Embriogenesis Somatik Dari Bunga Betina Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Klasifikasi dan Morfologi Kelapa Sawit (Elaeis guineensis jacq.)

Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil perennial dengan periode
regenerasi yang panjang sekitar 20 tahun dan dalam proses perkawinannya
membutuhkan waktu yang sangat lambat (Abdullah et al., 2005). Kelapa sawit
biasanya terdapat di daerah tropis seperti Amerika latin, Asia Tenggara dan
Afrika. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) yang berasal dari bagian barat laut
Afrika terdapat di daerah Guinea Bissau dan di Amerika Latin Elaeis oleifera
terdapat di daerah Brazil (Guedes et al., 2011)

2.1.1. Varietas Kelapa Sawit

Banyak varietas kelapa sawit yang dikenal di Indonesia. Varietas –
varietas tersebut dapat dibedakan berdasarkan morfologinya. Diantara varietas

tersebut terdapat varietas unggul yang mempunyai beberapa keistimewaan
dibandingkan dengan varietas lainnya. Keistimewaannya antara lain tahan
terhadap hama dan penyakit, produksi tinggi, serta kandungan minyak yang
dihasilkan tinggi (Fauzi et al., 2012).
Berikut ini beberapa jenis varietas yang banyak digunakan oleh para petani
dan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
1) Varietas berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buah
Beberapa varietas kelapa sawit yang dapat dibedakan berdasarkan ketebalan
tempurung dan daging buahnya, antara lain : Dura, Pisifera, Tenera.
Perbedaan ketebalan daging buah kelapa sawit menyebabkan perbedaan
jumlah rendemen minyak sawit yang dikandungnya. Rendemen minyak
paling tinggi terdapat pada Tenera yaitu mencapai 22 – 24 %, sedangkan pada
6
6

7

varietas Dura hanya 16 – 18%. Pisifera yang disilangkan dengan varietas
Dura akan menghasilkan varietas Tenera.
2) Varietas berdasarkan warna kulit buah

Berdasarkan warna kulit buahnya, varietas kelapa sawit dapat dibedakan
menjadi tiga jenis, antara lain : Nigrescens dengan warna buah masak ungu
kehitam – hitaman, Virescens dengan warna buah jingga kemerahan tetapi
ujung buah tetap hijau dan Albescens dengan warna kekuning – kuningan dan
ujungnya ungu kehitaman.
3) Varietas unggul
Bahan tanaman yang umum digunakan di perkebunan kelapa sawit adalah
Tenera, yang merupakan hasil persilangan antara Dura dan Pisifera. Varietas
Dura sebagai induk betina dan Pisifera sebagai induk jantan. Hasil
persilangan tersebut telah terbukti memiliki kualitas dan kuantitas yang lebih
baik dibandingkan dengan varietas lain.

2.1.2. Morfologi Tanaman Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu bagian
vegetatif dan bagian generatif. Bagian vegetatif kelapa sawit meliputi akar, batang
dan daun. Sedangkan bagian generatif yang merupakan alat perkembangbiakan
terdiri dari bunga dan buah (Fauzi et al., 2012). .
1.


Bagian vegetatif

a.

Akar
Akar tanaman kelapa sawit berfungsi sebagai penyerap unsur hara dalam

tanah dan respirasi tanaman. Selain itu, akar tanaman kelapa sawit juga berfungsi
sebagai penyangga berdirinya tanaman sehingga mampu menyokong tegaknya
tanaman pada ketinggian yang mencapai puluhan meter ketika tanaman berumur
25 tahun. Akar tanaman kelapa sawit tidak berbuku, ujungnya runcing dan
berwarna putih atau kekuningan. Tanaman kelapa sawit berakar serabut,
pertumbuhan dan percabangan akar terangsang bila konsentrasi hara cukup besar
(terutama unsur nitrogen dan fosfor).
7

8

b.


Batang
Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak

mempunyai kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang berfungsi sebagai
struktur tempat melekatnya daun, bunga dan buah. Batang juga berfungsi sebagai
organ penimbun zat makanan yang memiliki sistem pembuluh yang mengangkut
air dan hara mineral dari akar ke tajuk serta hasil fotosintesis dari daun ke seluruh
bagian tanaman. Batang kelapa sawit berbentuk silinder dengan diameter 20 – 75
cm. Tanaman yang masih muda, batangnya tidak terlihat karena tertutup oleh
pelepah daun. Semakin tua tanaman, bekas pelepah daun mulai rontok,
kerontokan dimulai dari bagian tengah batang yang kemudian meluas ke atas dan
ke bawah.
c.

Daun
Daun kelapa sawit mirip kelapa, yaitu membentuk susunan daun majemuk,

bersirip genap dan bertulang daun sejajar. Daun – daun membentuk satu pelepah
yang panjangnya mencapai lebih dari 7,5 – 9 m. Jumlah anak daun di setiap
pelepah berkisar 250 – 400 helai. Daun muda yang masih kuncup berwarna

kuning pucat. Jumlah pelepah, panjang pelepah dan jumlah anak daun tergantung
pada umur tanaman. Jumlah kedudukan pelepah daun pada batang kelapa sawit
disebut juga filotaksis yang dapat ditentukan berdasarkan perhitungan susunan
duduk daun, yaitu dengan menggunakan rumus duduk daun 1/8. Artinya, setiap
satu kali berputar melingkari batang, terdapat duduk daun sebanyak delapan helai.
Pertumbuhan melingkar duduk daun mengarah ke kanan atau ke kiri
menyerupai spiral. Pada tanaman yang normal, dapat dilihat dua set spiral
berselang 8 daun yang mengarah ke kanan dan berselang 13 daun mengarah ke
kiri. Arah duduk daun sangat berguna untuk menentukan letak duduk ke-9 dan ke17 saat pengambilan contoh daun untuk kepentingan analisis kandungan unsur
hara. Disamping itu, duduk daun juga berguna untuk menentukan jumlah daun
yang harus tetap ada dibawah buah terendah disebut songgoh.

8

9

2.

Bagian Generatif


a.

Bunga
Kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu (monoceus), artinya bunga

jantan dan bunga betina terdapat dalam satu tanaman serta masing – masing
terangkai dalam satu tandan. Tandan bunga jantan terpisah dengan bunga betina.
Setiap tandan bunga muncul dari pangkal pelepah daun (ketiak daun). Setiap
ketiak daun hanya menghasilkan satu infloresen (bunga majemuk). Perkembangan
infloresen dari proses inisiasi awal sampai membentuk infloresen lengkap yang
siap diserbukkan memerlukan waktu 2,5 – 3 tahun. Bunga yang siap diserbuki
biasanya terjadi pada infloresen di ketiak daun nomor 20 pada tanaman muda
(2 – 4 tahun) dan daun nomor 15 pada tanaman tua (> 12 tahun). Sebelum bunga
mekar dan masih diselubungi seludang, sudah dapat dibedakan bunga jantan dan
betina, yaitu dengan melihat bentuknya. Bunga jantan bentuknya lonjong
memanjang dengan ujung kelopak agak meruncing dan garis tengah bunga lebih
kecil, sedangkan bunga betina bentuknya agak bulat dengan ujung kelopak agak
rata dan garis tengah lebih besar.

b.


Buah
Secara anatomi, buah kelapa sawit terdiri dari dua bagian utama yaitu

perikaprium yang terdiri dari epikaprium dan mesokaprium. Sedangkan yang
kedua adalah biji yang terdiri dari endokaprium, endosperm dan lembaga atau
embrio

2.2.

Ekologi Kelapa Sawit

Pertumbuhan dan produksi kelapa sawit dipengaruhi oleh banyak faktor
antara lain curah hujan, sinar matahari, suhu, kelembaban udara dan angin serta
tanah. Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah diantara
120 LU – 120 LS pada ketinggian 0 – 500 m dpl, di daerah khatulistiwa tanaman
kelapa sawit liar masih dapat menghasilkan buah pada ketinggian 1.300 m dpl.
Curah hujan optimum rata – rata yang diperlukan tanaman kelapa sawit adalah
9


10

2.200 – 2.500 mm/tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun tanpa bulan
kering (defisit air) yang berkepanjangan. Tanaman kelapa sawit juga
membutuhkan intensitas cahaya yang cukup tinggi, lama penyinaran optimum
yang diperlukan tanaman kelapa sawit antara 5 – 12 jam/hari. Suhu optimum yang
dibutuhkan agar tanaman kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik adalah
24 – 280C. Sedangkan kelembaban optimum bagi pertumbuhan kelapa sawit
adalah 80%. Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, di
antaranya podsolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial dan regosol. Tingkat
keasaman pH yang optimum untuk sawit 5,0 – 5,5 (Fauzi et al., 2012).

2.3.

Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah suatu teknik untuk mengisolasi sel, protoplasma,
jaringan, dan organ kemudian menumbuhkan bagian tersebut pada media buatan
yang mengandung kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh pada kondisi aseptik,
sehingga bagian – bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi

menjadi sel atau tumbuhan sempurna kembali. Kultur jaringan sering juga disebut
teknik in vitro mikropropagasi atau teknik produksi tumbuhan. Prinsip utamanya
adalah produksi tumbuhan dengan menggunakan bagian vegetatif tumbuhan,
dengan menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat yang steril.
Tiga kemampuan tanaman yang mendasari kultur jaringan (Taji et al., 2002),
yaitu :
1) Totipotensi adalah kemampuan atau sifat dari sel tanaman untuk berkembang
dan tumbuh jika stimulasi pada tanaman tersebut sesuai. Totipotensi
membawa informasi dari kebutuhan sel untuk berkembang dan reproduksi.
Oleh sebab itu, semua tanaman memiliki sifat totipotensi dan sel yang bersifat
meristematis yang memiliki sifat totipotensi.
2) Dedifferensiasi adalah kemampuan sel dewasa untuk kembali menjadi sel
yang meristematis dan dapat tumbuh kembali.
3) Kompetensi menggambarkan kemampuan endogen yang dimiliki oleh sel
atau jaringan untuk berkembang dengan cara – cara khusus.
10

11

2.3.1. Zat Pengatur Tumbuh


Hormon adalah bahan perangsang tumbuh yang disintesis pada jaringan
tumbuhan. Hormon diperlukan dalam konsentrasi rendah untuk mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Senyawa sintesis perangsang tumbuh
yang secara alami ada, dikenal dengan sebutan zat pengatur tumbuh.
Umumnya zat pengatur tumbuh dan kegunaannya dalam kultur jaringan
telah

dikembangkan saat pengamatan pada tahap inisiasi. Oleh sebab itu,

beberapa pemikiran masih sulit di prediksi tentang pengaruh dari zat pengatur
tumbuh ini, hal ini dikarenakan respon dalam kultur yang ditunjukan oleh antara
berbagai jenis tanaman berbeda – beda. Auksin dan sitokinin merupakan zat
pengatur tumbuh yang paling sering digunakan dan biasanya dapat digunakan
secara bersama – sama. Perbandingan antara auksin dan sitokinin dapat
menentukan tipe kultur yang diregenerasikan. Jika auksin lebih tinggi
dibandingkan sitokinin maka akan terbentuk akar, akan tetapi jika auksin lebih
rendah dibandingkan sitokinin akan terbentuk tunas, sedangkan jika antara auksin
dan sitokinin dalam jumlah yang sama akan terbentuk kalus (Slater et al., 2002).


2.3.2.

Nutrien dan Pemadat

Nutrisi essensial yang dibutuhkan tanaman dalam kultur jaringan antara
lain unsur makro (N,K,S,P,Ca,Mg) dan unsur mikro (Fe,Mn,Zn,B,Cu dan Mo),
sumber karbon yang dianggap standar adalah sukrosa atau glukosa. Fruktosa juga
digunakan tetapi efektifitasnya di anggap kurang dibandingkan dengan sukrosa
dan glukosa. Sukrosa umumnya digunakan pada konsentrasi 2 – 3 %.
Umumnya jaringan dikulturkan pada media padat dengan menggunakan
agar atau pengganti agar seperti Gelrite atau Phytagel. Konsentrasi agar yang
digunakan berkisar antara 0,7 – 1,0%. Pada konsentrasi tinggi agar menjadi sangat
keras, sedikit sekali air yang tersedia, sehingga difusi hara ke tumbuhan sangat
buruk.
11

12

2.3.3. pH dan Air

pH media biasanya diatur pada kisaran 5,6 – 5,8 tapi tumbuhan yang
berbeda mungkin memerlukan pH yang berbeda untuk pertumbuhan optimum.
Jika pH lebih tinggi dari 6,0 media mungkin menjadi terlalu keras dan jika pH
kurang dari 5,2 agar tidak dapat memadat.
Air distilata biasanya digunakan dalam kultur jaringan, dan banyak
laboratorium menggunakan aquabides (air distilata ganda).

2.4.

Eksplan

Faktor penentu dalam penentuan eksplan adalah tanaman induknya,
eksplan yang di peroleh dari tanaman induk yang berkualitas akan menghasilkan
anakan yang berkualitas. Eksplan atau bahan tanam merupakan bagian kecil dari
jaringan atau organ yang diambil dari tanaman induk dan kemudian dikulturkan
dalam media yang aseptik.
Bagian tanaman yang dapat dijadikan sumber eksplan adalah ujung akar,
pucuk, daun, bunga dan tepung sari. Faktor yang dimiliki oleh eksplan itu sendiri
yaitu ukuran, umur fisiologis, sumber genotip dan sterilisasi eksplan yang akan
menentukan berhasil tidaknya pengkulturan eksplan (Pandiangan, 2011).
Menurut Guedes et al. (2011) induksi kalus embriogenik dari bunga
majemuk betina pada kelapa sawit melalui teknik Thin Cell Layer (TCL) telah
memberikan hasil yang baik, dimana bunga majemuk betina kelapa sawit dapat
dikembalikan dari bagian bunga ke vegetatif embriogenik sebagai sumber eksplan
yang sangat baik untuk diinduksikan ke embriogenesis somatik.

2.5.

Embriogenesis Somatik

Embriogenesis somatik sangat penting digunakan dalam manajemen dan
konservasi dari bahan – bahan yang dihasilkan melalui kultur in vitro, dimana
memberikan hasil yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan sistem
12

13

penggandaan klonal lainnya (Sharma, 2003). Embriogenesis somatik atau
embriogenesis aseksual adalah proses dimana sel – sel soma berkembang menjadi
embrio melalui tahap – tahap morfologi yang khas tanpa melalui fusi gamet.
Embrio somatik yang berasal dari kultur sel, jaringan, atau organ dapat terbentuk
secara langsung dan tidak langsung. Embrio somatik yang terbentuk secara
langsung meliputi pembentukan embrio dari sel tunggal atau kelompok sel yang
menyusun jaringan eksplan tanpa melalui pembentukan kalus, sedangkan embrio
yang terbentuk secara tidak langsung adalah pembentukan embrio melalui fase
kalus (Utami et al., 2007).
Penggandaan melalui embriogenesis somatik dapat digunakan untuk
penggandaan klonal dan konservasi in vitro, regenerasi tanaman menghasilkan
tanaman yang seragam (Jayanthi et al., 2001) Embriogenesis memberikan
keuntungan yaitu hasil penggandaan dalam jumlah besar, dapat meningkatkan
program genetik dan dan produksi pada biji sintetis (Hartman et al., 1997)
Embriogenesis merupakan proses yang menakjubkan karena melalui struktur
bipolar tunas dan akar dapat membentuk kembali embrio zigotik yang dihasilkan
dari sel somatik ( Mariani et al., 1998)

13