Hubungan Antara Hambatan Partisipasi Masyarakat Dengan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Wisata Gunung Bromo, Jawa Timur

(1)

HUBUNGAN ANTARA HAMBATAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DENGAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN

WISATA GUNUNG BROMO, JAWA TIMUR

EKA DESI YULIA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Hambatan Partisipasi Masyarakat dengan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Wisata Gunung Bromo, Jawa Timur” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing skripsi dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016 Eka Desi Yulia NIM I34110043


(4)

(5)

ABSTRAK

EKA DESI YULIA. Hubungan Antara Hambatan Partisipasi Masyarakat Dengan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Wisata Gunung Bromo, Jawa Timur. Dibawah bimbingan RATRI VIRIANITA

Pemerintah Indonesia terus menggencarkan pengembangan kawasan wisata di berbagai daerah sebagai salah satu sektor yang dapat mendatangkan devisa bagi negara. Peran (partisipasi) yang diberikan oleh berbagai pihak menjadi hal yang penting terutama bagi masyarakat sekitar kawasan wisata. Berbagai macam bentuk partisipasi tidak terlepas dari beberapa keterbatasan meliputi hambatan operasional, struktural, dan kultural. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk partisipasi masyarakat dan hambatan partisipasi yang dirasakan oleh masyarakat dalam pengelolaan wisata, serta menganalisis hubungan antara hambatan partisipasi dengan efektivitas pengelolaan kawasan wisata. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan kuisioner sebagai alat pengumpul data dan didukung dengan data hasil wawancara mendalam. Jumlah sampel sebanyak 50 rumah tangga dipilih secara sengaja. Hasil penelitian menunjukkan adanya keragaman dalam bentuk partisipasi masyarakat dan hambatan partisipasi yang dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan wisata, serta menunjukkan adanya hubungan nyata yang kuat antara hambatan kultural dengan efektivitas pengelolaan wisata di Kawasan Wisata Gunung Bromo.

Kata Kunci: Bentuk partisipasi, hambatan partisipasi, partisipasi masyarakat, efektivitas, pengelolaan wisata.

ABSTRACT

EKA DESI YULIA. Correlation between Communities Participation Barriers and Effectiveness of Tourism Management in Bromo Mount, East Java. Supervised by RATRI VIRIANITA

The Government Republic of Indonesia continues improve tourism development in various regions. Tourism is one of the sectors that can increase the GDP‟s of country. Participation provided by various parties become important essential around the tourism areas. Various forms of participation can not be excluded from some limitations, such as operational, structural and cultural constraints. The study aimed to describe the forms of community participation and barriers of community participation in tourism management, and to analyze the correlation between the barriers of community participation and the effectiveness of tourism management. Survey method was conducted by data using questionnaires to collect data which was supported by in-depth interview. The study involved 50 households which were selected by purposively. The results showed diverse forms of community participation and barriers of community participation in tourism areas. It also showed that cultural barriers correlated to the effectiveness of tourism management in the tourism area of Mount Bromo.

Keywords: Forms of participation, barriers of participation, community participation, effectiveness management of tourism, Bromo Tengger Semeru National Park


(6)

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

HUBUNGAN ANTARA HAMBATAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DENGAN EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN

WISATA GUNUNG BROMO, JAWA TIMUR

EKA DESI YULIA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(8)

(9)

(10)

(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-hidayat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Hambatan Partisipasi Masyarakat dengan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Wisata Gunung Bromo, Jawa Timur” dengan baik. Penelitian yang dilakukan sejak bulan Januari 2015 dari mulai proses penyusunan proposal, pengambilan data dilapang, hingga hasil dari pengolahan data dengan mengangkat tema hambatan partisipasi masyarakat dengan efektivitas pengelolaan kawasan wisata dengan lokasi penelitian yaitu wisata Gunung Bromo, Jawa Timur.

Penulis menyadari bahwa dalam proses pembuatan skripsi ini tidak lepas dari kontribusi dan dukungan dari semua pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ratri Virianita SSos, MSi yang telah membimbing, dan memberikan masukan dan saran selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tercinta Ibunda Yuliati, Ayahanda Marguno, kedua adik tercinta serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan, motivasi dan doa yang tak terbatas kepada penulis hingga mampu menjalani banyak hal sampai tahapan ini. Selain itu juga kepada Direktorat Pendidikan Tinggi dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa Bidik Misi sebagai penunjang perkuliahan serta Direktorat Kemahasiswaan Institut Pertanian Bogor yang telah membantu proses kelancaran administrasi perkuliahan. Terima kasih juga kepada seluruh masyarakat Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, dan Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru wilayah 1 (Probolinggo) Kabupaten Probolinggo atas partisipasinya menjadi bagian dari dalam isi skripsi ini.

Tidak lupa penulis juga sampaikan kepada rekan-rekan Gentra Kaheman (2012-2013) yang telah memberi pelajaran seni dan budaya baik sunda maupun nusantara yang membuat penulis dapat berprestasi di bidang ini. Sahabat-sahabat penulis di kampus kelas B KPM (Farah, DJ, Nita), dan seluruh rekan-rekan SKPM angkatan 48, rekan-rekan Forum Mahasiswa Probolinggo (FMP) serta teman-teman Kos Gadis, dan sahabat-sahabat GST yang tak bisa saya sebutkan satu persatu, yang telah menjadi teman seperjuangan dalam menjalani keseharian dan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi, dukungan, dan doa kepada penulis selama ini.

Penulis berharap skripsi ini mampu memberikan manfaat dan sumbangsih terhadap khazanah ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2016


(12)

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Masalah Penelitian 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka 5

Definisi Kawasan Wisata 5

Konsep Pengembangan Wisata 6

Efektivitas Pengelolaan Kawasan Wisata 6

Definisi Partisipasi Masyarakat 8

Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Wisata 10 Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Wisata 11 Faktor Internal dan Eksternal dalam Partisipasi 13

Hambatan dalam Partisipasi Masyarakat 13

Kerangka Pemikiran 15

Hipotesis Penelitian 17

Definisi Operasional 17

PENDEKATAN LAPANG 21

Metode Penelitian 21

Lokasi Dan Waktu 21

Teknik Pemilihan Responden dan Informan 21

Teknik Pengumpulan Data 22

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 23

GAMBARAN UMUM DESA NGADISARI DAN 25

KAWASAN WISATA GUNUNG BROMO 25

Profil Desa Ngadisari 25

Kondisi Geografis 25

Kondisi Sosial 26

Kondisi Ekonomi 27

Profil Kawasan Wisata Gunung Bromo Tengger Semeru 28 Daya Tarik Kawasan Wisata Gunung Bromo (TNBTS) 30

KARAKTERISTIK RESPONDEN 36

KERAGAMAN BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT 42

DESA NGADISARI DALAM PENGELOLAAN 42


(14)

HAMBATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN

KAWASAN WISATA GUNUNG BROMO (KWGB) 47

Hambatan Operasional 47

Hambatan Struktural 48

Hambatan Kultural 50

Nilai Total Hambatan Partisipasi 52

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN WISATA GUNUNG BROMO

(KWGB) 54

HUBUNGAN ANTARA HAMBATAN PARTISIPASI DENGAN

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN KAWASAN WISATA GUNUNG BROMO 58 Hubungan Hambatan Operasional dengan Efektivitas Pengelolaan 59

Kawasan Wisata Gunung Bromo 59

Hubungan Hambatan Struktural dengan Efektivitas Pengelolaan 60

Kawasan Wisata Gunung Bromo 60

Hubungan Hambatan Kultural dengan Efektivitas Pengelolaan 61

Kawasan Wisata Gunung Bromo 61

Hubungan Hambatan Partisipasi dengan Efektivitas Pengelolaan 62

Kawasan Wisata Gunung Bromo 62

SIMPULAN DAN SARAN 64

Simpulan 64

Saran 65

DAFTAR PUSTAKA 67


(15)

DAFTAR TABEL

1. Perbandingan definisi partisipasi masyarakat 9

2. Metode Pengumpulan Data 23

3. Uji reliabilitas statistik 23

4. Batas-batas Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten

Probolinggo 25

5. Luas wilayah berdasarkan penggunaan lahan/tanah di Desa Ngadisari

Tahun 2015 26

6. Jumlah penduduk Desa Ngadisari berdasakan kelompok usia 27 7. Jumlah penduduk Desa Ngadisari menurut jenis pekerjaan dan mata

pencaharian 28

8. Jumlah Hasil Pertanian Masyarakat Desa Ngadisari 28 9. Daftar nama tempat objek wisata yang menjadi daya tarik kawasan

wisata Gunung Bromo di jalur Cemorolawang (Probolinggo) 30 10. Jumlah dan persentase berdasarkan dusun tinggal responden 36 11. Jumlah dan persentase berdasarkan jenis kelamin responden 37 12. Jumlah dan persentase berdasarkan usia responden 37 13. Jumlah dan persentase jenjang atau tingkat pendidikan terakhir responde 38 14. Jumlah dan persentase jenis pekerjaan tetap responden 39 15. Jumlah dan persentase jenis pekerjaan sampingan responden 39 16. Jumlah dan persentase jumlah tanggungan keluarga responden 40 17. Jumlah dan persentase hasil pendapatan responden 40 18. Keragaman bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Kawasan

Wisata Gunung Bromo (KWBGB) dari jumlah pilihan terbanyak 43 19. Hasil rataan skor hambatan operasional yang dirasakan oleh masyarakat

Desa Ngadisari, 2015 47

20. Hasil rataan skor hambatan struktural yang dirasakan oleh masyarakat

Desa Ngadisari, 2015 49

21. Hasil rataan skor hambatan kultural yang dirasakan oleh masyarakat

Desa Ngadisari, 2015 51

22. Hasil rataan skor total hambatan partisipasi yang dirasakan oleh

masyarakat Desa Ngadisari, 2015 52

23. Hasil rataan skor efektivitas pengelolaan Kawasan Wisata Gunung

Bromo (KWGB) 55

24. Uji Korelasi Rank Spearman hambatan operasional dengan efektivitas

pengelolaan wisata 58

25. Jumlah dan persentase hambatan operasional terhadap efektivitas

pengelolaan kawasan wisata Gunung Bromo 2015 59

26. Jumlah dan persentase hambatan struktural terhadap efektivitas

pengelolaan kawasan wisata Gunung Bromo 2015 61

27. Jumlah dan persentase hambatan kultural terhadap efektivitas

pengelolaan kawasan wisata Gunung Bromo 2015 62

28. Jumlah dan persentase hambatan partisipasi terhadap efektivitas


(16)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Pemikiran 16

2. Laut Pasir 30

3. Gunung Bromo 31

4. Kawah Gunung Bromo 31

5. Tempat Sesajen 31

6. Gunung Batok 31

7. Aktivitas sekitar 32

8. Pura Agung Poten 32

9. Watu Singa 32

10. Padang savana tengger 32

11. Blok Bukit Adasan 33

12. Bukit Teletabis 33

13. Sun Rise di Gunung Penanjakan 34

14. Pemandangan dari Gunung Penanjakan 35

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta Lokasi Penelitian 66

2. Kuesioner 67

3. Panduan Pertanyaan Wawancara Mendalam 75

4. Uji Reliabilitas Instrument (Reliability Statistics) 77

5. Nilai Rataan (Mean) Skor Indikator 77

6. Uji Korelasi Rank Spearman 78

7. Hasil Catatan Harian 80

8. Daftar nama responden dan Informan 85


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terletak di garis khatulistiwa yang membentang dari Sabang sampai Merauke dengan wilayah sepanjang 3.977 mil di antara Samudera Hindia dan Pasifik (Dotinga 2002). Posisi negara yang berada di zona khatulistiwa, menjadi suatu hal yang tidak mengherankan bagi dunia apabila Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi sumberdaya alam yang sangat melimpah, termasuk keindahan alam dan potensi dalam pengembangan wisata. Selain keindahan alam yang hampir dimiliki oleh setiap wilayah di Indonesia, potensi wisata yang sangat menarik minat wisatawan terutama wisatawan manca negara (asing) adalah keunikan budaya bangsa Indonesia yang beraneka ragam di setiap daerah. Potensi wisata itulah yang kemudian oleh pemerintah Indonesia terus dikembangkan, ditingkatkan dan dijadikan sebagai salah satu sektor yang mendatangkan devisa bagi negara1.

Data BPS tahun 20102 menunjukan bahwa jumlah kunjungan wisata cenderung meningkat dari tahun 1997 hingga 2008. Pada tahun 1998, jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia paling rendah dibanding dengan tahun-tahun yang lain karena situasi dan kondisi di Indonesia yang tidak stabil akibat krisis moneter. Lebih dari itu, keberhasilan Indonesia meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara mendorong pemerintah untuk semakin meningkatkan persebaran wisatawan nusantara. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata mengungkapkan bahwa pada tahun 2010 jumlah kunjungan wisatawan sebanyak 240 juta orang menghasilkan pendapatan sebesar Rp 138 triliun (Sary 2011). Oleh karena itu, pemerintah tetap memacu pengembangan sektor ini sebagai peraih devisa negara yang penting sehingga promosi wisata yang ada di seluruh negeri terus ditingkatkan dari tahun ke tahun.

Perlu ditekankan bahwa dalam meningkatkan efektivitas pengembangan wisata tentunya tidak terlepas dari peran atau partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal di sekitar kawasan. Peran masyarakat yang tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1990 adalah 1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan. 2) Dalam rangka proses pengambilan keputusan, Pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat sebagaimana yang dimaksud dalam poin 1 melalui penyampaian saran, pendapat, dan pertimbangan. Peran serta yang dimaksud seperti: peran apa yang dilakukan, faktor-faktor apa saja yang meningkatkan partisipasi, adakah hal yang dapat menghambat jalannya partisipasi yang dilakukan, upaya apa saja yang telah dilakukan, bagaimana partisipasi dilakukan, apa dampaknya bagi kehidupan masyarakat dan pengelolaan wisata, serta bentuk partisipasi lainnya, menjadi penting untuk dapat dikaji lebih mendalam.

Menurut Slamet (2003), peran atau partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat bisa dilihat mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan atau pemanfaatan, menikmati hasil dan evaluasi. Selain itu aspek akan

1

UU nomor 10 tahun 2009 dan UU nomor 50 tahun 2011 tentang kepariwisataan nasional

2


(18)

syarat tumbuhnya partisipasi dalam masyarakat juga menjadi suatu hal yang perlu diperhatikan seperti adanya kesempatan, kemampuan dan kemauan. Peran dan bentuk partisipasi masyarakat lokal yang mungkin dapat dilihat adalah ketika masyarakat lokal yang bekerja di luar dari bidang wisata, contohnya: sebagai petani, buruh, atau pekerja serabutan dapat merambah dengan menjadi pedagang atau pengusaha di sekitar obyek wisata, menyediakan barang ataupun jasa, membangun tempat penginapan bagi pengujung yang datang, memberi informasi kepada khalayak seputar kondisi lingkungan sekitar baik seputar masyarakat, adat istiadat/kebudayaan daerah, dan bisa juga menjadi tour guide bagi pengunjung lokal dan asing yang ingin berkeliling di daerah kawasan wisata tersebut.

Beberapa berita dan artikel yang telah dilansir ke media komunikasi terkait data atau statistik kunjungan wisata di Jawa Timur menyebutkan, seperti halnya Pemerintah Indonesia, Pemerintah Jawa Timur juga terus memacu perkembangan serta peningkatan dalam kunjungan wisata dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 jumlah kunjungan wisata di Jawa Timur mengalami kenaikan sebesar 13.7% dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur dari sekitar 765 destinasi wisata yang ada di Provinsi Jawa Timur, salah satu objek wisata yang mengalami peningkatan jumlah kunjungan wisatawan dan tetap menjadi andalan (ikon) dari Provinsi Jawa Timur adalah kawasan wisata Gunung Bromo 3.

Kawasan wisata Gunung Bromo sendiri merupakan bagian kawasan wisata yang berada dibawah naungan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Letaknya cukup strategis yaitu berada di empat wilayah kabupaten yaitu Malang, Lumajang, Pasuruan dan Probolinggo. Wisata Gunung Bromo yang jalurnya diambil melalui Kabupaten Probolinggo berada di Dusun Cemorolawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura. Wisata Gunung Bromo ini merupakan tempat yang selalu ramai menjadi tujuan wisata, baik wisatawan domestik maupun wisatawan manca negara, karena gunung ini mempunyai nilai keindahan alam yang sangat mempesona, salah satunya adalah laut pasir yang sangat luas, udaranya yang sangat segar dan dingin. Tidak heran apabila wisata ini telah memberikan sumbangsih terhadap pendapatan pemerintah setempat.

Kawasan Wisata Gunung Bromo, selain karena letak atau posisinya mudah dijangkau, dan pesona keindahan alamnya yang memukau, kawasan wisata ini telah menerapkan konsep wisata berbasis masyarakat. Hal ini, dikarenakan lokasi wisata yang berada di sekitar lingkungan Suku Tengger, suku dimana masyarakatnya sampai saat ini secara turun-temurun mendiami kawasan tersebut. Keterlibatan masyarakat Tengger ini menjadi kunci utama dalam pengembangan wisata di sana, karena lingkungan merekalah yang akan menjadi objek wisata dan yang akan merasakan dampaknya, baik dampak negatif maupun dampak positif yang ditimbulkan dari proses pengembangan wisata tersebut. Selain masyarakat lokal, adapun beberapa pihak-pihak yang tentunya juga terlibat dalam pengelolaan wisata ini adalah lembaga atau instansi terkait seperti, pemerintah daerah, pengusaha perseorangan, koperasi, BUMN, BUMD, swasta, dan tentunya komunitas/kelompok masyarakat sendiri.

3


(19)

Pada penerapannya partisipasi masyarakat tentunya tidak lepas dari pengaruh faktor-faktor yang berasal dari dalam diri dan luar masyarakat itu sendiri, meliputi faktor internal dan eksternal. Dari faktor-faktor tersebut dapat diketahui juga faktor-faktor apa saja yang dapat menghambat jalannya partisipasi dalam suatu kegiatan terutama kegiatan pengelolaan wisata. Kawasan Wisata Gunung Bromo (KWGB), terlepas dari pesona keindahan alamnya dan daya tarik beberapa obyek wisata yang ada di kawasan sekitarnya, ini masih memiliki beberapa kekurangan dan mengalami kendala dalam pengelolaannya. Pada penelitian sebelumnya, G Fitriani et. al (2014) mengungkapkan beberapa kelemahan yang dimiliki kawasan wisata Gunung Bromo ini adalah : 1). Kurangnya sumberdaya manusia (SDM) untuk pengelolaan kawasan khususnya sebagi interpreter. 2). Belum ada penerapan tentang pembatasan jumlah pengunjung, sehingga menyebabkan terjadinya over carrying capacity. 4). Kurangnya signboard dan tempat sampah disekitar kawasan. 5). Akses ke kawasan masih belum memadai, dan 6). Kurangnya kesadaran pelaku usaha pariwisata akan kebersihan lingkungan khususnya kotoran kuda. Disinilah peran dan kerjasama dari masyarakat terus diharapkan dan dibutuhkan karena penting untuk menjadikan masyarakat sebagai masyarakat yang sadar wisata. Seperti halnya menurut Surwantoro (1997) seperti dikutip oleh Untari (2009), masyarakat sadar wisata adalah masyarakat yang mengetahui dan menyadari apa yang dikerjakan dan juga masalah-masalah yang dihadapi untuk membangun dunia pariwisata nasional. Sehingga, dari hal inilah penelitian ini berangkat untuk melihat fenomena keragaman bentuk partisipasi yang diberikan oleh masyarakat, lalu apakah ada hambatan-hambatan yang mungkin dirasakan dan ditimbulkan terkait pembagian peran antara masyarakat dengan pihak-pihak terkait lainnya.

Tosun (2000) telah membagi tiga tipe hambatan utama partisipasi dalam pengembangan wisata: hambatan operasional, hambatan struktural dan, hambatan kultural. Adanya hambatan yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat akan berpengaruh juga pada dampak atau implikasi yang akan dirasakan selanjutnya, baik oleh masyarakat atau pengelolaan wisata itu sendiri. Selanjutnya, dari apa yang sudah dipaparkan diatas dapat diketahui bahwa peran atau partisipasi dari masyarakat lokal merupakan syarat penting dalam pengelolaan kawasan wisata karena dengan peran dari masyarakatlah pengelolaan wisata mampu berjalan dengan baik dan efekktif tanpa harus mengganggu, melanggar nilai-nilai sosial-budaya masyarakat yang ada di sekitar kawasan, namun bagaimana jika masyarakat mengalami hambatan untuk berpartisipasi. Hal inilah yang menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut dengan mengangkat topik “Hubungan Antara Hambatan Partisipasi Masyarakat dengan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Wisata” dengan lokasi penelitian di Kawasan Wisata Gunung Bromo, Jawa Timur.

Masalah Penelitian

Melihat pemaparan diatas, penting untuk mengkaji lebih mendalam, masalah-masalah yang menjadi kendala atau hambatan dalam partisipasi dan dapat berkaitan dengan efektivitas pengelolaan kawasan wisata, sehingga dengan menganalisis akar permasalahan pada partisipasi, dapat diketahui seberapa kuat


(20)

hubungan antara hambatan partisipasi masyarakat dan efektivitas pengelolaan wisata. Berikut adalah perumusan masalah untuk pertanyaan penelitian:

1. Apa saja keragaman bentuk partisipasi yang diberikan oleh masyarakat dalam pengelolaan wisata tersebut?

2. Apa saja hambatan partisipasi yang terjadi dan dirasakan oleh masyarakat setempat?

3. Bagaimana penilaian masyarakat terkait efektifitas pengelolaan kawasan wisata di Gunung Bromo?

4. Bagaimana hubungan hambatan partisipasi masyarakat dengan efektivitas pengelolaan kawasan wisata?

Tujuan Penelitian

Rumusan masalah yang telah dipaparkan tentunya diharapkan nantinya mampu menjawab tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan dibuktikan dari hasil akhir penelitian ini. Adapun beberapa tujuan yang ingin dicapai antara lain: 1. Mendeskripsikan bentuk-bentuk partisipasi yang dilakukan oleh

masyarakat.

2. Menganalisis hambatan partisipasi yang dirasakan oleh masyarakat dalam pengelolaan wisata tersebut.

3. Menganalisis tentang efektivitas pengelolaan kawasan wisata di Gunung Bromo

4. Menganalisis hubungan antara hambatan partisipasi dengan efektivitas pengelolaan kawasan wisata.

Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:

1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena sosial masyarakat di lapangan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur mengenai topik yang terkait yaitu partisipasi masyarakat dengan efektivitas pengelolaan wisata. 2. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

mengenai bentuk-bentuk partisipasi dalam pengelolaaan kawasan wisata, apa manfaatnya bagi kehidupan mereka kedepannya, dan hambatan-hambatan apa saja yang mungkin akan dirasakan saat turut serta, memberi tahu kepada masyarakat lokal (rumah tangga) terkait seberapa besar kontribusi atau peran mereka dalam pengembangan wisata terlepas dari hal-hal yang mungkin akan mengahambatnya.

3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat mrmberikan suatu saran pentingnya melibatkan masyarakat dalam pengembangan wisata baik dalam perencanaan, pengelolaan/pelaksanaan, pemanfaatan, menikmati hasil maupun evaluasi.


(21)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka Definisi Kawasan Wisata

Menurut Adisasmita (2010), kawasan adalah bentangan permukaan (alam) dengan batas-batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Kawasan memiliki fungsi tertentu (misalnya, kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan pesisir pantai, kawasan pariwisata, dan lainnya). Wisata berarti perjalanan atau bepergian. Jadi, kawasan wisata adalah bentangan permukaan yang dikunjungi atau didatangi oleh banyak orang (wisatawan) karena kawasan tersebut memiliki objek wisata yang menarik. Objek wisata adalah suatu tempat yang menjadi kunjungan wisatawan kerena mempunyai sumberdaya tarik, baik alamiah, maupun buatan manusia, seperti keindahan alam atau pegunungan, pantai, flora dan fauna, kebun binatang, bangunan kuno bersejarah, monumen-monumen, candi-candi, tarian-tarian, atraksi dan kebudayaan khas lainnya, dengan demikian dapat dikatakan bahwa kawasan wisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata menjadi sasaran wisata (UU No.9 tahun 1990 tentang pariwisata dikutip oleh Adisasmita 2010).

Menurut BPS (1991) seperti dikutip oleh Adisasmita (2010), pariwisata berarti keseluruhan rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan gerakan manusia yang melakukan perjalanan atau persinggahan sementara dari tempat tinggalnya, ke suatu atau beberapa tempat tujuan di luar lingkungan tempat tinggal yang didorong oleh beberapa keperluan tanpa bermaksud mencari nafkah tetap. Pariwisata meliputi berbagai jenis, karena keperluan dan motif perjalanan wisata yang dilakukan bermacam-macam, misalnya pariwisata pantai, pariwisata etnik, pariwisata budaya, pariwisata rekreasi, pariwisata alam, pariwisata kota, pariwisata agro, pariwisata perkotaan, pariwisata sosial, pariwisata alternatif.

Goodwin (1997) seperti dikutip oleh Ambo (2011) mendefinisikan ekowisata adalah wisata alam berdampak ringan yang menyebabkan terpeliharanya spesies dan habitatnya secara langsung dengan peranannya dalam pelestarian dan atau secara tidak langsung dengan memberikan pandangan kepada masyarakat setempat, untuk membuat masyarakat setempat dapat menaruh nilai, dan melindungi wisata alam dan kehidupan lainnya sebagai sumber pendapatan. Menurut Ambo (2011) ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan menyertakan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya dengan pengelolaan kelestarian ekologi.

Ekowisata harus dibedakan dengan wisata alam, walaupun ekowisata masih merupakan bagian dari wisata alam. Penekanannya adalah kalau wisata alam, atau berbasis alam, mencakup setiap jenis wisata-wisata massal, dan wisata pertualangan. Kalau ekowisata memanfaatkan sumber daya alam dalam bentuk yang masih alami, termasuk spesies, habitat, bentangan alam, pemandangan dan kehidupan air laut dan air tawar serta menjaga dan merawat kelestarian alam tersebut. Wisata alam adalah perjalanan wisata yang bertujuan untuk menikmati kehidupan liar atau daerah alami yang belum dikembangkan.


(22)

Wisata alam mencakup banyak kegiatan, dari kegiatan menikmati pemandangan dan kehidupan liar yang relatif pasif, sampai kegiatan fisik seperti wisata petualangan yang sering mengandung resiko. Dapat ditekankan bahwa ekowisata menuntut persyaratan tambahan bagi pelestarian alam. Dapat disimpulkan ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan potensi sumber daya alam dan budaya masyarakat setempat untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan.

Konsep Pengembangan Wisata

Menurut Sastrayuda (2010), konsep pengembangan ekowisata meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai lingkungan telah memberikan implikasi munculnya berbagai tuntutan di semua sektor pembangunan. Tuntutan-tuntutan tersebut telah dan akan mendorong tumbuhnya usaha-usaha baru, cara-cara/ pendekatan baru dalam berbagai kegiatan baik bisnis pariwisata secara langsung yang dilakukan dunia usaha pariwisata dan usaha-usaha masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan mereka. Kondisi tersebut makin meyakinkan bahwa lingkungan bukan lagi beban, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan usaha-usaha ekonomi, dengan maksud lain, lingkungan mempunyai peran penting dalam usaha mendorong semua lapisan masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai peluang bisnis, sehingga diharapkan dapat mendorong semua pihak untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah dan mampu mendorong keikutsertaan mereka dalam segala unsur secara bersama-sama serta menanggulangi masalah lingkungan secara berbersama-sama-bersama-sama.

Menurut Nasikun (2000), pada prinsipnya pembangunan pariwisata dituntut mengaplikasikan tiga paradigma utama diantaranya: 1). Economically viable, yaitu harus mampu meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2). Socially acceptable, yaitu harus mampu mewujudkan keadilan sosial, melestarikan serta memperkokoh jatidiri, kemandirian bangsa, memperkaya kepribadian, mempertahankan nilai-nilai agama, serta berfungsi sebagai media menciptakan ketertiban dan kedamaian dunia (objek wisata yang potensial, jika dikelola dengan baik akan menyedot minat wisatawan manca negara untuk berkunjung, berkumpul, saling mengenal dan menjalin persahabatan antar sesama). 3). Environmentally sustainable, yaitu harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan berkesinambungan. Oleh karena itu, pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism) menjadi kunci yang harus dipegang oleh para penentu dan pelaksana kebijakan pembangunan pariwisata.

Efektivitas Pengelolaan Kawasan Wisata

Seperti yang sudah dijelaskan pada bab dan sub-bab sebelumnya bahwa adanya proses pengembangan dalam pengelolaan wisata tentunya tidak lepas dari dampak-dampak yang diakibatkan dari adanya kegiatan tersebut, baik dampak positif maupun negatif yang ditimbulkan, sehingga dapat dilihat sejaumana keefektivan pengembangan wisata tersebut. Kata efektif berasal dari bahasa Inggris, yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah populer mendefinisikan efetivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan (Wicaksono 2013).


(23)

Selanjutnya, Kurniawan (2005) seperti dikutip oleh Wicaksono (2013), mengungkapkan efektivitas adalah kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi), dari suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya. Dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, dimana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Pada penelitian ini, efektivitas dilihat pada tahap pengelolaan. Sastrayuda (2010) telah mengungkapkan bahwa dalam konsep pengembangan wisata harus memperhatikan 2 aspek yaitu aspek tujuan wisata dan dan aspek pasar. Pada penelitian sebelumnya, menurut Gunn (1993) seperti dikutip oleh Dalimuthe (2007) telah mengemukakan bahwa suatu kawasan wisata yang baik, efektif akan berhasil bila secara optimal di dasarkan pada empat aspek, yaitu:

1. Mampu mempertahankan kelestarian lingkungan. Artinya dalam proses pengembangan wisata tersebut haruslah memperhatikan dan mementingkan aspek terjaganya kelestarian lingkungan wisata. Proses pengembangan tersebut tidak hanya didasarkan semata-mata karena ingin mendirikan dan mampu memberikan hasil, tetapi juga harus melihat aspek lingkungan sekitar dimana pengembangan wisata itu berada. Apakah lingkungan akan terganggu dengan adanya pengembangan wisata, akankah memberi dampak negatif bagi lingkungan ataupun masyarakat, dan bagaimana agar lingkungan tetap pada kondisi semula yaitu kondisi sebelum adanya pengaruh dari pengembangan wisata tersebut. Hal ini yang menjadi penting bagi pengelola untuk selalu sanggup dan mampu mempertahankan terjaganya kelestarian lingkungan.

2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut. Adanya kondisi peningkatan kesejahteraan yang dirasakan masyarakat sekitar saat adanya wisata tersebut. Masyarakat merasakan adanya peningkatan dalam pendapatan, mampu dalam mengakses pendidikan, kesehatan, dan peningkatan dalam kepemilikan aset.

3. Menjamin kepuasan pengunjung, dalam pengelolaan wisata tentunya ada beberapa tugas-tugas dalam mencapai tujuan dari pengembangan tersebut. Menjamin kepuasan pengunjung artinya, pengelolaan wisata tersebut harus mampu menanggung hal-hal apa saja yang dapat memberi kesenangan atau kepuasan bagi orang-orang yang mengunjungi wisata (pengunjung) dan mampu menarik pengunjung untuk datang kembali suatu saat nanti ke kawasan wisata tersebut. Menurut Dwiyanto (2009), indikator penilaian terhadap kepuasan pengunjung dapat dilihat dari: a). Daya tarik obyek wisata, mengenai hal-hal yang berhubungan dengan panorama, keindahan, nilai dan cita rasa dari obyek tersebut. b). Fasilitas; ketersediaan sarana dan prasana, c). Kelestarian lingkungan, terjaganya kebersihan, kealamian dan kenyamanan. d). Kemudahan mencapai objek wisata, jalur yang ditempuh. 4. Meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di kawasan

dan zona pengembangan. Pengelolaan wisata sebisa mungkin dapat menaikkan/meningkatkan kesatuan kegiatan pembangunan/pengembangan masyarakat terutama masyarakat sekitar kawasan wisata tersebut. Artinya pengelolaan wisata mampu memberikan kesempatan untuk melibatkan masyarakat lokal. Masyarakat bukan hanya sekedar ikut melihat tetapi juga


(24)

terjun lansung dan terlibat dalam pengelolaan. Indikator penilaiannya adalah tercapainya tingkat kemampuan masyarakat untuk turut serta/ ikut serta dalam kesatuan pembangunan kawasan wisata pada zona pengembangan yaitu zona yang diperbolehkan untuk dikembangkan atau dimanfaatkan seperti mendirikan usaha-usaha wisata.

Definisi Partisipasi Masyarakat

Secara garis besar makna partisipasi menurut Arnstein (1969) seperti dikutip oleh Dewi et al. (2013) adalah sebagai kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat untuk mengatasi persoalannya pada masa kini guna mencapai kehidupan yang lebih baik pada masa mendatang. Dijelaskan bahwa partisipasi merupakan redistribusi kekuatan, yang memungkinkan kaum terpinggirkan secara ekonomi dan politik untuk dilibatkan dalam perencanaan pembangunan masa depan. Makna partisipasi yang mengacu pada pendapat Arnstein adalah kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat untuk mengatasi persoalannya pada masa kini guna mencapai kehidupan yang lebih baik pada masa mendatang.

Berbeda dengan Arnstein, menurut Brager dan Specht (1973) seperti dikutip oleh Mustapha et al. (2013) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat sebagai sarana bagi orang-orang yang tidak dipilih atau ditunjuk secara resmi oleh lembaga untuk dapat mempengaruhi keputusan terkaait program dan kebijakan pemerintah yang nantinya dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Uphoff et al. (1979) seperti dikutip oleh Mustapha et al. (2013) mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara kerjanya dan WHO (2002) seperti dikutip oleh Mustapha et al. (2013) juga memandang partisipasi masyarakat sebagai proses warga negara untuk menyalurkan pendapat suara mereka dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Pemikiran tentang partisipasi masyarakat juga diutarakan oleh Slamet (2003), makna partisipasi masyarakat dalam pembangunan dapat diartikan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, baik dari tahap perencanaan, pelaksanaan/implementasi, pengawasan maupun evaluasi, juga ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Penekanannya disini bahwa partisipasi dalam pembangunan bukan hanya berarti ikut menyumbangkan sesuatu input ke dalam proses pembangunan, tetapi termasuk ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Dapat dikatakan keberhasilan pembangunan nasional dietentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat, baik dalam menyumbangkan masukan (input) maupun dalam menikmati hasilnya.

Nasdian (2006) memandang partisipasi adalah proses aktif inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut pada subjek yang sadar.


(25)

Berbeda dengan pendapat Slamet dan Nasdian, Mardikanto (2010) berpendapat bahwa partisipasi jika dilihat dalam kamus sosiologi merupakan keikutsertaan seseorang di dalam kelompok sosial untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri. Dalam kegiatan pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggung jawab masyarakat terhadap pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu hidup mereka. Artinya, melalui partisipasi yang diberikan, berarti benar-benar menyadari bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang dilaksanakan oleh aparat pemerintah sendiri, tetapi juga menuntut keterlibatan masyarakat yang akan diperbaiki hidupnya.

Berdasarkan definisi atau pengertian tentang partisipasi dalam pembangunan seperti diuraikan di atas, maka Slamet (2003) telah membagi partisipasi dalam pembangunan, menjadi lima jenis: 1) Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya. 2) Ikut memberi input dan menikmati hasilnya. 3) Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara lansung. 4) Menikmati/memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input. 5) Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya. Kemungkinan adanya jenis partisipasi yang lain masih ada, tetapi seperti halnya dengan jenis ke-5, partisipasi semacam itu tidak dikehendaki oleh masyarakat, karena tanpa adanya partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan (hasil) pembangunan berarti pula bahwa masyarakat tidak naik tingkat hidup atau tingkat kesejahteraannya.

Tabel 1 Perbandingan definisi partisipasi masyarakat

Tokoh/ Ahli Partisipasi Masyarakat

Arnstein (1969)

Merupakan redistribusi kekuatan, yang memungkinkan kaum terpinggirkan secara ekonomi dan politik untuk dilibatkan dalam perencanaan pembangunan masa depan.

Brager dan Specht (1973)

Sarana bagi orang-orang yang tidak dipilih atau ditunjuk secara resmi oleh lembaga untuk dapat mempengaruhi keputusan terkait program dan kebijakan pemerintah yang nantinya dapat mempengaruhi kehidupan mereka.

Uphoff et al.

(1979)

Keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana cara kerjanya.

WHO (2002) Proses warga negara untuk menyalurkan pendapat suara mereka dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan.

Slamet (2003) Ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan- kegiatan pembangunan baik dari tahap perencanaan, pelaksanaan/ implementasi, pengawasan dan evaluasi, juga ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil- hasil pembangunan.

Nasdian (2006)

Memandang Partisipasi adalah proses aktif inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif


(26)

Mardikanto (2010)

Keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan. Keikutsertaan tersebut dilakukan sebagai akibat dari terjadinya interaksi sosial antara individu yang bersangkutan dengan anggota masyarakat lainnya.

Hasil yang diperoleh dari pemaparan konsep serta definisi-definisi diatas terkait partisipasi masyarakat dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat adalah suatu sarana atau wadah bagi seseorang atau sekelompok yang tidak dipilih atau ditujuk oleh suatu lembaga yang mungkin juga merupakan bagian dari kaum terpinggirkan secara kondisi sosial untuk terlibat dan ikut serta pada proses pengambilan keputusan dalam kegiatan suatu program pembangunan yang diwujudkan melalui interaksi sosial dan komunikasi baik secara langsung maupun tidak lansung. Selain itu, dalam penerapannya partisipasi masyarakat juga dipengaruhi faktor-faktor yang dapat mendukung maupun menghambat. Faktor-faktor tersebut meliputi Faktor-faktor internal maupun eksternal.

Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Wisata

Masyarakat setempat atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah tujuan wisata (DTW) mempunyai peran yang amat penting dalam menunjang keberhasilan pemngembangan ekowisata. Peran dari masyarakat dalam memelihara lingkungan yang menjadi daya tarik utama ekowisata tidak dapat diabaikan. Hal yang terpenting adalah upaya memberdayakan masyarakat setempat dengan mengikutsertakan mereka dalam berbagai kegiatan wisata (Hartono 2003 dikutip oleh Nugroho 2013). Untuk itu pengelola harus dapat menghimbau masyarakat agar bersedia berpartisipasi aktif secara positif di dalam pembangunan pariwisata dengan memelihara lingkungan di sekitar mereka. Agar pembangunan pariwisata dapat berkelanjutan dan efektif, serta pandangan dan harapan masyarakat setempat perlu dipertimbangkan.

Partisipasi masyarakat lokal sangat dibutuhkan dalam pengembangan kawasan wisata/ekowisata karena masyarakat lokal sebagai pemilik sumber daya pariwisata yang ditawarkan kepada wisatawan. Secara umum partisipasi dapat dimaknai sebagai hak warga masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan pada setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pelestarian. Masyarakat bukanlah sekadar penerima manfaat atau objek belaka, melainkan sebagai subjek pembangunan.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan disebutkan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan azas, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, asli dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada diri sendiri. Sehingga dalam melaksanakan program atau proyek pembangunan, diperlukan adanya peran serta atau partisipasi masyarakat, sehingga proyek ataupun program pembangunan tersebut tepat sasaran yang mencapai target sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya. Peran masyarakat yang tercantum dalam UU No. 9 Tahun 1990 adalah 1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan. 2) Dalam rangka proses pengambilan keputusan, Pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat sebagaimana yang dimaksud dalam poin 1 melalui penyampaian saran,


(27)

pendapat, dan pertimbangan. Partisipasi masyarakat dapat diartikan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan atau pengelolaan, pengawasan dan evaluasi dalam usaha pengembangan industri pariwisata, sehingga rasa memiliki dan tanggung jawab tumbuh pada masyarakat terhadap objek wisata yang ada di daerahnya.

Peran masyarakat dibutuhkan dalam memberikan layanan yang berkualitas bagi wisatawan dan menjaga kelestarian lingkungan sekitar agar wisata dapat terus berjalan, oleh karena itu penting untuk menjadikan masyarakat sebagai masyarakat yang sadar wisata. Menurut Surwantoro (1997) seperti dikutip oleh Untari (2009), masyarakat sadar wisata adalah masyarakat yang mengetahui dan menyadari apa yang dikerjakan dan juga masalah-masalah yang dihadapi untuk membengun dunia pariwisata nasional. Dengan adanya kesadaran ini maka akan berkembang pemahaman dan pengertian yang proporsional di antara berbagai pihak yang pada gilirannya akan mendorong masyarakat untuk mau berperan serta dalam pembangunan.

Parisipasi masyarakat dapat berupa peran serta aktif maupun peran serta pasif. Peran serta aktif dilaksanakan secara lansung, secara sadar ikut membantu program pemerintah dengan inisiatif dan kreasi mau melibatkan diri dalam kegiatan pengusahaan pariwisata alam atau melalui pembinaan rasa ikut memiliki di kalangan masyarakat. Peran pasif adalah timbulnya kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengganggu atau merusak lingkungan alam. Dalam peran serta pasif tersebut mayarakat cenderung sekedar melaksanakan perintah dan mendukung terpeliharanya konservasi sumberdaya alam. Upaya peningkatan peran serta pasif dapat dilakukan melalui penyuluhan maupun dialog dengan aparat pemerintah, penyebaran informasi mengenai pentingnya upaya pelestarian sumberdaya alam di sekitar kawasan obyek wisata alam yang juga mempunyai dampak positif terhadap perekonomian (Suwantoro 1997 dan dikutip oleh Untari 2009).

Selain itu, dalam penelitian-penelitian sebelumnya, Musthapa, et al. (2013) telah mengungkapkan bahwa sebagian para ahli profesional juga sepakat bahwa adanya partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata dapat meningkatkan proses pengambilan keputusan yang mengarah pada sasaran pemanfaatan sumberdaya yang efisien. Partisipasi masyarakat juga penting dalam mendidik masyarakat setempat untuk terus waspada menjaga lingkungan mereka dan menjadi lebih responsif terhadap hak-hak yang mereka miliki.

Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Wisata

Brandon (1993) seperti dikutip oleh Dalimunthe (2007) mengatakan perencanaan dan pengembangan pariwisata harus melibatkan masyarakat secara optimal melalui musyawarah dan mufakat setempat. Bentuk Partisipasi masyarakat meliputi enam kriteria, yakni: 1) Melibatkan masyarakat setempat dan pihak-pihak terkait lain dalam proses perencanaan dan pengembangan ekowisata. 2) Membuka kesempatan dan mengoptimalkan peluang bagi masyarakat untuk mendapat keuntungan dan berperan aktif dalam kegiatan ekowisata. 3) Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan. 4) Meningkatkan keterampilan masyarakat setempat dalam bidang-bidang yang


(28)

berkaitan dan menunjang pengembangan ekowisata. 5) Mengutamakan peningkatan ekonomi lokal dan menekan tingkat pendapatan (leakage) serendah-rendahnya, dan 6) Meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu, Yusrizal (2013) mengemukakan bentuk-bentuk partisipasi (keterlibatan peran serta) masyarakat dalam pembangunan pariwisata adalah sebagai berikut :

1. Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan; Masyarakat dilibatkan dalam perencanaan pengembangan pariwisata bertujuan untuk menggali permasalahan dan potensi pariwisata yang ada di masyarakat, tantangan serta peluang yang dihadapi dengan menggunakan sumberdaya lokal atas prinsip pemberdayaan masyarakat yang acuannya sebagai berikut: a) Mengumpulkan informasi yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Bahan informasi ini dapat digunakan oleh orang lain atau suatu lembaga yang akan mengembangkan objek pariwisata, b) Mempelajari kondisi dan kehidupan lokasi yang berpotensi pengembangan pariwisata dari dan oleh masyarakat setempat untuk saling berbagi, berperan aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian serta tidak lanjutnya, c) Informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai bahan perencanaan kegiatan dalam pemberdayaan masyarakat di sekitar lokasi pariwisata. Metode ini dilaksanakan oleh pengambil kebijakan bersama masyarakat lokal, kelompok pendamping lapangan, dan dari unsur pemerintah desa. Dalam metode ini kelompok pendamping lapangan hanya sebatas fasilitator.

2. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan; Keterlibatan dalam pengelolaan ini maksudnya adalah agar masyarakat tidak hanya menjadi objek tapi juga berperan selaku subyek sehingga dapat menikmati keuntungan yang optimal dari pengelolaan pariwisata, sehingga dapat menambah sumber pendapatan masyarakat, dari biasanya, sumber pendapatan utama masyarakat tetap seperti semula, misalnya pertanian, perkebunan atau nelayan.

Partisipasi masyarakat dalam pariwisata memacu perkembangan pariwisata ke arah yang lebih baik. Partisipasi tersebut dapat berupa keikutsertaan secara sosial budaya dan ekonomi. Keikutsertaan secara sosial budaya tidak hanya menjadi atraksi wisata, akan tetapi kesediaan masyarakat dalam menerima kegiatan wisata yang akan menyatu dalam kehidupannya. Keikutsertaan secara ekonomi ialah keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan perekonomian, baik yang terkait lansung dengan wisata maupun yang tidak terkait secara lansung dengan wisata. Kegiatan perekonomian wisata menompang perekonomian kawasan wisata dan memiliki posisi penting dalam wisata, sedangkan kegiatan perekonomian non-wisata merupakan kegiatan pendukung perekonomian di kawasan wisata.

Selain itu, Suwantoro (1997) dan dikutip oleh Untari (2009) menyebutkan, partisipasi masyakat sekitar kawasan objek wisata dapat berbentuk usaha dagang atau pelayanan jasa, baik didalam maupun diluar kawasan objek wisata, seperti: penyediaan penginapan, penyediaan/usaha warung makanan dan minuman, penyediaan/ toko souvenir/cinderamata dari daerah tersebut, jasa pemandu/ penunjuk jalan, fotografi, dan menjadi pegawai pengusahaan wisata alam. Selain itu, dapat pula ditemukan bentuk partisipasi masyarakat dalam penyediaan pusat interpretasi/ tempat pengunjung, penyediaan sarana dan prasarana, pelayanan jasa


(29)

transportasi, menanam pepohonan, serta memelihara lingkungan, jalur setapak dan sarana prasarana lainnya.

Faktor Internal dan Eksternal dalam Partisipasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, yaitu individu-individu dan kesatuan kelompok didalamnya. Tingkah laku individu-individu berhubungan erat atau ditentukan oleh ciri-ciri sosiologis seperti umur, jenis kelamin, status warga di kelurahan, pengetahuan, pekerjaan dan penghasilan. Yulianti (2012) juga mengemukakan secara teoritis, terdapat hubungan antara ciri-ciri individu dengan tingkat partisipasi seperti usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, lamanya menjadi anggota masyarakat, besarnya pendapatan, keterlibatan dalam kegiatan pembangunan akan sangat berpengaruh pada partisipasi. Menurut Plumer seperti dikutip oleh Yulianti (2012), beberapa faktor yang ditimbulkan yang berasal dari dalam diri individu tersebut (internal) yang mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti proses partisipasi adalah: pengetahuan dan keahlian, pekerjaan masyarakat, tingkat pendidikan dan buta huruf, jenis kelamin, dan kepercayaan terhadap budaya tertentu.

Adapun faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat berasal dari luar masyarakat, dimana mencakup: lingkungan, cuaca, stakeholder yang terlibat (pemerintah daerah, pengurus kelurahan (RT/RW), tokoh masyarakat dan fasilitator). Menurut Sunarti seperti dikutip oleh Yulianti (2012), faktor-faktor eksternal ini dapat dikatakan petaruh (stakeholders), yaitu semua pihak yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap program ini. Petaruh kunci adalah siapa yang mempunyai pengaruh yang sangat signifikan, atau mempunyai posisi penting guna kesuksesan program. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Yulianti (2012) yang menjelaskan peran pemerintah, pengurus kelurahan (RT/RW), tokoh masyarakat dan peran fasilitator yang merupakan faktor eksternal mempengaruhi seluruh bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat.

Hambatan dalam Partisipasi Masyarakat

Seperti yang sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, bahwa faktor yang dapat menghambat dan mendukung berasal dari faktor internal dan faktor ekternal. Tosun (2000) seperti dikutip oleh Mustapha et al. (2013) telah membagi hambatan partisipasi mayarakat ke dalam tiga bagian yaitu; hambatan operasional, hambatan struktural dan, hambatan kultural. Pada penelitian sebelumnya Mustapha et al. (2013) menjelaskan pada hambatan operasional dan struktural adalah hambatan partisipasi yang ditimbulkan dari luar masyarakat atau individu tersebut (ekternal), sedangkan hambatan kultural (budaya) adalah hambatan yang ditimbulkan dari dalam masyarakat atau individu tersebut (Internal).

1. Tipe hambatan operasional

Hambatan operasional adalah hambatan partisipasi yang terjadi pada saat proses pelaksanaan pembangunan biasanya berhubungan dengan prosedur


(30)

atau pembagian tugas-tugas. Hal ini, biasanya terjadi di negara-negara berkembang

a) Kurangnya koordinasi antara orang-orang yang terlibat, adanya sikap Keengganan pemangku kepentingan terhadap berbagi kekuasaan, dalam pengembangan pariwisata. Masyarakat tidak diberi kesempatan untuk diberi kuasa (untuk terlibat atau memegang kendali dalam pengelolaan). b) Sentralisasi administrasi publik; Sistem administrasi terlalu birokratis, segala urusan dalam pengelolaan seperti perizinan usaha, terpusat pada penguasa/pemegang saham. Kurangnya respon akan kebutuhan masyarakat secara efektif dan efisien.

c) Kurangnya informasi.Tingkat ketidaktahuan masyarakat akan adanya informasi apapun terkait pengelolaan. Seperti rapat/ pertemuan penting dengan pihak paling atas, ijin usaha, dll, contoh: ada banyak proyek pariwisata dilakukan secara diam-diam oleh otoritas lokal atau sektor swasta tanpa memberitahu masyarakat.

2. Tipe Hambatan strukturalyaitu:

Hambatan struktural adalah hambatan dalam partisipasi yang muncul saat tahap pelaksanaan pembangunan pada pengembangan wisata. Biasanya berhubungan dengan adanya pembagian peran kelembagan, struktur organisasi, legislatif, dan keterbatasan pada hal ekonomi.

a) Dominasi elite (pemangku kepentingan), Adanya peran dari kaum penguasa yang lebih menonjol dan mendominasi. Adanya dominasi politik cukup tinggi di antara kelompok orang tertentu yang memegang posisi manajemen. Contoh : sebagian proyek usaha dilakukan oleh kaum elite.

b) Kurangnya sumber daya keuangan, tingkat kurangnya sumberdaya keuangan atau hal-hal dari aspek ekonomi seperti: modal. Masyarakat lokal cenderung beroperasi bisnis skala kecil dan menengah.

c) Sikap profesional, tingkat akan adanya para pihak profesional, merasa bahwa ide dan pekerjaan mereka lebih baik daripada orang-orang lokal. Kurangnya organisasi non-pemerintah yang kuat (LSM) di tingkat nasional atau internasional.

d) Kurangnya hukum yang sesuai sistem Tingkat bahwa hukum yang diterapakan tidak sesuai dengan sistem yang dijalankan dalam pengelolaan. Adanya sistem hukum di lokasi wisata tidak benar-benar mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam urusan lokal mereka. 3. Tipe hambatan kulturalyaitu:

Hambatan struktural adalah hambatan dalam partisipasi yang muncul saat tahap pelaksanaan pembangunan pada pengembangan wisata. Biasanya berhubungan dengan faktor yang berasal dari dalam diri masyarakat (faktor internal) seperti keterbatasan kapasitas masyarakat yang berada pada strata bawah untuk mengambil alih pengelolaan, sikap ketidakpedulian masyarakat dan rendahnya kesadaran.

a) Terbatasnya kemampuan masyarakat orang miskin, Adanya keterbatasan kemampuan individu atau masyarakat sendiri. Memiliki keterampilan yang kurang.


(31)

b) Adanya sikap apatis masyarakat/individu; terkadang masyarakat acuh dan tidak peduli.

c) Rendahnya tingkat kesadaran di komunitas lokal; masyarakat lokal belum sadar akan pertingnya peran dalam pengelolaan.

Hasil review dari beberapa literatur yang ada terdapat beragam faktor-faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat. Beberapa literatur menyatakan bahwa faktor yang tergolong dalam fator internal dan eksternal juga merupakan hal yang dapat menghambat atau mendukung jalannya partisipasi, contonya seperti: dilibatkan atau tidak dilibatkannya masyarakat secara lansung, ada atau tidak adanya keinginan, kemampuan dan kemauan dari masyarakat untuk dilibatkan, serta ada atau tidak adanya motivasi untuk memperoleh pendapatan dan terjaga atau tidaknya lingkungan, adanya penambahan atau kekurangan dalam modal sosial, dan optimal atau kurang optimalnya peranan stakeholder.

Segala faktor-faktor yang dapat mempengaruhi, baik mendukung ataupun menghambat jalannya partisipasi, perkembangan industri wisata ini yang nantinya akan menjadi tiang penting atau tolak ukur apakah mampu menghasilkan pendapatan dan menjadi sumber dana bagi suatu daerah dan masyarakat sekitar kawasan wisata. Semakin baik perkembangan kawasan wisata tersebut maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan pemerintah dan masyarakat dalam menikmati hasil dari pengelolaan wisata tersebut. Kepuasan tersebut dapat dilihat dari kunjungan wisata yang semakin meningkat maka jumlah pengeluaran wisatawan yang diakumulasikan akan semakin bertambah sehingga berdampak pada naiknya permintaan barang atau jasa yang diperlukan oleh wisatawan. Dari proses tersebut maka akan berakibat pada bertambahnya kesempatan kerja yang berarti menaikkan pendapatan masyarakat, dan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat maka akan meningkatkan kesejahteraan mereka dan banyak alternatif jenis usaha yang dapat meningkatkan motivasi masyarakat untuk bekerja.

Kerangka Pemikiran

Kegiatan pengelolaan wisata melibatkan banyak pihak di dalamnya dan selalu bersentuhan dengan masyarakat lokal di sekitar kawasan wisata tersebut. Berbagai bentuk keterlibatan atau peran masyarakat dalam pengelolaan wisata, baik berupa sumbangan pemikiran, tenaga fisik (gotong royong), penyediaan jasa melalui usaha-usaha dari jasa transportasi maupun jasa pendampingan (guide), yang tentunya dapat mendukung kegiatan wisata tersebut. Usaha inilah yang merupakan bagian dari bentuk nyata (real) partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal sekitar kawasan wisata tersebut. Usaha tersebut dibangun mulai dari menjual barang, penyediaan sarana prasarana, penyediaan transportasi yang dibutuhkan oleh wisatawan. Selain itu, turut serta untuk berpendapat dalam pengambilan keputusan pada perencanaan juga merupakan suatu hal yang menunjukkan bahwa seseorang telah terlibat dalam kegiatan tersebut. Pada penelitian sebelumnya Mustapha et al. (2013) telah melihat bahwa hambatan partisipasi dengan partisipasi seperti pada proses pengambilan keputusan dalam pengembangan wisata di suatu wilayah adalah dua hal dan problema yang tidak dapat dipisahkan, pembagian peran yang cenderung tidak adil, dan sering diabaikan oleh berbagai pihak, sering ditemukan dibeberapa negara berkembang dan pada daerah pengembangan wisata.


(32)

Keterlibatan serta bentuk peran yang diberikan oleh masyarakat tentunya tidak lepas dari faktor dari dalam dan dari luar meliputi internal dan eksternal yang dapat mempengaruhinya, sehingga peran yang diberikan oleh masyarakat bisa saja terganggu dan terhambat proses pelaksanaan. Hambatan partisipasi dalam pengembangan wisata menurut Tosun (2000) seperti dikutip oleh Mustapha et al. (2013) meliputi hambatan operasional seperti: kurangnya koordinasi antara pihak-pihak yang terlibat, sentralisasi administrasi publik, dan kurangnya informasi yang tersedia. Hambatan struktural seperti: dominasi kaum elite, kurangnya sumber daya keuangan, adanya sikap profesionalitas (memandang rendah kualitas kerja dari masyarakat), dan kurangnya hukum yang sesuai sistem. Hambatan kultural seperti: keterbatasan kemampuan, sikap apatis masyarakat, dan rendahnya kesadaran di komunitas lokal. Hambatan-hambatan inilah yang menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut, karena hambatan dalam partisipasi nantinya diduga terdapat atau memiliki hubungan dengan efektivitas pengelolaan wisata. (Lihat Gambar 1. Kerangka Pemikiran)

Efektivitas Pengelolaan Kawasan Wisata (Y) : - Mampu mempertahankan

kelestarian lingkungan (Y1)

- Meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Y2)

- Menjamin kepuasan pengunjung(Y3)

- Meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat dikawasan dan zona

pengembangan(Y4)

Hambatan Partisipasi Dalam Pengelolaan Wisata (Tosun 2000) (X) :

Hambatan operasional (X1): - Kurangnya koordinasi antara

pihak-pihak yang terlibat (X1.1)

- Sentralisasi administrasi publik (X1.2) - Kurangnya informasi yang tersedia

(X1.3)

Hambatan struktural (X2): - Dominasi pemangku kepentingan (X2,1) - Kurangnya sumber daya keuangan

(X2.2)

- Sikap profesional (X2.3)

- Kurangnya hukum yang sesuai sistem (X2.4)

Hambatan kultural (X3): - Keterbatasan kemampuan (X3.1) - Sikap apatis masyarakat (X3.2) - Rendahnya kesadaran di komunitas

lokal (X3.3)

Keragaman Bentuk Partisipasi Masyarakat (RT) dalam Pengelolaan

Kawasan Wisata

Keterangan :

= Saling berhubungan (dijelaskan kualitatif) = Berhubungan, diuji (Kuantitatif)


(33)

Hipotesis Penelitian

Diduga terdapat hubungan antara hambatan partisipasi masyarakat rumahtangga di sekitar kawasan wisata dengan efektivitas pengelolaan kawasan wisata Gunung Bromo, dengan rincian sebagai berikut:

1. Diduga terdapat hubungan antara hambatan operasional dengan efektivitas pengelolaan wisata.

2. Diduga terdapat hubungan antara hambatan struktural dengan efektivitas pengelolaan wisata.

3. Diduga terdapat hubungan antara hambatan kultural dengan efektivitas pengelolaan wisata.

Definisi Operasional

Pada hambatan partisipasi (X) (Mustapha et.al 2013) terdapat tiga peubah variabel (X) yang akan diuji yaitu: hambatan operasional (X1), hambatan struktural (X2), dan hambatan kultural (X3). Ketiga variabel ini masing-masing memiliki indikator penilaian, berikut penjelasnnya.

1. Hambatan Operasional

- Kurangnya koordinasi antara pihak-pihak yang terlibat (X1.1): Penilaian terhadap adanya keengganan para pemangku kepentingan untuk berbagi kekuasaan dalam pengelolaan wisata. Dapat dilihat dari 7 pernyataan, dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: Skor= 7 ≤ X < 14 (Rendah), Skor= 14 ≤ X < 21 (Sedang), dan Skor= 21 ≤ X ≤ 28 (Tinggi.)

- Sentralisasi administrasi publik (X1.2): Penilaian terhadap adanya sistem administrasi terlalu birokratis, segala urusan dalam pengelolaan seperti perizinan usaha, terpusat pada penguasa/pemangku kepentingan. Dapat dilihat dari 7 pernyataan, dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: Skor= 7 ≤ X < 14 (Rendah), Skor= 14 ≤ X < 21 (Sedang), dan Skor= 21 ≤ X ≤ 28 (Tinggi.)

- Kurangnya informasi (X1.3): Penilaian terhadap ketidaktahuan masyarakat tentang adanya informasi apapun terkait pengelolaan. Seperti rapat/ pertemuan penting dengan pihak paling atas, ijin usaha, dll. Dapat dilihat dari 7 pernyataan, dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: Skor= 7 ≤ X < 14 (Rendah), Skor= 14 ≤ X < 21 (Sedang), dan Skor= 21 ≤ X ≤ 28 (Tinggi.)

2. Hambatan Sruktural

Kategori Penilaian Skor Total Hambatan Operasional : - Jika 21 ≤ X < 42 Kategori Rendah

- Jika 42 ≤ X < 63 Kategori Sedang - Jika 63 ≤ X ≤ 84 Kategori Tinggi


(34)

- Dominasi Elite (Pemangku Keentingan) (X2.1): Penilaian terhadap peran dari kaum penguasa/ pemangku kepentingan yang lebih menonjol dan mendominasi dibandingkan masyarakat lokal. Dapat dilihat dari 6 pernyataan, dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: Skor= 6 ≤ X < 12 (Rendah), Skor= 12 ≤ X < 18 (Sedang), dan Skor= 18 ≤ X ≤ 24 (Tinggi.)

- Kurangnya sumberdaya keuangan (X2.2): Penilaian terhadap kurangnya sumberdaya keuangan atau hal-hal dari aspek ekonomi seperti: modal. Masyarakat lokal cenderung beroperasi bisnis skala kecil dan menengah. Hal ini, dilihat dari 6 pernyataan, dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: Skor= 6 ≤ X < 12 (Rendah), Skor= 12 ≤ X < 18 (Sedang), dan Skor= 18 ≤ X ≤ 24 (Tinggi.)

- Sikap profesional (X2.3): Penilaian terhadap adanya para pihak profesional, merasa bahwa ide dan pekerjaan mereka lebih baik daripada orang-orang lokal. Lalu, kurangnya organisasi non-pemerintah yang kuat (LSM) di tingkat nasional atau internasional. Hal ini, dilihat dari 6 pernyataan, dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: Skor= 6 ≤ X < 12 (Rendah), Skor= 12 ≤ X < 18 (Sedang), dan Skor= 18 ≤ X ≤ 24 (Tinggi.)

- Kurangnya hukum yang sesuai sistem (X2.4): Penilaian terhadap hukum yang diterapakan tidak sesuai dalam pengelolaan. Sistem hukum di lokasi wisata tidak benar-benar mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam urusan lokal mereka. Hal ini, dilihat dari 6 pernyataan, dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: Skor= 6 ≤ X < 12 (Rendah), Skor= 12 ≤ X < 18 (Sedang), dan Skor= 18 ≤ X ≤ 24 (Tinggi.)

3. Hambatan Kultural

- Keterbatasan kemampuan (X3.1): Penilaian terhadap keterbatasan kemampuan individu atau masyarakat sendiri, tingkat keterampilan, kapasitas individu. Hal ini, dapat dilihat dari 6 pernyataan, dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: Skor= 6 ≤ X < 12 (Rendah), Skor= 12 ≤ X < 18 (Sedang), dan Skor= 18 ≤ X ≤ 24 (Tinggi.)

- Sikap apatis masyrakat (X3.2): Penilaian terhadap sikap acuh dan tidak peduli yang dimiliki oleh masyarakat lainnya selain itu, Adanya

Kategori Penilaian Skor Total Hambatan Struktural : - Jika 24 ≤ X < 48 Kategori Rendah

- Jika 48 ≤ X < 72 Kategori Sedang - Jika 72 ≤ X ≤ 96 Kategori Tinggi


(35)

kepercayaan dari masyarakat bahwa dirinya memang tidak pantas untuk terlibat dan merasa kalaupun berperan mereka tidak mendapat apa-apa. Hal ini, dilihat dari 6 pernyataan, dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: Skor= 6 ≤ X < 12 (Rendah), Skor= 12 ≤ X < 18 (Sedang), dan Skor= 18 ≤ X ≤ 24 (Tinggi.)

- Rendahnya kesadaran di komunitas lokal (X3.3): Penilaian terhadap masyarakat lokal yang memiliki kesadaran yang kurang akan pentingnya peran dalam pengelolaan. Kurangnya motivasi, dan perlu penyadaran dari pihak pihak lain yang terlibat. Hal ini, dilihat dari 6 pernyataan, dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: Skor= 6 ≤ X < 12 (Rendah), Skor= 12 ≤ X < 18 (Sedang), dan Skor= 18 ≤ X ≤ 24 (Tinggi.)

Sehingga, dari tiga peubah variabel diatas yaitu hambatan operasional (X1), hambatan struktural (X2), dan hambatan kultural (X3) yang merupakan bagian dari hambatan partisipasi masyarakat (X) maka, di dapatkan hasil total untuk pengkategorian penilaian hambatan partisipasi masyarakat (X) adalah :

Variabel (Y)

Pada variabel Y yaitu Efektivitas Pengelolaan Kawasan Wisata terdapat empat indikator penilaian yang akan ditanyakan yaitu: Mampu mempertahankan kelestarian lingkungan (Y1), Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar (Y2), Menjamin kepuasan pengunjung (Y3), dan Peningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat dikawasan dan zona pengembangan (Y4). Keempat indikator penilaian ini adalah empat kesatuan yang nantinya akan menjelaskan sejaumana efektivitas pengelolaan kawasan wisata, berikut penjelasnnya.

1. Mampu mempertahankan kelestarian lingkungan (Y1): Penilaian terhadap kondisi lingkungan terkait kelestarian lingkungan yang terjaga, aman, bersih, alami dan nyaman dirasakan oleh semua orang/ masyarakat. Hal ini, dilihat dari 4 pernyataan, dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: 4 ≤ y < 8 (Rendah), Skor= 8 ≤ y < 12 (Sedang), dan Skor= 12 ≤ y ≤ 16 (Tinggi)

Kategori Penilaian Skor Total Hambatan Kultural : - Jika 18 ≤ X < 36 Kategori Rendah

- Jika 36 ≤ X < 54 Kategori Sedang - Jika 54 ≤ X ≤ 72 Kategori Tinggi

Kategori Penilaian Hambatan Partisipasi Masyarakat (X): - Jika 63 ≤ X < 126 Kategori Rendah

- Jika 126 ≤ X < 189 Kategori Sedang - Jika 189 ≤ X ≤ 252 Kategori Tinggi


(36)

2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar (Y2): Penilaian terhadap peningkatan dalam kondisi kesejahteraan dengan adanya wisata tsb. Yang dilihat dari variable pendapatan, akses pendidikan, akses kesehatan, dan peningkatan dalam kepemilikan aset. Hal ini, dilihat dari 8 pernyataan, dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: 8 ≤ y < 16 (Rendah), Skor= 16 ≤ y < 24 (Sedang), dan Skor= 24 ≤ y ≤ 32 (Tinggi)

3. Menjamin kepuasan pengunjung (Y3): Penialaian terhadap pengelolaan wisata apakah pengelolaan wisata telah mampu dan sanggup menanggung dari hal-hal yang bisa memberi kepuasan bagi pengunjung seperti hal-hal mengenai pelayanan yang ada disekitar wisata, meliputi; daya tarik wisata, kelestarian, fasilitas (sarana dan prasarana). Hal ini, diuraikan kedalam 12 pernyataan dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: 12 ≤ y < 24 (Rendah), Skor= 24 ≤ y < 36 (Sedang), dan Skor= 36 ≤ y ≤ 48 (Tinggi)

Indikator ini tentunya juga akan lebih diperkuat dari pernyataan beberapa pengunjung yang ditemui di lokasi kawasan wisata Gunung Bromo.

4. Peningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat dikawasan dan zona pengembangan (Y4): Penilaian terhadap tercapainya kemampuan masyarakat untuk turut serta/ ikut serta dalam kesatuan pembangunan kawasan wisata pada zona pengembangan yaitu zona yang diperbolehkan untuk dikembangkan seperti mendirikan usaha-usaha wisata. Hal ini, dilihat dari 4 pernyataan, dengan skor jawaban, yaitu: Sangat Setuju= 4, Setuju=3, Tidak setuju=2, Sangat tidak setuju=1. Kategori penilaian: 4 ≤ y < 8 (Rendah), Skor= 8 ≤ y < 12 (Sedang), dan Skor= 12 ≤ y ≤ 16 (Tinggi)

Kategori Penilaian Efektivitas Pengelolaan Kawasan Wisata (Y): - Jika 28 ≤ X < 56 Kategori Rendah

- Jika 56 ≤ X < 84 Kategori Sedang - Jika 84 ≤ X ≤ 112 Kategori Tinggi


(37)

PENDEKATAN LAPANG

Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif untuk memperkaya analisis. Pendekatan kuantitatif merupakan penelitian survei dengan menggunakan instrumen kuisioner sebagai alat pengumpul data primer yang diambil dari responden. Adapun pendekatan kualitatif adalah meneliti subyek penelitian atau informan dalam lingkungan hidup kesehariannya dengan cara berinteraksi secara lansung, mengenal secara dekat kehidupan mereka dan mengamatinya (Rianse dan abdi 2009). Data kualitatif diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam ke beberapa informan seperti pihak pengelola kawasan wisata (Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) wilayah Kabupaten Probolinggo, pemerintah Desa Ngadisari, kepala adat Suku Tengger, dan beberapa responden yang juga sekaligus dipilih sebagai informan. Pendekatan kuantitatif dan kualitatif dikombinasikan dalam upaya memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti (Singarimbun dan Effendi 2006).

Lokasi Dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di desa sekitar kawasan wisata Gunung Bromo, Jawa Timur, yaitu Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi penelitian, dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan kondisi pengelolaan wisata. Selain itu, adanya keterlibatan masyarakat lokal yang dapat dilihat dari bentuk-bentuk partisipasi yang dilakukan cukup beragam di kawasan wisata tersebut yaitu wisata Gunung Bromo (TNBTS), banyaknya pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan kawasan wisata seperti pemerintah daerah, pengusaha perseorangan, koperasi, BUMN, BUMD, swasta, dan tentunya komunitas/kelompok masyarakat sendiri. Desa Ngadisari dipilih karena posisinya terdekat dengan kawasan wisata Gunung Bromo, dan masyarakatnya masih merupakan masyarakat asli lokal yaitu Suku Tengger yang sudah turun-temurun mendiami desa tersebut juga menjadi alasan lokasi ini dipilih oleh peneliti. (Lampiran 1. Peta Lokasi Desa Ngadisari)

Proses pra penelitian dimulai sejak bulan januari 2015 mulai dari penyusunan proposal, kolokium (seminar proposal), perbaikan proposal, dan pengajuan izin turun lapang, sedangkan proses penelitian turun ke lapang dilakukan dalam waktu tiga minggu di bulan maret 2015. Selanjutnya setelah pengambilan data di lapangan dilakukan pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, uji petik, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi.

Teknik Pemilihan Responden dan Informan

Populasi sasaran dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang berada di sekitar kawasan wisata yaitu, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. Pada pendekatan kuantitatif


(38)

responden dipilih untuk menjadi target survey. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumahtangga sekitar kawasan wisata. Pemilihan responden dilakukan dengan menggunakan teknik pengambilan sampel secara Non-probability yaitu purposive sampling dengan kriteria: 1). Merupakan masyarakat asli Suku Tengger yang terlibat lansung dalam kegiatan wisata. 2). Memiliki pengetahuan seputar kegiatan-kegitan dalam pengelolaan wisata. 3). Merupakan para pelaku wisata (bekerja di bidang wisata). Artinya responden yang dipilih hanyalah orang-orang atau masyarakat yang berhubungan atau berperan langsung dalam sistem serta kegiatan-kegiatan pengelolaan kawasan wisata di Gunung Bromo. Jumlah sampel yang dijadikan responden berjumlah 50 rumahtangga.

Teknik ini dipilih karena peneliti tidak mengetahui secara pasti jenis populasi secara keseluruhan (homogen atau heterogen), dan peneliti belum mendapatkan data yang pasti terkait masyarakat yang secara keseluruhan terlibat langsung dalam pengelolaan wisata. Sehingga, tidak semua masyarakat mendapatkan kesempatan yang sama sebagai sampel. Terlepas dari beberapa kelemahan dari tenik ini, teknik purposive juga dipilih karena, melihat dari tujuan khusus penelitian, yaitu untuk mendeskripsikan keragaman bentuk partisipasi masyarakat dan menganalisis hambatan partisipasi meliputi hambatan operasional, struktural, kultural serta hubungannya dengan efektivitas pengelolaan wisata.

Sementara pendekatan kualitatif, pemilihan informan sebagai sumber informasi primer untuk memperoleh data kualitatif, dengan menggunakan teknik purposive, yaitu para stakeholder terkait (para pamong desa, kades, ketua adat/suku, kepala dusun, pihak pengelola wisata) yang turut andil dalam pengelolaan wisata Gunung Bromo. Jika memungkinkan, beberapa responden yang telah mengisi kuisioner juga akan dijadikan sebagai informan. Banyaknya informan di sini tidak dibatasi, akan tetapi informan tersebut sudah dapat memberikan informasi yang relevan dan dapat membantu peneliti dalam menjawab perumusan masalah dalam penelitian ini.

Teknik Pengumpulan Data

Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survei yaitu mengambil sampel dari suatu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat penggumpul data. Kuisioner diberikan/diajukan kepada responden dan responden mengisi lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan berupa pernyataan dengan pilihan jawaban sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju (Lihat pada lampiran 2). Metode lain yang digunakan adalah melalui observasi lapang di lokasi penelitian guna melihat fenomena aktual yang terjadi dan juga mengkaji dokumen yang ada seperti data monografi desa dan sistem pengelolaan kawasan wisata.

Pengumpulan data kualitatif yang dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam melalui informan dengan topik yang terkait seperti: bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wisata, hambatan-hambatan yang terjadi dalam partisipasi dan bagaimana sistem pengelolaan terkait peningkatan efektifitas pengelolaan wisata (Lihat pada lampiran 3). Selanjutnya, dari hasil wawancara di lapang dituangkan ke dalam catatan harian dengan bentuk uraian rinci dan kutipan langsung. Data sekunder didapatkan dari dokumen- dokumen desa dan balai kawasan wisata seperti informasi mengenai gambaran


(39)

umum desa (melalui data monografi), sejarah kawasan wisata, daya tarik wisata, dan seputar penetapan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Lebih lanjut tentang pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Metode Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan Sumber data Kuesioner

(primer)

Karakteristik responden Bentuk partisipasi

Adanya hambatan partisipasi Tingkat efektivitas pengelolaan wisata

Masyarakat lokal dan pengunjung

Wawancara Mendalam (primer)

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan wisata

Bagaimana sikap responden menghadapi

hambatan-hambatan yang mempengaruhi dirinya untuk berpartisipasi. Sistem pengelolaan menurut pihak pengelola. Para pamong Desa (Kades, RT, RW,) Masyarakat lokal Pihak pengelola Observasi Lapang (primer)

Aktivitas masyarakat lokal dan beragam matapencaharian yang dilakukan masyarakat sekitar.

Data di lapang

Analisis Dokumen (Sekunder)

Sejarah pengembangan wisata dan gambaran umum desa, masyarakat lokal melaui data monografi desa.

Data sekunder

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah terkumpul dilakukan reduksi data, yakni pemilihan, pemusatan perhatian, serta penyederhanaan terhadap data sehingga menjawab tujuan penelitian. Data kuatitatif diperoleh melalui kuesioner. Sebelumnya, untuk menguatkan kuesioner sebagai salah satu instrumen maka dilakukan uji reabilitas. Hasil uji reliabilitas kuisioner ditunjukkan oleh Tabel 3.

Tabel 3 Uji reliabilitas instrument

Nama Variabel Cronbach‟s Alpha N of Items

-Hambatan Operasional (X1) 0,862 21

-Hambatan Struktural (X2) 0,831 24

-Hambatan Kultural (X3) 0,920 18

Hambatan Partisipasi (X) 0,908 63 Efektivitas Pengelolaan Kawasan Wisata (Y) 0,762 28

Sumber : Uji reliabilitas SPSS for windows ver.20

Aturan penentuan nilai Alpha Cronbach dalam reliabilitas instrumen menurut Sugiyono (2010) yaitu koefisien dengan interval 0,000 – 0,199 termasuk


(1)

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 6. Kerjasama pengembangan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan, 7. Pengembangan dan pemafaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam, dan 8. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

Saat ini pengelolaan kawasan wisata Gunung Bromo terkait kemampuan menjaga kelestarian lingkungan dapat dikatakan sudah mampu untuk menjaganya. Hanya saja, masih ada oknum-oknum dari masyarakat yang tidak sadar dan tidak bertanggung jawab atas kebersihan lingkungan sekitar kawasan wisata. Jika dilihat, terutama disekitar kawasan Laut Pasir terkadang ada kotoran kuda yang berserakan. Memang merupakan sampah organik tetapi bagi pengunjung itu sangat mengganggu indra penglihatan dan penciuman mereka. Padahal, sudah ada sosialisasi bagi para penarik kuda untuk memberi wadah plastik dibagian belakang (tempat pembuangan kuda) agar kuda sudah tidak buang kotoran

sembarangan di jalanan, namun si pemilik kuda ada saja yang „bandel‟ tidak

melakukannya. (Sumber: M.ADZM diperkuat dengan pernyataan BPK.STM) Pada indikator efektivitas yang ke-2 yaitu peningkatan kesejahteraan masyarakat, dapat dikatakan masyarakat sangat terbantu akan adanya kesempatan untuk bisa terlibat dalam pengelolaan kawasan wisata dan diperbolehkan untuk membuka usaha-usaha dan jasa dibidang wisata. Peningkatan dapat dilihat dari tercapainya kebutuhan sehari-hari, mengingat masyarakat Desa Ngadisari yang sepenuhnya merupakan masyarakat yang bermata pencaharian melalui pertanian atau seorang petani. Sembari menunggu hasil panen yang bisa memerlukan berbulan-bulan maka, dari wisatalah mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan dapat menafkai keluarganya.

Pengelolaan kawasan wisata Gunung Bromo dari segi mampu menjamin kepuasan pengunjung dapat dikatan belum sepenuhnya. Hal ini dikarenakan, masih banyak fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan pengunjung belum tercapai seperti halnya penggunaan Rest Area yang masih terbengkalai tidak digunakan selayaknya. Bahkan, bukan sebagai tempat peristirahatan ataupun pemberhentian melainkan hanya ada namun, tidak ada yang menggunakan. Toko-toko yang sudah disediakan tidak ada yang menempati, serasa mati, diabaikan tanpa ada menempati. Tersedianya cinderamata hanya segelintir orang saja yang menyediakannya, dan itupun di puncak/ pennjakan satu seperti shal, topi, jaket, boneka namun untuk gantung kunci, foto hasil jadi belum tersedia. Masih banyak masyarakat yang belum memanfaatkan kesempatan dibidang ini. Dan perlunya pemberdayaan masyarakat dalam hal pengembangan keterampilan diri. Dilain hal harga tiket yang cukup mahal jika dibandingkan harga tiket yang dulu juga menjadi problema segelintir masyarakat dan pengunjung walaupun tidak banyak, karena setiap orang punya pandangannya masing-masing. Harga tersebut sudah ada sebagian untuk asuransi keselamatan mereka dalam perjalanan. Sehingga, masih cukup wajar.

Indikator terakhir yaitu tercapainya keterpaduan pembangunan masyarakat, dapat dikatakan sudah tercapai masyarakat sepenuhnya sudah dilibatkan, mampu membaur dengan berbagai pihak atas (pemerintah, Swasta, Balai TN). Masyarakan mengembangkan diri dalam hal pengorganisasian melalui paguyuban-paguyuban yang ada seperti paguyuban motor jip, kuda, homestay, rumah makan, ojek. Selain itu, masyarakat terutama masyarakat yang berada di desa penyangga, sudah mampu memanfaatkan zona pengembangannya dengan


(2)

sebai mungkin merawatnya, menjaganya sesuai dengan peraturan yang telah dibuat dan telah disepakati bersama-sama.


(3)

Lampiran 8. Daftar nama responden dan Informan

No. Res Nama JK No. Res Nama JK

1 SUM L 26 KTY L

2 MEM P 27 ADW L

3 LAS L 28 PAR L

4 KAR L 29 REP L

5 SUN L 30 SAR L

6 SAN P 31 SUY L

7 PAI L 32 YLT P

8 KUS L 33 KTN P

9 BUD L 34 MIS L

10 SUT L 35 SND L

11 KER L 36 TIK L

12 DLJ L 37 STS L

13 SWK L 38 HTN L

14 DW L 39 SGN L

15 MAR L 40 SWS L

16 GW P 41 SMT L

17 KRY L 42 SWT L

18 SUT L 43 STA L

19 HAR L 44 KRL L

20 PON L 45 SUP L

21 SYN L 46 SUG L

22 SGW L 47 KMJ L

23 MRT L 48 JMI L

24 SMN L 49 MUN L

25 SNT L 50 SGO L

Daftar nama informan

NO Nama (Jabatan) NO Nama (Jabatan)

1. ADZM (Staff Balai TNBTS) 6. SWK (Kepala Dusun) 2. SPY (Mantan Kades, Dinas Wisata) 7. YLT (Penyedia jasa Kuda) 3. STM (Dukun Pandita) 8. SR (Pemilik Homestay) 4. DW (Penyedia jasa JIP dan Kuda) 9. RDN (Pengunjung) 5. KTN (Penyedia jasa Kuda) 10. NRL (Pengunjung)


(4)

Lampiran 9. Dokumentasi di lapang


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Eka Desi Yulia atau akrab disapa dengan panggilan Eci ini dilahirkan di Probolinggo pada tanggal 01 Desember 1993, Putri pertama dari pasangan Bapak Marguno dan Ibu Yuliati. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah TK Pertiwi Kotaanyar (1998-1999), SD Negeri Kotaanyar 1 (1999-2005), SMP Negeri 1 Kraksaan (2005-2008), dan SMA Negeri 1 Kraksaan (2008-2011). Pada tahun 2011, penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) undangan.

Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif dalam beberapa organisasi, yaitu Anggota UKM Gentra Kaheman (2011-2013), Anggota bidang Komunikasi Internal dan Eksternal UKM Gentra Kaheman (2012-2013), berada dibawah naungan OMDA Forum Mahasiswa Probolinggo (FMP) (2011-sekarang). Selain itu penulis juga pernah aktif dalam beberapa kepanitiaan didalam kampus, yaitu Anggota Divisi Sponsorship Ki Sunda Midang IX (2012), Ketua Divisi Sponsorship Pamitran (2013), Anggota Divisi Acara Ki Sunda Midang X (2013), Anggota Divisi Acara IPB Art Contest (IAC 2013), dan Anggota Divisi Acara Festifal Kampus (2013). Selain pengalaman organisasi maupun kepanitiaan, penulis juga pernah mendapat prestasi di bidang non-akademik yaitu Juara 1 SENDRATARI (Grup) dalam acara Festival Budaya Nusantara di STAN (Sekolah Akutansi Negara) mewakili IPB pada Tahun 2013