1
Universitas Kristen Maranatha
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Menurut Santrock 2012, masa dewasa madya adalah masa yang dimulai ketika seorang memasuki usia 40-45 tahun hingga 60-65 tahun. Menurut seorang ahli
life span, Gilbert Brim 1992 dalam Santrock 2012 menyatakan bahwa middle adulthood atau dewasa madya adalah masa yang penuh perubahan dan konflik. Masa
dewasa madya disebutkan sebagai sebuah masa yang unik karena terjadinya loss and gain balance pada masa tersebut. Losses and gains terjadi seimbang baik pada aspek
biologis maupun sosiokultural, seperti pendidikan, karier, dan relationship Willis Schaie, 2005 dalam Santrock, 2012.
Memasuki usia dewasa madya, ada banyak perubahan yang dialami oleh seseorang. Menurut Santrock 2012, pada usia dewasa madya, seseorang akan
mengalami perubahan fisik dan perubahan kognitif. Perubahan fisik yang kentara misalnya kulit yang tidak lagi sekencang dulu dan rambut yang mulai memutih.
Beberapa di antaranya mengalami gangguan penglihatan jarak dekat dan mulai kesulitan mendengar suara yang low pitched. Jumlah kematian pada dewasa madya
meningkat karena penyakit kronis mulai bermunculan, seperti kanker atau serangan jantung. Untuk seksualitas, wanita mulai mengalami menopause dan perubahan
hormonal pada pria bisa mengarah pada erectile dysfunction. Sementara itu,
Universitas Kristen Maranatha
perubahan kognitif pada dewasa madya mencakup adanya penurunan pada memori dan intelektual.
Perubahan pada aspek sosial juga muncul pada seseorang ketika memasuki masa dewasa madya. Misalnya saja, perhatian dewasa madya mulai terbagi dua, yaitu
kepada anaknya yang semakin besar dan kepada orang tuanya yang semakin tua. Usia dewasa madya biasanya sudah mulai menyesuaikan diri dengan melepas anaknya
yang berkuliah atau yang sudah menikah dan mulai membagi waktu untuk mengurus orangtua yang sakit. Dalam pekerjaan, dewasa madya sudah berada dalam posisi
puncak dan mendapatkan karier yang memuaskan. Mereka juga dihadapkan pada situasi-situasi seperti memersiapkan keadaan finansial untuk biaya kuliah anak, atau
bersiap memasuki masa pensiun. Dewasa madya juga mulai dihadapkan pada pencarian makna hidup atau
meaning in life. Viktor Frankl 1984 dalam bukunya Man’s Search of Meaning
mengatakan bahwa dengan menyadari keterbatasan eksistensi seseorang sebagai manusia dan kesadaran akan adanya kematian memberikan suatu makna bagi hidup.
Frankl 1984 juga menjelaskan bahwa manusia memiliki tiga most distinct qualities yaitu spirituality, freedom, dan responsibility. Melalui spiritualitas, seseorang dapat
memertanyakan mengapa ia ada di dunia ini, apa yang diinginkan, dan apa makna hidupnya. Memasuki usia dewasa madya, banyak individu yang mulai mengevaluasi
apa yang dipertanyakan Frankl dalam bukunya tersebut Cohen, 2009 dalam Santrock, 2012.
Koenig 2002 mengatakan bahwa seiring dengan semakin menuanya usia, akan sangat mungkin bagi seseorang untuk kehilangan tujuan dan identitasnya,
padahal dewasa madya juga sedang dihadapkan pada proses pencarian meaning in life atau makna hidup. Itu sebabnya, dewasa madya mulai mengembangkan kehidupan
Universitas Kristen Maranatha
spiritualitas. Jung 1964 dalam Wink Dillon, 2002 mengatakan bahwa memasuki usia midlife, individu cenderung mulai mengeksplorasi aspek spiritual dari dalam diri
mereka. Sebelumnya, individu lebih sibuk mengurus hal lain seperti mengembangkan karier atau mengurus keluarga. Spiritualitas sendiri adalah produk dari maturational
process yang muncul dalam adult life Alexander et al. 1990; Sinnott, 1994. Spiritualitas akan muncul dan dikembangkan oleh seseorang untuk menciptakan
spiritual well-being. Spiritual well-being menurut Canda 1988 dalam Velasco-Gonzalez Rioux,
2013 adalah pencarian seseorang terhadap makna personal dan hubungan yang saling melengkapi dengan orang lain, lingkungan non-human, dan Tuhan. Spiritual well-
being merujuk pada suatu keadaan dan perasaan yang positif, terhadap perilaku dan kognisi, terhadap hubungan dengan diri sendiri dan orang lain, dan terhadap dimensi
transenden. Keberadaan spiritual well-being melahirkan sense of identity pada diri seseorang, integritas, kepuasan, keindahan, cinta, rasa hormat, sikap positif, inner
peace dan harmoni, serta target dan tujuan dalam hidup. Menurut Gomez dan Fisher 2003, spiritual well-being memiliki empat
domain. Pertama, domain personal, menjelaskan tentang hubungan seseorang dengan dirinya sendiri terkait tujuan dan nilai hidup. Kedua, domain communal, yaitu kualitas
dan kedalaman hubungan seseorang dengan orang lain terkait moral, kultur, dan agama. Ketiga, domain environmental, yaitu kepedulian dan kepekaan terhadap
lingkungan. Terakhir, domain transcendental, yaitu hubungan diri dengan sesuatu yang bersifat lebih tinggi, transenden, atau Tuhan.
Mengingat bahwa dewasa madya mengalami perubahan-perubahan besar dalam hidup seperti pensiun, the empty nest, perkembangan atau penurunan dalam
karier, dan masalah kesehatan yang mulai muncul, maka spiritual well-being menjadi
Universitas Kristen Maranatha
penting bagi dewasa madya. Spiritual well-being bisa menjadi penopang seseorang dalam menghadapi traumatic stress akibat traumatic stressor Lee Waters, 2003,
dalam Bonet 2009. Oleh karena itu, adanya spiritual well-being pada dewasa madya berguna untuk menghadapi perubahan-perubahan besar dalam hidup yang mulai
dialami. Dengan spiritual well-being, seseorang menyadari bahwa meskipun mereka memiliki masalah, stressors, dan tantangan, mereka tetap tidak akan terpengaruh oleh
situasi. Individu yang memiliki spiritual well-being tidak akan bingung mengenai
tujuan hidupnya, sehingga kehidupan kesehariannya pun akan lebih tertata dan memiliki maksud yang jelas. Individu akan memperhatikan kesehatan tubuhnya
karena menyadari bahwa kesehatan merupakan sebuah karunia yang harus dijaga. Spiritual well-being membuat seseorang berusaha membina hubungan yang baik
dengan keluarga, tetangga, bahkan masyarakat luas, misalnya saja, seseorang tidak akan ragu untuk menolong tetangganya jika terjadi sesuatu. Spiritual well-being yang
dimiliki seseorang mendorongnya untuk menjaga lingkungan sekitar, contohnya seperti menjaga kebersihan di lingkungan rumah atau membiasakan diri tidak
membuang sampah sembarangan karena menyadari bahwa dampaknya akan buruk bagi lingkungan. Kemudian, seseorang yang memiliki spiritual well-being akan
merasa kecil dalam artian ia menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar darinya dalam kehidupan ini. Hal tersebut akan tercermin dengan menunjukkan ketaatan
beribadah jika seseorang itu memeluk suatu agama tertentu. Spiritual well-being membantu seseorang untuk menumbuhkan rasa syukur, rasa cinta, memaafkan, dan
menghilangkan rasa takut akan kematian. Sebelumnya, S melakukan wawancara dengan lima orang dewasa madya. 60
di antaranya adalah perempuan, sementara 40 laki-laki. Sebanyak 80 menyatakan
Universitas Kristen Maranatha
bahwa memasuki usia dewasa madya, mereka memiliki lebih banyak waktu luang bagi diri sendiri, karena anak-anak sudah besar dan sudah sibuk dengan urusan
masing-masing. Satu orang dewasa madya perempuan 20 memiliki anak yang sudah menikah, sementara 40 lainnya memiliki anak yang masih berkuliah. Dengan
kebebasan waktu yang dimiliki, individu dewasa madya bisa melakukan kegiatan lain yang sebelumnya jarang dilakukan. Misalnya, bisa menjalankan hobi membaca buku
atau bersepeda, juga lebih bebas untuk melakukan pertemuan dengan teman-teman lama guna melakukan kegiatan bersama, dapat kembali aktif untuk reuni sebagai
kegiatan yang berguna terutama untuk menjalankan silaturahmi dan memeroleh informasi tentang keadaan teman-teman lainnya, misalnya sakit dan membutuhkan
biaya yang banyak untuk berobat. Biasanya jika ada teman yang kesusahan, akan berinisiatif mengumpulkan uang untuk membantu. Selain itu, kegiatan yang tidak
kalah intensnya yang dilakukan adalah beribadah dan belajar lebih banyak tentang agama, sebagai bekal dalam menjalani hidup yang sudah tidak muda lagi.
Sebelumnya, dewasa madya ini mengakui lebih fokus kepada urusan rumah tangga, pekerjaan, dan anak-anak.
Berbeda dari yang lainnya, satu orang dewasa madya perempuan 20 masih memiliki anak usia SD dan menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Dinyatakan
bahwa kehidupan sehari-harinya masih berfokus pada anak karena anaknya masih kecil dan masih perlu pengawasan. Waktu untuk diri sendiri memang ada, namun
tidak banyak. Waktu yang sedikit itu dimanfaatkan untuk bertemu dengan teman- teman, selebihnya anak menunggu di rumah, meskipun terkadang merasa tidak tenang
karena tidak biasa. Menurutnya, cukup sulit mencari waktu untuk memelajari tentang agama dan mengurus hal lain selain urusan rumah tangga dan anak, sementara teman-
Universitas Kristen Maranatha
teman seusianya sudah banyak yang mulai mendalami agama, misalnya dengan cara mendengarkan kajian di tempat ibadah.
Pola perkembangan spiritualitas itu bervariasi berdasarkan gender dan cohort Wink Dillon, 2002. Perempuan akan concern pada isu spiritualitas lebih cepat
dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan akan lebih fokus pada relationships, feelings, dan memahami orang lain, sementara itu laki-laki akan lebih fokus pada
objektivitas moral dan memisahkan perasaan personal mereka dalam berbagai macam situasi Rich, 2012. Pada awalnya, Kellums 1995, dalam Hammermeister et. al.,
2001 melakukan penelitian tentang perbedaan spiritual well-being pada mahasiswa laki-laki dan perempuan dan mendapatkan hasil bahwa efek gender sangat kecil.
Namun, Hammermeister et al. 2001 melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan spiritual well-being pada mahasiswa laki-laki dan perempuan. Dari
penelitian tersebut didapatkan bahwa spiritual well-being pada perempuan lebih tinggi daripada pada laki-laki pada rata-rata usia 23 bagi mahasiswa laki-laki dan 22
bagi perempuan. Kedua penelitian di atas menggunakan Spiritual Well-Being Scale yang disusun oleh Ellison 1991. Hasil dari penelitian Hammermeister et. al. 2001
sejalan dengan isu religiusitas dimana kecenderungan religiusitas yang lebih tinggi terdapat pada perempuan dibandingkan pada laki-laki Koenig et. al., 1988 dalam
Hammermeister et. al., 2001. Penemuan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa mahasiswa dengan gender laki-laki harus lebih memperhatikan kembali spiritual well-
being-nya, karena spiritual well-being memiliki hubungan langsung dengan kesehatan dan bagaimana seseorang coping dari berbagai macam stressor yang muncul dalam
kehidupan sehari-hari. Meningkatkan spiritual well-being dapat dilakukan dengan bantuan ahli melalui intervensi.
Universitas Kristen Maranatha
Ada beberapa alasan yang menjadi dasar mengapa dilakukan penelitian yang membedakan spiritual well-being pada laki-laki dan perempuan. Pertama adalah
karena spiritual well-being adalah area yang jarang disentuh, berbeda dengan religiusitas yang sudah diteliti berkali-kali dan umumnya memiliki hasil yang sama,
yaitu religiusitas perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Partisipasi perempuan dalam kegiatan keagamaan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki
menjadi batu loncatan bagi perempuan untuk menumbuhkan spiritualitas Burke, 1999 dalam Bryant, 2007. Kedua adalah perkembangan laki-laki dan perempuan
pada dasarnya berbeda, ditinjau dari moral reasoning, cara-cara dalam mengetahui sesuatu, gaya attachment, emosi, dan pembentukan identitas Bryant, 2007. Ketiga
adalah adanya pola perkembangan spiritual yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Ochs 1983, dalam Bryant, 2007 mengatakan bahwa spiritualitas pada
laki-laki dianggap sebagai sebuah proses pendewasaan yang berupa individuation, sementara spiritualitas pada perempuan berupa nurturing in a relationship. Randour
1987 dalam Bryant, 2007 kemudian menyatakan bahwa bukan berarti laki-laki tidak memiliki fokus terhadap relationship, hanya saja bentuknya berbeda dari perempuan.
Laki-laki berhubungan dengan lingkungan sosialnya dengan menggunakan moral, sementara perempuan lebih pada sensitivitas, kepedulian, dan rasa tanggung jawab.
Hal tersebut membuat spiritualitas antara laki-laki dan perempuan memiliki keunikannya masing-masing.
Melihat keadaannya di Indonesia, khususnya di kota Bandung, memasuki usia dewasa madya perempuan memang terlihat lebih aktif dibandingkan laki-laki dalam
hal agama dan Tuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari perempuan yang lebih aktif mengikuti kajian keagamaan di tempat ibadah untuk membenahi diri agar bisa
menjadi individu yang lebih baik lagi dibandingkan sebelumnya. Misalnya, jumlah
Universitas Kristen Maranatha
jemaat yang menghadiri pengajian di Mesjid selalu lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki, padahal dalam agama Islam yang menjadi agama mayoritas di
Indonesia, laki-laki dipandang sebagai imam sehingga selain bertanggung jawab dalam hal nafkah juga bertanggung jawab untuk mengajak keluarganya untuk
beribadah. Bukan berarti dewasa madya laki-laki tidak memiliki concern dengan kehidupan keagamaan mereka, namun pada prakteknya di dalam kehidupan sehari-
hari, perbedaannya jelas terlihat antara dewasa madya laki-laki dan perempuan, dimana perempuan lebih konkrit dalam pengekspresian spiritualnya. Peneliti
berasumsi bahwa fenomena ini bisa mengarah pada lebih rendahnya spiritual well- being dewasa madya laki-laki dibandingkan dengan spiritual well-being pada dewasa
madya perempuan. Melalui paparan di atas dapat dilihat bahwa spiritual well-being adalah
komponen penting bagi dewasa madya dalam menjalani kehidupan dan menghadapi permasalahan yang muncul. Dengan mengetahui perbedaan spiritual well-being pada
dewasa madya laki-laki dan perempuan maka akan menjadi informasi bagi dewasa madya dan dapat dijadikan bahan evaluasi diri dalam upaya meningkatkan spiritual
well-being masing-masing. Dengan ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai
perbedaan derajat spiritual well-being antara dewasa madya laki-laki dan perempuan di kota Bandung.
Universitas Kristen Maranatha
1.2. Identifikasi Masalah