Perilaku Perkembangbiakan Burung Jalak Bali (Leucopsar Rotschildi Stresemann 1912) Dalam Penangkaran Di Safari Bird Farm Nganjuk Jawa Timur.
PERILAKU PERKEMBANGBIAKAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar
rotschildi Stresemann 1912) DALAM PENANGKARAN
DI SAFARI BIRD FARM NGANJUK JAWA TIMUR
SETA ASRI AMELIAH
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perilaku
Perkembangbiakan Burung Jalak Bali (Leucopsar rotschildi Stresemann 1912)
dalam Penangkaran di Safari Bird Farm Nganjuk Jawa Timur adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Seta Asri Ameliah
E34100110
ABSTRAK
SETA ASRI AMELIAH. Perilaku Perkembangbiakan Burung Jalak Bali
(Leucopsar rotschildi Stresemann 1912) dalam Penangkaran di Safari Bird Farm
Nganjuk Jawa Timur. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASYUD dan
JARWADI BUDI HERNOWO.
Safari Bird Farm (SBF) merupakan perusahaan yang berhasil
menangkarkan jalak bali. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi teknik
perkembangbiakan, faktor yang mempengaruhi perkembangbiakan dan tingkat
keberhasian reproduksi serta perilaku perkembangbiakan burung jalak bali di
penangkaran SBF, Nganjuk Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan di penangkaran
SBF, Jawa Timur pada Agustus 2014 terhadap sepasang jalak bali. Pengamatan
perilaku jalak bali menggunakan metode focal animal sampling dengan
pencatatan one zero sampling, sedangkan pengumpulan data mengenai teknik
perkembangbiakan dilakukan dengan wawancara dan pengukuran langsung.
Teknik perkembangbiakan burung jalak bali meliputi pemilihan bibit, penentuan
jenis kelamin, jodoh dan mengawinkan jalak bali. Tingkat keberhasilan reproduksi
di SBF masuk dalam kategori sedang untuk perkembangbiakan induk dan daya
tetas telur, kategori rendah untuk angka kematian anakan, dan hand rearing untuk
pembesaran anakan. Perilaku perkembangbiakan jalak bali di penangkaran SBF
meliputi perilaku berpasangan, kawin dan reproduksi.
Kata Kunci : jalak bali, perilaku perkembangbiakan, teknik perkembangbiakan.
ABSTRACT
SETA ASRI AMELIAH. Breeding Behaviour of Bali Myna (Leucopsar rotschildi
Stresemann 1912) in Safari Bird Farm Nganjuk East Java. Supervised by
BURHANUDDIN MASYUD dan JARWADI BUDI HERNOWO.
Safari Bird Farm (SBF) is a company that successfully captivating bali
myna. This research purpose is to identify the reproduction method, affecting
factors, success rate, and the reproduction behavior in the SBF (Nganjuk, East
Java). The research conducted in SBF during Agustus 2014 towards a couple of
bali myna. Bali myna observation was done using focal animal sampling method
with an one zero sampling recording, while the reproduction technic data
collected using interview and direct measurement. Bali myna reproduction technic
consists of choosing the baby, gender, and couple. Reproduction success rate in
SBF categorized into medium for the egg hatch rate and parental reproduction,
while for baby mortality and hand rearing were categorized into low. Bali myna
reproduction behavior in SBF captivity consist of pairing, mating, and
reproducting.
Keywords : bali myna, reproduction behavior, reproduction technic.
PERILAKU PERKEMBANGBIAKAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar
rotschildi Stresemann 1912) DALAM PENANGKARAN
DI SAFARI BIRD FARM NGANJUK JAWA TIMUR
SETA ASRI AMELIAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 ini
ialah manajemen penangkaran satwa, dengan judul Perilaku Perkembangbiakan
Burung Jalak Bali (Leucopsar rotschildi Stresemann 1912) dalam Penangkaran di
Safari Bird Farm Nganjuk Jawa Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Burhanuddin Masyud, MS
selaku pembimbing I dan Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF selaku pembimbing
II . Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Susilowati beserta
staff Penangkaran Safari Bird Farm yang telah memberikan izin untuk kegiatan
penelitian yang akan dilaksanakan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Seta Asri Ameliah
E34100110
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Alat dan Bahan
2
Metode Pengumpulan Data
2
Analisis Data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Teknik Pengembangbiakan dan Tingkat Keberhasilan Reproduksi Burung
Jalak Bali di Penangkaran
Perilaku Perkembangbiakan Burung Jalak Bali (Leucopsar rotschildi)
SIMPULAN DAN SARAN
4
12
25
Simpulan
25
Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
28
DAFTAR TABEL
1 Kriteria dan ciri penentuan jenis kelamin jalak bali jantan dan
jalak bali betina di SBF
2 Persentase dan kriteria tingkat perkembangbiakan induk, daya
tetas telur dan angka kematian jalak bali di SBF
3 Frekuensi dan durasi perilaku kopulasi burung jalak bali jantan
dan betina di penangkaran SBF
5
10
18
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Burung jalak bali jantan (a) dan betina (b) di penangkaran SBF
Sangkar penjodohan
Kandang penjodohan
Inkubator di SBF
Piyik yang sedang membuka paruh saat menerima makanan
Frekuensi (a) dan (b) durasi perilaku bersuara burung jalak bali
pra kopulasi
Frekuensi (a) dan (b) durasi perilaku saling dekat burung jalak
bali pra kopulasi
Frekuensi (a) dan (b) durasi perilaku saling menelisik bulu antara
jantan dan betina pra kopulasi
Perilaku bersuara (a) saling dekat (b) dan saling menelisik tubuh
(c)
Sketsa perilaku kopulasi jalak bali
Sketsa perilaku mandi burung jalak bali pada fase pasca kopulasi
Frekuensi (a) dan 12 (b) durasi perilaku mandi burung jalak bali
pasca kopulasi
Sketsa perilaku membawa bahan sarang
Frekuensi (a) dan (b) durasi perilaku membawa bahan sarang
burung jalak bali pasca kopulasi
Frekuensi (a) dan durasi (b) membangun sarang bururng jalak
bali pasca kopulasi
6
7
8
11
12
14
16
17
17
19
19
20
21
22
23
DAFTAR LAMPIRAN
1
Hasil
perhitungan
persentase
jumlah
induk
yang
berkembangbiak, daya tetas telur dan kematian anakan jalak bali
di SBF
28
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jalak bali (Leucopsar rotschildi) memiliki tampilan yang indah dan elok
sehingga banyak diminati oleh para kolektor dan pemelihara burung, akibatnya
banyak yang melakukan penangkapan liar yang berpengaruh pada terganggunya
habitat dan populasi burung di alam (Alikodra 1987). Untuk mendukung upaya
pelestarian burung jalak bali, maka dilakukan perlindungan terhadap habitat
aslinya (in situ) dan perlindungan di luar habitat (ex situ) yakni dalam bentuk
penangkaran.
Penangkaran terhadap burung jalak bali merupakan salah satu bentuk
pengelolaan populasi di luar habitat, dan diharapkan pemanfaatannya tidak lagi
tergantung pada sumberdaya di alam yang jumlahnya sangat terbatas. Tingkat
keberhasilan penangkaran dinilai dari tingkat keberhasilan breeding yang telah
dilakukan. Menurut Helvoort (1988) diacu dalam Yunanti (2012), penangkaran
satwaliar dapat dinilai berhasil apabila teknologi reproduksi jenis satwa tersebut
telah dikuasai, artinya usaha penangkaran tersebut telah berhasil
mengembangbiakan jenis satwa yang ditangkarkan dan satwa hasil penangkaran
tersebut berhasil bereproduksi di alam bebas. Minimnya penelitian tentang
perkembangbiakan burung jalak bali untuk keberhasilan penangkaran
menyebabkan pengetahuan dalam melakukan kegiatan penangkaran menjadi
sedikit. Dalam rangka menunjang kegiatan penangkaran burung jalak bali,
diperlukan pemahaman dan pengetahuan tentang perilaku. Pengetahuan tentang
perilaku penting diketahui sebagai salah satu dasar utama dalam manajemen
pengelolaan.
Prijono dan Handini (1996) mengatakan, perilaku dapat diartikan sebagai
ekspresi satwa dalam bentuk gerakan-gerakan. Menurut Tanudimadja 1978
perilaku timbul karena adanya rangsangan yang berasal dari dalam tubuh individu
atau dari lingkungannya dan perilaku satwa ini berfungsi untuk menyesuaikan diri
terhadap perubahan lingkungan, baik dari luar maupun dari dalam. Pengenalan
perilaku perlu diketahui untuk mendapatkan metode pemeliharaan yang tepat.
Berdasarkan hal itu, penelitian ini penting dilakukan terutama yang terkait dengan
perilaku perkembangbiakan. Sukses perkembangbiakan di penangkaran sangat
terkait dengan prektek teknik perkembangbiakan yang dilakukan, sehingga hal ini
juga penting untuk dikaji.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi teknik pengembangbiakan dan tingkat keberhasian reproduksi
burung jalak bali (Leucopsar rotschildi) di penangkaran Safari Bird Farm.
2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan perilaku perkembangbiakan burung
jalak bali (Leucopsar rotschildi) di penangkaran Safari Bird Farm.
2
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai informasi dan rekomendasi
pengembangan penangkaran burung jalak bali (Leucopsar rotschildi).
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di penangkaran Safari Bird Farm (SBF), Jawa
Timur pada bulan Agustus 2014 selama 15 hari. Waktu pengamatan dimulai dari
pukul 06.00-18.00 WIB. Lokasi penangkaran SBF terletak di Jalan Supriyadi
Perum Kudu Permai Kecamatan Kertosono Kabupaten Nganjuk Provinsi Jawa
Timur dengan luas areal ± 800 m2 dan memiliki luas bangunan ± 450 m2.
Penangkaran Safari Bird Farm (SBF) merupakan penangkaran yang bergerak
dibidang penangkaran burung berkicau, berdiri pada tahun 2003. Penangkaran
SBF secara keseluruhan dipimpin oleh seorang pemilik sekaligus penanggung
jawab yang bernama Susilawati dan memiliki satu orang petugas kandang yang
bernama Warsono. Selain menangkarkan jalak bali penangkaran SBF juga
menangkarkan beberapa jenis burung lain seperti Jalak suren (Racupica contra),
Kacer (Copsychus saularis), Cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), Cucak jenggot
(Alophoxius bres), Cucak ijo (Chloropsis sonnerati), Nuri kepala hitam (Lorius
lory) dan Murai batu (Copsychus malabaricus).
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada pengambilan data penelitian ini meliputi
timbangan, meteran, stopwatch, kamera digital, Closed Circuit Television (cctv),
laptop, panduan wawancara, dan alat tulis, sedangkan objek yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sepasang jalak bali (Leucopsar rotschildi) yang
dipelihara dalam kandang reproduksi dengan ukuran 3 m x 1.5 m x 2.5 m, fasilitas
dalam kandang meliputi wadah pakan, tempat mandi, kayu tenggeran, kotak
sarang dan tanaman.
Metode Pengumpulan Data
1. Teknik perkembangbiakan
Data yang diambil meliputi aspek perkembangbiakan yakni penentuan jenis
kelamin, pemilihan induk, penjodohan jalak bali dan mengawinkan jalak bali.
2. Tingkat keberhasilan reproduksi
Data yang diambil meliputi tingkat daya tetas telur, perkembangbiakan
induk, angka kematian anakan burung jalak bali (piyik) dan pembesaran anakan
burung jalak bali (piyik). Tingkat keberhasilan reproduksi dikumpulkan melalui
wawancara dan penelusuran catatan dokumen yang dimiliki pengelola.
3. Perilaku perkembangbiakan
Metode pengumpulan data pada pengamatan perilaku dilakukan dengan
pengamatan langsung dan tidak langsung. Pengamatan dilakukan menggunakan
3
alat bantu Closed Circuit Television (cctv) sebanyak dua buah yang diletakan di
sudut atas kandang dan dihubungkan dengan satu buah laptop dengan Software
Sentra Vision Securitiy sehingga tampilan dalam kandang dapat diamati pada
layar laptop. Pengamat dapat mengamati perilaku perkembangbiakan jalak bali
secara langsung pada hasil yang tampil pada layar laptop mau pun dengan cara
pengulangan yaitu menyimpan semua kejadian yang terekam dengan cctv. Setiap
perilaku dicatat frekuensi dan durasinya. Pengamatan perilaku dilakukan dengan
merekam perilaku jalak bali di kandang mulai pukul 06.00-18.00 WIB setiap hari
selama 15 hari. Pencatatan frekuensi dan durasi perilaku dilakukan dengan
memutar kembali hasil rekaman video. Pengamatan ini dilakukan menggunakan
metode focal animal sampling, yakni dengan mengamati satu individu yang
menjadi fokus pengamatan dan mencatat secara rinci semua perilaku yang terjadi
pada periode waktu yang ditentukan (Martin dan Bateson 1993). Pencatatan
perilaku dilakukan dengan one zero sampling (Lehner 1979), yakni pemberian
nilai satu jika ada perilaku yang dilakukan dan pemberian nilai nol jika tidak ada
perilaku.
Analisis Data
1. Data tentang teknik perkembangbiakan yang terkumpul dianalisis secara
deskriptif yang dilengkapi dengan tabel dan gambar.
2. Data mengenai keberhasilan perkembangbiakan yang dianalisis mencakup
jumlah induk yang bertelur, jumlah telur yang menetas dan jumlah kematian
anak, dihitung dengan rumus (North dan Bell 1990) sebagai berikut :
Persentase jumlah induk bertelur (%) =
Keterangan :
T : Induk betina yang bertelur
Tt : Induk betina seluruhnya
�
��
Persentase daya tetas telur(%) = �
Keterangan :
α : Jumlah telur yang menetas
β : Jumlah telur yang ada
Persentase kematian anak (%) =
�
��
Keterangan :
M : Jumlah anak yang mati
Mt : Jumlah anak yang menetas (hidup)
�
�
%
%
%
Kategori tingkat keberhasilan perkembangbiakan ditentukan berdasarkan
analisa ketiga nilai faktor perkembangbiakan dengan kriteria nilai sebagai berikut
: 0-30%=rendah, 31-60%=sedang dan 61-100%=tinggi.
4
3. Data perilaku perkembangbiakan burung jalak bali meliputi perilaku
berpasangan (jodoh), kawin dan bertelur dihitung nilai frekuensi dan durasinya
serta disaji secara deskriptif dengan tabel dan gambar. Gambaran umum
perilaku perkembangbiakan diperoleh dengan penghitungan persentase setiap
perilaku. Persentase frekuensi dan durasi setiap perilaku dihitung dengan
mengacu Martin dan Bateson (1993), yakni :
Persentase frekuensi perilaku (%) =
A
B
x 100 %
Keterangan :
A : Jumlah frekuensi suatu perilaku
B : Jumlah seluruh frekuensi perilaku
Persentase durasi perilaku (%) =
A
B
x 100 %
Keterangan :
A : Jumlah durasi suatu perilaku
B : Jumlah seluruh durasi perilaku
HASIL DAN PEMBAHASAN
Teknik Pengembangbiakan dan Tingkat Keberhasilan Reproduksi Burung
Jalak Bali di Penangkaran
Teknik pengembangbiakan burung jalak bali
Faktor yang sangat diperhatikan pada proses pengembangbiakan dalam
penangkaran burung jalak bali di SBF adalah pemilihan bibit indukan jalak bali,
penentuan jenis kelamin, dan menjodohkan jalak bali.
a. Pemilihan bibit
Penangkaran SBF memilih bibit jalak bali untuk dijadikan indukan
didasarkan pada kriteria burung yang sehat dengan postur tubuh tanpa cacat yakni
kondisi bulu dan tubuh burung memiliki warna putih bersih dan cemerlang
dengan warna biru segar pada bagian muka, memiliki paruh kokoh dan tebal. Ciriciri tersebut hampir sama dengan ciri-ciri induk jalak bali yang diungkapkan
Masy’ud (2010) yaitu sehat, aktif, nafsu makannya baik, mata jernih dan bulu
halus, dengan usia minimal 2 tahun karena seekor jalak bali produktif biasanya
memiliki umur di atas 2 tahun. Kriteria ini mengindikasikan bahwa jenis burung
tersebut sehat. Sebelum dimasukkan ke dalam kandang penjodohan, induk jantan
dan betina ditempatkan pada kandang yang terpisah, untuk adaptasi dan masa
pengenalan terlebih dahulu.
Burung yang dipilih pada penangkaran SBF untuk dijadikan indukan yang
akan dijodohkan memiliki umur pada jantan > 2 tahun 3 bulan dan betina dengan
umur > 2 tahun 1 bulan. Bentuk tubuh jantan terlihat lebih besar dibandingkan
dengan betina dan jantan terlihat lebih lincah. Pasangan burung jalak yang dipilih
tersebut tidak terlihat cacat pada bagian tubuh manapun. Pengelola dapat
mengatakan sepasang burung jalak bali ini sehat dikarenakan kondisi bulu burung
5
terihat berwarna putih bersih dengan warna biru terang serta memiliki paruh yang
kokoh.
Keberhasilan penangkaran jalak bali sangat ditentukan oleh pasangan baru
yang akan di tangkarkan sebagai calon indukan dan kualitas indukan jalak bali
sangat berpengaruh terhadap kualitas keturunan yang dihasilkan. Salah satu
langkah pertama dalam memulai penangkaran jalak bali adalah menyeleksi atau
memilih bibit unggulan yang nantinya akan dipelihara atau dikembangbiakan.
Tujuan dari seleksi bibit ini adalah untuk mendapatkan bakalan jalak bali yang
benar-benar bagus dan sehat sehingga nantinya dapat menghasilkan jalak bali
yang berkualitas baik. Apabila bibit jalak bali yang digunakan kualitasnya buruk,
seberapa pun bagusnya kualitas pemeliharaan yang telah diberikan tidak akan
memperoleh hasil yang maksimal. Menurut Panuju dan Sri (2006) memilih calon
indukan yang unggul baik betina maupun jantan harus mempertimbangkan tujuh
kriteria yakni (1) sehat, (2) tidak cacat, (3) tidak mudah stress, (4) jika bisa burung
calon indukan hasil penangkaran, (5) tidak buas, (6) mutu suara bagus dan (7)
bentuk fisik besar dan lincah. Gondo dan Sugiarto (2008) menyatakan bahwa ciriciri calon indukan jalak bali yang baik adalah (a) tidak cacat secara fisik (kaki
tidak pincang, mata tidak buta, sayapnya tidak patah, secara keseluruhan
badannya sehat), (2) memiliki bentuk tubuh yang besar, tegap, tubuh panjang,
dada kokoh, dan tegap, (3) memiliki gerak yang gesit, energik, lincah, dan sorot
matanya tajam, (4) telah memasuki masa birahi (sekitar umur 10 bulan hingga 1
tahun), (5) memiliki bulu badan, sayap, dan ekor yang bagus, mengkilap, dan utuh
dan (6) memiliki suara yang nyaring, lantang dan sering berbunyi.
b. Penentuan jenis kelamin
Sexing merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah dilakukan, karena
tampilan luar antara jalak bali jantan dan jalak bali betina memang nyaris tidak
jauh berbeda. Penangkaran di SBF mempunyai cara sendiri dalam menentukan
jenis kelamin jantan dan jenis kelamin betina pada jalak bali yang dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 Kriteria dan ciri penentuan jenis kelamin jalak bali jantan dan jalak bali
betina di SBF
Ciri
Jantan
No Kriteria
1 Morfologi Postur tubuh Lebih besar
Kepala
Lebih besar
Menjurai di atas kepala
Jambul
lebih panjang
2
Aktivitas Suara
Gerakan
Betina
Lebih kecil (ramping)
Lebih kecil
Menjurai di atas
kepala lebih pendek
Volume suara kecil
Volume suara besar
dan kicauan kurang
dengan kicauan bervariasi
bervariasi
Lebih aktif dan agresif
Kurang aktif
Komposisi jenis kelamin jantan dan betina untuk setiap jenis burung sangat
penting untuk keberhasilan perkembangbiakannya, sehingga pengetahuan
pembedaan jenis kelamin harus dikuasai. Penentuan jenis kelamin burung dapat
dilakukan dengan membedakan suara, ukuran, tingkah laku, dan sebagainya.
6
Berdasarkan tabel penentuan jenis kelamin di penangkaran SBF maka dapat
dilihat perbedaan morfologi burung jalak bali jantan dan betina pada Gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1 Burung jalak bali jantan (a) dan betina (b) di penangkaran
SBF
Aktivitas jantan lebih sering terbang dan bersuara dibandingkan betina,
sesuai dengan penyataan Masy’ud (2010) bahwa perbedaan antara jalak bali
jantan dan jalak bali betina adalah jalak bali betina kicauannya kurang rajin dan
kurang bervariasi serta volume suaranya lebih kecil dibandingkan dengan jalak
bali jantan yang memiliki volume suara yang lebih besar dan bervariasi. Menurut
Kurniasih (1997) pada musim kawin jalak bali jantan lebih agresif dari pada jalak
bali betina.
c. Menjodohkan jalak bali
Jalak bali yang akan dijadikan induk, sebelumnya dilakukan tahap
penjodohan. Tujuan penjodohan adalah untuk membentuk pasangan agar dapat
terjadi perkawinan dan perkembangbiakan. Penangkaran SBF memiliki cara
tersendiri dalam menjodohkan jalak bali yaitu seminggu sebelum burung jalak
bali dimasukkan ke dalam kandang penjodohan maka kedua induk diberi extra
fooding (EF) dengan porsi lebih banyak daripada porsi sebelumnya, yakni dengan
pakan berupa jangkrik, ulat kandang dan kroto. Pakan yang diberikan ditingkatkan
menjadi 2 kali lipat pemberian pakan biasanya karena makanan hewani yang
mengandung protein tinggi dapat memacu birahi jalak bali. Penjodohan jalak bali
di penangkaran SBF dilakukan dengan dua cara, yakni: (1) penjodohan di dalam
sangkar gantung dan (2) penjodohan di dalam kandang permanen.
1. Penjodohan dalam sangkar gantung
Hasil wawancara dengan pengelola penangkaran SBF menunjukkan bahwa
penjodohan ini menggunakan sangkar gantung yakni dengan memasukkan
sepasang jalak bali (satu jantan dan satu betina) yang sudah dipilih pada saat
pemilihan bibit. Pasangan jalak bali yang sudah dimasukkan ke dalam kandang
akan oleh pengelola akan selalu dicek kondisinya apakah sudah menunjukkan ciriciri burung berjodoh yaitu jantan dan betina terlihat saling mendekat dan kicaunya
saling bersahutan. Ketika salah satu jalak bali terlihat menyerang maka pasangan
jalak bali akan digantikan dengan indukan lainnya. Fasilitas pada sangkar gantung
yaitu tempat makan, minum dan tenggeran. Penjodohan yang dilakukan dengan
sangkar gantung terhitung lama karena memerlukan waktu sekitar 3-4 minggu.
Hal ini diduga karena ukuran sangkar yang relatif kecil 70 cm x 40 cm x 40 cm
dan terbuat dari bahan utama yaitu bambu (Gambar 2). Selain itu, sangkar yang
hanya digantungkan dengan ketinggian sekitar 70 cm pada sudut ruangan yang
masih sering terlewati ataupun terlihat oleh manusia. Hal ini memungkinkan
7
tingkat konsentrasi sepasang jalak bali dalam proses penjodohan terganggu yang
mengakibatkan memerlukan waktu yang cukup lama. Sangkar gantung untuk
penjodohan yang terdapat di penangkaran SBF sangkar penjodohan dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar 2 Sangkar penjodohan
Proses penjodohan di dalam sangkar gantung di penangkaran SBF
menerapkan penjodohan dengan 3 cara yakni : (a) sepasang (satu jantan satu
betina), (b) dua betina satu jantan dan (c) dua pasang. Kandang penangkaran
dibedakan atas beberapa jenis dengan ukuran yang berbeda-beda (Masy’ud 2010).
2. Penjodohan dalam kandang permanen
Proses penjodohan di dalam kandang permanen dilakukan secara alami,
yakni menggabungkan jalak bali jantan dan betina yang telah dipilih pada proses
pemilihan bibit ke dalam satu kandang perjodohan. Kandang permanen yang
digunakan terbuat dari kawat, kayu, batako dan besi dengan ukuran panjang 1.5 m,
lebar 2 m dan tinggi 3 m. Fasilitas yang diberikan di dalam kandang permanen
yaitu, tenggeran, tempat makan, minum, tempat mandi serta tanaman palem.
Burung jalak bali yang ditempatkan dalam kandang permanen apabila berjodoh
akan menunjukkan ciri-ciri saling mendekat (burung yang sudah berjodoh ditandai
dengan adanya perilaku siap kawin jantan atau betina saling bercumbu rayu) dan
saling bersahutan mengeluarkan suara. Proses penjodohan dengan kandang
permanen lebih cepat yakni sekitar 5-7 hari atau sekitar 9.8% dari 1 kali periode
reproduksi selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di penangkaran SBF. Hal ini
dapat disebabkan kandang permanen memiliki ukuran kandang yang lebih luas
yang memberikan ruang gerak dan produktivitas yang lebih layak bagi jalak bali,
selain itu kandang permanen yang ada di SBF diletakkan di halaman bagian
belakang rumah yang memungkinkan jarang terlewati oleh manusia atau relatif
terhindar dari gangguan. Kamera cctv di dalam kandang permanen dipasang untuk
memantau indukan jalak bali, telur jalak bali dan membantu dalam pengamanan.
Selain itu, di kandang permanen juga terdapat serasah yang digunakan sebagai
bahan penyusun sarang. Bahan tersebut dimasukkan ke kotak sarang yang berada
2 meter dari lantai kadang dan sebagian lagi diletakkan di lantai kandang di
tempat yang kering. Hal ini sesuai dengan pendapat Setio dan Takandjandji
(2007) bahwa pemacuan perkembangbiakan burung dapat dilakukan dengan
menyediakan bahan sarang atau kotak sarang yang akan dipilih oleh burung untuk
8
bersarang. Kandang permanen untuk penjodohan yang terdapat di penangkaran
SBF Kandang penjodohan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Kandang penjodohan
d. Mengawinkan jalak bali
Jalak bali yang sudah berhasil dijodohkan akan dipindahkan ke kandang
reproduksi. Kandang reproduksi memiliki luas 3 m x 1.5 m x 2.5 m dengan
kontruksi dinding terbuat dari batako, atap terbuat dari asbes dan diberi sela
ditengah yang ditutupi dengan jaring besi, sedangkan pintu utama terbuat dari besi
tralis dengan ukuran 50 cm x 40 cm. Selain itu untuk memudahkan pengontrolan
terhadap telur jalak bali maka pada kotak sarang dibuat pintu dari luar yang
berukuran 15 cm x 15 cm yang terbuat dari besi tralis dan dilapisi dengan poly.
Jalak bali yang sudah berjodoh ditandai selalu berdua dengan pasangannya dan
berkicau sahut menyahut. Menurut Tomaszewska et al. (1991) proses prakawin
merupakan hubungan tingkah laku sosial berdasarkan jenis kelamin antara dua
individu. Suatu proses reproduksi pada burung terjadi melalui beberapa tahap
yaitu: (1) tahap fisiologi dimana seekor betina dalam keadaan siap kawin, (2)
tahap rangsangan seksual, jantan akan mendekati betina dengan cara yang agresif
dengan tujuan mencumbui betina dan (3) tahap kopulasi, terjadi pelepasan sel
telur. Proses perkawinan jalak bali menurut pengelola penangkaran SBF biasanya
terjadi pada siang dan sore hari namun bisa juga terjadi pada pagi hari dengan
kisaran 1-3 kali dalam sehari atau sekitar 2.0% dari 1 kali periode reproduksi
selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di penangkaran SBF. Sekitar 1 minggu
setelah kawin, kedua induk mengangkut bahan sarang di lantai kandang dan
membawanya ke kotak sarang, proses mengangkut dan membawa bahan sarang di
penangkaran SBF berlangsung selama 7 hari atau sekitar 13.7% dari 1 kali periode
reproduksi selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di penangkaran SBF. Induk
betina akan bertelur 2-4 butir, dengan masa bertelur selama 2 hari atau sekitar
4.0% dari 1 kali periode reproduksi selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di
penangkaran SBF.
Jalak bali betina mengeluarkan satu telur per hari dan terus berlanjut hingga
jumlah telur di tubuhnya habis. Proses mengeluarkan telur biasanya terjadi pada
pagi hari yakni sekitar pukul 08.00-10.00 WIB. Proses kemudian dilanjutkan
dengan mengerami telur selama 14 hari hingga menetas atau sekitar 27.5% dari 1
kali periode reproduksi selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di penangkaran
9
SBF. Pengeraman telur dilakukan pada waktu hari pertama mengeluarkan telur
dengan frekuensi pengeraman paling banyak dilakukan oleh jalak bali betina.
Menurut Masy’ud (2010) dalam proses perkawinan intensitas perawatan
kandang harus dikurangi dan faktor-faktor gangguan sedapat mungkin harus
dihindari karena jika terdapat gangguan, pasangan jalak bali seringkali
memperlihatkan sifat tidak mau bertelur, enggan mengerami telur atau bahkan
kanibalisme. Penetasan telur terjadi selama 2 hari atau sekitar 2.0% dari 1 kali
periode reproduksi selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di penangkaran SBF.
Proses pembesaran piyik di Penangkaran SBF dilakukan dengan cara pengelola
mengambil piyik yang telah berumur 6–7 hari setelah menetas atau sekitar 11.8%
dari 1 kali periode reproduksi selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di
penangkaran SBF, kemudian dipindahkan ke inkubator. Masa sapih merupakan
usaha pemisahan anakan burung dari induknya guna dirawat secara intensif oleh
peternak.
Tujuan penyapihan memberikan kesempatan kepada indukan untuk bertelur
lagi, supaya lebih produktif. Masa sapih jalak bali di penangkaran SBF biasanya
selama 15 hari atau sekitar 29.5% dari 1 kali periode reproduksi selama 50 hari
yang dilakukan jalak bali di penangkaran SBF. Menurut Masy’ud (2010) dengan
mempercepat usia sapih anak, pada dasarnya dapat mempercepat induk untuk
bertelur kembali, namun cara ini perlu dilakukan dengan hati-hati, agar tidak
menimbulkan resiko stres baik kepada induk maupun anaknya. Penangkaran SBF
menerapkan pemberian pakan telur matang (sudah direbus) yang bergizi dan
seimbang pada sepasang jalak bali yang telah melakukan penetasan untuk
merangsang agar indukan bertelur lagi.
Selain itu sepasang jalak bali juga diberikan pakan hewani berupa ulat
kandang, jangkrik dan kroto. Porsi jangkrik untuk setiap induk 15 ekor sehari,
diberikan pagi dan sore hari, ulat kandang sebanyak 15 gr dan kroto sebanyak 10
gr untuk sepasang jalak bali. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola di
penangkaran SBF, dalam satu tahun burung jalak bali dapat bertelur sampai 8 kali
dalam setahun, dengan 2-4 butir setiap kali bertelur, lama pengeraman telur 14-16
hari, dan anak yang dapat hidup sampai dewasa 1-2 ekor. Artinya dalam satu
tahun setiap induk betina dapat menghasilkan anakan sedikitnya 8 ekor.
Tingkat keberhasilan reproduksi burung jalak bali
Reproduksi merupakan kunci keberhasilan dalam penangkaran untuk
meningkatkan populasi dan produktivitas. Pengetahuan tentang biologi dan
perilaku reproduksi jenis satwa yang ditangkarkan sangat penting karena dapat
memberikan arah pada tindakan manajemen yang diperlukan guna menghasilkan
produksi satwa yang ditangkarkan sesuai harapan. Beberapa aspek terkait
keberhasilan reproduksi yang penting untuk diperhatikan dalam penangkaran
antara lain tingkat daya tetas telur, perkembangbiakan induk, angka kematian
piyik dan pembesaran piyik.
1. Tingkat perkembangbiakan induk, daya tetas telur dan angka kematian piyik
jalak bali.
Dalam suatu usaha penangkaran, khususnya penangkaran jalak bali
keberhasilan dalam mengembangbiakkan jalak bali hingga memperoleh bibit yang
baru adalah hal yang mutlak untuk diperoleh apabila penangkaran tersebut ingin
terus berjalan. Jalak bali yang ditangkarkan oleh suatu penangkaran harus sehat
10
dan tidak cacat, karena akan berakibat pada kualitas jalak bali dan bibit jalak bali
yang dihasilkannya.Tingkat keberhasilan perkembangbiakan jalak bali di SBF
dilihat dari tingkat daya tetas telur, perkembangbiakan induk jalak bali dan angka
kematian piyik dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Persentase dan kriteria tingkat perkembangbiakan induk, daya tetas telur
dan angka kematian jalak bali di SBF
No
Tahun
1
2
3
4
5
Rata-rata (%)
Kriteria
2009
2010
2011
2012
2013
Perkembangbiakan
induk jalak bali (%)
45.45
50.00
52
57.14
68.75
54.68
Sedang
Daya tetas telur
(%)
50
50
50
50
50
50
Sedang
Angka
kematian (%)
33.33
23.52
21.05
19.23
12.12
21.85
Rendah
Berdasarkan hasil perhitungan persentase tingkat keberhasilan penangkaran
jalak bali selama lima tahun terakhir diketahui bahwa rata-rata persentase daya
tetas telur tergolong dalam kriteria sedang sebanyak 50.00% yaitu jumlah total
telur yang mampu dihasilkan oleh satu induk jalak bali setiap satu kali reproduksi
sebanyak 2–4 butir telur dan yang berhasil ditetaskan sebanyak 1–2 butir telur.
Rata-rata persentase tingkat perkembangbiakan induk sebesar 54.68% tergolong
dalam kriteria sedang. Penambahan indukan jalak bali yang mampu
berkembangbiak
diharapkan
dapat
menaikkan
nilai
dari
tingkat
perkembangbiakan menjadi tinggi. Aspek teknis yang terkait dengan faktor
penentu keberhasilan jalak bali di penangkaran juga harus diperhatikan, yakni
kandang. Kandang yang sesuai dengan fungsi dan kegunaannya sebaiknya
disesuaikan dengan habitat alaminya. Selain kandang, juga perlu diperhatikan
adalah pakan. Pakan yang diberikan harus sesuai dan memiliki kandungan gizi
yang dibutuhkan oleh burung. Angka kematian anak (piyik) sebesar 21.85% yaitu
total anak yang mati tiap kelas umur dibagi dengan total anak keseluruhan tiap
kelas umur. Angka kematian piyik di SBF ini tergolong rendah karena pada saat
umur piyik sekitar 6–7 hari telah dipisahkan agar mencegah kematian piyik akibat
dipatuk oleh induknya.
Menurut Masy’ud (2010) dalam menangkarkan jalak bali diperlukan
lingkungan tempat penangkaran yang harus cocok secara teknis biologis serta
harus nyaman dan aman dari berbagai faktor pengganggu termasuk dari gangguan
aktivitas manusia dan terhindar dari kemungkinan banjir atau tergenangnya air
pada waktu musim hujan. Artinya, perlu diperhatikan faktor yang berpengaruh
terhadap perubahan pola reproduksi di penangkaran. Faktor yang mempengaruhi
dalam penangkaran yaitu pakan, kandang dan kesehatan. Faktor makanan
terutama yang berkaitan dengan kontinuitas ketersediaan pakan (energi) untuk
memenuhi kebutuhan reproduksinya. Luas kandang selain mempengaruhi ruang
gerak seluruh aktivitas burung di penangkaran, juga membawa implikasi pada
efisiensi pemanfaatan energi yang relatif tinggi, sehingga ketersediaan energi
11
tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok secara optimal juga dapat
digunakan untuk menunjang proses reproduksi.
Perawatan kesehatan dan pengobatan penyakit juga berpengaruh terhadap
tingkat keberhasilan reproduksi jalak bali. Kondisi kesehatan dipantau secara baik
dan lebih dini sehingga ketika terlihat ada gejala penyakit maka selalu dan segera
diambil tindakan untuk menghindari kematian dan meluasnya penyakit. Kesehatan
jalak bali di penangkaran dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kondisi
lingkungan pemeliharaan, makanan, pola manajemen, bibit penyakit dan kelainankelainan metabolisme.
1. Pembesaran anak burung jalak bali (piyik)
Hasil pengamatan di penangkaran SBF diketahui bahwa, pemeliharaan piyik
dilakukan dengan metode hand rearing karena memberi keuntungan ditinjau dari
aspek reproduksi. Hand rearing adalah proses penanganan piyik dengan cara
memisahkan atau mengambil piyik dari induknya untuk kemudian dipelihara dan
dibesarkan oleh penangkar secara lebih intensif sampai burung bisa dianggap
mandiri. Pemisahan piyik dari induknya dilakukan pada saat mata piyik belum
terbuka, selanjutnya piyik dimasukkan ke dalam box inkubator. Inkubator yang
terdapat di SBF berjumlah tiga unit dengan bahan konstruksi terbuat dari seng dan
papan, berukuran panjang 100 cm, lebar 50 cm dan tinggi 45 cm. Inkubator
tersebut berfungsi untuk membesarkan anakan jalak bali. Inkubator yang berada di
SBF dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Inkubator di SBF
Pakan yang diberikan pada piyik yang berusia dibawah 1 minggu terdiri dari
kroto dan bagian perut dari jangkrik kecil (kepala dan kaki dipotong). Sebelum
diberikan, pakan dicelupkan terlebih dahulu ke dalam air bersih. Setelah piyik
berusia di atas 1 minggu, pemberian pakan ditambahkan dengan voer halus. Voer
halus/lembut dibuat dengan terlebih dulu dibasahi air dan diaduk sampai merata.
Anakan umur 1–2 minggu diberikan pakan tambahan kroto dan /atau perut
jangkrik ke dalam adonan voer. Adonan yang dibuat tidak boleh terlalu kental,
agar burung mudah menelannya. Porsi pakan yang dibuat memiliki takaran air
lebih banyak daripada voer, pemberian pakan ini dilakukan setiap 1 jam sampai
piyik berumur 2 minggu. Memasuki umur 15–24 hari adonan voer dibuat lebih
kental, porsi voer lebih banyak dari pada air. Pengelola juga terkadang
menambahkan BirdVit ke dalam adonan pakan agar kondisi anak burung selalu fit
12
dan pertumbuhannya cepat. Anakan umur 25–30 hari sudah mampu mengambil
pakan sendiri. Pakan kering berupa voer disediakan di dalam inkubator namun
pemberian pakan dengan cara diloloh masih dilakukan. Pemberian pakan pada
usia 15-30 hari dilakukan selang 2 jam dari pemberian pakan sebelumnya. Saat
anakan memasuki usia > 30 hari dipindahkan ke sangkar harian dan tidak perlu
lagi menggunakan inkubator, di dalam kandang ini disiapkan pakan voer agar
burung mengambil pakan sendiri.
Pemberian pakan pada anakan jalak bali di penangkaran SBF tidak memiliki
takaran yang tepat karena pengelola mengasumsikan jika pada saat pemberian
pakan (diloloh) mulut anakan jalak bali tidak terbuka lagi maka menandakan
anakan sudah kenyang. Pemberian pakan dengan cara diloloh menggunakan
sumpit bikinan sendiri yang terbuat dari bambu. Kondisi piyik yang sedang diberi
pakan menggunakan sumpit dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Piyik yang sedang membuka paruh saat menerima makanan
Perilaku Perkembangbiakan Burung Jalak Bali (Leucopsar rotschildi)
Perilaku satwa merupakan ekspresi satwa terhadap faktor internal dan
eksternal yang dilakukan sebagai suatu respon dari tubuh terhadap rangsangan
dari lingkungannya (Suratmo 1979). Fungsi dari perilaku adalah untuk
menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan yang dipengaruhi oleh faktor luar
dan faktor dalam (Alikodra 2002). Tahapan perilaku yang dialami dalam
perkembangbiakan burung jalak bali meliputi perilaku berpasangan (jodoh),
perilaku kawin dan perilaku bertelur yang dijelaskan sebagai berikut :
1. Perilaku berpasangan (jodoh)
Selama proses penjodohan pemantauan dilakukan secara rutin. Tanda-tanda
dari proses penjodohan dikatakan sukses apabila pasangan indukan sering
berduaan dan kejar-kejaran, sebagai indikasi burung dalam kondisi birahi. Tidak
jarang pasangan indukan yang dijodohkan akan saling serang. Jika hal ini terjadi
maka pengelola penangkaran melakukan pemisahan indukan tersebut dan
mengganti dengan indukan yang lain. Sebaliknya apabila kondisi kedua burung
terlihat rukun sampai dengan waktu 5 hari, maka dilanjutkan ke proses berikutnya,
yaitu burung jantan dan betina disatukan dalam kandang. Kandang penangkaran
bagi burung yang sudah berjodoh dipersiapkan sebelumnya, terutama tempat
bersarangnya. Bahan sarang menggunakan daun pinus kering, sebagian sudah
disusun dalam sarang dan sebagian lagi disebarkan di lantai kandang, dan
13
biasanya akan dipungut indukan dan dibawa ke sarangnya saat memasuki masa
reproduksinya.
Hasil pengamatan, menunjukkan perilaku jalak bali yang jodoh ditandai
dengan adanya perilaku bersuara sepanjang hari dan perilaku saling dekat, juga
menunjukkan perilaku tidur berdekatan. Lamanya proses penjodohan ini
dilakukan selama 5 hari dengan tanda-tanda bersuara pada jantan dan betina sudah
terlihat serta diikuti dengan perilaku saling dekat. Menurut Masy’ud (2010) calon
indukan yang sudah berjodoh dan memasuki masa birahi akan ditandai dengan
perilaku :
a. Bersuara/berkicau sepanjang hari
Bersuara/berkicau dilakukan dengan menegakan kepala diikuti dengan
membuka paruh dan mengeluarkan suara. Menurut Rianti (2012)
bersuara/berkicau dilakukan untuk mempertahankan diri serta memikat betina
dalam proses prakawin.
b. Saling dekat
Perilaku bersuara/berkicau sepanjang hari yang diikuti dengan aktivitas
saling dekat yang dilakukan oleh jalak bali jantan dan jalak bali betina
menandakan jalak bali tersebut sudah terbentuk pasangan atau sudah berjodoh
(Masy’ud 2010). Aktivitas saling dekat yang dilakukan oleh jalak bali biasanya
diakhiri dengan kegiatan menelisik tubuh pasangannya. Selain itu, menurut
Dimitra (2011) aktivitas saling dekat dilakukan untuk menjaga salah satu
pasangannya dari pengganggu, membersihkan tubuh pasangannya, melakukan
aktivitas istirahat maupun berjemur bersama.
2. Perilaku kawin
Hasil pengamatan terhadap perilaku kawin pada burung jalak bali, dari
keseluruhan rangkaian perilaku (Alcock 1989) dapat dibedakan ke dalam tiga
tahap (fase) yakni pra kopulasi, kopulasi dan pasca kopulasi.
a. Perilaku pra kopulasi
Perilaku pra kopulasi adalah perilaku yang dilakukan sebelum kopulasi.
Tujuan perilaku ini adalah untuk menarik pasangannya agar siap/mau melakukan
kopulasi. Menurut Fraser (1980) dalam melakukan proses prakawin burung jantan
akan memberikan isyarat melalui stimulus auditori yaitu jantan akan
menggunakan kicauan suara yang indah dan berikutnya yaitu stimulus fisual yaitu
burung mrenunjukkan tarian dan menampilkan keindahan bulunya. Perilaku
menarik pasangan yang merupakan perilaku pra kopulasi ini biasanya dilakukan
dengan cara :
1. Perilaku bersuara secara berulang
Perilaku bersuara secara berulang merupakan perilaku yang juga dilakukan
pada proses penjodohan. Pada perilaku pra kopulasi ini burung jantan maupun
betina juga mengeluarkan suara yang bersifat khas dan lazim dikenal sebagai
suara seksual (sexual calling–sexual vocal). Betina yang sudah siap juga tampak
intensif keluar masuk sarang atau belajar diam sesaat di dalam sarang untuk
mengenal sarangnya sambil mengeluarkan suara khas “wuudtuk” secara berulang.
Menurut Fitri (2012) dan Fraser (1980) diacu dalam Rianti (2010), suara
yang dikeluarkan oleh burung pada dasarnya untuk mempertahankan diri dari
predator serta untuk memikat betina dalam proses pra kawin. Berdasarkan hasil
pengamatan yang dilakukan di penangkaran SBF, perilaku bersuara juga dapat
membedakan antara jalak bali jantan dan betina. Gerakan pada jalak bali jantan
14
lebih agresif dan bila berdekatan, seolah-olah ingin menyerang. Bila berkicau
bersama, bulu kepala atau jambul mengembang lebih besar dan tinggi.
Saat jalak bali jantan menegakkan kepala dan membusungkan dadanya
seakan-akan menantang dan kelihatan pemberani. Pada jalak bali betina gerakan
dan tingkah laku lebih lembut, bulu kepalanya bila mengembang lebih pendek dan
kelihatan agak ramping, gerakan ketika berkicau bersama sambil menari lebih
halus. Suara kicuan juga dapat membedakan antara jalak bali jantan dan betina.
Suara kicauan pada jalak bali jantan lebih keras dan lebih banyak variasi, bila
berkicau biasanya memulai lebih dulu dan ketika bersama-sama berkicau seakan
burung jantan memimpin kicauan, sedangkan pada jalak bali betina suara kicauan
lebih lembut, variasi kicauannya terbatas, bila berkicau bersama (kreasi) jalak
bali betina selalu mengikuti irama kicauan jalak bali jantan.
Jalak bali jantan melakukan perilaku bersuara/berkicau sebanyak 18.83
menit atau sekitar 2.62% dari waktu pengamatan, sedangkan jalak bali betina
melakukan perilaku bersuara/berkicau sebanyak 8.22 menit atau sekitar 1.14%
dari waktu pengamatan. Frekuensi dan durasi perilaku bersuara pra kopulasi pada
burung jalak bali selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 6.
Frekuensi
Frekuensi Perilaku Bersuara
30
25
20
15
10
5
0
Jantan
Betina
Waktu
a)
Durasi (menit)
Durasi Perilaku Bersuara
10
8
6
4
2
0
b)
Jantan
Betina
Waktu
Gambar 6 Frekuensi (a) dan durasi (b) perilaku bersuara burung jalak bali pra
kopulasi
Masy’ud (2010) menyatakan bahwa jalak bali betina kicauannya kurang
rajin dan kurang bervariasi serta volume suaranya lebih kecil dibandingkan
dengan jalak bali jantan yang memiliki kicauan yang rajin, volume suara yang
15
lebih besar dan bervariasi. Perilaku bersuara/berkicau sepanjang hari yang
dilakukan oleh burung jantan maupun burung betina yang diikuti dengan perilaku
saling mendekat merupakan perilaku yang menandakan bahwa indukan sudah
berjodoh dan memasuki masa birahi.
Perilaku bersuara yang dilakukan oleh burung jalak bali jantan pada pagi
hari dilakukan dengan frekuensi yang sering (18-24 kali) dan durasi yang lebih
panjang (6-9 detik), sedangkan pada burung jalak bali betina frekuensinya lebih
sedikit (12-14 kali) dan durasi yang agak pendek (6-8 detik). Perilaku ini mulai
berkurang pada saat hari beranjak siang baik pada burung jalak bali jantan dengan
frekuensi 8-17 kali dan durasi 3-8 detik maupun pada burung betina frekuensinya
3-8 kali dan durasi 4-8 detik. Saat menjelang sore hari perilaku bersuara/berkicau
ini dengan frekuensi yang sering kembali dilakukan yakni 12-19 kali pada burung
jantan dan durasi yang panjang 2-8 detik, sedangkan pada burung betina
frekuensinya lebih sedikit dibanding dengan jantan yakni hanya 3-7 kali dengan
durasi 3-6 detik.
b. Perilaku saling dekat
Seperti halnya pada proses penjodohan burung yang sejodoh dapat dilihat
dari perilaku saling mendekati, perilaku mendekati betina juga merupakan bagian
dari perilaku kawin karena sebelum melakukan perkawinan terlebih dahulu
burung jantan melakukan pendekatan dengan betina sambil mengangguk
anggukkan kepala dan mengeluarkan suara. Proses ini terjadi berulang sampai
jalak bali betina memperlihatkan gejala birahi. Burung betina yang terlihat mulai
cocok dan siap kawin, tampak diam jika pejantan mulai mendekati, mencumbui
dan belajar menungganginya, serta memberikan respons siap dikawini. Burung
betina yang belum siap secara fisiologis biasanya selalu terbang
menghindar/menjauh jika didekati atau dicumbu oleh pejantan. Perilaku saling
dekat yang dilakukan oleh jalak bali pra kopulasi ini biasanya diakhiri dengan
kegiatan menelisik tubuh pasangannya. Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas
saling dekat dilakukan jalak bali di kayu tenggeran.
Jalak bali jantan melakukan perilaku saling dekat selama 26.63 menit atau
sekitar 3.70% dari waktu pengamatan sedangkan jalak bali betina melakukan
perilaku saling dekat selama 28.60 menit atau sekitar 4.87% dari waktu
pengamatan. Hasil pengamatan yang dilakukan di penangkaran SBF menunjukkan
perilaku saling dekat lebih banyak dilakukan oleh jalak bali betina, kemungkinan
disebabkan gejala birahi pada jalak bali betina lebih cepat daripada jalak bali
jantan. Selain itu aktivitas saling dekat dilakukan untuk menjaga salah satu
pasangannya dari pengganggu (Dimitra 2011). Perilaku saling dekat yang
dilakukan oleh burung jalak bali jantan pada pagi hari dilakukan dengan frekuensi
yang sedikit (1-2 kali) tapi dengan durasi yang lebih panjang (19-40 detik),
demikian pula halnya dengan burung jalak bali betina, perilaku saling dekat juga
dilakukan dengan fekuensi lebih sedikit (1-2 kali) dan durasi yang agak panjang
(32-38 detik). Perilaku ini lebih sering dilakukan pada saat hari beranjak siang
baik pada burung jalak bali jantan dengan frekuensi 3-12 kali dan durasi 25-38
detik maupun pada burung betina frekuensinya 3-14 kali dan durasi 18-30 detik.
Saat menjelang sore hari perilaku saling dekat tetap dilakukan oleh burung jalak
bali jantan maupun betina dengan frekuensi 5-12 kali pada burung jantan dan
durasi yang panjang (23-52 detik), sedangkan pada burung betina frekuensinya
lebih sering dibanding dengan jantan yakni 6-14 kali dengan durasi yang lebih
16
pendek (14-25 detik). Frekuensi dan durasi perilaku saling dekat burung jalak bali
selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 7.
Frekuensi
Frekuensi Perilaku Saling Dekat
15
10
5
Jantan
0
Betina
a)
Waktu
Durasi (menit)
Durasi Perilaku Saling Dekat
b)
50
40
30
20
10
0
Jantan
Betina
Waktu
Gambar 7 Frekuensi (a) dan durasi (b) perilaku saling dekat antara jantan dan
betina jalak bali pra kopulasi
c. Perilaku jantan menelisik bulu atau mematuk-matuk betina
Prilaku kopulasi lain yang ditunjukan adalah aktivitas saling menelisik
tubuh, yakni aktivitas yang dilakukan oleh burung jantan setelah terjadi
pendekatan terhadap burung betina. Aktivitas ini dilakukan dengan cara saling
membersihkan bulu-bulu kepala dan leher menggunakan paruh. Menelisik
membantu burung untuk mengeluarkan benda-benda asing yang menempel di
antara bulu-bulunya serta merapikan kembali yang kusut (Rekapermana et al.
2006). Aktivitas saling menelisik tubuh dilakukan oleh jalak bali yang telah
masuk ke dalam musim kawin.
Gejala birahi yang ditunjukkan dari perilaku pasangan jalak bali jantan dan
betina akan dimulai dengan mencumbu betina dengan cara mematuk-matuk pelan
kepala betina, menisik-nisik (membelai) bulu-bulu bagian belakang dengan
menggunakan paruh dan kadang-kadang mematuk-matuk kaki betina dengan hatihati, seakan-akan mengatur posisi/kedudukan betina.
Hasil pengamatan didapatkan bahwa jalak bali jantan melakukan perilaku
saling menelisik tubuh selama 28.90 menit (4.01%) dari waktu pengamatan
sedangkan jalak bali betina melakukan aktivitas saling menelisik tubuh selama
12.75 menit (1.77%). Aktivitas saling menelisik tubuh lebih banyak dilakukan
oleh jalak bali jantan sebagaimana pernyataan Kurniasih (1997) bahwa pada
musim berbiak jalak bali jantan lebih agresif dari pada jalak bali betina. Frekuensi
17
dan durasi perilaku saling menelisik bulu burung jalak bali selama pengamatan
dapat dilihat pada Gambar 8.
Frekuensi
Frekuensi Perilaku Saling Menelisik Bulu
30
20
10
0
Jantan
Betina
a)
Waktu
Durasi (menit)
Durasi Perilaku Saling Menelisik Bulu
15
10
5
0
b)
Jantan
Betina
Waktu
Gambar 8 Frekuensi (a) dan durasi (b) perilaku saling menelisik bulu antara
jantan dam betina pra kopulasi
Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa perilaku saling menelisik bulu yang
dilakukan oleh burung jalak bali jantan pada pagi hari dilakukan dengan frekuensi
yang sedikit (8-16 kali) dan durasi 5-7 detik dan pada burung jalak bali betina
frekuensinya 5-7 kali dengan durasi 5-6 detik. Bila dibandingkan dengan perilaku
menjelang siang hari frekuensinya lebih sering dilakukan dengan durasi yang juga
agak lama yakni pada burung jantan 18-26 kali dengan durasi 6-10 detik dan pada
burung jalak bali betina frekuensi sebanyak 6-10 kali dengan durasi 5-8 detik.
Saat menjelang sore hari perilaku saling menelisik bulu ini tetap dilakukan dengan
frekuensi 17-21 kali dan durasi 6-12 detik pada burung jantan, sedangkan pada
burung betina frekuensinya lebih sedikit dibanding dengan jantan yakni hanya 612 kali dengan durasi 3-10 detik. Berikut perilaku pada saat fase pra kopulasi
jalak bali di penangkaran SBF dapat dilihat pada Gambar 9.
(a)
(b)
(c)
Gambar 9 Perilaku bersuara (a) saling dekat (b) dan saling menelisik tubuh (c)
18
Perilaku pra kopulasi ini dapat berlangsung singkat (beberapa jam) sampai
beberapa hari (2–3 hari) bahkan kadang-kadang mencapai satu minggu atau lebih,
tergantung tingkat kematangan dan kesiapan fisiologis dari burung betina.
Frekuensi penunggangan bisa terjadi beberapa kali (3–4 kali bahkan lebih).
Keseluruhan rangkaian perilaku pra kopulasi tersebut pada dasarnya bertujuan
untuk mempertinggi efektivitas pertemuan sperma dan sel telur atau
memungkinkan agar perkawinan yang terjadi dapat berhasil dan efektif
menghasilkan keturunan. Perilaku pra kopulasi pada dasarnya berfungsi sebagai
proses sinkronisasi kondisi fisiologis diantara pejantan dan betina agar proses
kopulasi dapat berlangsung optimal dan efektif, dalam hal ini faktor penting
adalah kondisi hormonal seks di dalam tubuh satwa jantan dan betina. Menurut
T
rotschildi Stresemann 1912) DALAM PENANGKARAN
DI SAFARI BIRD FARM NGANJUK JAWA TIMUR
SETA ASRI AMELIAH
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perilaku
Perkembangbiakan Burung Jalak Bali (Leucopsar rotschildi Stresemann 1912)
dalam Penangkaran di Safari Bird Farm Nganjuk Jawa Timur adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Seta Asri Ameliah
E34100110
ABSTRAK
SETA ASRI AMELIAH. Perilaku Perkembangbiakan Burung Jalak Bali
(Leucopsar rotschildi Stresemann 1912) dalam Penangkaran di Safari Bird Farm
Nganjuk Jawa Timur. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASYUD dan
JARWADI BUDI HERNOWO.
Safari Bird Farm (SBF) merupakan perusahaan yang berhasil
menangkarkan jalak bali. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi teknik
perkembangbiakan, faktor yang mempengaruhi perkembangbiakan dan tingkat
keberhasian reproduksi serta perilaku perkembangbiakan burung jalak bali di
penangkaran SBF, Nganjuk Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan di penangkaran
SBF, Jawa Timur pada Agustus 2014 terhadap sepasang jalak bali. Pengamatan
perilaku jalak bali menggunakan metode focal animal sampling dengan
pencatatan one zero sampling, sedangkan pengumpulan data mengenai teknik
perkembangbiakan dilakukan dengan wawancara dan pengukuran langsung.
Teknik perkembangbiakan burung jalak bali meliputi pemilihan bibit, penentuan
jenis kelamin, jodoh dan mengawinkan jalak bali. Tingkat keberhasilan reproduksi
di SBF masuk dalam kategori sedang untuk perkembangbiakan induk dan daya
tetas telur, kategori rendah untuk angka kematian anakan, dan hand rearing untuk
pembesaran anakan. Perilaku perkembangbiakan jalak bali di penangkaran SBF
meliputi perilaku berpasangan, kawin dan reproduksi.
Kata Kunci : jalak bali, perilaku perkembangbiakan, teknik perkembangbiakan.
ABSTRACT
SETA ASRI AMELIAH. Breeding Behaviour of Bali Myna (Leucopsar rotschildi
Stresemann 1912) in Safari Bird Farm Nganjuk East Java. Supervised by
BURHANUDDIN MASYUD dan JARWADI BUDI HERNOWO.
Safari Bird Farm (SBF) is a company that successfully captivating bali
myna. This research purpose is to identify the reproduction method, affecting
factors, success rate, and the reproduction behavior in the SBF (Nganjuk, East
Java). The research conducted in SBF during Agustus 2014 towards a couple of
bali myna. Bali myna observation was done using focal animal sampling method
with an one zero sampling recording, while the reproduction technic data
collected using interview and direct measurement. Bali myna reproduction technic
consists of choosing the baby, gender, and couple. Reproduction success rate in
SBF categorized into medium for the egg hatch rate and parental reproduction,
while for baby mortality and hand rearing were categorized into low. Bali myna
reproduction behavior in SBF captivity consist of pairing, mating, and
reproducting.
Keywords : bali myna, reproduction behavior, reproduction technic.
PERILAKU PERKEMBANGBIAKAN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar
rotschildi Stresemann 1912) DALAM PENANGKARAN
DI SAFARI BIRD FARM NGANJUK JAWA TIMUR
SETA ASRI AMELIAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 ini
ialah manajemen penangkaran satwa, dengan judul Perilaku Perkembangbiakan
Burung Jalak Bali (Leucopsar rotschildi Stresemann 1912) dalam Penangkaran di
Safari Bird Farm Nganjuk Jawa Timur.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Burhanuddin Masyud, MS
selaku pembimbing I dan Dr Ir Jarwadi Budi Hernowo, MScF selaku pembimbing
II . Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Susilowati beserta
staff Penangkaran Safari Bird Farm yang telah memberikan izin untuk kegiatan
penelitian yang akan dilaksanakan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Seta Asri Ameliah
E34100110
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
2
METODE
2
Waktu dan Tempat
2
Alat dan Bahan
2
Metode Pengumpulan Data
2
Analisis Data
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
4
Teknik Pengembangbiakan dan Tingkat Keberhasilan Reproduksi Burung
Jalak Bali di Penangkaran
Perilaku Perkembangbiakan Burung Jalak Bali (Leucopsar rotschildi)
SIMPULAN DAN SARAN
4
12
25
Simpulan
25
Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
28
DAFTAR TABEL
1 Kriteria dan ciri penentuan jenis kelamin jalak bali jantan dan
jalak bali betina di SBF
2 Persentase dan kriteria tingkat perkembangbiakan induk, daya
tetas telur dan angka kematian jalak bali di SBF
3 Frekuensi dan durasi perilaku kopulasi burung jalak bali jantan
dan betina di penangkaran SBF
5
10
18
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Burung jalak bali jantan (a) dan betina (b) di penangkaran SBF
Sangkar penjodohan
Kandang penjodohan
Inkubator di SBF
Piyik yang sedang membuka paruh saat menerima makanan
Frekuensi (a) dan (b) durasi perilaku bersuara burung jalak bali
pra kopulasi
Frekuensi (a) dan (b) durasi perilaku saling dekat burung jalak
bali pra kopulasi
Frekuensi (a) dan (b) durasi perilaku saling menelisik bulu antara
jantan dan betina pra kopulasi
Perilaku bersuara (a) saling dekat (b) dan saling menelisik tubuh
(c)
Sketsa perilaku kopulasi jalak bali
Sketsa perilaku mandi burung jalak bali pada fase pasca kopulasi
Frekuensi (a) dan 12 (b) durasi perilaku mandi burung jalak bali
pasca kopulasi
Sketsa perilaku membawa bahan sarang
Frekuensi (a) dan (b) durasi perilaku membawa bahan sarang
burung jalak bali pasca kopulasi
Frekuensi (a) dan durasi (b) membangun sarang bururng jalak
bali pasca kopulasi
6
7
8
11
12
14
16
17
17
19
19
20
21
22
23
DAFTAR LAMPIRAN
1
Hasil
perhitungan
persentase
jumlah
induk
yang
berkembangbiak, daya tetas telur dan kematian anakan jalak bali
di SBF
28
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jalak bali (Leucopsar rotschildi) memiliki tampilan yang indah dan elok
sehingga banyak diminati oleh para kolektor dan pemelihara burung, akibatnya
banyak yang melakukan penangkapan liar yang berpengaruh pada terganggunya
habitat dan populasi burung di alam (Alikodra 1987). Untuk mendukung upaya
pelestarian burung jalak bali, maka dilakukan perlindungan terhadap habitat
aslinya (in situ) dan perlindungan di luar habitat (ex situ) yakni dalam bentuk
penangkaran.
Penangkaran terhadap burung jalak bali merupakan salah satu bentuk
pengelolaan populasi di luar habitat, dan diharapkan pemanfaatannya tidak lagi
tergantung pada sumberdaya di alam yang jumlahnya sangat terbatas. Tingkat
keberhasilan penangkaran dinilai dari tingkat keberhasilan breeding yang telah
dilakukan. Menurut Helvoort (1988) diacu dalam Yunanti (2012), penangkaran
satwaliar dapat dinilai berhasil apabila teknologi reproduksi jenis satwa tersebut
telah dikuasai, artinya usaha penangkaran tersebut telah berhasil
mengembangbiakan jenis satwa yang ditangkarkan dan satwa hasil penangkaran
tersebut berhasil bereproduksi di alam bebas. Minimnya penelitian tentang
perkembangbiakan burung jalak bali untuk keberhasilan penangkaran
menyebabkan pengetahuan dalam melakukan kegiatan penangkaran menjadi
sedikit. Dalam rangka menunjang kegiatan penangkaran burung jalak bali,
diperlukan pemahaman dan pengetahuan tentang perilaku. Pengetahuan tentang
perilaku penting diketahui sebagai salah satu dasar utama dalam manajemen
pengelolaan.
Prijono dan Handini (1996) mengatakan, perilaku dapat diartikan sebagai
ekspresi satwa dalam bentuk gerakan-gerakan. Menurut Tanudimadja 1978
perilaku timbul karena adanya rangsangan yang berasal dari dalam tubuh individu
atau dari lingkungannya dan perilaku satwa ini berfungsi untuk menyesuaikan diri
terhadap perubahan lingkungan, baik dari luar maupun dari dalam. Pengenalan
perilaku perlu diketahui untuk mendapatkan metode pemeliharaan yang tepat.
Berdasarkan hal itu, penelitian ini penting dilakukan terutama yang terkait dengan
perilaku perkembangbiakan. Sukses perkembangbiakan di penangkaran sangat
terkait dengan prektek teknik perkembangbiakan yang dilakukan, sehingga hal ini
juga penting untuk dikaji.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi teknik pengembangbiakan dan tingkat keberhasian reproduksi
burung jalak bali (Leucopsar rotschildi) di penangkaran Safari Bird Farm.
2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan perilaku perkembangbiakan burung
jalak bali (Leucopsar rotschildi) di penangkaran Safari Bird Farm.
2
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai informasi dan rekomendasi
pengembangan penangkaran burung jalak bali (Leucopsar rotschildi).
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di penangkaran Safari Bird Farm (SBF), Jawa
Timur pada bulan Agustus 2014 selama 15 hari. Waktu pengamatan dimulai dari
pukul 06.00-18.00 WIB. Lokasi penangkaran SBF terletak di Jalan Supriyadi
Perum Kudu Permai Kecamatan Kertosono Kabupaten Nganjuk Provinsi Jawa
Timur dengan luas areal ± 800 m2 dan memiliki luas bangunan ± 450 m2.
Penangkaran Safari Bird Farm (SBF) merupakan penangkaran yang bergerak
dibidang penangkaran burung berkicau, berdiri pada tahun 2003. Penangkaran
SBF secara keseluruhan dipimpin oleh seorang pemilik sekaligus penanggung
jawab yang bernama Susilawati dan memiliki satu orang petugas kandang yang
bernama Warsono. Selain menangkarkan jalak bali penangkaran SBF juga
menangkarkan beberapa jenis burung lain seperti Jalak suren (Racupica contra),
Kacer (Copsychus saularis), Cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), Cucak jenggot
(Alophoxius bres), Cucak ijo (Chloropsis sonnerati), Nuri kepala hitam (Lorius
lory) dan Murai batu (Copsychus malabaricus).
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada pengambilan data penelitian ini meliputi
timbangan, meteran, stopwatch, kamera digital, Closed Circuit Television (cctv),
laptop, panduan wawancara, dan alat tulis, sedangkan objek yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sepasang jalak bali (Leucopsar rotschildi) yang
dipelihara dalam kandang reproduksi dengan ukuran 3 m x 1.5 m x 2.5 m, fasilitas
dalam kandang meliputi wadah pakan, tempat mandi, kayu tenggeran, kotak
sarang dan tanaman.
Metode Pengumpulan Data
1. Teknik perkembangbiakan
Data yang diambil meliputi aspek perkembangbiakan yakni penentuan jenis
kelamin, pemilihan induk, penjodohan jalak bali dan mengawinkan jalak bali.
2. Tingkat keberhasilan reproduksi
Data yang diambil meliputi tingkat daya tetas telur, perkembangbiakan
induk, angka kematian anakan burung jalak bali (piyik) dan pembesaran anakan
burung jalak bali (piyik). Tingkat keberhasilan reproduksi dikumpulkan melalui
wawancara dan penelusuran catatan dokumen yang dimiliki pengelola.
3. Perilaku perkembangbiakan
Metode pengumpulan data pada pengamatan perilaku dilakukan dengan
pengamatan langsung dan tidak langsung. Pengamatan dilakukan menggunakan
3
alat bantu Closed Circuit Television (cctv) sebanyak dua buah yang diletakan di
sudut atas kandang dan dihubungkan dengan satu buah laptop dengan Software
Sentra Vision Securitiy sehingga tampilan dalam kandang dapat diamati pada
layar laptop. Pengamat dapat mengamati perilaku perkembangbiakan jalak bali
secara langsung pada hasil yang tampil pada layar laptop mau pun dengan cara
pengulangan yaitu menyimpan semua kejadian yang terekam dengan cctv. Setiap
perilaku dicatat frekuensi dan durasinya. Pengamatan perilaku dilakukan dengan
merekam perilaku jalak bali di kandang mulai pukul 06.00-18.00 WIB setiap hari
selama 15 hari. Pencatatan frekuensi dan durasi perilaku dilakukan dengan
memutar kembali hasil rekaman video. Pengamatan ini dilakukan menggunakan
metode focal animal sampling, yakni dengan mengamati satu individu yang
menjadi fokus pengamatan dan mencatat secara rinci semua perilaku yang terjadi
pada periode waktu yang ditentukan (Martin dan Bateson 1993). Pencatatan
perilaku dilakukan dengan one zero sampling (Lehner 1979), yakni pemberian
nilai satu jika ada perilaku yang dilakukan dan pemberian nilai nol jika tidak ada
perilaku.
Analisis Data
1. Data tentang teknik perkembangbiakan yang terkumpul dianalisis secara
deskriptif yang dilengkapi dengan tabel dan gambar.
2. Data mengenai keberhasilan perkembangbiakan yang dianalisis mencakup
jumlah induk yang bertelur, jumlah telur yang menetas dan jumlah kematian
anak, dihitung dengan rumus (North dan Bell 1990) sebagai berikut :
Persentase jumlah induk bertelur (%) =
Keterangan :
T : Induk betina yang bertelur
Tt : Induk betina seluruhnya
�
��
Persentase daya tetas telur(%) = �
Keterangan :
α : Jumlah telur yang menetas
β : Jumlah telur yang ada
Persentase kematian anak (%) =
�
��
Keterangan :
M : Jumlah anak yang mati
Mt : Jumlah anak yang menetas (hidup)
�
�
%
%
%
Kategori tingkat keberhasilan perkembangbiakan ditentukan berdasarkan
analisa ketiga nilai faktor perkembangbiakan dengan kriteria nilai sebagai berikut
: 0-30%=rendah, 31-60%=sedang dan 61-100%=tinggi.
4
3. Data perilaku perkembangbiakan burung jalak bali meliputi perilaku
berpasangan (jodoh), kawin dan bertelur dihitung nilai frekuensi dan durasinya
serta disaji secara deskriptif dengan tabel dan gambar. Gambaran umum
perilaku perkembangbiakan diperoleh dengan penghitungan persentase setiap
perilaku. Persentase frekuensi dan durasi setiap perilaku dihitung dengan
mengacu Martin dan Bateson (1993), yakni :
Persentase frekuensi perilaku (%) =
A
B
x 100 %
Keterangan :
A : Jumlah frekuensi suatu perilaku
B : Jumlah seluruh frekuensi perilaku
Persentase durasi perilaku (%) =
A
B
x 100 %
Keterangan :
A : Jumlah durasi suatu perilaku
B : Jumlah seluruh durasi perilaku
HASIL DAN PEMBAHASAN
Teknik Pengembangbiakan dan Tingkat Keberhasilan Reproduksi Burung
Jalak Bali di Penangkaran
Teknik pengembangbiakan burung jalak bali
Faktor yang sangat diperhatikan pada proses pengembangbiakan dalam
penangkaran burung jalak bali di SBF adalah pemilihan bibit indukan jalak bali,
penentuan jenis kelamin, dan menjodohkan jalak bali.
a. Pemilihan bibit
Penangkaran SBF memilih bibit jalak bali untuk dijadikan indukan
didasarkan pada kriteria burung yang sehat dengan postur tubuh tanpa cacat yakni
kondisi bulu dan tubuh burung memiliki warna putih bersih dan cemerlang
dengan warna biru segar pada bagian muka, memiliki paruh kokoh dan tebal. Ciriciri tersebut hampir sama dengan ciri-ciri induk jalak bali yang diungkapkan
Masy’ud (2010) yaitu sehat, aktif, nafsu makannya baik, mata jernih dan bulu
halus, dengan usia minimal 2 tahun karena seekor jalak bali produktif biasanya
memiliki umur di atas 2 tahun. Kriteria ini mengindikasikan bahwa jenis burung
tersebut sehat. Sebelum dimasukkan ke dalam kandang penjodohan, induk jantan
dan betina ditempatkan pada kandang yang terpisah, untuk adaptasi dan masa
pengenalan terlebih dahulu.
Burung yang dipilih pada penangkaran SBF untuk dijadikan indukan yang
akan dijodohkan memiliki umur pada jantan > 2 tahun 3 bulan dan betina dengan
umur > 2 tahun 1 bulan. Bentuk tubuh jantan terlihat lebih besar dibandingkan
dengan betina dan jantan terlihat lebih lincah. Pasangan burung jalak yang dipilih
tersebut tidak terlihat cacat pada bagian tubuh manapun. Pengelola dapat
mengatakan sepasang burung jalak bali ini sehat dikarenakan kondisi bulu burung
5
terihat berwarna putih bersih dengan warna biru terang serta memiliki paruh yang
kokoh.
Keberhasilan penangkaran jalak bali sangat ditentukan oleh pasangan baru
yang akan di tangkarkan sebagai calon indukan dan kualitas indukan jalak bali
sangat berpengaruh terhadap kualitas keturunan yang dihasilkan. Salah satu
langkah pertama dalam memulai penangkaran jalak bali adalah menyeleksi atau
memilih bibit unggulan yang nantinya akan dipelihara atau dikembangbiakan.
Tujuan dari seleksi bibit ini adalah untuk mendapatkan bakalan jalak bali yang
benar-benar bagus dan sehat sehingga nantinya dapat menghasilkan jalak bali
yang berkualitas baik. Apabila bibit jalak bali yang digunakan kualitasnya buruk,
seberapa pun bagusnya kualitas pemeliharaan yang telah diberikan tidak akan
memperoleh hasil yang maksimal. Menurut Panuju dan Sri (2006) memilih calon
indukan yang unggul baik betina maupun jantan harus mempertimbangkan tujuh
kriteria yakni (1) sehat, (2) tidak cacat, (3) tidak mudah stress, (4) jika bisa burung
calon indukan hasil penangkaran, (5) tidak buas, (6) mutu suara bagus dan (7)
bentuk fisik besar dan lincah. Gondo dan Sugiarto (2008) menyatakan bahwa ciriciri calon indukan jalak bali yang baik adalah (a) tidak cacat secara fisik (kaki
tidak pincang, mata tidak buta, sayapnya tidak patah, secara keseluruhan
badannya sehat), (2) memiliki bentuk tubuh yang besar, tegap, tubuh panjang,
dada kokoh, dan tegap, (3) memiliki gerak yang gesit, energik, lincah, dan sorot
matanya tajam, (4) telah memasuki masa birahi (sekitar umur 10 bulan hingga 1
tahun), (5) memiliki bulu badan, sayap, dan ekor yang bagus, mengkilap, dan utuh
dan (6) memiliki suara yang nyaring, lantang dan sering berbunyi.
b. Penentuan jenis kelamin
Sexing merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah dilakukan, karena
tampilan luar antara jalak bali jantan dan jalak bali betina memang nyaris tidak
jauh berbeda. Penangkaran di SBF mempunyai cara sendiri dalam menentukan
jenis kelamin jantan dan jenis kelamin betina pada jalak bali yang dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1 Kriteria dan ciri penentuan jenis kelamin jalak bali jantan dan jalak bali
betina di SBF
Ciri
Jantan
No Kriteria
1 Morfologi Postur tubuh Lebih besar
Kepala
Lebih besar
Menjurai di atas kepala
Jambul
lebih panjang
2
Aktivitas Suara
Gerakan
Betina
Lebih kecil (ramping)
Lebih kecil
Menjurai di atas
kepala lebih pendek
Volume suara kecil
Volume suara besar
dan kicauan kurang
dengan kicauan bervariasi
bervariasi
Lebih aktif dan agresif
Kurang aktif
Komposisi jenis kelamin jantan dan betina untuk setiap jenis burung sangat
penting untuk keberhasilan perkembangbiakannya, sehingga pengetahuan
pembedaan jenis kelamin harus dikuasai. Penentuan jenis kelamin burung dapat
dilakukan dengan membedakan suara, ukuran, tingkah laku, dan sebagainya.
6
Berdasarkan tabel penentuan jenis kelamin di penangkaran SBF maka dapat
dilihat perbedaan morfologi burung jalak bali jantan dan betina pada Gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1 Burung jalak bali jantan (a) dan betina (b) di penangkaran
SBF
Aktivitas jantan lebih sering terbang dan bersuara dibandingkan betina,
sesuai dengan penyataan Masy’ud (2010) bahwa perbedaan antara jalak bali
jantan dan jalak bali betina adalah jalak bali betina kicauannya kurang rajin dan
kurang bervariasi serta volume suaranya lebih kecil dibandingkan dengan jalak
bali jantan yang memiliki volume suara yang lebih besar dan bervariasi. Menurut
Kurniasih (1997) pada musim kawin jalak bali jantan lebih agresif dari pada jalak
bali betina.
c. Menjodohkan jalak bali
Jalak bali yang akan dijadikan induk, sebelumnya dilakukan tahap
penjodohan. Tujuan penjodohan adalah untuk membentuk pasangan agar dapat
terjadi perkawinan dan perkembangbiakan. Penangkaran SBF memiliki cara
tersendiri dalam menjodohkan jalak bali yaitu seminggu sebelum burung jalak
bali dimasukkan ke dalam kandang penjodohan maka kedua induk diberi extra
fooding (EF) dengan porsi lebih banyak daripada porsi sebelumnya, yakni dengan
pakan berupa jangkrik, ulat kandang dan kroto. Pakan yang diberikan ditingkatkan
menjadi 2 kali lipat pemberian pakan biasanya karena makanan hewani yang
mengandung protein tinggi dapat memacu birahi jalak bali. Penjodohan jalak bali
di penangkaran SBF dilakukan dengan dua cara, yakni: (1) penjodohan di dalam
sangkar gantung dan (2) penjodohan di dalam kandang permanen.
1. Penjodohan dalam sangkar gantung
Hasil wawancara dengan pengelola penangkaran SBF menunjukkan bahwa
penjodohan ini menggunakan sangkar gantung yakni dengan memasukkan
sepasang jalak bali (satu jantan dan satu betina) yang sudah dipilih pada saat
pemilihan bibit. Pasangan jalak bali yang sudah dimasukkan ke dalam kandang
akan oleh pengelola akan selalu dicek kondisinya apakah sudah menunjukkan ciriciri burung berjodoh yaitu jantan dan betina terlihat saling mendekat dan kicaunya
saling bersahutan. Ketika salah satu jalak bali terlihat menyerang maka pasangan
jalak bali akan digantikan dengan indukan lainnya. Fasilitas pada sangkar gantung
yaitu tempat makan, minum dan tenggeran. Penjodohan yang dilakukan dengan
sangkar gantung terhitung lama karena memerlukan waktu sekitar 3-4 minggu.
Hal ini diduga karena ukuran sangkar yang relatif kecil 70 cm x 40 cm x 40 cm
dan terbuat dari bahan utama yaitu bambu (Gambar 2). Selain itu, sangkar yang
hanya digantungkan dengan ketinggian sekitar 70 cm pada sudut ruangan yang
masih sering terlewati ataupun terlihat oleh manusia. Hal ini memungkinkan
7
tingkat konsentrasi sepasang jalak bali dalam proses penjodohan terganggu yang
mengakibatkan memerlukan waktu yang cukup lama. Sangkar gantung untuk
penjodohan yang terdapat di penangkaran SBF sangkar penjodohan dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar 2 Sangkar penjodohan
Proses penjodohan di dalam sangkar gantung di penangkaran SBF
menerapkan penjodohan dengan 3 cara yakni : (a) sepasang (satu jantan satu
betina), (b) dua betina satu jantan dan (c) dua pasang. Kandang penangkaran
dibedakan atas beberapa jenis dengan ukuran yang berbeda-beda (Masy’ud 2010).
2. Penjodohan dalam kandang permanen
Proses penjodohan di dalam kandang permanen dilakukan secara alami,
yakni menggabungkan jalak bali jantan dan betina yang telah dipilih pada proses
pemilihan bibit ke dalam satu kandang perjodohan. Kandang permanen yang
digunakan terbuat dari kawat, kayu, batako dan besi dengan ukuran panjang 1.5 m,
lebar 2 m dan tinggi 3 m. Fasilitas yang diberikan di dalam kandang permanen
yaitu, tenggeran, tempat makan, minum, tempat mandi serta tanaman palem.
Burung jalak bali yang ditempatkan dalam kandang permanen apabila berjodoh
akan menunjukkan ciri-ciri saling mendekat (burung yang sudah berjodoh ditandai
dengan adanya perilaku siap kawin jantan atau betina saling bercumbu rayu) dan
saling bersahutan mengeluarkan suara. Proses penjodohan dengan kandang
permanen lebih cepat yakni sekitar 5-7 hari atau sekitar 9.8% dari 1 kali periode
reproduksi selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di penangkaran SBF. Hal ini
dapat disebabkan kandang permanen memiliki ukuran kandang yang lebih luas
yang memberikan ruang gerak dan produktivitas yang lebih layak bagi jalak bali,
selain itu kandang permanen yang ada di SBF diletakkan di halaman bagian
belakang rumah yang memungkinkan jarang terlewati oleh manusia atau relatif
terhindar dari gangguan. Kamera cctv di dalam kandang permanen dipasang untuk
memantau indukan jalak bali, telur jalak bali dan membantu dalam pengamanan.
Selain itu, di kandang permanen juga terdapat serasah yang digunakan sebagai
bahan penyusun sarang. Bahan tersebut dimasukkan ke kotak sarang yang berada
2 meter dari lantai kadang dan sebagian lagi diletakkan di lantai kandang di
tempat yang kering. Hal ini sesuai dengan pendapat Setio dan Takandjandji
(2007) bahwa pemacuan perkembangbiakan burung dapat dilakukan dengan
menyediakan bahan sarang atau kotak sarang yang akan dipilih oleh burung untuk
8
bersarang. Kandang permanen untuk penjodohan yang terdapat di penangkaran
SBF Kandang penjodohan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Kandang penjodohan
d. Mengawinkan jalak bali
Jalak bali yang sudah berhasil dijodohkan akan dipindahkan ke kandang
reproduksi. Kandang reproduksi memiliki luas 3 m x 1.5 m x 2.5 m dengan
kontruksi dinding terbuat dari batako, atap terbuat dari asbes dan diberi sela
ditengah yang ditutupi dengan jaring besi, sedangkan pintu utama terbuat dari besi
tralis dengan ukuran 50 cm x 40 cm. Selain itu untuk memudahkan pengontrolan
terhadap telur jalak bali maka pada kotak sarang dibuat pintu dari luar yang
berukuran 15 cm x 15 cm yang terbuat dari besi tralis dan dilapisi dengan poly.
Jalak bali yang sudah berjodoh ditandai selalu berdua dengan pasangannya dan
berkicau sahut menyahut. Menurut Tomaszewska et al. (1991) proses prakawin
merupakan hubungan tingkah laku sosial berdasarkan jenis kelamin antara dua
individu. Suatu proses reproduksi pada burung terjadi melalui beberapa tahap
yaitu: (1) tahap fisiologi dimana seekor betina dalam keadaan siap kawin, (2)
tahap rangsangan seksual, jantan akan mendekati betina dengan cara yang agresif
dengan tujuan mencumbui betina dan (3) tahap kopulasi, terjadi pelepasan sel
telur. Proses perkawinan jalak bali menurut pengelola penangkaran SBF biasanya
terjadi pada siang dan sore hari namun bisa juga terjadi pada pagi hari dengan
kisaran 1-3 kali dalam sehari atau sekitar 2.0% dari 1 kali periode reproduksi
selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di penangkaran SBF. Sekitar 1 minggu
setelah kawin, kedua induk mengangkut bahan sarang di lantai kandang dan
membawanya ke kotak sarang, proses mengangkut dan membawa bahan sarang di
penangkaran SBF berlangsung selama 7 hari atau sekitar 13.7% dari 1 kali periode
reproduksi selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di penangkaran SBF. Induk
betina akan bertelur 2-4 butir, dengan masa bertelur selama 2 hari atau sekitar
4.0% dari 1 kali periode reproduksi selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di
penangkaran SBF.
Jalak bali betina mengeluarkan satu telur per hari dan terus berlanjut hingga
jumlah telur di tubuhnya habis. Proses mengeluarkan telur biasanya terjadi pada
pagi hari yakni sekitar pukul 08.00-10.00 WIB. Proses kemudian dilanjutkan
dengan mengerami telur selama 14 hari hingga menetas atau sekitar 27.5% dari 1
kali periode reproduksi selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di penangkaran
9
SBF. Pengeraman telur dilakukan pada waktu hari pertama mengeluarkan telur
dengan frekuensi pengeraman paling banyak dilakukan oleh jalak bali betina.
Menurut Masy’ud (2010) dalam proses perkawinan intensitas perawatan
kandang harus dikurangi dan faktor-faktor gangguan sedapat mungkin harus
dihindari karena jika terdapat gangguan, pasangan jalak bali seringkali
memperlihatkan sifat tidak mau bertelur, enggan mengerami telur atau bahkan
kanibalisme. Penetasan telur terjadi selama 2 hari atau sekitar 2.0% dari 1 kali
periode reproduksi selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di penangkaran SBF.
Proses pembesaran piyik di Penangkaran SBF dilakukan dengan cara pengelola
mengambil piyik yang telah berumur 6–7 hari setelah menetas atau sekitar 11.8%
dari 1 kali periode reproduksi selama 50 hari yang dilakukan jalak bali di
penangkaran SBF, kemudian dipindahkan ke inkubator. Masa sapih merupakan
usaha pemisahan anakan burung dari induknya guna dirawat secara intensif oleh
peternak.
Tujuan penyapihan memberikan kesempatan kepada indukan untuk bertelur
lagi, supaya lebih produktif. Masa sapih jalak bali di penangkaran SBF biasanya
selama 15 hari atau sekitar 29.5% dari 1 kali periode reproduksi selama 50 hari
yang dilakukan jalak bali di penangkaran SBF. Menurut Masy’ud (2010) dengan
mempercepat usia sapih anak, pada dasarnya dapat mempercepat induk untuk
bertelur kembali, namun cara ini perlu dilakukan dengan hati-hati, agar tidak
menimbulkan resiko stres baik kepada induk maupun anaknya. Penangkaran SBF
menerapkan pemberian pakan telur matang (sudah direbus) yang bergizi dan
seimbang pada sepasang jalak bali yang telah melakukan penetasan untuk
merangsang agar indukan bertelur lagi.
Selain itu sepasang jalak bali juga diberikan pakan hewani berupa ulat
kandang, jangkrik dan kroto. Porsi jangkrik untuk setiap induk 15 ekor sehari,
diberikan pagi dan sore hari, ulat kandang sebanyak 15 gr dan kroto sebanyak 10
gr untuk sepasang jalak bali. Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola di
penangkaran SBF, dalam satu tahun burung jalak bali dapat bertelur sampai 8 kali
dalam setahun, dengan 2-4 butir setiap kali bertelur, lama pengeraman telur 14-16
hari, dan anak yang dapat hidup sampai dewasa 1-2 ekor. Artinya dalam satu
tahun setiap induk betina dapat menghasilkan anakan sedikitnya 8 ekor.
Tingkat keberhasilan reproduksi burung jalak bali
Reproduksi merupakan kunci keberhasilan dalam penangkaran untuk
meningkatkan populasi dan produktivitas. Pengetahuan tentang biologi dan
perilaku reproduksi jenis satwa yang ditangkarkan sangat penting karena dapat
memberikan arah pada tindakan manajemen yang diperlukan guna menghasilkan
produksi satwa yang ditangkarkan sesuai harapan. Beberapa aspek terkait
keberhasilan reproduksi yang penting untuk diperhatikan dalam penangkaran
antara lain tingkat daya tetas telur, perkembangbiakan induk, angka kematian
piyik dan pembesaran piyik.
1. Tingkat perkembangbiakan induk, daya tetas telur dan angka kematian piyik
jalak bali.
Dalam suatu usaha penangkaran, khususnya penangkaran jalak bali
keberhasilan dalam mengembangbiakkan jalak bali hingga memperoleh bibit yang
baru adalah hal yang mutlak untuk diperoleh apabila penangkaran tersebut ingin
terus berjalan. Jalak bali yang ditangkarkan oleh suatu penangkaran harus sehat
10
dan tidak cacat, karena akan berakibat pada kualitas jalak bali dan bibit jalak bali
yang dihasilkannya.Tingkat keberhasilan perkembangbiakan jalak bali di SBF
dilihat dari tingkat daya tetas telur, perkembangbiakan induk jalak bali dan angka
kematian piyik dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Persentase dan kriteria tingkat perkembangbiakan induk, daya tetas telur
dan angka kematian jalak bali di SBF
No
Tahun
1
2
3
4
5
Rata-rata (%)
Kriteria
2009
2010
2011
2012
2013
Perkembangbiakan
induk jalak bali (%)
45.45
50.00
52
57.14
68.75
54.68
Sedang
Daya tetas telur
(%)
50
50
50
50
50
50
Sedang
Angka
kematian (%)
33.33
23.52
21.05
19.23
12.12
21.85
Rendah
Berdasarkan hasil perhitungan persentase tingkat keberhasilan penangkaran
jalak bali selama lima tahun terakhir diketahui bahwa rata-rata persentase daya
tetas telur tergolong dalam kriteria sedang sebanyak 50.00% yaitu jumlah total
telur yang mampu dihasilkan oleh satu induk jalak bali setiap satu kali reproduksi
sebanyak 2–4 butir telur dan yang berhasil ditetaskan sebanyak 1–2 butir telur.
Rata-rata persentase tingkat perkembangbiakan induk sebesar 54.68% tergolong
dalam kriteria sedang. Penambahan indukan jalak bali yang mampu
berkembangbiak
diharapkan
dapat
menaikkan
nilai
dari
tingkat
perkembangbiakan menjadi tinggi. Aspek teknis yang terkait dengan faktor
penentu keberhasilan jalak bali di penangkaran juga harus diperhatikan, yakni
kandang. Kandang yang sesuai dengan fungsi dan kegunaannya sebaiknya
disesuaikan dengan habitat alaminya. Selain kandang, juga perlu diperhatikan
adalah pakan. Pakan yang diberikan harus sesuai dan memiliki kandungan gizi
yang dibutuhkan oleh burung. Angka kematian anak (piyik) sebesar 21.85% yaitu
total anak yang mati tiap kelas umur dibagi dengan total anak keseluruhan tiap
kelas umur. Angka kematian piyik di SBF ini tergolong rendah karena pada saat
umur piyik sekitar 6–7 hari telah dipisahkan agar mencegah kematian piyik akibat
dipatuk oleh induknya.
Menurut Masy’ud (2010) dalam menangkarkan jalak bali diperlukan
lingkungan tempat penangkaran yang harus cocok secara teknis biologis serta
harus nyaman dan aman dari berbagai faktor pengganggu termasuk dari gangguan
aktivitas manusia dan terhindar dari kemungkinan banjir atau tergenangnya air
pada waktu musim hujan. Artinya, perlu diperhatikan faktor yang berpengaruh
terhadap perubahan pola reproduksi di penangkaran. Faktor yang mempengaruhi
dalam penangkaran yaitu pakan, kandang dan kesehatan. Faktor makanan
terutama yang berkaitan dengan kontinuitas ketersediaan pakan (energi) untuk
memenuhi kebutuhan reproduksinya. Luas kandang selain mempengaruhi ruang
gerak seluruh aktivitas burung di penangkaran, juga membawa implikasi pada
efisiensi pemanfaatan energi yang relatif tinggi, sehingga ketersediaan energi
11
tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok secara optimal juga dapat
digunakan untuk menunjang proses reproduksi.
Perawatan kesehatan dan pengobatan penyakit juga berpengaruh terhadap
tingkat keberhasilan reproduksi jalak bali. Kondisi kesehatan dipantau secara baik
dan lebih dini sehingga ketika terlihat ada gejala penyakit maka selalu dan segera
diambil tindakan untuk menghindari kematian dan meluasnya penyakit. Kesehatan
jalak bali di penangkaran dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kondisi
lingkungan pemeliharaan, makanan, pola manajemen, bibit penyakit dan kelainankelainan metabolisme.
1. Pembesaran anak burung jalak bali (piyik)
Hasil pengamatan di penangkaran SBF diketahui bahwa, pemeliharaan piyik
dilakukan dengan metode hand rearing karena memberi keuntungan ditinjau dari
aspek reproduksi. Hand rearing adalah proses penanganan piyik dengan cara
memisahkan atau mengambil piyik dari induknya untuk kemudian dipelihara dan
dibesarkan oleh penangkar secara lebih intensif sampai burung bisa dianggap
mandiri. Pemisahan piyik dari induknya dilakukan pada saat mata piyik belum
terbuka, selanjutnya piyik dimasukkan ke dalam box inkubator. Inkubator yang
terdapat di SBF berjumlah tiga unit dengan bahan konstruksi terbuat dari seng dan
papan, berukuran panjang 100 cm, lebar 50 cm dan tinggi 45 cm. Inkubator
tersebut berfungsi untuk membesarkan anakan jalak bali. Inkubator yang berada di
SBF dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Inkubator di SBF
Pakan yang diberikan pada piyik yang berusia dibawah 1 minggu terdiri dari
kroto dan bagian perut dari jangkrik kecil (kepala dan kaki dipotong). Sebelum
diberikan, pakan dicelupkan terlebih dahulu ke dalam air bersih. Setelah piyik
berusia di atas 1 minggu, pemberian pakan ditambahkan dengan voer halus. Voer
halus/lembut dibuat dengan terlebih dulu dibasahi air dan diaduk sampai merata.
Anakan umur 1–2 minggu diberikan pakan tambahan kroto dan /atau perut
jangkrik ke dalam adonan voer. Adonan yang dibuat tidak boleh terlalu kental,
agar burung mudah menelannya. Porsi pakan yang dibuat memiliki takaran air
lebih banyak daripada voer, pemberian pakan ini dilakukan setiap 1 jam sampai
piyik berumur 2 minggu. Memasuki umur 15–24 hari adonan voer dibuat lebih
kental, porsi voer lebih banyak dari pada air. Pengelola juga terkadang
menambahkan BirdVit ke dalam adonan pakan agar kondisi anak burung selalu fit
12
dan pertumbuhannya cepat. Anakan umur 25–30 hari sudah mampu mengambil
pakan sendiri. Pakan kering berupa voer disediakan di dalam inkubator namun
pemberian pakan dengan cara diloloh masih dilakukan. Pemberian pakan pada
usia 15-30 hari dilakukan selang 2 jam dari pemberian pakan sebelumnya. Saat
anakan memasuki usia > 30 hari dipindahkan ke sangkar harian dan tidak perlu
lagi menggunakan inkubator, di dalam kandang ini disiapkan pakan voer agar
burung mengambil pakan sendiri.
Pemberian pakan pada anakan jalak bali di penangkaran SBF tidak memiliki
takaran yang tepat karena pengelola mengasumsikan jika pada saat pemberian
pakan (diloloh) mulut anakan jalak bali tidak terbuka lagi maka menandakan
anakan sudah kenyang. Pemberian pakan dengan cara diloloh menggunakan
sumpit bikinan sendiri yang terbuat dari bambu. Kondisi piyik yang sedang diberi
pakan menggunakan sumpit dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Piyik yang sedang membuka paruh saat menerima makanan
Perilaku Perkembangbiakan Burung Jalak Bali (Leucopsar rotschildi)
Perilaku satwa merupakan ekspresi satwa terhadap faktor internal dan
eksternal yang dilakukan sebagai suatu respon dari tubuh terhadap rangsangan
dari lingkungannya (Suratmo 1979). Fungsi dari perilaku adalah untuk
menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan yang dipengaruhi oleh faktor luar
dan faktor dalam (Alikodra 2002). Tahapan perilaku yang dialami dalam
perkembangbiakan burung jalak bali meliputi perilaku berpasangan (jodoh),
perilaku kawin dan perilaku bertelur yang dijelaskan sebagai berikut :
1. Perilaku berpasangan (jodoh)
Selama proses penjodohan pemantauan dilakukan secara rutin. Tanda-tanda
dari proses penjodohan dikatakan sukses apabila pasangan indukan sering
berduaan dan kejar-kejaran, sebagai indikasi burung dalam kondisi birahi. Tidak
jarang pasangan indukan yang dijodohkan akan saling serang. Jika hal ini terjadi
maka pengelola penangkaran melakukan pemisahan indukan tersebut dan
mengganti dengan indukan yang lain. Sebaliknya apabila kondisi kedua burung
terlihat rukun sampai dengan waktu 5 hari, maka dilanjutkan ke proses berikutnya,
yaitu burung jantan dan betina disatukan dalam kandang. Kandang penangkaran
bagi burung yang sudah berjodoh dipersiapkan sebelumnya, terutama tempat
bersarangnya. Bahan sarang menggunakan daun pinus kering, sebagian sudah
disusun dalam sarang dan sebagian lagi disebarkan di lantai kandang, dan
13
biasanya akan dipungut indukan dan dibawa ke sarangnya saat memasuki masa
reproduksinya.
Hasil pengamatan, menunjukkan perilaku jalak bali yang jodoh ditandai
dengan adanya perilaku bersuara sepanjang hari dan perilaku saling dekat, juga
menunjukkan perilaku tidur berdekatan. Lamanya proses penjodohan ini
dilakukan selama 5 hari dengan tanda-tanda bersuara pada jantan dan betina sudah
terlihat serta diikuti dengan perilaku saling dekat. Menurut Masy’ud (2010) calon
indukan yang sudah berjodoh dan memasuki masa birahi akan ditandai dengan
perilaku :
a. Bersuara/berkicau sepanjang hari
Bersuara/berkicau dilakukan dengan menegakan kepala diikuti dengan
membuka paruh dan mengeluarkan suara. Menurut Rianti (2012)
bersuara/berkicau dilakukan untuk mempertahankan diri serta memikat betina
dalam proses prakawin.
b. Saling dekat
Perilaku bersuara/berkicau sepanjang hari yang diikuti dengan aktivitas
saling dekat yang dilakukan oleh jalak bali jantan dan jalak bali betina
menandakan jalak bali tersebut sudah terbentuk pasangan atau sudah berjodoh
(Masy’ud 2010). Aktivitas saling dekat yang dilakukan oleh jalak bali biasanya
diakhiri dengan kegiatan menelisik tubuh pasangannya. Selain itu, menurut
Dimitra (2011) aktivitas saling dekat dilakukan untuk menjaga salah satu
pasangannya dari pengganggu, membersihkan tubuh pasangannya, melakukan
aktivitas istirahat maupun berjemur bersama.
2. Perilaku kawin
Hasil pengamatan terhadap perilaku kawin pada burung jalak bali, dari
keseluruhan rangkaian perilaku (Alcock 1989) dapat dibedakan ke dalam tiga
tahap (fase) yakni pra kopulasi, kopulasi dan pasca kopulasi.
a. Perilaku pra kopulasi
Perilaku pra kopulasi adalah perilaku yang dilakukan sebelum kopulasi.
Tujuan perilaku ini adalah untuk menarik pasangannya agar siap/mau melakukan
kopulasi. Menurut Fraser (1980) dalam melakukan proses prakawin burung jantan
akan memberikan isyarat melalui stimulus auditori yaitu jantan akan
menggunakan kicauan suara yang indah dan berikutnya yaitu stimulus fisual yaitu
burung mrenunjukkan tarian dan menampilkan keindahan bulunya. Perilaku
menarik pasangan yang merupakan perilaku pra kopulasi ini biasanya dilakukan
dengan cara :
1. Perilaku bersuara secara berulang
Perilaku bersuara secara berulang merupakan perilaku yang juga dilakukan
pada proses penjodohan. Pada perilaku pra kopulasi ini burung jantan maupun
betina juga mengeluarkan suara yang bersifat khas dan lazim dikenal sebagai
suara seksual (sexual calling–sexual vocal). Betina yang sudah siap juga tampak
intensif keluar masuk sarang atau belajar diam sesaat di dalam sarang untuk
mengenal sarangnya sambil mengeluarkan suara khas “wuudtuk” secara berulang.
Menurut Fitri (2012) dan Fraser (1980) diacu dalam Rianti (2010), suara
yang dikeluarkan oleh burung pada dasarnya untuk mempertahankan diri dari
predator serta untuk memikat betina dalam proses pra kawin. Berdasarkan hasil
pengamatan yang dilakukan di penangkaran SBF, perilaku bersuara juga dapat
membedakan antara jalak bali jantan dan betina. Gerakan pada jalak bali jantan
14
lebih agresif dan bila berdekatan, seolah-olah ingin menyerang. Bila berkicau
bersama, bulu kepala atau jambul mengembang lebih besar dan tinggi.
Saat jalak bali jantan menegakkan kepala dan membusungkan dadanya
seakan-akan menantang dan kelihatan pemberani. Pada jalak bali betina gerakan
dan tingkah laku lebih lembut, bulu kepalanya bila mengembang lebih pendek dan
kelihatan agak ramping, gerakan ketika berkicau bersama sambil menari lebih
halus. Suara kicuan juga dapat membedakan antara jalak bali jantan dan betina.
Suara kicauan pada jalak bali jantan lebih keras dan lebih banyak variasi, bila
berkicau biasanya memulai lebih dulu dan ketika bersama-sama berkicau seakan
burung jantan memimpin kicauan, sedangkan pada jalak bali betina suara kicauan
lebih lembut, variasi kicauannya terbatas, bila berkicau bersama (kreasi) jalak
bali betina selalu mengikuti irama kicauan jalak bali jantan.
Jalak bali jantan melakukan perilaku bersuara/berkicau sebanyak 18.83
menit atau sekitar 2.62% dari waktu pengamatan, sedangkan jalak bali betina
melakukan perilaku bersuara/berkicau sebanyak 8.22 menit atau sekitar 1.14%
dari waktu pengamatan. Frekuensi dan durasi perilaku bersuara pra kopulasi pada
burung jalak bali selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 6.
Frekuensi
Frekuensi Perilaku Bersuara
30
25
20
15
10
5
0
Jantan
Betina
Waktu
a)
Durasi (menit)
Durasi Perilaku Bersuara
10
8
6
4
2
0
b)
Jantan
Betina
Waktu
Gambar 6 Frekuensi (a) dan durasi (b) perilaku bersuara burung jalak bali pra
kopulasi
Masy’ud (2010) menyatakan bahwa jalak bali betina kicauannya kurang
rajin dan kurang bervariasi serta volume suaranya lebih kecil dibandingkan
dengan jalak bali jantan yang memiliki kicauan yang rajin, volume suara yang
15
lebih besar dan bervariasi. Perilaku bersuara/berkicau sepanjang hari yang
dilakukan oleh burung jantan maupun burung betina yang diikuti dengan perilaku
saling mendekat merupakan perilaku yang menandakan bahwa indukan sudah
berjodoh dan memasuki masa birahi.
Perilaku bersuara yang dilakukan oleh burung jalak bali jantan pada pagi
hari dilakukan dengan frekuensi yang sering (18-24 kali) dan durasi yang lebih
panjang (6-9 detik), sedangkan pada burung jalak bali betina frekuensinya lebih
sedikit (12-14 kali) dan durasi yang agak pendek (6-8 detik). Perilaku ini mulai
berkurang pada saat hari beranjak siang baik pada burung jalak bali jantan dengan
frekuensi 8-17 kali dan durasi 3-8 detik maupun pada burung betina frekuensinya
3-8 kali dan durasi 4-8 detik. Saat menjelang sore hari perilaku bersuara/berkicau
ini dengan frekuensi yang sering kembali dilakukan yakni 12-19 kali pada burung
jantan dan durasi yang panjang 2-8 detik, sedangkan pada burung betina
frekuensinya lebih sedikit dibanding dengan jantan yakni hanya 3-7 kali dengan
durasi 3-6 detik.
b. Perilaku saling dekat
Seperti halnya pada proses penjodohan burung yang sejodoh dapat dilihat
dari perilaku saling mendekati, perilaku mendekati betina juga merupakan bagian
dari perilaku kawin karena sebelum melakukan perkawinan terlebih dahulu
burung jantan melakukan pendekatan dengan betina sambil mengangguk
anggukkan kepala dan mengeluarkan suara. Proses ini terjadi berulang sampai
jalak bali betina memperlihatkan gejala birahi. Burung betina yang terlihat mulai
cocok dan siap kawin, tampak diam jika pejantan mulai mendekati, mencumbui
dan belajar menungganginya, serta memberikan respons siap dikawini. Burung
betina yang belum siap secara fisiologis biasanya selalu terbang
menghindar/menjauh jika didekati atau dicumbu oleh pejantan. Perilaku saling
dekat yang dilakukan oleh jalak bali pra kopulasi ini biasanya diakhiri dengan
kegiatan menelisik tubuh pasangannya. Berdasarkan hasil pengamatan aktivitas
saling dekat dilakukan jalak bali di kayu tenggeran.
Jalak bali jantan melakukan perilaku saling dekat selama 26.63 menit atau
sekitar 3.70% dari waktu pengamatan sedangkan jalak bali betina melakukan
perilaku saling dekat selama 28.60 menit atau sekitar 4.87% dari waktu
pengamatan. Hasil pengamatan yang dilakukan di penangkaran SBF menunjukkan
perilaku saling dekat lebih banyak dilakukan oleh jalak bali betina, kemungkinan
disebabkan gejala birahi pada jalak bali betina lebih cepat daripada jalak bali
jantan. Selain itu aktivitas saling dekat dilakukan untuk menjaga salah satu
pasangannya dari pengganggu (Dimitra 2011). Perilaku saling dekat yang
dilakukan oleh burung jalak bali jantan pada pagi hari dilakukan dengan frekuensi
yang sedikit (1-2 kali) tapi dengan durasi yang lebih panjang (19-40 detik),
demikian pula halnya dengan burung jalak bali betina, perilaku saling dekat juga
dilakukan dengan fekuensi lebih sedikit (1-2 kali) dan durasi yang agak panjang
(32-38 detik). Perilaku ini lebih sering dilakukan pada saat hari beranjak siang
baik pada burung jalak bali jantan dengan frekuensi 3-12 kali dan durasi 25-38
detik maupun pada burung betina frekuensinya 3-14 kali dan durasi 18-30 detik.
Saat menjelang sore hari perilaku saling dekat tetap dilakukan oleh burung jalak
bali jantan maupun betina dengan frekuensi 5-12 kali pada burung jantan dan
durasi yang panjang (23-52 detik), sedangkan pada burung betina frekuensinya
lebih sering dibanding dengan jantan yakni 6-14 kali dengan durasi yang lebih
16
pendek (14-25 detik). Frekuensi dan durasi perilaku saling dekat burung jalak bali
selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 7.
Frekuensi
Frekuensi Perilaku Saling Dekat
15
10
5
Jantan
0
Betina
a)
Waktu
Durasi (menit)
Durasi Perilaku Saling Dekat
b)
50
40
30
20
10
0
Jantan
Betina
Waktu
Gambar 7 Frekuensi (a) dan durasi (b) perilaku saling dekat antara jantan dan
betina jalak bali pra kopulasi
c. Perilaku jantan menelisik bulu atau mematuk-matuk betina
Prilaku kopulasi lain yang ditunjukan adalah aktivitas saling menelisik
tubuh, yakni aktivitas yang dilakukan oleh burung jantan setelah terjadi
pendekatan terhadap burung betina. Aktivitas ini dilakukan dengan cara saling
membersihkan bulu-bulu kepala dan leher menggunakan paruh. Menelisik
membantu burung untuk mengeluarkan benda-benda asing yang menempel di
antara bulu-bulunya serta merapikan kembali yang kusut (Rekapermana et al.
2006). Aktivitas saling menelisik tubuh dilakukan oleh jalak bali yang telah
masuk ke dalam musim kawin.
Gejala birahi yang ditunjukkan dari perilaku pasangan jalak bali jantan dan
betina akan dimulai dengan mencumbu betina dengan cara mematuk-matuk pelan
kepala betina, menisik-nisik (membelai) bulu-bulu bagian belakang dengan
menggunakan paruh dan kadang-kadang mematuk-matuk kaki betina dengan hatihati, seakan-akan mengatur posisi/kedudukan betina.
Hasil pengamatan didapatkan bahwa jalak bali jantan melakukan perilaku
saling menelisik tubuh selama 28.90 menit (4.01%) dari waktu pengamatan
sedangkan jalak bali betina melakukan aktivitas saling menelisik tubuh selama
12.75 menit (1.77%). Aktivitas saling menelisik tubuh lebih banyak dilakukan
oleh jalak bali jantan sebagaimana pernyataan Kurniasih (1997) bahwa pada
musim berbiak jalak bali jantan lebih agresif dari pada jalak bali betina. Frekuensi
17
dan durasi perilaku saling menelisik bulu burung jalak bali selama pengamatan
dapat dilihat pada Gambar 8.
Frekuensi
Frekuensi Perilaku Saling Menelisik Bulu
30
20
10
0
Jantan
Betina
a)
Waktu
Durasi (menit)
Durasi Perilaku Saling Menelisik Bulu
15
10
5
0
b)
Jantan
Betina
Waktu
Gambar 8 Frekuensi (a) dan durasi (b) perilaku saling menelisik bulu antara
jantan dam betina pra kopulasi
Pada Gambar 8 menunjukkan bahwa perilaku saling menelisik bulu yang
dilakukan oleh burung jalak bali jantan pada pagi hari dilakukan dengan frekuensi
yang sedikit (8-16 kali) dan durasi 5-7 detik dan pada burung jalak bali betina
frekuensinya 5-7 kali dengan durasi 5-6 detik. Bila dibandingkan dengan perilaku
menjelang siang hari frekuensinya lebih sering dilakukan dengan durasi yang juga
agak lama yakni pada burung jantan 18-26 kali dengan durasi 6-10 detik dan pada
burung jalak bali betina frekuensi sebanyak 6-10 kali dengan durasi 5-8 detik.
Saat menjelang sore hari perilaku saling menelisik bulu ini tetap dilakukan dengan
frekuensi 17-21 kali dan durasi 6-12 detik pada burung jantan, sedangkan pada
burung betina frekuensinya lebih sedikit dibanding dengan jantan yakni hanya 612 kali dengan durasi 3-10 detik. Berikut perilaku pada saat fase pra kopulasi
jalak bali di penangkaran SBF dapat dilihat pada Gambar 9.
(a)
(b)
(c)
Gambar 9 Perilaku bersuara (a) saling dekat (b) dan saling menelisik tubuh (c)
18
Perilaku pra kopulasi ini dapat berlangsung singkat (beberapa jam) sampai
beberapa hari (2–3 hari) bahkan kadang-kadang mencapai satu minggu atau lebih,
tergantung tingkat kematangan dan kesiapan fisiologis dari burung betina.
Frekuensi penunggangan bisa terjadi beberapa kali (3–4 kali bahkan lebih).
Keseluruhan rangkaian perilaku pra kopulasi tersebut pada dasarnya bertujuan
untuk mempertinggi efektivitas pertemuan sperma dan sel telur atau
memungkinkan agar perkawinan yang terjadi dapat berhasil dan efektif
menghasilkan keturunan. Perilaku pra kopulasi pada dasarnya berfungsi sebagai
proses sinkronisasi kondisi fisiologis diantara pejantan dan betina agar proses
kopulasi dapat berlangsung optimal dan efektif, dalam hal ini faktor penting
adalah kondisi hormonal seks di dalam tubuh satwa jantan dan betina. Menurut
T