Perbedaan kecerdasan emosi pada laki laki dan perempuan dewasa dini

(1)

i   

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI PADA LAKI-LAKI DAN

PEREMPUAN DEWASA DINI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Yosephine Harsentya Kristyantari

069114009

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2013


(2)

(3)

(4)

iv   

M otto

K nowing is not enough , we must appl y. Wil l ing is not enough,

we must do

.

-

B ruce L ee

-

J ik a... k ebahagiaan adal ah t idak adanya r asa demam, mak a

saya t idak ak an per nah mengenal k ebahagiaan. K ar ena saya

mender it a demam penget ahuan, pengal aman, dan pencipt aan.


(5)

v   

K arya ini kupersembahkan special untuk :

Yesus K ristus dan Bunda M aria

Yang memberkati aku dalam menjalani kehidapanku selama ini dan telah mengirim Roh pengertian untuk selalu mendampingiku demi kelancaran skripsi ini…

Papa ,Mamaku, kakak , adikku tersayang dan segenap keluarga besar yang telah banyak memberikan dukungan dan nasihat-nasihat serta sahabat-sahabatku Dan Kekasihku yang selalu menyediakan waktu untuk memberikan saran dan


(6)

(7)

vii   

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSI PADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DEWASA DINI

Yosephine Harsentya Kristyantari

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kecerdasan emosi pada laki-laki dan perempuan dewasa dini. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kecerdasan emosi pada laki-laki dan perempuan dewasa dini. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 138 yang terbagi dari 69 laki-laki dan 69 perempuan yang memiliki rentan usia 20 sampai 40 tahun. Dalam penelitian ini, peneliti mengunakan teknik purposive sampling. Data penelitian diungkapkan dengan skala kecerdasan emosi dengan teknik likert. Berdasarkan uji hipotesis dengan mengunakan independent sample t-test di peroleh nilai t sebesar -0,099 dengan probabilitas 0,922(p>0,05). Hasil tersebut menunjukan bahwa hipotesis tidak terbukti, bahwa tidak terdapat perbedaan kecerdasan emosi pada laki-laki dan perempuan dewasa dini. Namun, berdasarkan tinjauan tiap komponen kecerdasan emosi, pada komponen mengelola emosi terdapat perbedaan yang signifikan pada laki-laki dan perempuan dewasa dini dengan nilai t sebesar 2,340 dengan probabilitas 0,021 (p<0,05).


(8)

viii   

THE DIFFERENCE OF EMOTIONAL INTELLIGENCE BETWEEN MALE AND FEMALE EARLY ADULTHOOD

Yosephine Harsentya Kristyantari ABSTRACT

This research aimed to determine the different of emotional intelligence between male and female early adulthood. The hypothesis of this research was there are differences of emotional intelligence between male and female early adulthood. There were 138 subjects of this research divide into 69 male and 69 female early with age between 20 until 40 years old. In this research, researcher used purposive sampling technique. Data of this research was showed by emotional intelligence scale,Likert technique . Based on the hypothesis using the independent sample t-test, it was found that the t value -0,099 with 0,0922 (p>0,05) of probability. The result showed that the hypothesis is not valid, that there are no differences of emotional inteligence between male and female early adulthood. However, based on each compoment emotional intelligence, found that in managing emotion component there were significant differences between male and female early adulthood with the t value of 2, 340 and 0,021 (p<0,05) of probability.

The key words : emotional intelligence,sex,early adulthood

                                         


(9)

(10)

x   

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya serta kesempatan yang diberikan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi yang berjudul “Perbedaan Kecerdasan Emosi pada Laki-laki dan Perempuan Dewasa Dini ” ini hingga selesai. Penulis menyadari proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati saya ingin mengucapkan terimakasih yang sangat dalam kepada:

1. Dr. Ch. Siwi Handayani selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang memotivasi kami untuk cepat menyelesaikan skripsi.

2. Ratri Sunar, S.Psi.,M.Psi selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan motivasi dan fasilitas untuk proses mengerjakan skripsi.

3. Tanti Arini, S.Psi.,M.Psi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memotivasi kami selama proses pengerjaan skripsi.

4. C. Siswa Widyatmoko, S.Psi.,M.Psi, sebagai dosen pembimbing skripsi dan Mbak Haksi yang ikut membimbing dan mengarahkan dalam proses penyusunan skripsi hingga selesai.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi, Santa Dharma, Yogyakarta yang telah memberikan pengetahuan dan ilmu yang berharga kepada penulis.


(11)

xi   

6. Mas Doni, Mas Muji. Mbak Nanik, Mas Gandung dan Pak Gie yang telah membantu dan juga menjadi teman bagi para mahasiswa.

7. Seluruh anggota komunitas media dan dance di Semarang Terimakasih atas partisipasi dan bantuannya dalam proses pengumpulan data.

8. Mama dan Papaku tersayang yang selalu memberikan doa, dukungan, kesabaran dan nasihat yang sangat berguna.

9. Mas Hendri , Adek Hendar , dan dek’ Vina yang sudah memotivasi dan memberikan doa dalam proses pengerjaan skripsi serta selalu menjadi teman berkeluh kesah.

10. Tante Shinto, dek’Nabila, dek’Rafly , dan dek’Ridho atas canda tawa dan motivasi yang diberikan.

11.Sahabatku tersayang Dewi Novialine atas dukungan, perhatian, pengertian serta kebersamaan yang telah diberikan sampai saat ini.

12.Jamaludin‘Flazhh’ selaku teman, sahabat, dan kekasih yang telah memberikan perhatian, dukungan, kesabaran, kebersamaan serta telah banyak membantu dalam proses pengumpulan data dan pengolahan data.

13.Temanku terkentir dan terkonyol Agri ‘Mupet’ atas sindiran dan canda tawa serta dukungan selama proses pengerjaan skripsi ini.

14.Teman-temanku Tari, Liza, Ayu atas semua dukungan, bantuan dan dorongan untuk cepat menyelesaikan skripsi.

15.Teman-teman satu perjuangan Ratih yang telah membantu, memotivasi untuk hadir bimbingan dan memberikan dukungan setiap hari untuk menyelesaikan skripsi ini.


(12)

xii   

16. Kak’Maestri, Citra, dan Aji atas dukungan dan motivasi serta keleraannya untuk menjadi preview skripsi ini.

17.Warga kost Pondok Morelia atas tumpangan dan canda tawa yang diberikan serta dukungannya.

18.Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu…terimakasih atas dukungan yang diberikan.

Yogyakarta, Penulis


(13)

xiii   

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL...xvii

DAFTAR LAMPIRAN ...xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

1. Secara Teoritis ... 5


(14)

xiv   

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Masa Dewasa Dini ... 7

1. Pengertian Masa Dewasa Dini ... 7

2. Ciri-ciri Dewasa Dini ... 8

3. Tugas Perkembangan Dewasa Dini ... 11

4. Tahap Perkembangan Masa Dewasa Dini ... 13

B. Kecerdasan Emosi ... 15

1. Pengertian Kecerdasan Emosi ... 15

2. Komponen- komponen Kecerdasan emosi ... 16

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan emosi ... 17

4. Pengukuran Kecerdasan Emosi ... 19

C. Perbedaan Laki – laki dan Perempuan dari Anatomi Otak ... 21

D. Perbedaan Kecerdasan Emosi antara Laki –laki dan Perempuan ... 25

E. Hipotesis ... 30

BAB. III METODOLOGI PENELITIAN ... 31

A. Jenis Penelitian ... 31

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 31

C. Definisi Operasional Penelitian ... 31

1. Jenis Kelamin ... 31

2. Kecerdasan Emosi ... 31

D. Subjek Penelitian ... 32

E. Metode dan Alat Pengumpul Data ... 33


(15)

xv   

2. Alat Pengumpulan Data ... 33

F. Pengujian Alat Ukur ... 35

1. Validitas ... 35

2. Reliabilitas ... 35

3. Seleksi Item ... 36

G. Analisis Data ... 36

1. Uji Asumsi ... 36

2. Uji Hipotesis ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Persiapan Penelitian ... 38

1. Uji Coba Alat Ukur ... 38

2. Persiapan Penelitian ... 40

B. Pelaksanaan Penelitian ... 41

C. Hasil Penelitian ... 41

1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 41

2. Deskripsi Data Penelitian ... 42

3. Uji Asumsi ... 44

4. Uji Hipotesis ... 46

5. Analisis Tambahan ... 46

D. Pembahasan ... 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 53 

A. Kesimpulan ... 53 


(16)

xvi   

1. Bagi Orang Dewasa Dini ... 53

2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(17)

xvii   

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Spesifikasi Skala Kecerdasan Emosi Sebelum Dilakukan Uji Coba .... . 34

Tabel 2. Pemberian Skor Skala Kecerdasan Emosi ... . 34

Tabel 3. Spesifikasi Item Gugur dari Skala Kecerdasan Emosi Setelah Dilakukan Uji coba ... . 39

Tabel 4. Spesifikasi Skala Kecerdasan Emosi Setelah Uji Coba ... . 39

Tabel 5. Spesifikasi Skala Kecerdasan Emosi Final ... . 40

Tabel 6. Deskripsi Subjek Penelitian ... . 42

Tabel 7. Deskripsi Data Penelitian ... . 42

Tabel 8. Hasil Normalitas Keseluruhan Kecerdasan Emosi ... . 44


(18)

xviii   

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 : Skala Kecerdasan Emosi ( Uji Coba ) ... 59 LAMPIRAN 2 : Uji Reliabilitas Skala Kecerdasan Emosi ... 65 LAMPIRAN 3 : Skala Penelitian ... 69 LAMPIRAN 4 : Deskripsi Data, Normalitas, Homogenitas Kecerdasan Emosi 73 LAMPIRAN 5 : Uji Hipotsesis tiap Komponen ... 75 LAMPIRAN 6 : Mean Teoritik dan Mean Empirik Laki-laki dan Perempuan .. 77 LAMPIRAN 7 : Mean Teoritik dan Mean Empirik Tiap Komponen ... 78


(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada umumnya, masa dewasa dini telah dianggap sebagai masa ketika orang muda mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dengan cukup baik, sehingga mereka menjadi stabil dan tenang secara emosional (Hurlock, 1997). Papalia (2008) juga mengatakan bahwa orang dewasa dini sudah selayaknya dapat mengontrol dan mengendalikan emosi dalam dirinya. Hal ini disebabkan emosi merupakan suatu aspek yang sangat penting bagi individu, karena emosi berperan dalam mempengaruhi seberapa efektif individu menggunakan pikiran mereka.

Dalam kenyataannya, ada pula orang dewasa dini yang masih kurang stabil secara emosi (Hurlock, 1997). Ketidakmampuan individu dalam mengendalikan emosi dapat memunculkan suatu masalah terutama pada usia dewasa dini. Selain itu, masalah-masalah juga muncul karena individu masih membutuhkan bantuan seseorang untuk membantunya pada masa peralihan dari remaja menuju dewasa. Hal ini disebabkan pada usia ini, individu rentan akan masalah. Masalah-masalah yang biasanya muncul adalah masalah-masalah mengenai kemampuan berinteraksi sosial, penyesuaian diri dalam bermasyarakat, serta pengendalian emosi (Hurlock, 1997).

Berdasarkan hasil konsultasi bersama dr. Andri,SpKJ pada


(20)

dalam menjaga keseimbangan emosinya. Reftyza merasa memiliki masalah dengan emosinya ketika bertengkar dengan pacarnya. Ia selalu mencubit pacarnya hingga berbekas, merusak barang-barang miliknya, dan kerap menyakiti dirinya sendiri. Selain itu, ada juga fenomena mengenai kasus tentang perseteruan dua artis indonesia, yaitu Depe dan Jupe. Perseteruan tersebut bermula dari Depe dan Jupe tonjok-tonjokan pada saat pembuatan film Arwah Goyang Karawang yang berlanjut adu mulut di jejaring sosial twitter (wartanews, 2011). Fenomena-fenomena tersebut menunjukan bahwa terkadang orang dewasa pun masih ada yang belum dapat mengelola, menstabilkan, dan mengendalikan emosinya sendiri.

Ada pula fenomena tentang meningkatnya perceraian di kalangan artis. Pada Suara Pembaruan.com (2011), dikatakan bahwa artis Steve Emanuel menjadi penyebab perceraian pasangan artis, Tia Ivanka dan George Manuel Sortillo. Namun Tia mengakui bahwa perceraian tersebut terjadi karena permasalahan penyesuaian perkawinan. Fenomena diperkuat dengan hasil penelitian Bouchard, Lussier, dan Sabourin (1999) yang menunjukan bahwa penyesuaian perkawinan yang rendah diakibatkan individu yang memiliki emosi yang kurang stabil dan memiliki tingkat emosi negatif yang tinggi (Wahyuningsih, 2005).

Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut terlihat bahwa pada masa dewasa dini cenderung dipenuhi dengan masalah seperti masalah interaksi sosial, penyesuaian diri baik dalam masyarakat maupun perkawinan, dan pengendalian emosi. Masalah - masalah tersebut dapat ditanggulangi apabila


(21)

seseorang memiliki kecerdasaan emosi. Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2009).

Kecerdasan emosional dianggap penting karena memungkinkan seseorang untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang sangat baik dan memiliki dukungan sosial lebih baik (Goleman, 2009). Apabila seseorang berhasil dalam mengelola emosinya maka dapat dikatakan sebagai orang yang cerdas emosinya dan sebaliknya apabila tidak berhasil dalam hal tersebut maka ia akan dikatakan sebagai orang yang tidak cerdas emosinya. Cherniss (dalam Papalia, 2008) juga mengatakan bahwa individu memiliki kecerdasan emosi jika ia mampu mengelola hubungan yang baik dengan orang lain dan dapat berpikir sehat ketika berada di bawah tekanan.

Dalam kehidupan, kita sering menemukan perbedaan-perbedaan antara orang yang satu dan yang lain. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi usia, pendidikan, maupun jenis kelamin. Perbedaan tersebut mulai dari yang bersifat fisik, hingga yang berhubungan dengan kebiasaan, peran gender, sikap maupun sifat. Baron dan Cohen (2005) menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin masih sangat mungkin bahwa streotip jenis kelamin saat ini bervariasi dari norma. Guastello dan Guastello (2003), juga mengatakan bahwa peran jenis kelamin saat ini juga mengalami perubahan dan perilaku androgini telah meningkat di seluruh generasi. Menurut Mayer dan Salovey (1997), perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu faktor utama yang


(22)

mempengaruhi kecerdasan emosi. (dalam Nunez, Berrocal, Montanes, Latorre, 2008).

Beberapa penelitian menyatakan secara umum terdapat perbedaaan kecerdasaan emosi secara signifikan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Duckelt dan Raffalli (1989), perempuan cenderung lebih emosional dan intim dalam interaksi sosial dibandingkan laki-laki, sehingga kecerdasan emosional mereka lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini mungkin karena masyarakat mensosialisasikan pendidikan emosi dengan cara yang berbeda pada masing-masing jenis kelamin (dalam Katyal, Awasthi, 2005).

Penelitian lain yang ditulis oleh Leslie Brody dan Judith Hall, telah meringkas beberapa penelitian tentang perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang mengatakan bahwa karena anak perempuan lebih cepat terampil dalam berbahasa daripada anak laki-laki, maka mereka lebih mengunakan kata-kata untuk mengantikan reaksi-reaksi emosional seperti perkelahian fisik (dalam Goleman, 2009). Begitu pula dengan Gurian (2011), ia menjelaskan bahwa ternyata otak laki-laki dan perempuan berbeda sehingga mempengaruhi pengekspresian emosi. Pada bagian otak yaitu

cerebal cortex cenderung lebih besar pada perempuan daripada laki-laki

sehingga menyebabkan adanya perbedaan pada pengolahan emosi antara keduanya. Menurut Stein (2004), perempuan lebih sadar atas perasaan mereka sendiri dan orang lain serta memiliki hubungan yang lebih baik daripada laki-laki. Dengan kata lain, kecerdasan emosional anak perempuan lebih tinggi dari kecerdasan emosi anak laki-laki ( Mirza, Redzuan, 2010).


(23)

Berdasarkan beberapa literatur diatas menyatakan bahwa perempuan memiliki kecerdasan emosi lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Sebaliknya, Summiya, Hayat, dan Sheraz (2009), mengungkapkan bahwa laki-laki memiliki tingkat kecerdasan emosi lebih tinggi daripada perempuan. Goleman (1999) juga menemukan bahwa tidak ada perbedaan kecerdasan emosi secara keseluruhan antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, peneliti ingin menguji perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan dewasa dini.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan usia dewasa dini?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan kecerdasan emosi pada laki-laki dan perempuan usia dewasa dini.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis

Penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam bidang psikologi khususnya psikologi perkembangan. Adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan dewasa dini.


(24)

2. Secara praktis

a. Bagi peneliti, agar dapat memberikan gambaran mengenai perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan usia dewasa dini pada masyarakat indonesia

b. Bagi orang dewasa dini, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan dan saran agar orang dewasa dini dapat lebih memahami bahwa pentingnya memiliki kecerdasan emosi dalam hidupnya di masa-masa yang akan datang. Sehingga setiap individu dapat dapat hidup bahagia dengan memiliki interaksi sosial yang baik. Laki-laki dan perempuan dewasa dini diharapkan dapat memahami macam-macam emosi yang dimiliki pada setiap individu sehingga mereka dapat meningkatkan kecerdasan emosinya.


(25)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Masa Dewasa Dini

1. Pengertian Masa Dewasa Dini

Hurlock (1997) mengatakan bahwa orang dewasa dini adalah individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya. Sebagai orang dewasa dini mereka diharapkan dapat menyesuaikan diri secara mandiri. Orang dewasa dini umumnya berkisar antara usia 18 tahun hingga usia 40 tahun.

Menurut Santrock (2002) masa dewasa dini adalah masa transisi antara masa remaja dan masa dewasa yang merupakan masa perpanjangan kondisi ekonomi dan pribadi. Masa dewasa dini ditandai ketika seseorang mendapatkan pekerjaan penuh waktu yang kurang lebih tetap. Masa dewasa dini berkisar antara awal usia 20 tahun hingga 30an tahun.

Menurut Papalia,dkk (2009), masa dewasa dini diawali dengan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa yang biasanya memiliki rentang waktu antara remaja akhir hingga usia pertengahan dua puluhan. Hal ini seing disebut dengan emerging adulthood. Masa dewasa dini dimulai pada usia 20 tahun sampai usia 40 tahun.

Berdasarkan uraian di atas peneliti merumuskan bahwa masa dewasa dini adalah masa transisi dari remaja akhir. Hal ini didasarkan pada beberapa


(26)

batasan umur yang dikemukakan para ahli tersebut, sehingga peneliti menggunakan batasan usia dewasa dini menurut Papalia (2009) yaitu dimulai dari usia 20 tahun hingga 40 tahun. Peneliti memilih ini disebabkan batasan usia yang tidak terlalu besar sehingga lebih spesifik.

2. Ciri-ciri Masa Dewasa Dini

Hurlock (1997) mengemukakan ciri-ciri yang menonjol dalam tahun-tahun masa dewasa dini, yaitu :

1. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa pengaturan”

Masa pengaturan ini adalah masa ketika seseorang mengatur hidup dan bertanggungjawab dalam kehidupannya. Pria muda mulai membentuk bidang pekerjaan yang akan ditanganinya sebagai kariernya, sedangkan wanita muda diharapkan mulai menerima tanggungjawab sebagai ibu dan pengurus rumah tangga.

2. Masa Dewasa Dini sebagai “ Masa Reproduktif”

Masa ini ditandai dengan membentuk rumah tangga. Masa reproduktif dapat ditunda dengan beberapa alasan. Ada beberapa orang dewasa dini yang belum membentuk keluarga sampai mereka menyelesaikan pendidikannya dan memulai karirnya.

3. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Bermasalah”

Masa dewasa dini banyak dipenuhi dengan masalah. Masalah yang biasanya muncul adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri. Masalah yang dihadapi seperti masalah pekerjaan atau


(27)

jabatan, masalah teman hidup maupun masalah keuangan yang semuanya memerlukan penyesuaian di dalamnya.

4. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Ketegangan Emosional”

Ketegangan emosi seringkali muncul dalam kekhawatiran-kekhawatiran seperti kekhawatiran-kekhawatiran pada pekerjaan mereka, masalah perkawinan dan peran sebagai orangtua. Seseorang dalam masa dewasa dini atau pertengahan tiga puluhan dianggap telah mampu memecahkan masalah dengan cukup baik dan dapat mengontrol ketegangan emosi, sehingga seseorang dapat mencapai emosi yang stabil.

5. Dewasa Dini sebagai “Masa Keterasingan Sosial”

Dengan berakhirnya pendidikan formal dan terjunnya seseorang ke dalam pola kehidupan orang dewasa, yaitu karir, perkawinan dan rumah tangga, hubungan dengan teman-teman kelompok sebaya pada masa remaja menjadi renggang, dan bersamaan dengan itu keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus berkurang. Sebagai akibatnya, seseorang dewasa dini akan mengalami keterpencilan sosial atau apa yang disebut Erikson sebagai “krisis keterasingan”.

6. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Komitmen”

Sewaktu menjadi dewasa, orang-orang muda mengalami perubahan tanggung jawab dari seorang pelajar yang sepenuhnya tergantung pada orangtua menjadi orang dewasa yang mandiri. Hal ini membuat mereka menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen-komitmen baru.


(28)

7. Masa Dewasa Dini sering merupakan “Masa Ketergantungan”

Banyak orang muda yang masih agak tergantung atau bahkan sangat tergantung pada orang-orang lain selama jangka waktu yang berbeda-beda. Ketergantungan ini mungkin pada orang tua, lembaga pendidikan yang memberikan beasiswa sebagian atau penuh karena memperoleh pinjaman untuk membiayai pendidikan mereka.

8. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Perubahan Nilai”

Ada beberapa alasan yang menyebabkan perubahan nilai pada masa dewasa dini, diantaranya karena orang dewasa dini ingin diterima pada kelompok orang dewasa lainnya, kelompok sosial, dan ekonomi orang dewasa.

9. Masa Dewasa Dini sebagai “Masa Penyesuaian Diri dengan Cara Hidup Baru”

Masa dewasa dini merupakan periode yang paling banyak menghadapi perubahan. Menyesuaikan diri pada gaya hidup baru memang sulit, terlebih bagi kaum muda jaman sekarang karena persiapan yang mereka terima sewaktu masih anak-anak dan di masa remaja biasanya tidak berkaitan atau bahkan tidak cocok dengan gaya-gaya hidup baru ini. 10.Masa Dewasa dini sebagai “Masa Kreatif”

Bentuk kreatifitas yang akan terlihat sesudah orang dewasa dini akan tergantung pada minat dan kemampuan individual, kesempatan untuk mewujudkan keinginan dan kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya. Ada yang menyalurkan kreatifitasnya ini melalui hobi,


(29)

ada juga yang menyalurkannya melalui pekerjaan yang memungkinkan ekspresi kreativitas.

3. Tugas Perkembangan Dewasa Dini

Menurut Havinghurst (dalam Yuliani, 2005) menyatakan terdapat delapan tugas perkembangan yang harus diselesaikan individu dewasa dini adalah :

1. Memilih pasangan hidup

Masa dewasa dini merupakan masa awal membina karier dan keluarga. Kehidupan berkeluarga diawali dengan memilih pasangan hidup sebagai suami dan istri. Untuk menjadi pasangan suami-istri didasari oleh pertimbangan yang matang, seperti kesesuaian sifat, kesamaan tujuan hidup, serta berbagai kemampuan dan kesiapan melaksanakan tugas-tugas rumah tangga.

2. Belajar hidup dengan pasangan

Hidup berkeluarga merupakan hidup bersama antara dua orang yang memiliki latar belakang kehidupan, sifat dan mungkin minat dan kebiasaan yang berbeda. Meskipun demikian, mereka memiliki kebutuhan yang sama, yaitu kebutuhan untuk hidup bersama. Hal tersebut tidak muncul begitu saja, tetapi harus ada kesediaan dan usaha dari kedua belah pihak untuk mempelajarinya agar terciptanya keharmonisan dalam keluarga. 3. Memulai hidup berkeluarga

Hampir seluruh aspek kemasyarakatan ada dalam keluarga. Dalam keluarga ada aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, agama, pendidikan,


(30)

kesehatan, keamanan, estetika, dan lain-lain. Suami-istri dan anak-anaknya, harus dapat mengembangkan dan menata serta mengelola aspek-aspek tersebut, mengadakan pembagian tugas, mengembangkan mekanisme kerja, menciptakan iklim kehidupan dan lain-lain sehingga semua kebutuhan dapat terpenuhi dan semua urusan keluarga dapat diselesaikan dengan baik.

4. Memelihara dan mendidik anak

Setiap keluarga mendambakan kehadiran anak sebagai pemersatu suami-istri, sebagai penerus generasi. Kehadiran anak harus dirawat, dipelihara dan dididik dengan baik.

5. Mengelola rumah tangga

Rumah tangga ibarat suatu perusahaan atau lembaga yang memiliki banyak bagian atau kaitan, baik antar bagian-bagiannya maupun bagian tersebut dengan bagian di luar rumah. Semua hal tersebut perlu direncanakan dan dikelola dengan baik, sehingga dapat membentuk satu kesatuan yang harmonis.

6. Memulai kegiatan pekerjaan

Pekerjaan bukan hanya berfungsi untuk mendapatkan nafkah, tetapi juga merupakan bagian dari karier sekaligus identitas dari nama baik keluarga. Seorang dewasa dini harus mempersiapkan, memilih, serta memasuki pekerjaan yang cocok dengan kemampuan dan latar belakang pendidikannya, untuk kemudian mengembangkan dirinya seoptimal mungkin dalam pekerjaan tersebut.


(31)

7. Bertanggungjawab sebagai warga masyarakat dan warga negara

Seorang dewasa dini harus mampu membina hubungan sosial dengan sesama warga masyarakat. Selain orang dewasa dini dituntut mematuhi semua peraturan, ketentuan, dan nilai yang ada dalam masyarakat, ia juga dituntut untuk memelihara dan mengawasinya. Orang dewasa dini juga dituntut untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. 8. Menentukan persahabatan dalam kelompok sosial

Di masyarakat terdapat berbagai kelompok sosial, seperti kelompok etnis, agama, budaya, profesi, hobi, dan lain-lain. Seorang dewasa dini dituntut untuk dapat hidup dalam berbagai kelompok sosial tersebut dengan harmonis.

4. Tahap Perkembangan Masa Dewasa Dini

Menurut Santrock (2002), menyatakan bahwa tahap perkembangan dewasa dini dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Perkembangan fisik

Pada masa dewasa dini, perkembangan fisik akan mencapai puncaknya, namun kondisi fisik ini juga menurun pada rentang usia dewasa dini. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya perhatian terhadap kesehatan, perhatian khusus mengenai diet, berat badan, olahraga, dan ketergantungan. Puncak kemampuan fisik ini terjadi pada usia dibawah tiga puluh tahun, yaitu 19 tahun hingga 26 tahun.


(32)

2. Perkembangan kognitif

Menurut Santrock (2002), dalam masa dewasalah individu mengatur pemikiran operasional mereka, seperti yang dikemukakan Piaget. Piaget mengatakan bahwa cara berpikir seseorang remaja dan seseorang dewasa itu sama, namun yang membedakan adalah apabila seseorang remaja mampu merencanakan dan membuat suatu hipotesis dari suatu masalah, sedangkan pada orang dewasa lebih mampu membuat hipotesis dan menurunkan suatu pemecahan masalah dari suatu permasalahan. Gisela Labouvie-Vief (1982,1986) mengemukakan bahwa pada saat dewasa dini, seseorang lebih mengandalkan analisis logis dalam menyelesaikan masalah. William Perry mengatakan bahwa pemikiran orang dewasa yang berubah, awalnya berpikir secara dualistic namun berganti menjadi pemikiran yang beragam.

3. Perkembangan Sosio-emosional

Dalam tahap perkembangan ini, Santrock (2002) menjelaskan mulai adanya daya tarik, cinta dan hubungan dekat. Pada masa dewasa dini, orang lebih banyak tertarik pada orang yang memiliki kesamaan. Dengan adanya kesamaan maka individu akan merasa nyaman berinteraksi dengan orang lain.

Pada masa dewasa dini juga mulai mengenal adanya keintiman dan kemandirian. Menurut Erikson tahapan dewasa dini berada pada tahap keenam, yaitu intimacy versus isolation ( keintiman versus isolasi ). Keintiman adalah tahap ketika seseorang membentuk hubungan intim


(33)

dengan orang lain. Namun, jika keintiman tidak berkembang pada masa dewasa dini, seseorang akan mengalami yang disebut dengan isolasi.

B. Kecerdasan Emosi

1. Pengertian Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi adalah kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri, dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Koordinasi suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosional yang baik dan akan lebih menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya (Goleman, 2009)

Bar-On (Stein, Book, 2004) mendefinisikan kecerdasan emosi adalah serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tekanan dan tuntutan dari tekanan lingkungan.

Menurut Peter Salovey dan John Mayer, kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih, dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya dan mengendalikan perasan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual (dalam Stein, Howard, 2000 ).


(34)

Berdasarkan definisi-definisi kecerdasan emosi di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam memahami perasaan diri sendiri dan orang lain, mampu mengendalikan emosi dan mampu berhubungan dengan orang lain sehingga seseorang dapat berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.

2. Komponen-komponen Kecerdasan Emosi

Salovey dan Mayer menjelaskan kecerdasan emosional mencakup 5 kompetensi emosional dan sosial dasar (dalam Goleman, 2009) :

a. Mengenal emosi diri sendiri

Mengenali emosi diri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Hal ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional sehingga para ahli psikologi menyebutkan kemampuan tersebut dengan istilah kesadaran diri.

b. Mengelola emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaannya agar dapat mengungkapkan dengan tepat. Kecakapan yang terungkap tergantung pada kesadaran diri, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu.

c. Memotivasi diri sendiri

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberikan perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi.


(35)

d. Mengenali emosi orang lain

Kemampuan mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang mengisyaratkan apa saja yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain, dan lebih mampu mendengarkan orang lain.

e. Membina hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain.

3. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Goleman (2009) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan seseorang:

1.Pengalaman

Kecerdasan emosi dapat berkembang seiring perjalanan hidup seseorang. Ketika seseorang belajar untuk menangani suasana hati, menangani emosi yang menyulitkan, semakin cerdaslah emosi dan mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain.


(36)

2.Usia

Semakin tua usia individu maka kecerdasan emosinya akan lebih baik dibandingkan dengan usia yang lebih muda. Hal ini dipengaruhi oleh proses yang dialami oleh individu seiring bertambahnya usia. Menurut Bar-On (dalam Mizra, Redzuan, 2010) menunjukan bahwa kecerdasan emosi kelompok yang usianya lebih tua lebih tinggi daripada kelompok usia yang lebih muda. Hal ini didukung dengan pendapat Steven Stein yang menunjukan bahwa orang tua lebih sadar, bijaksana, dan terkendali dalam hal emosi. Dalam penelitian Mizra dan Redzuan (2010) pun menunjukan bahwa kecerdasan emosional berkembang dengan semakin tuanya anak-anak.

3.Jenis Kelamin

Tidak ada perbedaan antara kemampuan pria dan wanita dalam meningkatkan kecerdasan emosionalnya tetapi dari beberapa penelitian yang diperoleh rata-rata perempuan lebih memiliki keterampilan emosi yang lebih baik dibandingkan pria (dalam Nunez, Berrocal, Montanes, Latorre, 2008). Begitu pula menurut Duckelt dan Raffalli (1989), perempuan cenderung lebih emosional dan intim dalam interaksi sosial dibandingkan dengan laki-laki sehingga kecerdasan mereka lebih tinggi daripada laki-laki (dalam Katyal, Awasthi, 2005).

4.Jabatan

Semakin tinggi jabatan maka semakin tinggi juga kecerdasan emosional seseorang. Hal ini menyebabkan semakin penting keterampilan antar


(37)

pribadinya dalam membuatnya menonjol dibandingkan mereka yang berprestasi biasa-biasa saja.

4. Pengukuran Kecerdasan Emosi

Pengukuran kecerdasan emosi secara umum dibagi menjadi 3 kategori (dalam Mayer, Roberts, Barsade, 2008) :

1. Skala persepsi emosional

Secara umum, skala ini menyajikan gambar wajah dan postur tubuh, gerakan, dan rekaman suara nada. Tugas peserta mengidentifikasikan emosi yang diungkapkan. Skala persepsi emosional antara lain adalah

Diagnostic Analysis of Nonverbal Accuracy (DANVA) dan Japanese

and Caucasian Brief Affect recognition Test (JACBART). DANVA-2

menyajikan gambar-gambar emosional wajah dan postur tubuh dan peserta diminta mengidentifikasikan konten yang mereka lihat (senang/marah/sedih/takut) sedangkan JACBART meminta peserta untuk melihat ekspresi wajah emosional dalam format video dan kemudian mencocokan ekspresi untuk emosi (kebahagian, jijik, sedih, marah, terkejut, dan takut). Kedua alat ukur tersebut sangat membutuhkan biaya yang tidak sedikit baik untuk alat-alat yang digunakan dan memakan waktu yang cukup banyak sehingga penyajiannya pun kurang praktis .

2. Pemahaman emosional

Pemahaman emosional melibatkan tentang kemampuan mengambarkan perasaan sendiri dengan perasaan orang lain. Alat yang


(38)

digunakan untuk mengukur pemahaman emosional misalnya Levels of

Emotional Awareness scale (LEAS). LEAS menyajikan dua puluh

adegan sosial yang melibatkan dua karakter, “Anda” dan seorang individu tambahan, menampilkan empat jenis emosi: marah, takut, bahagia, dan kesedihan. Alat ukur ini pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan tenaga serta waktu yang cukup lama sehingga kurang praktis.

3. Pengukuran yang mengintegrasikan beberapa wilayah kecerdasan emosional

Dari kedua kategori alat ukur kecerdasan emosi di atas alangkah lebih baiknya jika mengintegrasikan seluruhnya baik persepsi emosional maupun pemahaman emosional. Misal, Emotion Knowledge Test (EKT)

dan Mayer-Salovey-Caruso Emotional Intelligence Test (MSCEIT).

EKT menyediakan 26 ekspresi wajah dan umunya digunakan pada anak-anak. Sedangkan, MSCEIT menyajikan delapan tugas yang mengukur beberapa aspek kecerdasan emosi termasuk persepsi emosi dengan meminta peserta untuk mengidentifikasikan wajah dan lanskap. Pemahaman emosi diukur melalui pemahaman bagaimana emosi tersebut bercampur misalnya, dua emosi yang berdekatan dengan perasaan negatif seperti (a) kesedihan dan ketakutan. (b) marah dan jijik.

The Four-Branch Model mengukur berdasarkan empat komponen yaitu:

(a) merasakan emosi, (b) pengunaan emosi untuk menfasilitasi berpikir, (c) memahami emosi, (d) mengelola emosi. The Four-Branch Model


(39)

diukur dengan cara menyajikan sketsa yang mengambarkan situasi sosial dan meminta peserta mengelola emosi dalam situasi tertentu. MSCEIT merupakan alat ukur yang juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan memakan waktu yang lama serta jika digunakan di Indonesia masih kurang cocok akibat pengaruh budaya pada setiap itemnya.

C. Perbedaan Laki-laki dan Perempuan Dilihat dari Anatomi Otak

Menurut Shapiro (1997), banyak para ilmuwan membicarakan bahwa bagian otak yang biasa digunakan untuk berpikir adalah korteks. Selain dipandang sebagai bagian berpikir otak, korteks juga berperan penting dalam memahami kecerdasan emosional. Korteks memungkinkan kita mempunyai perasaan tentang perasaan kita sendiri dan qta memahami sesuatu secara mendalam. Korteks menganalisis mengapa kita mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya.. Ada juga bagian yang berbeda dari bagian otak yang mengurusi emosi yaitu sistem limbik. Sesungguhnya hubungan antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosional seseorang.

Gurian (2011) menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam pemrosesan emosi. Hal ini disebabkan secara fisik, anatomi otak laki-laki dan perempuan memang berbeda. Gurian menyebutkan beberapa bagian otak yang sangat berpengaruh dalam pemrosesan emosi antara lain

cerebral cortex, system limbic, hippocampus, amygdala, thalamus dan


(40)

1. Cerebral cortex, mengandung neuron-neuron yang mendukung fungsi memori dan intelektual yang tinggi. Otak perempuan cenderung lebih menghubungkan antara neuron-neuron dan meningkatkan darah di area ini. Bagian ini juga memungkinkan kita memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa kita mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Hal ini berdampak pada meningkatnya kecepatan proses pada otak perempuan yang membantu perempuan dalam merespon informasi lebih cepat dalam berpikir daripada laki-laki, sehingga perempuan lebih cerdas secara emosi dibandingkan laki-laki.

2. System limbic, berisi sejumlah struktur meliputi hippocampus dan

amygdale. System limbic sebagai pusat yang menaruh peran penting dalam bagaimana laki-laki dan perempuan belajar dan kinerja yang berbeda. Otak perempuan cenderung lebih banyak beristirahat untuk tingkat yang lebih besar karena labih banyak koneksi saraf anatar system limbic perempuan dan area pengolahan verbal. Hal ini berakibat perempuan cenderung dapat merespon secara lisan pengalaman stress dan pengekspresian emosi lebih cepat daripada laki-laki. Perempuan juga cenderung memiliki lebih banyak akses verbal dengan mendiskripsikan emosinya melalu tulisan. Hal ini menunjukan bahwa perempuan lebih cerdas secara emosi dibandingkan laki-laki,

3. Hippocampus, merupakan tempat berlangsungnya proses pembelajaran emosi dan tempat disimpannya memori jangka panjang atau permanen.


(41)

Pada perempuan cenderung lebih besar, jumlah dan kecepatan transmisi neuron lebih tinggi pada perempuan. Peningkatan memori pada wanita dapat memungkinkan mereka untuk mengakses lebih banyak informasi untuk mengingat, sehingga perempuan lebih cerdas secara emosi dibandingkan laki-laki.

4. Amygdala, dipandang sebagai pusat dalam pengelolaan emosi terutama kemarahan dan ketakutan. Pada laki-laki amygdala cenderung lebih besar sehingga laki-laki dapat menjadi lebih agresif. Hal ini menunjukan bahwa laki-laki lebih rendah kecerdasan emosinya dibandingkan perempuan. 5. Thalamus, merupakan bagian otak yang mengatur kehidupan emosi dan

keselamatan fisik; proses informasi sensorik yang masuk memberitahukan kita apa yang terjadi pada tubuh bagian luar. Pemrosesan informasi pada perempuan cenderung lebih cepat terutama pada waktu-waktu tertentu seperti dalam waktu mestruasi. Hal ini berakibat perempuan lebih stress dan lebih aktif di thalamus selama mestruasi. Hal ini juga menunjukan bahwa kecerdasan emosi yang dimiliki laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan.

6. Estrogens, bagian ini lebih besar dialami oleh perempuan. Hal ini

berpengaruh pada rendahnya agresi dan kompetitif. Sedangkan laki-laki memiliki bagian otak yang disebut testosterone yang berindikasi sebaliknya dari perempuan. Perbedaan tersebut menunjukan bahwa perempuan lebih cerdas secara emosi daripada laki-laki.


(42)

Gurian (2011) juga mengatakan bahwa beberapa pengaruh perbedaan otak menyebabkan beberapa indikasi yang terjadi pada laki-laki dan perempuan, antara lain:

1. Perempuan lebih cepat dalam pemrosesan emosi terhadap stimulus sehingga lebih cepat dalam mengelola informasi. Terkadang laki-laki membutuhkan waktu yang lama untuk pemrosesan emosi.

2. Secara emosi perempuan lebih terang-terangan menunjukan penderitaannya dengan menangis dan berbicara lebih banyak daripada laki-laki. Dengan kata lain kemampuan verbal perempuan lebih besar dari pada laki-laki.

3. Ketika informasi datang dalam kontak emosi kedalam system limbic perempuan, aktivitas otak dapat bergerak cepat ke atas otak perempuan kearah empat lobus dimana pemikiran lebih banyak terjadi daripada otak laki-laki. Di sisi lain, Otak laki-laki tampaknya memiliki kecenderungan untuk memindahkan informasi dengan cepat ke bagian bawah dari system

limbic (amygdala) dan batang otak. Dengan kata lain, seorang perempuan

lebih dapat memproses rasa sakit, terluka, dan mendapatkan bantuan dari orang lain untuk membicarakan hal itu. Hal tersebut disebabkan perempuan lebih banyak memiliki kemampuan verbal dan alasan selama krisis. Sebaliknya, laki-laki cenderung menjadi agresif secara fisik (berperang) atau menarik diri.


(43)

D. Perbedaan Kecerdasan Emosi Antara Laki-laki dan Perempuan

Masa dewasa dini telah dianggap sebagai masa ketika orang muda mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dengan cukup baik, sehingga mereka menjadi stabil dan tenang secara emosional (Hurlock, 1997). Namun dalam kenyataannya, masih ada orang dewasa dini yang masih kurang stabil secara emosi. Masa dewasa dini juga dianggap sebagai masa yang dipenuhi banyak masalah. Masalah - masalah tersebut dapat ditanggulangi apabila seseorang memiliki kecerdasaan emosi.

Kecerdasan emosi terdiri dari beberapa komponen. Setiap individu memiliki perbedaan-perbedaan kemampuan pada komponen-komponen tersebut. Perbedaan-perbedaan kemampuan pada komponen-komponen kecerdasan emosional memungkinkan terdapat perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan. Ada beberapa penelitan tentang emosi yang menunjukan perbedaan-perbedaan kemampuan pada komponen kecerdasan emosi (Goleman, 2009).

Menurut Mizra dan Redzuan (2010), kecerdasan emosional anak perempuan lebih tinggi dari kecerdasan emosi anak laki-laki. Hal ini didukung dengan temuan Steven Stein (2004) yang menyatakan bahwa perempuan lebih menyadari perasaan mereka dan orang lain, berhubungan interpersonal yang lebih baik, dan secara signifikan lebih bertanggung jawab secara sosial daripada laki-laki (dalam Mizra, Redzuan, 2010). Penelitian lain yang ditulis oleh Katyal dan Awasthi (2005) menjelaskan bahwa perempuan cenderung lebih emosional dan intim dalam berinteraksi dibandingkan dengan laki-laki.


(44)

Selain itu juga lebih tingginya kecerdasan emosional dijelaskan berdasarkan karateristik kepribadian mereka serta anak perempuan juga rasa empati yang lebih tinggi dari pada laki-laki.

Leslie Brody dan Judith Hall, telah meringkas beberapa penelitian tentang perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang mengatakan bahwa karena anak perempuan lebih cepat terampil dalam berbahasa daripada anak laki-laki, maka mereka lebih mengunakan kata-kata untuk menggantikan reaksi-reaksi emosional seperti perkelahian fisik (dalam Goleman, 2009). Begitu pula dengan Gurian (2011), Otak perempuan tidak hanya memiliki sitem limbik yang cenderung lebih besar yakni struktur hippocampus yang lebih besar. Sitem limbik inilah yang membuat perempuan cenderung untuk cepat merespon secara lisan dengan cepat melalui bahasa verbal dan hippocampus yang besar membuat perempuan lebih banyak menerima informasi karena peningkatan memori penyimpanan, yang jelas-jelas berlawanan dengan laki-laki yang dimana penguasaan verbal dan ingatan lebih kecil. Laki-laki cenderung memiliki amigdala yang lebih besar daripada perempuan sehingga laki-laki cenderung bersikap agresi. Perbedaan otak tersebut menyebabkan perempuan lebih terfokus pada emosi mereka dan merujuk dalam pembicaraan daripada laki-laki. Sementara banyak laki-laki yang sering mengekspresikan emosi seperti marah, perkelahian fisik atau frustasi lebih dari emosi lain seperti depresi.


(45)

Goleman (2009) membandingkan pola bermain anak laki-laki dan perempuan untuk melihat bagaimana kecerdasan emosi berbeda antara jenis kelamin dapat terjadi. Ia mengutip Brody dan Hall dari Gender dan Emosi: "Ketika anak perempuan bermain bersama, mereka melakukannya dalam kelompok-kelompok intim kecil dengan penekanan pada meminimalkan permusuhan dan memaksimalkan kerjasama, sementara permainan anak laki-laki dalam kelompok yang lebih besar, dengan penekanan pada kompetisi. Jika seorang anak laki-laki yang telah tersakiti marah, ia diharapkan untuk keluar dari jalan dan berhenti menangis sehingga permainan bisa terus. Jika sama terjadi di antara sekelompok gadis yang sedang bermain, permainan berhenti sementara mengumpulkan semua orang untuk membantu menenangkan gadis yang menangis. Anak laki-laki bangga akan kebebasan, keras hati dan otonomi, sedangkan anak perempuan melihat diri mereka sebagai bagian dari hubungan. "

Dalam proses ini, anak perempuan mengembangkan keterampilan komunikasi verbal dan non-verbal dan menjadi baik dalam mengekspresikan diri mereka sendiri dan memahami orang lain, yang menyebabkan empati tinggi dan tanggung jawab sosial. Anak laki-laki menjadi terampil meminimalkan emosi yang berkaitan dengan kerentanan, rasa bersalah, ketakutan dan sakit. Hal ini yang mengarah ke toleransi stres tinggi dan kepercayaan diri.

Berdasarkan pemaparan menunjukan bahwa perempuan lebih mampu mengenali emosi diri sediri dan orang lain (empati), memotivasi diri,


(46)

mengelola emosi, serta membina hubungan dengan orang lain dibandingkan dengan laki-laki. Adapun alur yang menjadi dinamika dalam proses ini sebagai berikut :


(47)

BAGAN DINAMIKA

Dalam kecerdasan emosi

Perempuan memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki Masa dewasa dini dianggap stabil secara emosi, matang, dan mampu menyelesaikan

masalah sendiri

Berdasarkan Perbedaan Anatomi otak yang mempengaruhi pengelolaan emosi laki-laki dan perempuan

Laki-laki: Perempuan:

 

Laki-laki : - Kurang empati

- Lebih ekspresif dalam mengungkapkan kemarahan.

- Memiliki toleransi stress lebih tinggi dan kepercayaan diri

- Lebih agresif - Berpikir spasial.

Perempuan :

- Lebih kemampuan verbal lebih tinggi. - Lebih ekspresif dalam emosi sedih atau

kecewa.

- Lebih mudah berempati. - Hubungan interpersonal baik

Lebih banyak menghubungkan neuron-neuron dan meningkatkan darah pada area ini sehingga lebih cepat untuk memproses emosi

Cerebral cortex

Lebih banyak bekerja untuk tingkat yang lebih besar dan cenderung kurang kemampuan verbalnya

Lebih sedikit menghubungkan neuron-neuron dan kurang meningkatkan darah pada area ini sehingga lebih lambat untuk memproses emosi

System limbic Lebih banyak beristirahat untuk tingkat yang lebih besar, karena

lebih banyak koneksi sarafnya antara system limbic dan area pengolahan verbal. Hal ini membuat lebih merespon secara lisan pengekspresian emosi dan kemampuan verbalnya lebih besar.

Hippocampus

lebih kecil jumlah dan kecepatan transisi neuronnya sehingga cenderung lebih sedikit mengakses informasi

mengingat. lebih besar jumlah dan kecepatan transisi neuronnya sehingga cenderung lebih banyak mengakses informasi mengingat

Amygdala

Lebih kecil sehingga rendahnya agresif dan lebih memaksimalkan kerjasama

Lebih besar sehingga lebih agresif dan kompetitif.

Thalamus

Estrogens

Pemrosesan emosi lebih lambat sehingga secara fisik lebih agresif

Pemrosesan lebih cepat sehingga lebih stress dan aktif

testosteron

Lebih agresif dan kompetitif

Rendahnya agresif dan kurang kompetitif


(48)

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

Ada perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan usia dewasa dini, yang menunjukan bahwa perempuan memiliki kecerdasan emosi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki.


(49)

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian inferensial kuantitatif komparatif. Penelitian inferensial kuantitatif komparatif merupakan penelitian yang melakukan analisis hubungan antar variabel dengan pengujian hipotesis. Penelitian ini bertujuan untuk menguji perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan usia dewasa dini.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel bebas : jenis kelamin

Variabel tergantung : kecerdasan emosi

C. Definisi Operasional Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah variabel jenis kelamin dan kecerdasan emosi.

1. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah ciri fisik yang dimiliki seseorang yang akan mengelompokan individu dalam kelompok laki-laki dan perempuan. Pengelompokan jenis kelamin diperoleh dari identitas subjek penelitian yang diisikan pada bagian identitas skala penelitian yang diberikan.

2. Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi adalah serangkaian kemampuan yang dimiliki seseorang berupa kemampuan dalam memahami perasaan diri sendiri dan orang lain,


(50)

mampu mengendalikan emosi dan mampu berhubungan dengan orang lain sehingga dapat berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.

Kecerdasan emosi diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan komponen-komponen kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Salovey (dalam Goleman, 2009) yang meliputi : (1) mengenali emosi diri sendiri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri sendiri, (4) mengenali emosi orang lain, (5) membina hubungan. Total skor yang diperoleh pada skala kecerdasan emosional menggambarkan tingkat kecerdasan emosi. Semakin tinggi nilai total pada skala, semakin tinggi tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki seseorang. Sebaliknya, semakin rendahnya nilai total pada skala, maka semakin rendah kecerdasan emosi yang dimiliki seseorang.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variabel yang diteliti. Subjek penelitian pada dasarnya adalah yang akan dikenai kesimpulan hasil penelitian (Azwar, 2005). Subjek dalam penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan dewasa dini. Teknik pengambilan subjek menggunakan metode purposive sampling yaitu mengambil subjek dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono,2008). Adapun pertimbangan kriteria pemilihan subjek dalam penelitian ini berdasarkan usia, yaitu subjek adalah individu dengan usia 20 sampai kira-kira 40 tahun karena peneliti berasumsi bawah usia tersebut berada pada usia dewasa dini yang dimana dianggap sudah stabil secara emosi.


(51)

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

1. Metode

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur yang berupa pengisian skala psikologis. Skala psikologis merupakan alat ukur psikologis yang stimulusnya berupa pernyataan atau pertanyaan yang tidak langsung mengungkap artibut yang hendak diukur, melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan (Azwar,2010).

2. Alat pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Likert. Skala ini hanya menggunakan empat alternatif pilihan jawaban yakni sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), Setuju (S), dan sangat setuju (SS). Peneliti hanya menggunakan empat pilihan jawaban dengan tujuan agar reponden tidak cenderung memilih jawaban yang berada ditengah-tengah. Selain itu, menurut Azwar (2010) alternatif pilihan jawaban tengah yakni diwujudkan sebagai netral (N) atau ”tidak menentukan pendapat”. Pada penelitian ini, skala yang disusun oleh peneliti dengan mengacu berdasarkan komponen-komponen kecerdasan emosional yang dikemukakkan oleh Salovey dan Mayer (dalam Goleman,2009) yang meliputi : (1) mengenali emosi diri sendiri, (2) mengelola emosi, (3) momotivasi diri sendiri, (4) mengenali emosi orang lain, (5) membina hubungan.


(52)

Berikut adalah tabel 1 yang menunjukan spesifikasi skala kecerdasan emosi:

Tabel 1

Spesifikasi Skala Kecerdasan Emosi Sebelum dilakukan Uji Coba

No. Komponen Favorabel Unfavorabel Total

1. Mengenal Emosi Diri

1,11,21,31,41 7,17,27,37,47 10 2. Mengelola Emosi 3,13,23,33,43 9,19,29,39,49 10 3. Memotivasi Diri 5,15,25,35,45 10,20,30,40,50 10 4. Mengenal Emosi

Orang lain

8,18,28,38,48 4,14,24,34.44 10 5. Membina Hubungan 6,16,26,36,46 2,12,22,32,42 10

Jumlah 25 25 50

Pada penelitian ini, peneliti mengunakan skala kecerdasan emosi yang terdiri dari 50 item dan secara keseluruhan item-item pada skala terdiri dari pernyataan favorabel dan unfavorabel. Pemberian skor skala kecerdasan Emosi dimulai dari angka 1 sampai dengan 4 untuk item yang favorabel. Sedangkan untuk item yang unfavorabel, pemberian skor dimulai dari angka 4 sampai dengan 1. Di bawah ini adalah tabel 2 yaitu tabel pemberian skor skala kecerdasan emosi (Azwar ,2010)

Tabel 2

Pemberian Skor Skala Kecerdasan Emosi

Jawaban Pernyataan Favorable Unfavorable

Sangat setuju 4 1

Setuju 3 2

Tidak setuju 2 3


(53)

F. Pengujian Alat Ukur

1. Validitas

Validitas alat ukur dalam penelitian sangat diperlukan karena dengan melalui pengujian dapat diketahui apakah alat ukur mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan alat ukurnya (Azwar, 2010). Pada penelitian ini, validitas yang diuji adalah validitas isi. Uji validitas isi dilakukan untuk menunjukan sejauh mana tes, yang merupakan seperangkat soal-soal, dilihat dari isinya memang mengukur apa yang dimaksud untuk diukur. Validitas ini ditentukan berdasar representatifnya tes tersebut terhadap hal yang akan diukur. Validitas alat ukur pada penelitian ini, ditentukan melalui professional judgement dalam proses telaah item (Suryabrata, 2000). Peneliti membuat item-item sesuai dengan blue print dan mencangkup isi yang hendak diukur. Item-item skala pengukuran kepada dosen pembimbing kemudian diseleksi kembali hingga layak digunakan.

2. Reliabilitas

Reliabilitas mengacu kepada konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran. Pengukuran yang tidak reliabel akan menghasilkan skor yang tidak dapat dipercaya karena perbedaan skor yang terjadi diantara individu lebih ditentukan oleh faktor eror (kesalahan) daripada faktor perbedaan sesungguhnya (Azwar, 2010). Uji reabilitas dilakukan untuk mengukur keajegan hasil pengukuran. Dengan kata lain, uji reliabilitas diperlukan untuk melihat sejauhmana pengukuran itu dapat


(54)

memberikan hasil yang relatif sama jika dilakukan pengukuran kembali dengan alat ukur yang sama.

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien realiabilitas (rxx’ ) yang angkanya

berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien realibilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi realibilitasnya. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti makin rendahnya realibilitas (Azwar, 2010).

3. Seleksi item

Seleksi item dilakukan dengan uji coba skala. Item yang memiliki harga rix

kurang dari 0,30 dapat diinterpretasikan sebagai item yang memiliki daya diskriminasi rendah. Batasan ini merupakan suatu konvensi. Peneliti diperbolehkan untuk menentukan sendiri batasan daya diskriminasi itemnya dengan mempertimbangkan isi dan tujuan skala penelitian (Azwar,2010). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan batasan harga rix lebih besar dari

0,25 dianggap memuaskan. Hal ini bertujuan untuk meminimaliskan jumlah item yang gugur.

G. Analisis Data 1. Uji Asumsi

1. Uji Normalitas

Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah data penelitan berasal dari populasi yang sebarannya normal. Karena hal ini sangat terkait dengan jenis statistik yang akan digunakan, parametrik atau


(55)

non-parametrik. Pengujian normalitas mengunakan Kolmogorof-Smirnov (K-S) dua eror. Sebaran item-item yang dikatakan normal jika : p > 0,05. 2. Uji Homogenitas

Homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah varians dari sample yang diuji tersebut sama. Cara melihat homogenitas yaitu dengan melihat nilai probabilitasnya lebih besar dari 0,05 ( p > 0,05 ) maka kedua kelompok sampel memiliki varian yang sama. Apabila pobabilitasnya lebih besar dari 0,05 (p > 0,05) maka kedua kelompok sampel memiliki varian yang sama. Begitu pula sebaliknya, jika probabilitasnya kurang dari 0,05 (p < 0,05) maka kedua kelompok sampel memiliki varian yang tidak sama.

2. Uji Hipotesis

Jenis data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, karena itu untuk menganalisis data digunakan uji statistika yang mengukur hipotesis.Uji hipotesis penelitian ini menggunakan uji-t (Independent Sample t-test). Untuk memudahkan penghitungan, analisis uji-t pada penelitian ini menggunakan program SPSS 16.0


(56)

38

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Persiapan Penelitian

1. Uji Coba Alat Ukur

Persiapan yang dilakukan oleh peneliti sebelum melakukan penelitian adalah menyusun skala Kecerdasan Emosi dengan mengacu berdasarkan komponen-komponen kecerdasan emosi yang dikemukan oleh Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2009) yang meliputi : (1) mengenali emosi diri sendiri, (2) mengelola emosi, (3) momotivasi diri sendiri, (4) mengenali emosi orang lain, (5) membina hubungan. Skala Kecerdasan Emosi sudah disetujui oleh dosen pembimbing dan diuji cobakan pada 64 subjek. Pelaksanaan uji coba pada akhir bulan Oktober 2012. Skala yang diberikan adalah skala kecerdasan emosi yang berisi 50 item. Skala diberikan pada mahasiswa tingkat akhir Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Item-item dalam penelitian dikatakan sahih apabila rix lebih dari 0,25 dengan p < 0,05 (Azwar, 2010). Berdasarkan analisis tersebut, maka jumlah item yang baik sebanyak 29 item dan item yang gugur 21 item. Namun, item yang digunakan dalam kuesioner ini sebanyak 20 item. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi jumlah item per aspek. Hasil uji coba skala kecerdasan emosi dapat dilihat pada tabel 3 .


(57)

Tabel 3

Spesifikasi Item Gugur dari Skala Kecerdasan Emosi Setelah

Dilakukan Uji Coba

No .

Komponen Favorabel Unfavorabel

Baik Gugur Baik Gugur 1. Mengenal Emosi Diri 21 1,11,31,4 1 17,27,3 7 7,47 2. Mengelola Emosi

13,23 3,33,43 29,49 9,19,39 3. Memotivas

i Diri

5,25,35,4 5

15, - 10,20,30,40,5 0 4. Mengenal

Emosi Orang lain

28,48 8,18,38 34.44 4,14,24

5. Membina Hubungan

6,26,36 16,46 42 2,12,22,32

Jumlah 12 13 8 17

Tabel 4

Spesifikasi Skala Kecerdasan Emosi Setelah Uji Coba

No. Komponen Favorabel Unfavorabel Total 1. Mengenal Emosi

Diri

21 17,27,37 4 2. Mengelola

Emosi

13,23 29,49 4

3. Memotivasi Diri 5,25,35,45 - 4

4. Mengenal Emosi Orang lain

28,48 34.44 4 5. Membina

Hubungan

6,26,36 42 4


(58)

Tabel 5

Spesifikasi Skala Kecerdasan Emosi Final

No. Komponen Favorabel Unfavorabel Total 1. Mengenal Emosi

Diri

1 7,11,17 4

2. Mengelola Emosi

3,13 9,19 4

3. Memotivasi Diri 5,15,20,10 - 4

4. Mengenal Emosi Orang lain

8,18 4,14 4 5. Membina

Hubungan

6,12,16 2 4

Jumlah 10 10 20

2. Pesiapan Penelitian

Persiapan yang dilakukan untuk melaksanakan penelitian ini meliputi persiapan administrasi, persiapan peneliti untuk mencari informasi subjek. Persiapan administrasi berupa permohonan ijin untuk pengambilan data. Permohonan ijin diperoleh dari subjek yang bersangkutan. Subjek dipilih berdsarkan kriteria yang telah dibuat peneliti, subjek dipilih berdasarkan usia. Penelitian dilakukan oleh beberapa komunitas media dan dance di Semarang yang anggotanya yang masuk dalam kriteria. Dalam hal ini peneliti datang ke tempat dimana beberapa komunitas berkumpul dan meminta izin secara langsung kepada subjek yang bersangkutan sehingga penelitian dapat dilakukan sesuai dengan keadaaan subjek.


(59)

B. Pelaksanan Penelitian

Pelaksanaan dilaksanakan pada awal Desember 2012 dengan memberikan skala Kecerdasan Emosi pada subjek penelitian sebanyak 138 eksemplar yang berisi 20 pernyataan dan diinstruksikan secara individual yaitu peneliti membagikan dan menjelaskan prosedur pengisian skala. Setelah pengambilan data, peneliti memeriksa kelengkapan data yang diperoleh untuk melihat apakah data sudah memenuhi kriteria. Semua kuesioner memenuhi kriteria sehingga semua skala diikutsertakan dalam analisis data.

C. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu yang memiliki data mengenai variabel yang diteliti. Subjek penelitian pada dasarnya adalah yang dikenai kesimpulan hasil penelitian (Azwar,2000). Subjek penelitian ini adalah laki-laki dan perempuan dewasa dini dari berbagai komunitas media dan dance di Semarang.

Teknik pengambilan subjek mengunakan metode purposive sampling yaitu mengambil subjek dengan kriteria tertentu (Azwar,2000). Adapun kriteria pemilihan subjek dengan berdasarkan usia berkisar 20 sampai 40 tahun. Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah individu dalam beberapa komunitas media dan dance di Semarang. Subjek yang diteliti berjumlah 138 orang dengan rincian 69 laki-laki dan 69 perempuan. Berikut gambaran umum tentang subjek penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini:


(60)

Tabel 6

Deskripsi Subjek Penelitian

Karakteristik

Jenis kelamin Usia

Laki-laki = 69 orang Perempuan = 69 orang

20 (16 laki-laki, 9 perempuan) 21 ( 9 laki-laki, 6 perempuan) 22 ( 7 laki-laki, 3 perempuan) 23( 6 laki-laki, 16 perempuan) 24 ( 7 laki-laki, 8 perempuan) 25 ( 6 laki-laki, 2 perempuan) 26 ( 3 laki-laki, 4 perempuan) 27 ( 2 laki-laki, 5 perempuan) 28 ( 1 laki-laki, 2 perempuan) 29 ( 3 laki-laki, 2 perempuan) 30 ( 1 laki-laki, 4 perempuan) 31 ( 1 laki-laki, 3 perempuan) 32 ( 3 laki-laki, 0 perempuan) 33 ( 0 laki-laki, 2 perempuan) 34( 1 laki-laki, 1 perempuan) 36 ( 2 laki-laki, 0 perempuan) 38 ( 0 laki-laki, 2 perempuan) 39 ( 1 laki-laki, 0 perempuan) Total = 138

2. Deskripsi Data Penelitian

Dari hasil penelitian ini diperoleh gambaran skala kecerdasan emosi, yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 7

Deskripsi Data Penelitian

Variabel Teoritik SD Empirik SD

Xmax Xmin Mean Xmax Xmin Mean

KE 80 20 50 10 77 48 62,33 5,155


(61)

a. Mean Teoritik diketahui dari : Jumlah item = 20 item

Skor maximum = jumlah item x nilai tertinggi

= 20 x 4

= 80

Skor minimum = jumlah item x nilai terendah

= 20 x 1

= 20 MT =

MT =

MT =

MT = 50

Range = skor miximum – skor minimum = 80 – 20

= 60

Standar Deviasi = = = 10

b. Mean Empirik diketahui melalui perhitungan program SPSS 16 for

windows yang menunjukan skor terendah 48 dan skor tertinggi 77,

dengan mean empirik M= 62,33 .

Data tersebut menunjukan bahwa mean Empirik lebih besar dari mean Teoritik. Hal ini berarti bahwa laki-laki dan perempuan dewasa dini memiliki kecerdasan emosi yang cenderung kearah positif.


(62)

3. Uji Asumsi

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui normal tidaknya sebaran data yang dianalisis (Arikunto,2003). Uji Normalitas dilakukan dengan mengunakan Kolmogorov-Smirnov Test dari program SPSS 16 for windows, dengan melihat probabilitasnya. Apabila nilai probabilitasnya sama dengan 0,05 (p=0,05) atau lebih dari 0,05 (p>0,05), maka sebaran skornya dinyatakan normal. Sebaliknya, apabila nilai probabilitasnya kurang dari 0,05 (p<0,05), maka sebaran skor dinyatakan tidak normal.

Tabel 8

Hasil Normalitas Keseluruhan Kecerdasan Emosi

Variable Kolmogorov-Smirnov (z)

Asymp.Sig (p) Sebaran

KE 0,103 0,048 Tidak normal

KE (laki-laki) 0,066 0,200 Normal

KE (perempuan) 0,119 0,016 Tidak normal Berdasarkan hasil uji normalitas (dapat dilihat pada tabel 8 ), diketahui bahwa nilai probabilitas keseluruhan sebaran adalah 0,048 , sehingga p < 0,05 atau 0,048 < 0,05. Dengan demikian sebaran skor keseluruhan diyatakan tidak normal. Uji normalitas juga dilakukan untuk sebaran laki-laki dan perempuan dewasa dini. Pada perempuan adalah 0.016 sehingga p < 0,05 atau 0,016 < 0,05. Dengan demikian


(63)

sebaran skor pada perempuan dinyatakan tidak normal. Namun, pada laki-laki adalah 0,200 , sehingga p > 0,05 atau 0,200 > 0,05. Dengan demikian sebaran skor pada laki-laki dinyatakan normal.

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan untuk melihat apakah varian yang digunakan sample penelitian bersifat homogen. Tingkat homogenitas ini dapat dilihat melalui taraf signifikan levene’s test for equality of

variance. Cara melihat homogenitasnya yaitu dengan melihat nilai

probabilitasnya. Apabila nilai probabilitasnya lebih besar dari 0,05 (p>0,05) maka kedua kelompok sample memiliki varian yang sama. Begitu pula sebaliknya, jika probabilitasnya kurang dari 0,05 (p<0,05) maka kedua sample memiliki varians yang tidak sama.

Berdasarkan perhitungan uji homogenitas, diperoleh probabilitas sebesar 0,162 artinya bahwa nilai probabilitas tersebut lebih besar dari 0,05 (0,162 > 0,05). Hal ini menunjukan bahwa data yang digunakan dalam penelitian ini memiliki varians yang sama dan berasal dari populasi yang sama. Dengan demikian maka kedua kelompok tersebut dinyatakan homogen. Berikut hasil homogenitas pada tabel 9.

Tabel 9

Uji Homogenitas

Levene statistic Sig. Kategori


(64)

4. Uji Hipotesis

Pada hasil uji normalitas diketahui bahwa nilai probabilitas keseluruhan dan sebaran pada perempuan menunjukan bahwa p>0,05 sehingga dinyatakan tidak normal. Ketidaknormalan tersebut menunjukan angka yang tidak terlalu parah. Selain itu, Uji t juga termasuk analisis statistik yang agak kebal dengan kondisi ketidaknormalan sehingga uji t tetap dapat digunakan ( Santoso, 2010)

Perhitungan uji hipotesis dilakukan dengan menggunakan

Independent Sample t-test dengan bantuan program SPSS 16.0 for

windows. Hipotesis dalam penelitian ini menunjukan bahwa ada perbedaan

yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam kecerdasan emosi. Berdasarkan uji hipotesis diperoleh nilai t sebesar -0,099 dengan probabilitas 0,922 (p>0,05) maka dinyatakan tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan dewasa dini dalam kecerdasan emosi.

Pada tabel group statistic kecerdasan emosi terlihat bahwa mean laki-laki dan perempuan hampir sama. Hal ini berarti bahwa laki-laki-laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan kecerdasan emosi. Oleh sebab itu, hipotesis dalam penelitian ini tidak terbukti.

C. Analisis Tambahan

Uji hipotesis tambahan dilakukan untuk mengetahui perbedaan dari setiap komponen yang ada dalam kecerdasan emosi. Dalam hal ini peneliti menguji hipotesis berdasarkan komponen-komponen yang terdapat dalam kecerdasan


(65)

emosi yaitu mengenal emosi diri sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan.

Berdasarkan hasil uji hipotesis per komponen dinyatakan bahwa tidak ada perbedaan pada keempat komponen kecerdasan emosi kecuali komponen mengelola emosi pada laki-laki dan perempuan. Hasil uji t dari komponen mengenal emosi diri yang ditunjukan oleh kelompok laki-laki dan perempuan dewasa dini adalah p sebesar 0,413. Karena P > 0,05, maka dinyatakan tidak ada perbedaaan yang signifikan. Sama halnya dengan komponen memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan, secara rinci dari komponen memotivasi diri diperoleh untuk nilai p sebesar 0,839. Karena p > 0,05 maka dinyatakan tidak ada perbedaan kecerdasan emosi. Berdasarkan komponen mengenali emosi orang lain diperoleh p sebesar 0,525. Hal ini juga menunjukan hasil yang tidak siginifikan. Begitu pula pada komponen membina hubungan diperoleh p sebesar 0,893 (p>0,05) juga menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan. Sebaliknya, pada komponen mengelola emosi diperoleh p sebesar 0,021 (p<0,05) yang menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dewasa dini.

D. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang dilakukan, diketahui bahwa secara umum hipotesis yang diajukan peneliti tidak terbukti, yakni tidak ada perbedaan yang signifikan kecerdasan emosi pada laki-laki dan perempuan dewasa dini. Hasil penelitian ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Khalili (2011) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan


(66)

kecerdasan emosional yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Adapun penelitian lain, Khaterina dan Garliah (2012) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan kecerdasan emosional yang signifikan secara keseluruhan.

Secara umum, keseluruhan kelompok menunjukan bahwa mereka sama-sama memiliki kecerdasan emosi yang hampir sama-sama. Kemiripan dalam kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan dewasa dini ini dipengaruhi oleh beberapa hal. Goleman (2009) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi penting bagi kehidupan karena memungkinkan seseorang untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang sangat baik dan memiliki dukungan sosial yang lebih baik. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mengasah dan mempelajari kemampuan kecerdasan emosi yang mereka miliki guna mendukung kehidupan yang lebih harmonis. Secara teoritis, terdapat beberapa yakni faktor pengalaman diri sendiri dan jenis kelamin yang mendukung seseorang untuk belajar menangani suasana hati dan menangani emosi yang menyulitkan. Selain itu, kemiripan ini dapat disebabkan oleh pengaruh karakteristik subjek pada penelitian ini. Subjek penelitian ini mayoritas

dancer. Seorang dancer secara tidak langsung akan mendapatkan kecerdasan

emosi dan kreativitas karena gerakan dalam tarian dapat menciptakan semangat dan sensasi emosi. Setiap dancer harus dapat menguasai diri untuk dapat mensinkronkan gerakan yang dilakukan dengan ketukan music yang didengarkan. Proses itulah yang membentuk kecerdasan emosi seseorang


(67)

(Agustina,2013). Beberapa uraian ini menunjukan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dewasa dini dalam meningkatkan kecerdasan emosi.

Disisi lain, laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam komponen-komponen tertentu dari kecerdasan emosi. Pada penelitian ini laki-laki dan perempuan berbeda dalam aspek mengelola emosi. Hal ini dapat juga disebabkan oleh cara masyarakat mensosialisakan pendidikan emosi secara berbeda (dalam Nunez, Berrocal, Montanes, Latorre, 2008).

Berdasarkan hasil uji t pada komponen mengelola emosi, laki-laki dan perempuan dewasa dini ditemukan perbedaan dalam kecerdasan emosi yang menunjukan bahwa nilai rata-rata laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Pada komponen ini, laki-laki dan perempuan berupaya untuk menanggani perasaan agar perasaannya dapat terungkap dengan pas, yang dapat membebaskan mereka dari perasaan-perasaan yang tidak mengenakkan. Orang-orang yang buruk dalam keterampilan ini akan terus menerus melawan perasaan murung, sementara mereka yang memiliki keterampilan ini dengan baik dapat bangkit kembali dari kemerosotan dalam kehidupan (Goleman, 2009). Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang berpendapat bahwa laki-laki cenderung tidak emosional dalam menghadapi situasi atau permasalahan karena laki-laki lebih berfokus pada masalahnya,lebih dapat mengontrol implus dan toleransi stress. Sementara perempuan lebih berfokus pada strategi menangani masalah dan terfokus pada emosi demi membina hubungan (Nunez, Berrocal, Montanes, Latorre, 2008). Nolen-hoeksman menemukan bahwa perempuan


(68)

lebih sering melamun bila sedang depresi dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dapat diakibatkan karena perempuan pada masa kanak-kanak mendapatkan pendidikan emosi yang lebih sehingga perempuan lebih mahir membaca sinyal emosi, baik verbal dan non-verbal, mahir dalam mengungkapkan dan mengkomunikasikan perasaan-perasaannya. Perempuan yang lebih terbuka dalam mengungkapkan kesedihannya akan lebih banyak hal dalam kehidupannya yang membuatnya sedih. Sementara laki-laki lebih terampil untuk meredam emosi yang berkaitan dengan perasaan rentan, salah, takut dan sakit (Goleman, 2009). Melihat tersebut peneliti pun berasumsi bahwa laki-laki lebih dapat mengelola emosinya daripada perempuan. Hal ini dapat mendukung hasil penelitian yang peneliti lakukan bahwa laki-laki lebih dapat mengelola emosinya. Hasil penelitian ini pun hampir serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Khaili (2011) bahwa laki-laki lebih terampil dalam mengelola emosi.

Pada komponen mengenal emosi diri, dinyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan antar laki-laki dan perempuan dewasa dini. Hal ini menunjukan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama terampil dan berupaya untuk mengenali perasaan itu terjadi atau kesadaran diri (Goleman,2009). Kesadaran diri merupakan dasar pembangun kecerdasan emosi penting berikutnya, kemampuan untuk melepaskan suasana hati yang tidak mengenakkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Gottman bersama rekannya (1997), bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama terampil dalam hal kesadaran emosi.


(69)

Kemiripan dalam komponen memotivasi diri sendiri antara laki-laki dan perempuan dewasa dini dengan melihat upaya mereka dalam mengendalikan diri dan menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Hal ini penting kaitannya untuk memberi perhatian, memotivasi diri, dan menguasai diri sendiri untuk berkreasi. Orang–orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan (Goleman, 2009). Masa dewasa dini merupakan masa kreatif. Bentuk kreatifitas dapat dilihat ketika laki-laki dan perempuan dewasa dini memiliki minat, kemampuan individu, kesempatan untuk mewujudkan keinginan dan kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya (Hurlock, 1997). Hal ini menunjukan bahwa mereka selalu termotivasi untuk mencapai kepuasan dengan memanfaatkan emosi secara produktif.

Begitu pula dengan komponen mengenali emosi orang lain atau empati tidak ditemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dewasa dini. Pada komponen mengenali emosi orang lain atau empati, laki-laki dan perempuan memiliki upaya untuk memahami orang lain dengan melihat sinyal-sinyal sosial yang mengisyaratkan apa saja seperti nada bicara, gerak gerik, ekspresi wajah dll (Goleman, 2009).

Pada komponen membina hubungan, laki-laki dan perempuan dewasa dini sama-sama memiliki upaya untuk menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Bentuk lain dari membina hubungan adalah bahwa pada masa dewasa dini, laki-laki dan perempuan


(70)

dewasa dini memiliki tugas perkembangan bertanggungjawab sebagai warga masyarakat dan warga negara dan tugas menentukan persahabatan dalam kelompok sosial. Mereka harus mampu membina hubungan sosial dengan sesama warga dan mereka dituntut untuk dapat hidup dalam berbagai kelompok sosial dengan harmonis.


(71)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini tidak diterima yakni tidak ada perbedaan kecerdasan emosi antara laki-laki dan perempuan dewasa dini. Hal ini ditunjukan pada hasil uji coba hipotesis, dimana nilai signifikasi p > 0,05 yakni 0,922 > 0.05. Kesimpulan yang sama terjadi pada uji tambahan yang menghitung komponen-komponen dari kecerdasan emosi, dimana tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dewasa dini dalam komponen mengenali emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenal emosi orang lain , dan membina hubungan. Sementara pada komponen mengelola emosi terdapat perbedaan yakni laki-laki lebih dapat mengelola emosi daripada perempuan. Hasil penelitian dapat dilihat bahwa nilai signifikan p < 0,05 yakni 0,021 < 0,05.

B. Saran

1. Bagi Orang Dewasa Dini

Berdasarkan penelitian diatas dapat terlihat bahwa laki-laki dan perempuan dewasa dini telah memiliki kecerdasan emosi yang positif, oleh karena itu laki-laki dan perempuan dewasa dini diharapkan untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan kemampuan kecerdasan emosi yang

53  


(72)

dimiliki guna memaksimalkan dan mengoptimalkan hubungan sosial pada masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang bahagia dan harmonis.

2. Bagi Penelitian Selanjutnya

Berdasarkan penelitian diatas peneliti melakukan penelitian mengenai kecerdasan emosi pada laki-laki dan perempuan dewasa dini. Penelitian mengenai kecerdasan emosi dengan subjek orang dewasa masih jarang dilakukan sehingga masih sangat terbuka bagi penelitian selanjutnya untuk mengekplorasi tema penelitian ini. Adapun peneliti menyadari kekurangan dalam penelitian ini. Peneliti meneliti perbedaan kecerdasan emosi pada laki-laki dan perempuan yang masih cukup luas lingkupnya. Disisi lain, ada beberapa lingkup lain yang mempengaruhi seperti dunia kerja, pendidikan, organisasi, perkawinan, da lain-lain. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya disarankan untuk memperbaiki kekurangan dalam penelitian ini.


(73)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto,Suharsimi. (2003) . Manajemen Penelitian Edisi Baru. Jakarta: Rineka Cipta.

Agustina,M,E. (2013). Kecerdasan Emosi, Kreativitas Ditinjau Dari Keikutsertaan tari pada remaja. Jurnal Sain dan Praktik Psikologi vol 1 (2):114-128. Diunduh pada tanggal 15 Juli 2013 dari http://ejournal.umm.ac.id/ index.php/jspp/article/view/1490 . pdf

Ahmad,S,Bangash,H.,& Khan, S.A. (2009). Emotional Intelligence And Gender Differences. Sharhad J.Agric.Vol 25(1): 127-130. Diunduh pada tanggal 10 Maret 2013 dari http://www.aup.edu,pk// sj_pdf/EMOTIONAL%20INTELLIGENCE520AND%20GENDER%2 0DIFFERENCES.pdf.

Azwar, Saifuddin. (2000). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin. (2005). Metodologi Penelitian . Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin. (2010). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Berrocal.et.al, (2005). Cultural influence on the relation between perceived emotional intelligence and depression. Presses Universiraires de Grenoble : 91-107. Diunduh pada tanggal 28 September 2011 dari http://www.ehu.es/pswparod/pdf/articulos/berrocal1801.pdf

Goleman, D.(2009). Kecerdasan Emosional (terjemahan Hermaya.T). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Golleman,D.(1999). Working Emotional Intelligence: Kecerdasan Emosional Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Alih Bahasa: Alex Tri Kantjoro Wwidodo. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.

Gottman, John dan Declaire, Joan.(1997). Kiat-kiat membesarkan anak yang memiliki Kecerdasan Emosional. Alih Bahasa : T Hermaya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Gurian, Michael. (2011). Boys & girls learn differently. San Fransisco USA : Jossey- Bass.


(1)

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic df Sig. lakilaki .066 69 .200* .986 69 .663 perempuan .119 69 .016 .967 69 .065 a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

T-Test

Group Statistics

jeniskelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

KE laki-laki 69 62.29 5.579 .672 perempuan 69 62.38 4.734 .570

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. T df

Sig. (2-tailed)

Mean Differenc

e

Std. Error Differenc

e

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper KE Equal variances

assumed 1.973 .162 -.099 136 .922 -.087 .881 -1.829 1.655

Equal variances

not assumed -.099 132.4


(2)

LAMPIRAN 5

Uji Hipotesis Tiap Komponen

T-Test

Group Statistics

jeniskelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean MED laki-laki 69 12.29 1.941 .234

perempuan 69 12.57 1.996 .240 ME laki-laki 69 12.42 1.866 .225 perempuan 69 11.72 1.617 .195 MD laki-laki 69 13.48 1.746 .210 perempuan 69 13.54 1.596 .192 MEO laki-laki 69 6.22 .937 .113 perempuan 69 6.32 .931 .112 MH laki-laki 69 15.32 1.921 .231 perempuan 69 15.36 1.886 .227

Independent Samples Test Levene's Test for

Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. T df

Sig. (2-tailed) Mean Differenc e Std. Error Differenc e 95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper ME

D

Equal variances

assumed .001 .973 -.822 136 .413 -.275 .335 -.938 .387 Equal variances

not assumed -.822 135.8

94 .413 -.275 .335 -.938 .388 ME Equal variances

assumed 2.935 .089 2.340 136 .021 .696 .297 .108 1.283 Equal variances

not assumed 2.340 133.2

96 .021 .696 .297 .108 1.284 MD Equal variances

assumed 1.562 .214 -.204 136 .839 -.058 .285 -.621 .505 Equal variances

not assumed -.204 134.9

18 .839 -.058 .285 -.621 .505 ME

O

Equal variances

assumed .000 .993 -.638 136 .525 -.101 .159 -.416 .213 Equal variances

not assumed -.638 135.9


(3)

assumed Equal variances

not assumed -.134 135.9


(4)

LAMPIRAN 6

Mean Teoritik dan Mean Empirik Laki-laki dan Perempuan Variabel

JK

Teoritik SD Empirik SD Xmax Xmin Mean Xmax Xmin Mean

Laki-laki 80 20 50 10 77 48 62,29 5,579 Perempuan 80 20 50 10 76 51 62,38 4,734 a. Mean Teoritik diketahui dari :

Jumlah item = 20 item

Skor maximum = jumlah item x nilai tertinggi

= 20 x 4

= 80

Skor minimum = jumlah item x nilai terendah

= 20 x 1

= 20 MT =

MT =

MT =

MT = 50

Range = skor miximum – skor minimum = 80 – 20

= 60

Standar Deviasi =

= = 10

b. Mean Empirik diketahui melalui perhitungan program SPSS 16 for

windows yang menunjukan laki-laki memiliki skor terendah 48 dan

skor tertinggi 77, dengan mean empirik M= 62,29 dan perempuan memiliki skor terendah 51 dan skor tertinggi 76, dengan mean empirik M=62,38. Data tersebut menunjukan bahwa mean empirik lebih besar dari mean Teoritik. Hal ini berarti bahawa laki-laki dan perempuan dewasa dini memiliki kecerdasan emosi yang cenderung kearah positif.


(5)

Mean Teoritik dan Mean Empirik Tiap Komponen

Komponen JK

Teoritik SD Empirik SD X

max X min

Mean X max X min Mean Mengenal emosi diri

L 16 4 10 2 16 8 12,29 1,941 P 16 4 10 2 16 7 12,57 1,996 Mengelola

emosi

L 16 4 10 2 16 8 12,42 1,866 P 16 4 10 2 15 7 11,72 1,617 Memotivas

i diri

L 16 4 10 2 16 9 13,48 1,746 P 16 4 10 2 16 8 13,54 1,596 Mengenal

emosi orang lain

L 16 4 10 2 8 4 6,22 0,937

P 16 4 10 2 8 4 6,32 0,931

Membina hubungan

L 16 4 10 2 19 11 15,32 1,921

P 16 4 10 2 19 10 15,36 1,886 a. Mean Teoritik diketahui dari :

Jumlah item = 4 item

Skor maximum = jumlah item x nilai tertinggi

= 4 x 4

= 16

Skor minimum = jumlah item x nilai terendah

= 4 x 1

= 4 MT =

MT =

MT =

MT = 10

Range = skor miximum – skor minimum = 16 – 4

= 12

Standar Deviasi =


(6)

b. Mean Empirik diketahui melalui perhitungan program SPSS 16 for

windows. Data tersebut menunjukan bahwa mean empirik lebih besar

dari mean Teoritik. Hal ini berarti bahawa laki-laki dan perempuan dewasa dini memiliki kecerdasan emosi yang cenderung kearah positif.