan ukuran pita yang sama antara embrio
somatik yang berkecambah dan tidak dapat berkecambah umur 14 bulan

Kata kunci: Elaeis guineensis, Sistem Perendaman Sesaat, marker mikrosatelit,

embriogenesis somatik, Scanning Electron Microscope.

SUMMARY

CYNTHIA LENDRIA MAGDALENA MARBUN. Analysis of Somatic
Embryogenesis of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) using Temporary Immersion
System. Under direction of UTUT WIDYASTUTI and NURITA TORUANMATHIUS.

Micropropagation of oil palm through somatic emrbyogenesis is still not
efficient because low percentage of somatic embryo formation and germinating
somatic embryo. The objectives of these research are to obtain the best of (i) liquid
medium used in shaker technique, (ii) medium and immersion time in Temporary
Immersion System (TIS), (iii) to identify the marker of embryogenic callus with
Scanning Electron Microscope (SEM) and (iv) to identify genetic changing in vitro (offtype) from 14 months of somatic embryo with Simple Sequence Repeats (SSR). The
planting materials were embryogenic callus of embryoid-lines S15.355 and S82.132.
Two types of medium consisted of MSK and MSD were tested in shaker technique,
with the addition of several vitamines and combination of 0; 0.3; 0.6; 0.9 mg/L 2,4-D
with 0; 4.0; 8.0 mg/L NAA. Medium MSD0 and MSD2 were used in TIS with every 1,
3, and 6 hours of immersion time and immersed in 3 minutes. Analysis marker for
embryogenic and non embryogenic callus conducted by SEM and molecular marker by

20 microsatellite primers. The results showed that medium MSD2 is the best for
increasing the proliferation of embryogenic callus and enlarging the somatic embryo of
oil palm. Besides, types of genotypes gave different proliferation rate in diferrent
medium composition and immersion time. The immersion time of 1, 3, and 6 hour
showed no significant difference in increasing rate of embryogenic callus fresh weight
for embryoid-line S15.355 and S82.132, respectively. Embryogenic callus analysed by
SEM showed that embryogenic callus had smoother and lighter surfaces compared with
non embryogenic callus. The result of SSR analysis showed that only 10 primers gave
polimorphic bands and the others gave monomorphic. There was no genetic changing in
vitro (off-type) from 14 months of samples.

Key words: Elaeis guineensis, Temporary Immersion System, microsatellite marker,
somatic embryogenesis, Scanning Electron Microscope.

© Hak Cipta Milik IPB dan PT. SMART, Tbk., Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB dan PT. SMART, Tbk.

ANALISIS EMBRIOGENESIS SOMATIK KELAPA SAWIT
(Elaeis guineensis Jacq.) PADA SISTEM PERENDAMAN SESAAT

CYNTHIA LENDRIA MAGDALENA MARBUN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Miftahudin


: Analisis Embriogenesis Somatik Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) pada Sistem Perendaman Sesaat
: Cynthia Lendria Magdalena Marbun
: P051100041

Judul Tesis
Nama
NRP

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

APU
Ketua

Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi

Dekan Sekolah PascasaIjana
t

Bioteknologi

Prof. Dr. Jr. Suharsono, DEA

Tanggal Ujian: 24 Juli 2013

Tanggal Lulus:

2 3 0Cr LUtJ

: Analisis Embriogenesis Somatik Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) pada Sistem Perendaman Sesaat
: Cynthia Lendria Magdalena Marbun
: P051100041


Judul Tesis
Nama
NRP

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Utut Widyastuti, M.S

Dr. Nurita Toruan-Mathius, M.S, APU

Ketua

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana


Bioteknologi

Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr

Tanggal Ujian: 24 Juli 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 sampai bulan
Desember 2012 ini ialah Analisis Embriogenesis Somatik Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) pada Sistem Perendaman Sesaat Menggunakan SEM dan Marka
Mikrosatelit.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Utut Widyastuti, MS selaku Ketua

Komisi Pembimbing, Ibu Dr. Nurita Toruan-Mathius, MS selaku Anggota Komisi
Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Suharsono, DEA sebagai Ketua Program Studi
Bioteknologi, dan Bapak Dr. Miftahudin sebagai Penguji Luar Komisi. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada PT. SMART, Tbk. yang telah mendanai
penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada karyawan di
Laboratorium Clonal Technology dan Laboratorium Genomic and Transcriptonomic,
Department Biotechnology PT. SMART, Tbk. yang telah membantu penelitian dan
pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Ir. S.
Marbun, MS), ibu (E br Siahaan, BA), adik-adik (Cariny Marbun, SH; Cyrma Marbun,
SE; Olny Sufrina, SE; dan Audy Banihara Marbun), seluruh keluarga, dan teman-teman
(KPS: Vinha Simamora, Ardi Timbul Saragih, dan Derman Lubis, kos: Fransisca
Dhani) atas segala doa, kasih sayang, dan bantuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2013

Cynthia Lendria Magdalena Marbun

DAFTAR ISI


DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

ix
x
xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Kelapa Sawit
Perbanyakan Tanaman Kelapa Sawit dengan Teknik Kultur Jaringan
Embriogenesis Somatik dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Sistem Perbanyakan Kelapa Sawit Menggunakan Sistem Perendaman Sesaat
Identifikasi Morfologi Embrio Somatik dengan SEM
Identifikasi Molekuler dengan Marka SSR

4
4
5
5
8
9
9

3 SELEKSI MEDIUM CAIR UNTUK PROLIFERASI KALUS EMBRIOGENIK DENGAN
TEKNIK PENGOCOKAN
Pendahuluan
14
Bahan dan Metode
16
Hasil
17
Pembahasan
17
Simpulan
24
4 OPTIMASI TEKNIK SPS UNTUK PROLIFERASI KALUS EMBRIOGENIK
TANAMAN KELAPA SAWIT (Elais guineensis Jacq.)
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan

26
27
28
28
34

5 VALIDASI PEMBEDA KALUS EMBRIOGENIK DAN NON EMBRIOGENIK
MENGGUNAKAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM)
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil
Pembahasan
Simpulan

36
37
38
38
45

6 IDENTIFIKASI PERUBAHAN GENETIK EMBRIO SOMATIK TANAMAN KELAPA
SAWIT MENGGUNAKAN MARKA SSR
Pendahuluan
48
Bahan dan Metode
49
Hasil
50
Pembahasan
50
Simpulan
54
7 PEMBAHASAN UMUM

55

8 KESIMPULAN UMUM DAN SARAN

59

DAFTAR PUSTAKA

61

LAMPIRAN

63

RIWAYAT HIDUP

64

DAFTAR TABEL
1
2

Kombinasi perlakuan medium MSK dan MSD pada seleksi medium cair
Rataan berat basah kalus embriogenik pada berbagai perlakuan medium

15
16

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Tahapan kultur dan durasi di dalam medium padat dan cair
Jumlah embrio somatik ≥ 200 µm per 0.1 g pada medium MSK2 dan MSD2
pada pengamatan minggu ke-8 setelah dikulturkan
Histologi kalus embriogenik pada media MSK2 pada pengamatan minggu
ke-8 setelah dikulturkan
Histologis kalus embriogenik pada media MSD2 pada pengamatan
minggu ke-8 setelah dikulturkan
Morfologi koloni kalus embriogenik pada perlakuan medium MSK
menggunakan mikroskop cahaya pada pengamatan minggu ke-8
Morfologi koloni kalus embriogenik pada perlakuan medium MSD
menggunakan mikroskop cahaya pada pengamatan minggu ke-8
Rataan berat basah pada lini kalus embriogenik S15.355 dan S82.132
pada pengamatan minggu ke-8 setelah diinkubasi
Morfologi koloni lini embrioid S82.132 (a,b) dengan ukuran < 200 µm
dan lini embrioid S15.355 (c,d) dengan ukuran > 200 µm pada
pengamatan awal inkubasi
Rataan berat basah pada medium kontrol (MSK0), MSD0, dan MSD2
pada pengamatan minggu ke-8
Rataan berat basah pada frekuensi perendaman pada perlakuan kontrol (24 jam)
dan perlakuan SPS (1,3,6 jam) pada pengamatan minggu ke-8
Rataan berat basah kalus embriogenik pada pengamatan minggu ke-0, 4, dan 8
Morfologi koloni kalus embriogenik S82.132 berumur 8 minggu setelah
inkubasi di dalam medium MSK0 dan medium MSD0
Morfologi koloni kalus embriogenik S15.355 berumur 8 minggu setelah
inkubasi di dalam medium MSK0, dan medium MSD0
Morfologi kalus embriogenik fase nodular (N)
Morfologi embrio somatik fase globular (G), fase skutelar (SK)
Morfologi embrio somatik fase koleotilar awal (Ka)
Morfologi embrio somatik fase koleoptilar akhir (Kk), tunas (Tu)
Morfologi embrio bergeminasi menghasilkan tunas (Tu)
Morfologi koloni kalus embriogenik lini S82.132 menggunakan
mikroskop stereo dan SEM pada pengamatan minggu ke-8 setelah subkultur

20 Morfologi kalus embriogenik menggunakan SEM
21 Morfologi koloni embrio somatik dan embrio bertunas setelah 14 bulan
disubkultur ke dalam medium padat
22 Morfologi koloni embrio somatik dan embrio berkecambah
23 Pola pita monomorfik dan polimorfik yang terbentuk dari 20 primer
SSR yang digunakan pada sampel S15.355 dan S82.132

6
16
17
18
20
21
24

25
26
26
28
28
29
29
34
34
35
35
36
38

39
44
45

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Sidik ragam pengaruh medium cair terhadap rataan berat basah
Sidik ragam pengaruh SPS terhadap rataan berat basah

63
63

1

1 Pendahuluan

Latar Belakang
Penyediaan benih kelapa sawit secara komersil dilakukan melalui produksi
benih hibrida Tenera yang merupakan hasil persilangan tetua terpilih (betina-Dura
dengan jantan-Pisifera). Sehubungan dengan tanaman kelapa sawit yang secara
komersil diperbanyak menggunakan biji maka ditemukan keragaman sifat yang
cukup besar, serta diperlukannya waktu persilangan yang cukup lama (15 s/d 20
tahun) untuk mendapatkan varietas unggul. Kendala tersebut dapat diatasi dengan
menggunakan teknologi perbanyakan vegetatif secara klonal (Soh et al. 2006).
Teknologi perbanyakan vegetatif tanaman kelapa sawit dengan kultur
jaringan untuk pertama kali dilakukan pada tahun 70-an (Jones 1974). Namun,
sejauh ini produksi klonal kelapa sawit dengan kultur jaringan berbasis
pembentukan kalus embriogenik umumnya sangat tidak efisien. Hal ini
disebabkan perkembangan kalus menjadi kalus embriogenik dan persentase
penggandaan embrioid relatif rendah. Keadaan ini menyebabkan produksi ramet
juga rendah (Konan et al. 2006). Untuk meningkatkan efisiensi produksi embrio
somatik telah dilaporkan hasil modifikasi komposisi medium, penggunaan
berbagai jenis zat pengatur tumbuh, sumber eksplan, dan bentuk fisik medium
dengan tujuan meningkatkan laju penggandaan embrio somatik. Namun,
dilaporkan hasil yang diperoleh belum optimum untuk skala industri (Soh et al.
2009).
Tahap induksi kalus dan embriogenesis merupakan titik kritis dalam
perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan. Rendahnya persentase
embriogenesis somatik dan regenerasi embrio somatik menjadi ramet merupakan
kendala utama dalam industri bibit klonal kelapa sawit (Rohani et al. 2000, Konan
et al. 2006). Hal ini menyebabkan produksi klonal kelapa sawit dengan kultur
jaringan membutuhkan biaya yang tinggi. Untuk meningkatkan efisiensi produksi
khususnya untuk penggandaan embrio somatik telah banyak dilakukan penelitian
di antaranya modifikasi komposisi dan bentuk fisik medium, penggunaan berbagai
jenis zat pengatur tumbuh dan sumber eksplan (Soh et al. 2009).
Teknologi perbanyakan tanaman kelapa sawit dengan kultur jaringan
umumnya menggunakan medium padat. Penggunaan medium padat dianggap
tidak efisien dalam hal tingkat produksi planlet, penggunaan tenaga kerja, dan
pemakaian ruang (Soh et al. 2006). Salah satu cara untuk mengatasi kelemahan
penggunaan medium padat adalah penggunaan medium cair (Aitken-Christie
1991). Sistem ini dapat menyediakan kondisi kultur yang lebih seragam,
memudahkan penggantian medium, dan dapat menggunakan tempat yang lebih
besar daripada medium padat. Namun, teknik kultur cair memiliki beberapa
kelemahan di antaranya sel-sel mengalami kekurangan oksigen, dapat merusak
sel, serta kemungkinan dapat menyebabkan vitrifikasi. Untuk mengatasi masalah
tersebut telah dikembangkan Sistem Perendaman Sesaat (SPS) atau Temporary
Immersion System (TIS) (Sumaryono et al. 2007).
Prinsip kerja teknik SPS adalah penggunaan medium cair yang dimasukkan
ke dalam bejana dan dikombinasi dengan lama perendaman eksplan secara
periodik. Seluruh sistem dijalankan secara otomatis sesuai dengan pengaturan

2

waktu perendaman eksplan yang diinginkan. Keunggulan SPS adalah eksplan
tidak mengalami kekurangan oksigen, terjadi pencampuran medium dan eksplan
cukup merata, serta membatasi efek agitasi (Teisson et al. 1999). SPS juga telah
dikembangkan untuk perbanyakan tanaman kelapa sawit (Sumaryono et al. 2007).
Di samping bentuk fisik medium, yaitu medium padat dan medium cair,
komponen penyusun medium juga berperan penting dalam induksi dan
perkembangan kalus.
Secara visual umumnya akan mengalami kesulitan untuk membedakan
kalus yang berpotensi berkembang menjadi kalus embriogenik dan kalus yang
tidak memiliki kemampuan membentuk embrio somatik. Perkembangan embrio
somatik dapat dipelajari secara visual dengan mengamati perubahan morfologi
menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Proses terbentuknya
dinding sel pada proembrio kelapa sawit telah diamati menggunakan SEM, seperti
tahapan terbentuknya dinding sel lama, sebelum dan setelah pengeluaran matriks
ekstraselular, dan akhirnya terbentuk dinding yang baru. Protoderma dan kristal
lilin yang terbentuk pada embrio somatik fase globular kelapa sawit. Bagian ini
sangat penting dalam proses diferensiasi epidermis embrio (Erlangga & Mariani
2006).
Pendekatan lainnya dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknik marka
molekuler diantaranya mikrosatelit atau Single Sequence Repeat (SSR).
Hatorangan et al. (2010) telah berhasil membangun sistem pendataan identitas
seluruh ortet sumber eksplan dengan marka DNA berdasarkan mikrosatelit, di
samping data-data fenotipik dari lapang. Primer mikrosatelit mampu
mengidentifikasi kalus embriogenik dan embrio somatik pada berbagai umur
kultur sehingga akan didapatkan data-data mengenai perubahan morfologi (offtype) yang terjadi pada proses perbanyakan in vitro.
Sebanyak lebih dari 400 pasang primer mikrosatelit yang berkaitan dengan
karakter-karakter agronomi penting pada tanaman kelapa sawit telah
dipublikasikan (Billotte et al. 2001; Hairinsyah 2010; dan Nchu 2010).
Keunggulan marka mikrosatelit di antaranya persentase polimorfik yang tinggi,
bersifat kodominan, kemampuan diskriminatif, dan biaya yang kompetitif apabila
dibandingkan dengan marka lainnya (Singh et al. 2007).

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk meningkatkan proliferasi
embrio somatik dengan cara memperoleh (1) komposisi medium cair terbaik, (2)
teknik SPS yang optimum mencakup komposisi medium dan frekuensi
perendaman. Di samping itu untuk (3) identifikasi morfologi kalus embriogenik
dan kalus non embriogenik dengan SEM dan (4) identifikasi perubahan genetik
embrio somatik tanaman kelapa sawit umur 14 bulan menggunakan marka SSR
atau marka mikrosatelit.

3

Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian yang diperoleh adalah tersedianya teknik
penggandaan embrio somatik dengan medium cair dan teknik SPS yang akan
meningkatkan persentase terbentuknya embrio somatik. Hal ini akan
meningkatkan efisiensi teknik kultur jaringan untuk menghasilkan embrio somatik
pada tanaman kelapa sawit dan produksi ramet.
Dari hasil diperolehnya identifikasi morfologi kalus embriogenik dan kalus
non embriogenik menggunakan SEM diharapkan akan meningkatkan efisiensi
deteksi dini kalus embriogenik dan kalus non embriogenik serta identifikasi
perubahan genetik embrio somatik umur 14 bulan tanaman kelapa sawit
menggunakan marka mikrosatelit.
Bagan Alir Kegiatan Penelitian
I. I. Seleksi Medium Cair Untuk Proliferasi Kalus Embriogenik
Tanaman Kelapa Sawit dengan Teknik Pengocokan
Tujuan: Memperoleh medium cair terbaik untuk proliferasi embrio
somatik dengan teknik pengocokan
Output: Medium cair terbaik untuk proliferasi embrio somatik dengan
teknik pengocokan
II. Optimasi Teknik SPS untuk Proliferasi Kalus Embriogenik
Tanaman Kelapa sawit
Tujuan: Komposisi medium dan periode perendaman dengan teknik
SPS untuk meningkatkan proliferasi kalus embrionik
Output: Medium terbaik dan periode perendaman terbaik
menggunakan SPS untuk proliferasi kalus embrionik
III. Identifikasi Pembeda Kalus Embriogenik dan Non Embriogenik
Tanaman Kelapa Sawit Menggunakan SEM
Tujuan: Mendapatkan pembeda kalus embriogenik dan kalus non
embriogenik secara morfologi
Output: Pembeda morfologi kalus embriogenik dan kalus non embriogenik

IV. Identifikasi Perubahan Genetik Embrio Somatik Tanaman Kelapa
Sawit Menggunakan Marka SSR
Tujuan: identifikasi perubahan genetik (off-type) secara in vitro
embrio somatik umur 14 bulan menggunakan marka SSR
Output: Data-data perubahan genetik (off-type) secara in vitro
embrio somatik umur 14 bulan menggunakan marka SSR

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Botani Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berasal dari daerah yang terletak
antara Guinea dan Angola di Afrika Barat. Elaeis berasal dari bahasa Yunani
elaion yang berarti minyak dan guineensis yang menunjukkan tempat asalnya,
yaitu di pantai Guinea. Terdapat empat bibit kelapa sawit ditanam di Kebun Raya
Bogor. Dua dari empat bibit tersebut diintroduksi dari Bourbon atau Mauritius
pada Februari 1848 dan bibit lainnya diintroduksi dari Amsterdam pada Maret
1848 (Pamin 1998). Genus Elaeis memiliki empat spesies yang telah
dideskripsikan, yaitu E. guineensis, E. oleifera, E. odora, dan E.
madagascariensis. E. oleifera dan E. odora dapat dijumpai di Amerika Selatan,
sedangkan E. guineensis dan E. madagascariensis berasal dari Afrika (Latiff
2000).
Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu, bunga jantan dan betina
terpisah tetapi masih berada dalam satu pohon. Tanaman ini termasuk tanaman
monokotil, akar terdiri dari akar primer, sekunder, tersier, dan kuarter. Akar
merupakan akar serabut yang sebagian besar berada dekat tanah dengan
kedalaman 15-30 cm. batangnya tegak tidak bercabang berdiameter 40-75 cm,
tinggi batang dalam pembudidayaan tidak lebih dari 15-18 m. Daunnya majemuk
dengan pelepah daun tersusun melingkari batang berbentuk spiral. Panjang
pelepah daun mencapai 9 m, panjang helaian daun mencapai 1.2 m dengan jumlah
100-160 pasang (Hartley 1987). Klasifikasi kelapa sawit sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Keluarga
: Palmaceae
Sub keluarga : Cocoideae
Genus
: Elaeis
Spesies
: Elaeis quineensis Jacq.
Kelapa sawit tumbuh baik pada iklim tropis dengan rataan suhu minimum
20-23°C dan suhu maksimum 28-32°C, curah hujan sebanyak 2.000 mm/tahun,
serta panjang penyinaran minimum lima jam perhari. Kelembaban atmosfir dan
konsentrasi CO2 yang tinggi juga menjadi faktor penting untuk pertumbuhan
kelapa sawit. Kelapa sawit dibudidayakan pada lahan dengan topografi datar pada
ketinggian lahan 0-600 mdpl. Kelapa sawit dapat tumbuh pada rentang pH tanah
4.0-6.5 dengan pH optimum pada 5.0-5.5 (Henson & Chang 2000).
Kelapa sawit mempunyai sifat reproduktif menyerbuk silang dengan
bantuan serangga atau angin sehingga terdapat keragaman genetik yang besar
dalam populasi tanaman kelapa sawit. Beberapa fenotipe yang berkaitan dengan
hasil panen diwariskan secara monogenik antara lain karakter warna eksokarp dan
ketebalan cangkang biji. Kedua karakter ini merupakan karakter utama penciri
genotipe berkaitan dengan daya hasil. Karakter ketebalan biji berhubungan
dengan proporsi kandungan minyak mentah atau CPO (Latiff 2000).

5

Ada tiga kelompok kelapa sawit komersial yang dikenal, yaitu Dura,
Pisifera, dan Tenera. Pengelompokan ini didasarkan pada ketebalan cangkang biji
yang merupakan pewarisan monogenik. Kelompok Dura memiliki cangkang tebal
dengan ketebalan 2-8 mm, kandungan mesokarp rendah sampai menengah (3555%), dan di bagian luar tidak terdapat lingkaran sabut. Tenera memiliki
ketebalan cangkang 0,5-4,0 mm dengan kandungan mesokarp menengah sampai
tinggi (60-96%), dan terdapat lingkaran sabut pada bagian luarnya. Kelompok
Pisifera memiliki cangkang sangat tipis atau bahkan tidak ada, bunga betina steril,
buah gugur premature, serta memiliki seks rasio (betina:jantan) lebih tinggi
dibandingkan dengan Dura dan Tenera (Corley & Tinker 2003).
Tanaman kelapa sawit dapat diperbanyak secara generatif melalui benih
maupun secara vegetatif melalui kultur jaringan. Pada umumnya kelapa sawit
diperbanyak dengan benih yang berasal dari hasil penyerbukan Dura x Pisifera
(DxP). Tetua Dura elit berasal dari populasi persilangan DxD, sedangkan tetua
Pisifera diperoleh dari segregasi yang terjadi pada persilangan Tenera x Tenera
(TxT) atau Tenera x Pisifera (TxP). Dura dan Tenera dipelihara dan diseleksi
masing-masing berdasarkan skema seleksi silang balik (Kushairi & Rajanaidu
2000).

Perbanyakan Tanaman Kelapa Sawit dengan Teknik Kultur Jaringan
Proses produksi bibit klonal kelapa sawit melalui embriogenesis somatik
terdiri dari lima tahapan, mencakup seleksi ortet dan penyiapan sumber eksplan,
induksi kalus dari eksplan daun, embriogenesis somatik dan proliferasi embrio,
induksi tunas dan akar, dan aklimatisasi ramet.
Tahapan seleksi ortet dilakukan di lapang dengan bantuan Departemen
Pemuliaan kelapa sawit PT. SMART, Tbk. Seleksi dilakukan berdasarkan
keunggulan sifat agronomis terutama daya hasil produksi minyak pada tingkat
individu.
Inokulasi eksplan dilakukan menggunakan daun muda dan diinokulasi pada
medium untuk induksi kalus. Eksplan dikulturkan di dalam ruang gelap sampai
membentuk kalus dan embrio somatik. Suhu udara di ruang kultur dikontrol pada
28±20C dengan kelembaban udara di bawah 60% (Rohani 2001).
Menurut Soh et al. (2006), perbanyakan kelapa sawit dengan teknik kultur
jaringan menggunakan medium padat selama 29 bulan dan medium cair selama
18 bulan (Gambar 1). Induksi kalus yang berasal dari eksplan daun selama 3 bulan
dilanjutkan dengan diferensiasi kalus menjadi embrioid selama 2 bulan.
Proliferasi embrioid di dalam medium padat sampai tahap perkembangan tunas
selama 20 bulan sedangkan di dalam medium cair selama 9 bulan. Tahap
selanjutnya adalah perkembangan tunas menjadi planlet selama 4 bulan kemudian
ramet dipindahkan ke rumah kaca untuk aklimatisasi.

Embriogenesis Somatik dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perbanyakan tanaman kelapa sawit melalui embriogenesis somatik menjadi
metode alternatif untuk perbanyakan secara vegetatif. Embriogenesis somatik

6

dapat dihasilkan melalui media padat dan cair. Keuntungan embriogenesis
somatik yang digunakan untuk perbanyakan kelapa sawit telah terbukti berhasil
(Jones 1974; Pierik 1997) dan dapat menghasilkan klon-klon homogen yang
memiliki produktivitas yang homogen.
Embriogenesis somatik merupakan proses pembentukan embrio yang
berasal dari sel-sel somatik. Embrio memiliki stuktur bipolar yang akan
membentuk bagian atas menjadi calon tunas dan bagian bawah menjadi calon akar
(Mariani et al. 1998). Proses ini juga melibatkan serangkaian perubahan
morfologi dan biokimia sehingga membentuk stuktur embrio somatik dan dapat
terjadi pada jaringan meristematik yang diinduksi dengan penambahan zat
pengatur tumbuh pada konsentrasi tertentu ke dalam media kultur jaringan.
Medium Padat
29 bulan

Medium Cair
18 bulan

Eksplan Daun
Induksi kalus

3 bulan
Kalus

Embrioid

Diferensiasi kalus 2 bulan

Kalus embriogenik

Proliferasi kalus-embrioid

Proliferasi embrioid
germinasi

4 bulan
Embrioid-germinasi

20 bulan
5 bulan
Perkembangan tunas

Perkembangan tunas
4 bulan
Planlet

Gambar 1 Tahapan kultur dan durasi di dalam medium padat dan cair.
Sumber: Soh at el. 2006.

Sel atau jaringan pada eksplan yang dikulturkan akan mengalami
dediferensiasi membentuk kalus yang selanjutnya berdiferensiasi membentuk
embrio somatik. Embrio yang dihasilkan dapat langsung dikecambahkan menjadi
planlet, ataupun digunakan sebagai eksplan untuk membentuk embrio somatik
tambahan melalui embrio somatik sekunder. Produksi embrio somatik sekunder
dapat diulang sampai beberapa kali, terutama untuk tanaman dengan persentasi
embriogenesis rendah (Perez-nunez et al. 2006).
Embriogenesis diklasifikasikan menjadi dua jalur perkembangan, yaitu
embriogenesis langsung dan tidak langsung. Pada jalur embriogenesis langsung,
eksplan langsung membentuk embrio tanpa pembentukan kalus. Sedangkan pada
jalur embriogenesis tidak langsung eksplan membentuk kalus lalu kalus akan

7

berdiferensiasi menjadi embrio somatik. Sel yang berdiferensiasi menjadi embrio
somatik disebut sel embriogenik (Chawla 2002). Embriogenesis somatik dimulai
dengan pembelahan sel-sel asimetrik yang memberikan perkembangan menjadi
sebuah embrio polar yang memiliki sebuah sel basal yang lebih besar dan sel
apikal yang lebih kecil. Embrio berkembang dari sel apikal, dan sel basal
berkembang menjadi suspensor (Eckardt 2006).
Embriogenesis somatik pada tanaman monokotil berbeda dan lebih
kompleks dibandingkan dengan tanaman dikotil. Morfologi dan perkembangan
embrio somatik hampir sama dengan embrio zigotik. Pada tanaman monokotil,
eksplan yang mengandung sel embriogenik dapat langsung berkembang menjadi
struktur embrio melalui tahap perkembangan fase globular, skutelar berbentuk
hati, dan kotiledon (Gocbole et al. 2002, Quiroz-Figueroa et al. 2006), sedangkan
tahapan perkembangan embrio somatik tanaman dikotil mencakup tahap globular,
hati, torpedo, dan kotiledon (Mandal & Gupta 2002).
Secara fenotipik kalus embriogenik kelapa sawit terdiri atas kelompok atau
rumpun sel dengan perbedaan yang jelas pada struktur nodular atau granular,
kompak, dan remah. Pengamatan histologi memperlihatkan adanya struktur
proembrio pada jaringan ini. Proembrio memiliki sel dengan rasio inti/sitoplasma
tinggi, inti utama besar, sitoplasma padat, dan pembelahan daerah internal terlihat
jelas (Rohani et al. 2000).
Beberapa faktor yang mempengaruhi respon embriogenesis tanaman, yaitu
kendali genetik, kondisi fisiologi tanaman donor, organ tanaman yang digunakan
sebagai sumber eksplan, media kultur jaringan, zat pengatur tumbuh, dan interaksi
faktor-faktor tersebut (Henry et al. 1994). Regenerasi kelapa sawit melalui
embriogenesis somatik dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi auksin
2,4-D, jenis dan konsentrasi bahan kimia osmotik dan perlakuan pelukaan
(Chawla 2002).
Sumber eksplan merupakan faktor yang sangat penting dalam kultur
jaringan tanaman. Beberapa sumber eksplan yang telah digunakan berupa daun
muda (Te-chato et al. 1998), kalus embrio zigotik (Chehmalee dan Te-chato
2007), kecambah, akar, dan bunga (Teixeira et al. 1994). Umumnya perbanyakan
tanaman palmae secara kultur jaringan menggunakan daun sebagai sumber
eksplan (Rohani et al. 2000). Sel-sel dibagian daun bersifat meristematis dan
memiliki tingkat diferensiasi jaringan paling kecil (Ruslan 1993). Eksplan daun
juga memberikan persentase kloning lebih tinggi dibandingkan dengan eksplan
dari bunga. Kalus dari daun juga lebih vigor dan embriogenik dibandingkan
dengan kalus yang berasal dari akar (Rohani et al. 2000).
Persentase embriogenesis somatik pada tanaman kelapa sawit rendah. Hal
ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor genotipe (Ruslan 1993). Walaupun
hampir semua ortet mampu membentuk kalus namun rasio eksplan membentuk
kalus berbeda nyata di antara klon. Perbedaan rasio pembentukan kalus ini juga
terjadi dengan keragaman yang cukup tinggi dalam persilangan yang sama atau
keragaman pada tingkat progeni (Rohani et al.2000).
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi proses embriogenesis di
antaranya cahaya, suhu, dan kerapatan kultur sel embriogenik dalam media,
sedangkan posisi peletakan embrio dan status fisik media (padat atau cair) kurang
berpengaruh (Chawla 2002). Suhu ruang kultur selalu dijaga pada kisaran

8

28±2°C. Suhu yang lebih rendah dengan kisaran 15-20°C cenderung menghambat
pertumbuhan dan multiplikasi embrio somatik (Rohani et al. 2000).
Sel-sel eksplan akan mencapai tahap kompeten untuk mengalami
embriogenesis pada saat zat pengatur tumbuh serta senyawa biokimia endogen
lainnya berada pada konsentrasi tertentu. Saat konsentrasi tersebut tercapai, sel-sel
eksplan akan memperoleh kompetensi embriogenik yang selanjutnya akan
cenderung mengarah ke proses morfogenesis embriogenik (Issali et al. 2010).
Pengaruh suhu rendah pada tanaman gandum mengakibatkan penundaan sintesis
IAA dan ABA pada tanaman donor yang kemudian dapat meningkatkan kapasitas
embriogenesis (Hess & Carman 1998).

Sistem Perbanyakan Kelapa Sawit melalui Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan sel atau jaringan tanaman
menggunakan media steril yang mengandung nutrisi dan zat pengatur tumbuh
sehingga dapat bermultiplikasi dan berkembang menjadi tanaman utuh di dalam
tabung steril. Perbanyakan tanaman kelapa sawit secara kultur jaringan terdiri dari
beberapa tahapan, yaitu pemilihan dan perlakuan eksplan, induksi kalus,
pembentukan dan proliferasi embrio, pembentukan tunas, induksi perakaran,
aklimatisasi ramet (Lim et al. 1999; Ginting & Fatmawati 1996). Proses
perbanyakan sampai dengan tahap pengakaran ramet memerlukan waktu sampai
dengan 45 bulan (Rohani et al. 2000), dan umumnya dilakukan pada medium
padat (Corley et al. 1977 dan Soh et al. 2006).
Penggunaan medium padat dianggap tidak efisien dalam hal tingkat
produksi planlet, penggunaan tenaga kerja, dan pemakaian ruang (Soh et al.
2006). Kelemahan penggunaan medium padat tersebut dapat diatasi melalui
penggunaan medium cair yang sangat ideal untuk mikropropagasi, terutama untuk
menurunkan biaya produksi dan otomatisasi (Aitken-Christie 1991). Sistem ini
dapat menyediakan kondisi kultur yang lebih seragam, memudahkan penggantian
medium, dan dapat menggunakan wadah yang lebih besar daripada medium padat.
Penelitian pada kelapa sawit menggunakan medium cair telah banyak dilakukan
(de Touchet et al. 1991, Duval et al. 1993, Sumaryono et al. 1994, Teixeira et al.
1995, Ginting dan Fatmawati 1997; Tahardi 1998).
Penggunaan medium cair juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu sel-sel
mengalami kekurangan oksigen dan dapat rusak serta kemungkinan adanya
vitrifikasi. Untuk dapat mengatasi masalah ini, mulai ditemukan teknik baru, yaitu
Temporary Immersion System (TIS) atau Sistem Perendaman Sesaat (SPS).
Sistem ini mempunyai prinsip serupa dengan bioreaktor, yaitu kontak antara
eksplan dengan medium terjadi secara periodik dan tidak terus-menerus.
Kelebihan sistem ini, yaitu eksplan tidak mengalami kekurangan oksigen, terjadi
pencampuran yang cukup merata, dan biaya relatif rendah (Teisson et al. 1999).
Teknik ini telah dikembangkan pada banyak tanaman, seperti kopi (Berthouly et
al. 1995), karet (Etienne et al. 1997), pisang (Alvard et al. 1993), jeruk (Cabasson
et al. 1997), nenas (Escalona et al. 1999), cokelat (Nicolas et al. 2005), sagu
(Kasim & Sumaryono 2008), dan untuk kelapa sawit (Tahardi 1998; Sumaryono
et al. 2007). Teknik perendaman sesaat pada kelapa sawit telah berhasil dilakukan
dan dapat meningkatkan persentasi proliferasi embriogenesis dan germinasi pada

9

periode perendaman 6 jam sekali dan waktu perendaman selama 3 menit
(Sumaryono et al. 2007).

Identifikasi Morfologi Embrio Somatik dengan SEM
Observasi perkembangan embrio somatik menggunakan mikroskop stereo
hanya memberikan informasi mengenai perubahan bentuk. Sedangkan observasi
menggunakan SEM dapat menunjukkan informasi yang rinci mengenai perubahan
permukaan embrio somatik selama perkembangannya (Mariani et al. 1998).
Penggunaan SEM digunakan oleh Sato et al. (2001) untuk mengamati perubahan
permukaan kalus padi yang diberi perlakuan enzim pendegradasi dinding sel.
Taylor et al. (1996) mengamati ultrastruktur dari perkembangan embrio
somatik dari Pennisetum glaucum menggunakan SEM untuk membandingkan
ultrastruktur embrio zigotik dari spesies yang sama. Erlangga dan Mariani (2006)
menemukan bahwa terdapat lapisan protoderma dan lapisan lilin pada embrio
somatik kelapa sawit yang sangat berhubungan dengan diferensiasi epidermis.
Selain itu, terdapat juga suspensor yang tidak berkembang yang disebut jaringan
supra embriogenik pada embrio somatik kelapa sawit fase globular.
Penelitian Yusoff et al. (2012) menemukan adanya struktur seperti fibrin
pada lapisan epidermis dinding sel eksplan daun kelapa sawit pada pengamatan
menggunakan mikroskop elektron. Struktur ini berasosiasi dengan matriks
ekstraseluler atau matriks ekstraseluler jaringan permukaan.
Matriks ini hanya ditemukan pada beberapa kalus yang sedang berkembang.
Matriks ini juga ditemukan pada kalus Cocos nucifera (Verdeil et al. 2001),
Brassica napus (Namasivayam et al. 2006), dan Triticum aestivum (Pilarska et al.
2007) dan adanya matriks ini berhubungan dengan kompetensi embriogenik dan
morfogenik (Namasivayam 2007). Matriks ini dapat berupa protein
arabinogalaktan, pektin, dan lipid. Komponen ini berperan dalam proliferasi
selular, adhesi sel, dan komunikasi sel pada proses embriogenik dan
perkembangan embrio (Namasivayam et al. 2006; Pilarska et al. 2007; Blehova et
al. 2010).

Identifikasi Molekuler dengan Marka SSR
Terdapat tiga jenis marka yang umum digunakan untuk mendeteksi
keragaman genetik antar populasi, yaitu marka morfologi, marka biokimia, dan
marka molekuler. Marka morfologi adalah penanda yang dapat diamati secara
langsung, seperti jumlah anakan, karakteristik daun, batang, somatik embrio,
buah, biji. Keuntungan dari marka ini, yaitu pengamatannya mudah, akan tetapi
memiliki kelemahan karena dipengaruhi oleh tahap perkembangan tanaman dan
lingkungan serta jumlahnya sangat terbatas sehingga kadang sulit membedakan
antar genotipe yang diamati karena secara morfologi terlihat sama, tetapi secara
genotipe berbeda. Marka biokimia jumlahnya sangat terbatas dan memiliki tingkat
polimorfisme yang relatif rendah, serta ekspresinya dipengaruhi oleh lingkungan
(Tanksley & McCouch 1997).

10

Marka molekuler dikenal sebagai sidik jari DNA karena mengacu pada pita
polimorfisme yang berupa fragmen DNA. Keunggulan dari marka ini, adalah (i)
keakuratan yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan mempengaruhi
ekspresi gen, (ii) dapat diuji pada semua tingkat perkembangan tanaman, (iii)
pada pengujian ketahanan hama dan penyakit tidak bergantung pada organism
penggangu tersebut, dan (iv) seleksi pada tingkat genotipe ini dapat mempercepat
proses seleksi dan hemat pada pengujian selanjutnya di lapang (Kasim et al.
2004).
Pemulia menggunakan marka molekuler untuk mengidentifikasi genotipe,
galur, varietas, dan kultivar untuk melihat kemurnian benih, memecahkan
ketidakpastian tetua, juga untuk perlindungan varietas tanaman yang
dikembangkan melalui identifikasi individu. Marka molekuler ini juga telah
dikembangkan pada tanaman kelapa sawit, yaitu untuk identifikasi klon tanaman,
khususnya untuk menentukan genotipe antara klon hasil kultur jaringan dengan
ortet atau tanaman turunannya. Selain itu juga dapat digunakan sebagai kontrol
kualitas untuk memastikan tidak terjadi percampuran klon yang dihasilkan di
laboratorium saat harus memproduksi dalam jumlah banyak (Hairinsyah 2010).
Marka SSR atau disebut juga marka mikrosatelit merupakan sekuen DNA
bermotif pendek dan berulang secara tandem. Pengulangan berulang dua, tiga,
empat, dan lima unit nukleotida yang tersebar disepanjang genom eukariot
(Powell et al. 1996). Variasi jumlah pengulangan untuk suatu batasan lokus di
antara genotip yang berbeda dengan mudah dapat dideteksi dengan teknik PCR.
Teknik PCR pada SSR hanya menggunakan DNA dalam jumlah kecil dengan
daerah amplifikasi yang kecil, yaitu sekitar 100-300 pb dari genom. SSR juga
dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena hanya sedikit saja yang
digunakan dalam ekstraksi DNA atau dapat menggunakan bagian lain, seperti biji
atau serbuk sari.
Amplifikasi berdasarkan PCR menunjukkan bahwa SSR pada kelapa sawit
memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi sehingga marka ini memiliki kelebihan
yang dapat diandalkan, dapat diulang, dan biaya kompetitif apabila dibandingkan
dengan marka yang lain (Singh et al 2007). Marka ini juga dapat digunakan untuk
studi genetik karena adanya kemudahan SSR dalam mengamplifikasi dan
mendeteksi fragmen-fragmen DNA serta tingginya tingkat polimorfisme yang
dihasilkan. Selain itu, marka SSR juga dapat diaplikasikan untuk mempelajari
keragaman genetik, identifikasi plasma nutfah, studi evolusi, identifikasi kultivar,
pengujian progeni, dan gene tagging (Billotte et al. 2005).
Sekuen SSR pendek sehingga secara efisien dapat diamplifikasi
menggunakan PCR dengan sekuen pengapitnya sebagai primer. Variasi jumlah
ulangan mikrosatelit dapat dideteksi menggunakan elektroforesis pada suatu gel
dengan standar sekuen yang dapat memisahkan fragmen dengan perbedaan setara
dengan satu nukleotida (Rohrer et al. 1994).
Marka SSR telah digunakan oleh PT.SMART, Tbk. untuk analisis semua
spear yang digunakan pada produksi bibit klonal (Hatorangan et al. 2010). Selain
itu marka SSR juga digunakan untuk analisis keterkaitan SSR dengan produksi
minyak kelapa sawit di Riau dan Kalimantan Selatan (Hairinsyah 2010), analisis
variasi genetik populasi kelapa sawit asal Kamerun (Nchu 2010), dan analisis
variasi somaklonal antara ortet, klon, dan turunannya (Artutiningsih 2012).

11

Deteksi perubahan genetik secara in vitro (off-type) digunakan untuk
mengeliminasi variasi vegetatif pada tanaman klonal kelapa sawit yang ditanam di
lapang. Teknik perbanyakan dengan kultur jaringan akan menghasilkan tanaman
klonal yang secara genetik sama dengan induknya, baik secara in vitro maupun ex
vitro. Tanaman klonal yang ditanam di lapang akan memiliki morfologi dan
genetik yang seragam sehingga diharapkan tidak terjadi abnormalitas di lapang.
Marka mikrosatelit dapat digunakan untuk menganalisis perubahan genetik kalus
embriogenik dan embrio somatik berbagai umur tanam sehingga dapat digunakan
sebagai deteksi dini kultur abnormalitas.

3 SELEKSI MEDIUM CAIR UNTUK PROLIFERASI
KALUS EMBRIOGENIK DENGAN TEKNIK PENGOCOKAN
Abstrak
Salah satu kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan teknologi kultur
jaringan pada tanaman kelapa sawit untuk skala industri adalah persentase
pembentukan kalus embriogenik melalui kalus yang masih rendah. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mendapatkan medium yang mampu meningkatkan
persentase kalus embriogenik, memperbesar kalus embriogenik, dan mempelajari
histologis kalus embriogenik. Dicobakan medium MS (MSK) dan MS diperkaya
(MSD) dengan biotin 0.2 mg/L, D-Ca-pantotenat 1.2 mg/L, asam askorbat 1.8
mg/L, kolin klorida 1.4 mg/L, L-sistein-HCL 19.0 mg/L, dan alanin 5.0 mg/L.
Medium yang diuji ditambahkan 2.4-D dengan taraf 0.0; 0.3; 0.6 dan 0.9 mg/L
masing-masing berkombinasi dengan NAA dengan taraf 0.0; 4.0 dan 8.0 mg/L
pada sistem medium cair dengan pengocokan. Bahan tanam yang diuji adalah
kalus embriogenik fase nodular lini S82.132. Secara histologis juga dipelajari
struktur histologi kalus embriogenik dari medium kontrol dan medium terbaik.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa medium MSD2 yang ditambahkan 2.4D 0.9 mg/L dan NAA 4.0 mg/L dan diperkaya dengan vitamin dan alanin
menghasilkan rataan berat basah kalus embriogenik tertinggi berdasarkan jumlah
dan ukuran. Medium ini dapat memperbesar kalus embriogenik sampai ukuran
600 µm dan dapat meningkatkan persentase regenerasi kalus embriogenik.
Kata kunci: Elaeis guieensis Jaqc, kalus embriogenik, medium cair, 2.4-Dichloro
phenoxy acetic acid, Naphtalenic Acetic Acid.
Abstract
One of the problem in oil palm tissue culture industry is the percentage of
embryogenic callus is still low. The objective of this research was to obtain the
best medium which can increase the percentace of embryogenic callus, enlarge the
embryogenic callus, and study the histology of embryogenic callus. Using MS
medium (MSK) and MS enriched (MSD) with 0.2 mg/L biotin, 1.2 mg/L D-Capantotenat, 1.8 mg/L ascorbic acid, 1.4 mg/L choline chloride, 19.0 mg/L Lcystein-HCL, and 5.0 mg/L alanine in this research each combined with 0.9 mg/L
2.4-D and 4.0 mg/L NAA with liquid medium on shaker. Nodular embryogenic

12

calluses of S82.132 used as explants. Histology analysis had been used to study
the histology of embryogenic callus from control and the best medium. The result
showed that MSD2 medium with 0.9 mg/L 2.4-D and 4.0 mg/L NAA also
enriched with vitamins and alanine gave the highest rate of embryogenic callus
fresh based on number and size of embryogenic callus. This medium can increase
the size of embrogenic callus until 600 µm and increase the regeration percentage
of embryogenic callus.
Key words: Elaeis guieensis Jaqc, embryogenic callus, liquid medium, 2.4Dichlorophenoxy acetic acid, Naphtalene Acetic Acid.
Pendahuluan
Pemanfaatan kultur jaringan tanaman kelapa sawit ditujukan untuk
meningkatkan produksi minyak yang dapat dibuktikan dengan meningkatnya
produksi sampai 30% dibandingkan dengan produksi tanaman komersil Dura ×
Pisifera (D×P) dalam skala uji lapang (Cochard et al. 1999; Wahid et al. 2005).
Perbanyakan kelapa sawit dengan kultur jaringan masih kurang efisien karena
membutuhkan proses yang panjang dan waktu yang lama. Dari seluruh eksplan
yang dikulturkan hanya 15% menghasilkan kalus dan dari kalus yang dihasilkan
hanya 3% yang menghasilkan embrio somatik (Soh et al. 2006).
Pembentukan kalus dan embrio somatik masih merupakan masalah utama
dalam kultur jaringan tanaman kelapa sawit. Laju pembentukan kalus pada
eksplan tanaman kelapa sawit masih rendah, sekitar 19% (Corley 2003). Hal yang
sama juga dilaporkan oleh Wooi (1995) bahwa rataan laju embriogenesis daun
menjadi kalus berkisar antara 3% sampai 6%.
Kultur jaringan tanaman kelapa sawit umumnya diinisiasi dari daun muda
dalam media induksi kalus. Kalus berbentuk nodular tampak di sepanjang bekas
potongan yang menyebabkan terlukanya tulang daun (Rohani 2000). Sebagian
kalus tetap kompak dan nodular kalus akan berkembang melalui embriogenesis
(Rohani 2000; Kanchanapoom & Domyoas 1999).
Proses selanjutnya adalah pembentukan embrio somatik dan pendewasaan
embrio, regenerasi tunas, perakaran, dan fase akhir pembentukan planlet baru.
Namun, kalus juga dapat mengalami rediferensiasi membentuk kalus dengan
struktur lunak, granular, jaringannya transparan, dan tidak mempunyai potensi
embriogenik. Jaringan ini disebut kalus non embriogenik dan akan tetap sebagai
kalus yang tidak mampu beregenerasi menjadi planlet baru (Kanchanapoom &
Domyoas 1999).
Embriogenesis somatik (ES) adalah proses sel somatik dalam kondisi
induksi menghasilkan sel embriogenik yang akan berkembang melalui beberapa
tahap perubahan morfologi dan biokimia yang menghasilkan struktur bipolar
tanpa adanya hubungan jaringan dengan jaringan asalnya (Quiróz-Figueroa et al.
2006).
Ducos et al (2007) melaporkan bahwa pada hampir semua spesies tanaman
dengan berbagai protokol embriogenesis somatik umumnya mengikuti alir proses
yang sama sebagai berikut: a) induksi kalus embriogenik diikuti dengan
identifikasi dan seleksi dengan isolasi secara fisik, b) multiplikasi sel-sel
embriogenik (fase diferensiasi), c) regenerasi embrio dalam jumlah banyak dari

13

sel-sel embriogenik, dan d) konversi embrio menjadi embrio dewasa yang
memiliki kemampuan beregenerasi menjadi planlet.
Tahapan induksi, maturasi, dan germinasi embrio somatik dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor, yaitu jenis media, vitamin, asam amino, zat pengatur tumbuh
diantaranya auksin dan sitokinin (Vasanth et al. 2006; Asad et al. 2009). Pada
tahap induksi kalus dan perkembangan kalus menjadi kalus embriogenik yang
diikuti dengan perkecambahan embrio menjadi planlet umumnya dilakukan
dalam medium padat.
Penggunaan medium padat dianggap kurang efisien untuk digunakan dalam
perbanyakan skala komersil karena akan menghasilkan embrio somatik pada
berbagai fase mulai dari fase nodular, globular, skutelar, bahkan koleotilar. Hal ini
berhubungan dengan kontak embrio somatik dengan medium perlakuan. Hanya
bagian bawah dari embrio somatik yang bersentuhan langsung dengan medium
perlakuan. Medium padat masih kurang efisien dalam meningkatkan persentase
kalus embriogenik. Untuk mengatasi masalah ini digunakan medium cair (Wong
et al. 1999).
Medium cair lebih efisien digunakan dalam perbanyakan skala komersil.
Fase kalus embriogenik yang umumnya dikulturkan di dalam medium cair adalah
fase nodular. Fase ini digunakan karena sel-selnya masih bersifat meristematik
sehingga potensi pembelahan sel masih tinggi dan dapat meningkatkan persentase
kalus embriogenik. Kalus embriogenik yang dikulturkan di dalam medium cair
akan lebih seragam baik dalam ukuran maupun perkembangan embrio karena
seluruh permukaan kalus embriogenik akan bersentuhan langsung dengan medium
perlakuan yang mengandung auksin 2.4-D sehingga dapat meningkatkan
persentase kalus embriogenik (Wong et al. 1999).
Medium cair juga digunakan dalam upaya meningkatkan produktivitas
kultur tanaman kelapa sawit untuk tujuan komersil (de Touchet et al. 1991, Duval
et al. 1993, Sumaryono et al. 1994, Teixeira et al. 1995, Ginting & Fatmawati
1997, Tahardi 1998). Produktivitas penggunaan medium cair dapat ditingkatkan
dengan penambahan asam amino.
Asam amino merupakan salah satu sumber nitrogen organik yang berperan
dalam induksi pembentukan kalus, regenerasi tunas adventif, embriogenesis, dan
androgenesis eksplan (Vasanth et al. 2006; Patil et al. 2009; Gantait et al. 2010).
Beberapa jenis asam amino yang umum ditambahkan ke dalam medium, yaitu
alanin, arginin, asparagin, sistein, glutamin, glisin, leusin, isoleusin, lisin,
metionin, ornitin, fenilalanin, prolin, serin, teronin, triptofan, tirosin, dan valin
(Ogita et al. 2001; Ashok-Kumar & Murthy 2004). Selain asam amino,
penambahan vitamin juga mampu meningkatkan produktivitas kultur.
Vitamin memiliki peranan yang penting dalam embriogenesis somatik
tanaman. Vitamin memiliki fungsi-fungsi katalitik sebagai kofaktor untuk reaksi
metabolik penting. Vitamin yang sering digunakan dalam kultur jaringan,
diantaranya tiamin (vitamin B1), niasin (asam nikotinat), dan piridoksin (vitamin
B6), asam askorbat (vitamin C), biotin (vitamin H), kolin klorida (vitamin B4),
sianokobalamin (vitamin B12), asam folat (vitamin M), asam pantotenat (vitamin
B5), para-amino-asam benzoat, riboflavin (vitamin B2), dan tokoferol (vitamin E)
(Dodds dan Roberts 1995). Vitamin bekerja sangat efektif apabila menggunakan
eksplan yang berukuran kecil, di antaranya protoplas atau fase embrio awal.

14

Pullman et al. (2005) menyatakan bahwa kombinasi MES, biotin, dan asam
folat efektif meningkatkan inisiasi jaringan embriogenik pada tanaman Douglas
Fir dan Pinus taeda. Vitamin B12, vit