Keefektivan Komunikasi Masyarakat Aceh di Bogor Mengenai Pengelolaan Dampak Tsunami

(1)

DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN

DAMPAK TSUNAMI

YUSNIDAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2006


(2)

YUSNIDAR. Keefektivan Komunikasi Masyarakat Aceh di Bogor mengenai Pengelolaan Dampak Tsunami. Dibimbing oleh: SUMARDJO dan RICHARD W.E. LUMINTANG.

Penelitian tentang keefektivan komunikasi masyarakat Aceh di Bogor mengenai pengelolaan dampak tsunami telah dilakukan pada bulan April hingga Juni 2006. Penelitian bertujuan untuk menganalisis: (1) sejauhmana telah terjadi komunikasi yang efektif pada masyarakat Aceh di Bogor dalam pengelolaan dampak tsunami dan faktor apa saja yang mempengaruhi keefektivan komunikasi mereka, (2) sejauhmana proses komunikasi berkaitan dengan lingkungan dan (3) sejauhmana proses komunikasi berkaitan dengan karakteristik individu. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanasi dengan metode survai. Populasi adalah seluruh masyarakat Aceh yang berdomisili di Kabupaten dan Kota Bogor. Sampel diambil secara acak stratifikasi nonproporsional berdasarkan kelompok masyarakat (masyarakat menetap, mahasiswa S0/S1, dan mahasiswa S2/S3) dan jenis kelamin. Jumlah sampel seluruhnya adalah 90 orang, setiap kelompok terdiri atas 30 orang (15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama, komunikasi masyarakat Aceh di Bogor mengenai pengelolaan dampak tsunami efektif dalam mengembangkan aspek pengetahuan. Hal ini berkaitan dengan tingginya intensitas komunikasi dan akses media. Kedua, proses komunikasi masyarakat Aceh di Bogor terkondisikan oleh lingkungan mereka, semakin tinggi dukungan dari lingkungan ternyata semakin tinggi pula proses komunikasi yang terjadi. Ketiga, proses komunikasi masyarakat Aceh di Bogor berkaitan dengan karakteristik individu mereka. Aspek karakteristik individu yang berhubungan dengan proses komunikasi adalah umur, pendidikan, status, pendapatan, hubungan keluarga dan motif. Ada kecenderungan pada usia tua dan yang telah menikah terjadi proses komunikasi yang lebih intensif. Tingkat pendidikan, pendapatan dan keeratan hubungan keluarga juga cenderung meningkatkan proses komunikasi.

Kata kunci: Pengelolaan dampak tsunami Aceh, proses komunikasi, keefektivan komunikasi.


(3)

YUSNIDAR: The Communication Efectiveness of Acehnese Community in Bogor on Tsunami Impact Management. Supervised by SUMARDJO and RICHARD W.E. LUMINTANG.

An explanatory research has been done to investigate the communication efectiveness of Acehnese community in Bogor on tsunami impact management. The objectives of this research are to analyze: (1) how far the communication efectiveness done on Acehnese community in Bogor on tsunami impact management and what factors influence the communication efectiveness, (2) how far the communication processes correlate with their individual environments, and (3) how far the communication processes correlate with their individual characteristics. This study was conducted in Bogor district and Bogor City from April until June 2006. The disproportional stratified random sampling, according to group and gender of Acehnese community, is used in determining samples. The respondents were 90 persons consist of 30 persons in each group (permanent Acehnese community, undergraduate students, and postgraduate students), divided into 15 male and 15 female. The result showed that: Firstly, the communication efectiveness of Acehnese community in Bogor expressed in their good knowledge on tsunami impact management. This is caused by their high communication intensity and media accessibility. Secondly, communication processes of Acehnese community in Bogor on tsunami impact management are influenced by their individual environments. The higher environments support the higher communication processes done. Thirdly, communication processes of Acehnese community in Bogor on tsunami impact management related to their individual characteristics. Individual characteristic aspects that influence the communication processes are their age, personal income, marital status, family relationship and motive.

Key Words: Aceh tsunami impact management, communication processes, communication efectiveness


(4)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis saya dengan judul “Keefektivan Komunikasi Masyarakat Aceh di Bogor Mengenai Pengelolaan Dampak Tsunami” adalah karya saya dengan arahan komisi bimbingan, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Bogor, 20 November 2006

Yusnidar P054030131


(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya.


(6)

DI BOGOR MENGENAI PENGELOLAAN

DAMPAK TSUNAMI

YUSNIDAR

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2006


(7)

Mengenai Pengelolaan Dampak Tsunami Nama : Yusnidar

NIM : P054030131

Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Sumardjo, M.S. Ketua

Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Komunikasi PembangunanPertanian dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Sumardjo, M.S. Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(8)

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata’ala, atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tulisan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains (S-2) pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Sumardjo, MS. dan Bapak Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA. selaku komisi pembimbing, atas bimbingan dan pengarahan yang telah diberikan, baik dalam penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, dan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh Staf Pengajar Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), yang telah banyak memberikan bimbingan dan dorongan.

Teriring do’a buat Ayahanda (Almarhum) dan Ibunda, penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya buat suami dan putri tercinta, serta seluruh anggota keluarga yang selalu mendo’akan penulis dalam mengikuti pendidikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh mahasiswa Program Studi KMP, yang telah banyak memberikan masukan dalam berbagai hal, baik berupa ide maupun referensi. Semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari yang Maha Kuasa.

Bogor, November 2006 Yusnidar


(9)

Penulis dilahirkan di Takengon, Aceh Tengah pada tanggal 24 Oktober 1969, sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara dari pasangan Ir.Taharuddin (Almarhum) dan Iwanah Djalil. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, tahun 1996. Sejak tahun 2001 sampai sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Sekolah Tinggi Pertanian Gajah Putih, Aceh Tengah. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Magister Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).

Penulis menikah dengan Ir. Sapdi, M.Si. pada tanggal 9 April 1994. Sampai saat ini penulis telah dikaruniai seorang putri yang diberi nama Zuhria Purnama yang telah berumur 9 tahun.


(10)

Halaman

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 5

Pengertian Komunikasi ... 5

Proses Komunikasi... 6

Arah komunikasi ... 11

Intensitas komunikasi... 12

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi KeefektivanKomunikasi ... 13

Faktor pada komponen komunikasi ... 13

Faktor pada komponen komunikator ... 13

Penerapan Konsep ”Energi Sosial”... 15

Gempa Bumi dan Tsunami Aceh 26 Desember 2004... 19

Pengelolaan Dampak Tsunami... 21

Penataan Daerah yang Terkena Tsunami ... 25

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS... 29

Kerangka Pemikiran... 29

Hipotesis... 31

METODE PENELITIAN... 32

Lokasi dan Waktu ... 32

Desain Penelitian... 32

Populasi dan Sampel ... 32

Data dan Instrumentasi... 34

Definisi Operasional ... 34

Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 41

Pengumpulan data ... 41

Analisa Data ... 41

HASIL DAN PEMAHASAN... 42

Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 42

Gambaran Umum Masyarakat Aceh di Bogor... 43

Deskripsi Responden... 46

Karakteristik Individu ... 48


(11)

KeefektivanKomunikasi... 56

Hubungan antara Karakteristik Individu dan Proses Komunikasi ... 58

Hubungan antara Lingkungan dan Proses Komunikasi ... 62

Hubungan antara Lingkungan dan KeefektivanKomunikasi ... 66

Hubungan antara Proses Komunikasi dan KeefektivanKomunikasi .. 67

KESIMPULAN DAN SARAN... 80

Kesimpulan ... 80

Saran... 81

DAFTAR PUSTAKA... 82


(12)

Halaman

1. Data populasi dan sampel penelitian... 33 2. Jumlah penduduk Kota Bogor per kecamatan menurut jenis

kelamin tahun 2006 ... 42 3. Distribusi aspek-aspek karakteristik individu masyarakat Aceh di

Bogor... 49 4. Distribusi aspek-aspek lingkungan masyarakat Aceh di Bogor... 53 5. Distribusi aspek-aspek proses komunikasi masyarakat Aceh di

Bogor mengenai pengelolaan dampak tsunami... 55 6. Distribusi aspek-aspek keefektivan komunikasi masyarakat Aceh

di Bogor mengenai pengelolaan dampak tsunami ... 57 7. Korelasi antara karakteristik individu (X1) dan proses komunikasi

(Y1) ... 59 8. Korelasi antara lingkungan (X2) dan proses komunikasi (Y1)... 63 9. Korelasi antara lingkungan (X2) dan keefektivan komunikasi

(Y2) ... 67 10.Korelasi antara proses komunikasi (Y1) dan keefektivan

komunikasi (Y2) ... 68 11.Distribusi frekuensi partisipasi masyarakat Aceh di Bogor dalam

pengelolaan dampak tsunami berdasarkan hubungan keluarga

dengan korban ... 72 12.Distribusi frekuensi partisipasi masyarakat Aceh di Bogor dalam

pengelolaan dampak tsunami berdasarkan tahapan partisipasi


(13)

Halaman

1. Tahapan Partisipasi menurut Uphoff, et al. (1979)... 19 2. Siklus Penangulangan Bencana... 23 3. Kerangka Pemikiran Keefektivan Komunikasi Masyarakat Aceh


(14)

Halaman

1. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 87 2. Koefisien korelasi Rank Spearman antara karakteristik individu

(X1) dan proses komunikasi (Y1) ... 89 3. Koefisien korelasi Rank Spearman antara lingkungan (X2) dan

proses komunikasi (Y1) ... 90 4. Koefisien korelasi Rank Spearman antara karakteristik individu

(X1) dan lingkungan (X2)... 91 5. Koefisien korelasi Rank Spearman antara lingkungan (X2) dan

keefektivankomunikasi (Y2)... 92 6. Koefisien korelasi Rank Spearman antara proses komunikasi (Y1)

dan keefektivankomunikasi (Y2) ... 93 7. Kuesioner Penelitian ... 94


(15)

Latar Belakang

Di penghujung tahun 2004, tepatnya 26 Desember 2004, terjadi gempa berkekuatan 8,9 pada skala Richter di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD, yang selanjutnya disebut “Aceh”) diiringi oleh gelombang tsunami yang sangat dahsyat (BMG, 2005a). Kejadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya di belahan bumi manapun. Gelombang tsunami yang dahsyat tersebut telah mengakibatkan hilangnya ratusan ribu nyawa manusia. Selain itu, bencana tersebut juga telah menimbulkan kerugian harta benda dan kerusakan alam yang tidak terhitung nilainya.

Terjadinya gempa telah meruntuhkan bangunan-bangunan seperti pusat perbelanjaan, hotel-hotel, kantor-kantor, dan bangunan lainnya. Berselang beberapa menit setelah gempa, menyusul tsunami yang sangat dahsyat menerjang hampir seluruh pantai Aceh dan pulau-pulau yang ada di Lautan Hindia. Kerusakan terparah terjadi di sepanjang pantai barat Aceh yang meliputi Kabupaten Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Aceh Besar. Sementara itu, kerusakan yang agak ringan terjadi pada sebagian pantai utara Aceh yang meliputi Kabupaten Pidie, Bireuen, Aceh Utara, dan Aceh Timur (Anonimous, 2005).

Peristiwa gempa dan gelombang tsunami yang teramat dahsyat tersebut telah mengundang perhatian semua orang dari seluruh dunia. Media massa dari seluruh dunia, yang meliputi surat kabar dan televisi, secara gencar berburu berita dan menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia (Oemarmadi, 2005; Rahman, 2005). Peran media massa ini telah mampu menggugah perhatian dunia untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang tertimpa musibah. Besarnya perhatian dunia terhadap peristiwa gempa dan gelombang tsunami tersebut beralasan karena peristiwa tersebut telah meninggalkan dampak yang akan dapat dilihat dan dikenang manusia sepanjang masa, terutama masyarakat Aceh.

Peristiwa gempa dan gelombang tsunami yang menimpa Aceh tidak akan pernah habis diceritakan, tidak akan pernah membosankan untuk dibahas, serta


(16)

tidak akan pernah diketahui secara pasti apakah akan terjadi lagi ataupun tidak. Kalau peristiwa itu akan berulang lagi, teknologi yang ada saat ini tidak mampu meramalkan kapan terjadi. Manusia harus menyadari sepenuhnya bahwa Allah SWT maha mengetahui segalanya dan hanya Dia yang mampu mengendalikan seluruh alam dan isinya. Manusia diwajibkan untuk dapat membaca alam, yaitu mempelajari gejala alam yang diamati dan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan gejala alam tersebut.

Sampai saat ini keadaan di Aceh belum pulih seperti sediakala. Masih banyak masyarakat Aceh menempati tenda-tenda darurat karena belum mempunyai biaya untuk mendirikan rumah. Situasi ini sangat memilukan, dan perlu penanganan secepatnya. Pemerintah Indonesia sampai saat ini terus berusaha membanguan Aceh kembali. Badan Pertanahan Nasional (BPN) terus berusaha mendata tanah penduduk yang tidak diketahui batasnya lagi, bahkan pemerintah menemui kesulitan mendata tanah-tanah penduduk tersebut karena pemiliknya sudah meninggal dunia. Bantuan dari para ahli waris tentunya akan mendukung suksesnya pendataan tanah tersebut.

Dampak peristiwa tsunami di Aceh memerlukan penanganan secara serius dan terencana. Peran serta semua pihak diperlukan secara proaktif untuk memulihkan kondisi Aceh, baik secara materi maupun psikologi. Berbagai kalangan telah memberikan bantuan, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Namun demikian, peran serta masyarakat Aceh sangat diharapkan karena mereka memiliki hak dan tanggung jawab dalam menentukan arah pembangunan Aceh ke depan.

Warga Aceh yang ada di perantauan merupakan suatu komunitas yang sangat diharapkan kepedulian dan sumbangsihnya dalam pengelolaan dampak tsunami di Aceh. Peran serta warga Aceh dapat dioptimalkan dengan adanya suatu komunikasi yang efektif, yang merupakan salah satu faktor penentu kebersamaan. Besarnya peranan komunikasi dalam menangani masalah di Aceh perlu mendapat perhatian semua pihak. Keefektivan komunikasi masyarakat Aceh yang ada di perantauan pasca tsunami perlu diketahui untuk memenuhi tuntutan tersebut. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan keefektivan


(17)

komunikasi masyarakat Aceh perlu dikaji secara terperinci. Keefektivan komunikasi masyarakat Aceh yang ada di perantauan perlu diketahui dan dilakukan penelitian terencana, dengan melakukan studi kasus pada masyarakat Aceh di Bogor.

Perumusan Masalah

Keefektivan komunikasi masyarakat Aceh yang berdomisili di Bogor memiliki fungsi strategis untuk mengoptimalkan peran serta mereka dalam pengelolaan dampak tsunami di Aceh. Proses komunikasi yang terjadi pada masyarakat Aceh di Bogor merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keefektivan komunikasi. Selanjutnya proses komunikasi berkaitan dengan faktor-faktor karakteristik individu dan lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan keefektivan komunikasi masyarakat Aceh di Bogor dalam pengelolaan dampak tsunami, sebagai berikut:

1.Sejauhmana komunikasi yang efektif tentang pengelolaan dampak tsunami telah terjadi pada masyarakat Aceh di Bogor dan faktor apa saja yang mempengaruhi keefektivan komunikasi?

2.Sejauhmanaproses komunikasi masyarakat Aceh di Bogor dalam pengelolaan dampak tsunami berkaitan dengan lingkungan?

3.Sejauhmanaproses komunikasi masyarakat Aceh di Bogor dalam pengelolaan dampak tsunami berkaitan dengan karakteristik individu?

Tujuan Penelitian

Bertitik tolak pada permasalahan yang telah dirumuskan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui sejauhmana telah terjadi komunikasi yang efektif pada masyarakat Aceh di Bogor dalam pengelolaan dampak tsunami dan faktor apa saja yang mempengaruhi keefektivan komunikasi.


(18)

3. Menganalisis sejauhmana proses komunikasi berkaitan dengan karakteristik individu.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain:

1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah NAD dalam mengoptimalkan peran serta masyarakat Aceh di perantauan dalam pengelolaan dampak tsunami di Aceh.

2. Sebagai masukan bagi masyarakat Aceh secara keseluruhan untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi mereka dalam pengelolaan dampak tsunami di Aceh.


(19)

Pengertian Komunikasi

Rogers dan Kincaid (1982) menyatakan bahwa komunikasi merupakan suatu proses dimana partisipan membuat berbagai informasi satu sama lain dalam upaya mencapai saling pengertian. Sementara itu Banlund dalam Devito (1989) berpendapat bahwa komunikasi adalah suatu proses pembentukan, penyampaian, penerimaan, pengolahan pesan yang terjadi dalam diri seseorang dan atau diantara dua orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Cara yang tepat untuk menerangkan komunikasi dengan menjawab pertanyaan: (1) siapa pemberi berita, (2) dengan siapa ia berbicara, (3) apa yang dikatakan, (4) prosedur atau saluran apa yang dipakai, dan (5) apa akibat dari penyampaian informasi itu (Laswell dalam Effendy, 1988). Komunikasi adalah proses transaksional yaitu suatu proses yang komponen-komponennya saling terkait dan para partisipan beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan (Watlawick et.aldalam Devito, 1989).

Tujuan komunikasi bersifat informatif dan persuasif (Effendy, 2000). Jadi tujuan komunikasi adalah memberitahu (information) atau mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion), atau perilaku (behavior). Secara paradigmatis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat atau perilaku baik langsung secara lisan maupun tidak langsung melalui media. Komunikasi berlangsung apabila diantara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna tentang suatu hal yang dikomunikasikan. Tujuan komunikasi lebih dari sebuah upaya mempengaruhi, komunikasi merupakan upaya untuk berhubungan dengan (to communicate with). Oleh karena itu, pencapaian pengertian bersama untuk menaksir dan mendefinisikan realitas menjadi sangat penting, karena keberhasilan berbagai upaya manusia tergantung pada ada tidaknya pengertian bersama tersebut.

Motivasi penduduk dalam komunikasi pembangunan merupakan salah satu syarat terpenting yang harus diketahui untuk dimanfaatkan dan dikaitkan


(20)

dengan ide pembangunan. Di lain pihak, fakta menunjukkan bahwa mengubah pola pikir, ide-ide, dan kebiasaan yang sudah ada di masyarakat bukanlah hal yang mudah dilakukan. Upaya pengumpulan informasi dan penelitian awal sangat diperlukan untuk mengetahui dan mengkaji kondisi nyata yang ada di lingkungan masyarakat yang akan dijadikan sasaran, tentang posisi dari segala sesuatu mengenai dirinya, kehendaknya, potensi lingkungannya dan lain-lain.

Dengan mengetahui posisi sasaran, maka selanjutnya merealisasikan tujuan yang diinginkan yaitu berupa perubahan sosial di lingkungan masyarakat. Untuk itu diperlukan langkah-langkah strategis dalam menyiasatinya. Langkah dalam menyiasati perubahan kondisi masyarakat ke arah perubahan yang diharapkan. Komunikasi dalam hal ini haruslah dilihat sebagai suatu proses menyeluruh, termasuk pemahaman terhadap khalayak, terhadap kebutuhan-kebutuhannya, serta pembuatan pesan-pesan, penyebaran, penerimaan, umpan balik terhadap pesan dan komunikasi dua arah lainnya.

Proses Komunikasi

Berlo (1960) menyatakan bahwa sebagai sebuah proses, komunikasi secara linier melibatkan empat komponen utama, yaitu: (1) sumber/pengirim pesan atau komunikator (source), (2) pesan (message), (3) saluran (channel), dan (4) penerima/komunikan (receiver). Di samping keempat elemen tersebut dalam istilah model unsur-unsur komunikasi Berlo (1960), yang disebut sebagai model S-M-C-R, ada tiga faktor lain yang juga penting dalam proses komunikasi yaitu: (1) akibat/dampak (effect), (2) umpan balik (feed back), dan (3) gangguan (noise).

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa salah satu komponen penting dalam komunikasi adalah adanya sumber pesan. Sumber atau source (encoder) disebut juga sebagai pengirim pesan atau komunikator. Agar komunikasi menjadi efektif, seorang komunikator dalam proses berkomunikasi harus menentukan strategi bagaimana cara mempengaruhi komunikannya dan menganalisis pesan yang diterima sebelum memberi respon (encoding) terhadap pesan balik yang diterimanya. Ketepatan komunikasi sumber ditentukan oleh


(21)

empat faktor yaitu: (1) keterampilan komunikasi (communication skills) secara lisan dan tulisan, (2) sikap jujur dan bersahabat (attitude), (3) tingkat pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan (knowledge), dan (4) mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system) komunikan.

Komunikator harus memiliki keterampilan dalam komunikasi untuk menciptakan suatu proses komunikasi yang baik. Berlo (1960) menyatakan bahwa ada lima keterampilan komunikasi verbal yaitu menulis dan berbicara (keterampilan meng-encoding), keterampilan membaca, dan mendengar/menyimak (keterampilan meng-decoding), serta pemikiran atau pertimbangan (thought or reasoning) merupakan keterampilan yang paling penting didalam meng-encoding maupun meng-decoding pesan.

Selain keterampilan verbal, komunikator juga harus memiliki sikap yang mendukung keefektivan komunikasi. Sikap komunikator (attitude) yang bersahabat, hangat dan jujur sangat mempengaruhi keefektivan komunikasi. Menurut Berlo (1960), sikap komunikator mempengaruhi kebiasaannya berkomunikasi. Berlo mengartikan kata “sikap” dalam arti sempit dengan menjawab pertanyaan: How do the attitude of the source effect communication? Selanjutnya Berlo menjabarkan sikap komunikator menjadi tiga sikap yaitu: (1) sikap terhadap diri sendiri (attitude toward self), yang berkaitan dengan kepribadian individu dalam berkomunikasi, (2) sikap terhadap materi (pesan) yang dikomunikasikan (attitude toward subject matter), dan (3) sikap terhadap komunikan (attitude toward receiver). Apabila seorang komunikator tidak yakin terhadap subjek/materinya, maka hal ini akan menyulitkan berkomunikasi secara efektif tentang subjek/materi itu. Selain itu, sikap komunikator pada komunikannya berpengaruh terhadap komunikasi diantara mereka. Berlo mengilustrasikan sebagai berikut: Jika pembaca atau pendengar menyadari bahwa apa yang ditulis/dibicarakan sama seperti yang mereka rasakan, maka kritik terhadap pesan yang dibaca/didengar akan sangat minim. Kemungkinan besar pesan yang disampaikan oleh penulis atau pembicara akan diterima oleh komunikan bila pesan itu sesuai dengan kebutuhan.


(22)

Tingkat pengetahuan (knowledge) yang luas tentang materi yang dikomunikasikan juga harus dimiliki seorang komunikator agar ”kredibel” di mata khalayaknya. Menurut Aristoteles, seorang komunikator itu kredibel apabila memiliki ethos, pathos dan logos (Cangara, 2000). Ethos ialah kekuatan yang dimiliki pembicara dari karakter pribadinya sehingga ucapan-ucapannya dapat dipercaya. Pathos adalah kekuatan yang dimiliki pembicara dalam mengendalikan emosi pendengarnya. Sedangkan Logos ialah kekuatan yang dimiliki melalui argumentasinya (argumentasi kuat bila ditunjang tingkat pengetahuan yang luas).

McCroskey (1966 dalam Cangara, 2000) memperluas pendapat Aristoteles dan menyatakan bahwa kredibilitas seorang komunikator dapat bersumber dari kompetensi (competence), sikap (attitude), tujuan (intension), kepribadian (personality), dan dinamika (dynamism). Kompetensi ialah penguasaan komunikator terhadap masalah yang dibahas (tingkat pengetahuan terhadap materi yang cukup luas). Sikap menunjukkan pribadi komunikator apakah tegar atau toleran dalam prinsip. Tujuan menunjukkan apakah hal-hal yang disampaikan itu memiliki maksud baik atau tidak. Kepribadian menunjukkan apakah komunikator memiliki pribadi yang hangat dan bersahabat. Sedangkan dinamika menunjukkan apakah hal yang disampaikan itu menarik atau justru membosankan.

Seorang komunikator juga dituntut kemampuannya untuk beradapatasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system) komunikannya. Berlo menyatakan bahwa derajat pesan yang dapat diserap oleh penerima dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya adalah sistem sosial budaya penerima. Seorang komunikator karena itu seyogyanya memahami sistem sosial budaya komunikannya.

Komponen lain setelah sumber yang harus ada dalam komunikasi adalah pesan. Pesan adalah sebagian produk fisik aktual (actual physical product) dari komunikator-komunikan (Berlo, 1960). Ketika seseorang berpidato, menulis, menggambar, dan menggerakan anggota tubuh sebagai isyarat, maka isi pidato, tulisan, gambar, dan menggerakkan tangan serta ekspresi wajahnya merupakan


(23)

pesan. Selanjutnya, isi pesan merupakan materi pesan yang terseleksi oleh komunikator untuk mengekspresikan tujuan. Isi pesan adalah pernyataan atau pemaknaan yang kita buat, informasi yang kita tampilkan, kesimpulan yang kita buat, dan pembenaran (judgments) yang kita maksud dalam pesan.

Komponen berikutnya dalam komunikasi adalah saluran komunikasi. Komponen ini merupakan alat untuk menyalurkan pesan dari komunikator ke komunikan. Roger dan Shoemaker (1971) membedakan saluran komunikasi atas dua jenis yaitu (1) saluran media massa, dan (2) saluran interpersonal.

Saluran media massa adalah alat penyampai pesan yang memungkinkan pencapaian komunikan dalam jumlah besar, yang dapat menembus batas waktu dan ruang seperti Radio, TV, Koran dan sebagainya. Saluran interpersonal merupakan saluran komunikasi melalui pertemuan tatap muka antara komunikator dan komunikan. Selanjutnya saluran interpersonal dibedakan atas saluran interpersonal lokalit dan saluran interpersonal kosmopolit. Saluran interpersonal lokalit adalah saluran antar pribadi yang berlangsung sebatas daerah atau sistem sosial itu saja. Saluran interpersonal kosmopolit adalah komunikasi yang berlangsung antara receiver dengan sumber pesan dari luar sistem sosial receiver.

Apabila berpedoman kepada tujuan komunikasi, komunikasi interpersonal lebih tepat digunakan pada tahapan persuasi. Pada komunikasi interpersonal kontak antara komunikator dan komunikan lebih banyak bersifat pribadi. Oleh karena itu saluran interpersonal dapat memainkan peranan penting pada tahap persuasi. Media interpersonal mempunyai efek yang tinggi pada pembentukan dan perubahan sikap, dan mempunyai efek yang rendah pada kognitif. Sedangkan media massa berefek tinggi pada kognitif dan rendah pada pembentukkan dan perubahan sikap komunikan (audience).

Komponen terakhir dalam proses komunikasi adalah adanya komunikan. Komunikan biasa disebut juga dengan isitilah penerima pesan, decoder, khalayak, sasaran, audience dan lain sebagainya. Berhasil tidaknya proses komunikasi sangat ditentukan oleh komunikan. Komunikan dalam studi komunikasi bisa berupa individu, kelompok dan masyarakat (Cangara, 2000).


(24)

Dalam proses komunikasi, ternyata diketahui sumber membentuk pesan (encoder) dan menyampaikannya melalui saluran (cahnnel), lalu diterima oleh penerima pesan yang menginterpretasikan pesan tersebut. Apabila penerima punya tanggapan terhadap pesan, maka akan memberikan respons (feed back). Pihak sumber akan menginterpretasi tanggapan dan selanjutnya melakukan penyampaian pesan berikutnya. Demikianlah seterusnya proses komunikasi tersebut berlangsung secara terus menerus. Terjadinya pergantian peran dalam uraian lain dikatakan bahwa sipenerima (komunikan) kemudian berlaku sebagai pengirim pesan (komunikator) dalam memberikan tanggapannya, yang kemudian akan di respon oleh komunikannya. Proses pergantian peran ini terjadi secara serentak atau bersamaan (simultan) dan berkesinambungan (continuous).

Proses komunikasi lebih jauh dapat dijelaskan dengan pendekatan kerangka pemahaman. Mulyana (2003) mengemukakan bahwa setidaknya terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi. Ketiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi tersebut yaitu: (1) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi.

Pemahaman ”komunikasi sebagai proses satu arah” disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai “definisi berorientasi sumber” (source oriented definition) yang mengisyaratkan komunikasi sebagai kegiatan yang sengaja dilakukan seseorang untuk meyampaikan rangsangan guna membangkitkan respons orang lain. Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif.

Dalam pandangan ”komunikasi sebagai interaksi”, komunikasi disetarakan dengan suatu proses sebab-akibat atau aksi-reaksi yang arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit lebih dinamis daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para komunikate sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi sumber, meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi yang berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis.


(25)

Dalam konteks ”komunikasi sebagai transaksi”, proses penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi karena akan terdapat banyak peran, hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal. Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi tersebut tidak membatasi komunikate pada komunikasi yang disengaja atau respon yang dapat diamati. Komunikasi transaksional dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain baik perilaku verbal maupun perilaku non verbal. Konseptualisasi komunikasi lebih sesuai untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dan para pelaku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan semuanya saling berpartisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi.

Ketiga konsep pemahaman komunikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh ketepatan komunikasi (fidelity of communication). Ketepatan komunikasi yang tinggi menyebabkan para komunikate akan memperoleh apa yang mereka kehendaki dari tujuan berkomunikasinya. Komunikator akan puas karena pesan yang disampaikan dapat diterima dan dilaksanakan komunikan seperti yang dikehendaki, dan komunikanpun akan puas karena pesan yang diterimanya sesuai dengan kebutuhan. Ketepatan komunikasi tersebut merupakan indikator keefektivan komunikasi.

Arah komunikasi

Komunikasi bisa terjadi satu arah atau linier dan dua arah atau interaktif. Arah komunikasi adalah proses penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Komunikasi linier biasanya tidak membutuhkan umpan balik, sedangkan komunikasi interaktif adalah komunikasi yang terjadi secara transaksional, yaitu umpan balik terjadi secara spontan dan simultan. Tubbs dan Moss (2001) telah menggambarkan komunikasi dua-orang (diadik). Model komunikasi ini sesuai dengan konsep komunikasi sebagai transaksi, yaitu yang mengasumsikan kedua peserta komunikasi sebagai pengirim dan sekaligus juga penerima pesan. Proses komunikasinya bersifat timbal balik atau saling


(26)

mempengaruhi, juga berlangsung spontan dan serentak. Dia mengasumsikan bahwa komunikasi itu suatu proses yang sinambung, tanpa awal dan tanpa akhir. Ia menunjukkan unsur waktu yang terus berjalan, yang secara implisit menandakan komunikasi sebagai suatu proses dinamis yang yang menimbulkan perubahan-perubahan pada para peserta komunikasi.

Widatri (1995) menyatakan bahwa komunikasi sebagai faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Di dalam organisasi birokrasi lokal, komunikasi pada dasarnya merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi, baik komunikasi dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas.

Komunikasi ke atas adalah informasi yang diminta oleh masyarakat atau informasi yang secara sukarela disampaikan oleh para implementor kepada pihak administrator. Komunikasi ke bawah menurut Katz dan Khan dalam Bryant and White (1982) mencakup lima butir yaitu (1) petunjuk-petunjuk tugas yang spesifik (2) perintah kerja, (3) informasi tentang praktek dan prosedur kerja, (4) umpan balik kepada bawahan mengenai perkerjaannya, dan (5) informasi tentang suatu ciri ideologis untuk menanamkan rasa mengemban misi: indoktrinasi mengenai tujuan-tujuan.

Komunikasi kebawah biasanya merupakan komunikasi satu arah seperti pada poin ke-1, 2, 3, dan 5, yaitu bawahan hanya menerima perintah atau petunjuk-petunjuk kerja tanpa dapat memberikan umpan balik. Sedangkan pada poin ke-4 terlihat adanya komunikasi Interaktif yaitu adanya umpan balik dari atasan terhadap komunikasi bawahannya. Terlihat adanya komunikasi dua arah. Komunikasi yang mencirikan pimpinan yang baik.

Intensitas komunikasi

Harold Lasswell menggambarkan komunikasi dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Atau Siapa Mengatakan Apa Dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana? (Mulyana, 2003). Sementara intensitas komunikasi adalah frekuensi dari upaya seseorang dalam peningkatan komunikasinya. Atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa intensitas komunikasi adalah kehebatan


(27)

frekuensi seseorang dalam berkomunikasi. Intensitas komunikasi berpengaruh pada perilaku seseorang, semakin tinggi intensitas komunikasi, maka semakin tinggi partisipasinya (Soemantri, 1998).

Partisipasi masyarakat sangat ditentukaan oleh karakteristik dan intensitas komunikasinya (Davis dalam Sastropoetro, 1988). Orang yang berpendidikan tinggi mempunyai partisipasi yang tinggi di dalam pembangunan, karena dengan berpendidikan tinggi ia mampu menganalisis serta aktif terlibat dalam perencaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan (Muliawati, 1993).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keefektivan Komunikasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektivan komunikasi yaitu faktor pada komponen komunikasi dan faktor pada komponen komunikator (Effendy, 2000) .

Faktor pada komponen komunikasi

Faktor-faktor yang harus diperhatikan oleh seorang komunikan dalam menyampaikan suatu pesan yaitu: (1) waktu yang tepat untuk suatu pesan, (2) bahasa yang dipergunakan agar pesan dapat dimengerti, (3) sikap dan nilai yang harus ditampilkan agar efektif, (4) jenis kelompok dimana komunikasi akan dilaksanakan. Seorang komunikan dapat dan akan menerima suatu pesan hanya kalau terdapat kondisi berikut secara simultan: (1) ia dapat dan benar-benar mengerti pesan komunikasi; (2) pada saat ia mengambil keputusan, ia sadar bahwa keputusannya itu sesuai dengan tujuannya; (3) pada saat ia mengambil keputusan, ia sadar bahwa keputusannnya itu bersangkutan dengan kepentingan pribadinya; serta (4) ia mampu untuk menepatinya baik secara mental maupun secara fisik.

Faktor pada komponen komunikator

Untuk melaksanakan komunikasi efektif, terdapat dua faktor penting pada diri komunikator yakni kepercayaan kepada komunikator (source credibility) dan daya tarik komunikator (source attractiveness). Kepercayaan kepada


(28)

komunikator ditentukan oleh keahliannya dan dapat tidaknya ia dipercaya. Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan yang besar akan dapat meningkatkan daya perubahan sikap, sedang kepercayaan yang kecil akan mengurangi daya perubahan yang menyenangkan. Komunikator yang lebih dikenal dan disenangi oleh komunikan, lebih cenderung komunikan untuk mengubah kepercayaannya ke arah yang dikehendaki komunikator. Kepercayaan kepada komunikator mencerminkan bahwa pesan yang diterima komunikan dianggap benar dan sesuai dengan kenyataan empiris. Selain itu untuk memperoleh kepercayaan sebesar-besarnya, komunikator bukan saja harus mempunyai keahlian, mengetahui kebenaran, tetapi juga cukup objektif dalam memotivasikan apa yang diketahuinya.

Seorang komunikator akan mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan sikap melalui mekanisme daya tarik, jika pihak komunikan merasa bahwa komunikator ikut serta dengan mereka dalam hubungannya dengan opini secara memuaskan. Byrne mengemukakan bahwa komunikan menyenangi komunikator, apabila merasa adanya kesamaan antara komunikator dengannya (Effendy, 2000). Kesamaan ideologi lebih penting daripada kesamaan demografi. Tampaknya ada kecenderungan yang kuat pada orang-orang untuk menyukai orang lain, kalau mereka merasa bahwa orang lain tadi mengambil bagian dari kepercayaannya. Faktor perasaan yang sama dengan komunikator yang terdapat pada komunikan yang akan menyebabkan komunikasi sukses. Sikap komunikator yang berusaha menyamakan diri dengan komunikan, akan menimbulkaan simpati komunikan pada komunikator. Seorang komunikator akan sukses dalam komunikasinya, kalau menyesuaikan komunikasinya dengan ”image” komunikannya, yaitu memahami kepentingannya, kebutuhannya, kecakapannya, pengalamannya, kemampuan berfikir, dan kesulitannya.

Tujuan komunikasi pembangunan secara umum adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Tujuan tersebut hanya akan tercapai bila komunikasi pembangunan dimaksud efektif. Komunikasi dinilai efektif bila ransangan yang disampaikan dan yang dimaksud oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan ransangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima.


(29)

Dalam Konteks komunikasi efektif, faktor internal dan eksternal dapat diwujudnyatakan dalam serangkaian kegiatan komunikasi yang terencana. Oleh sebab itu perlu dilakukan identifikasi, analisis, serta penetapan masalah dan kebutuhannya. Rangkaian kegiatan komunikasi dimaksud meliputi unsur: Who (siapa sasarannya), why (apa latar belakang dan tujuannya), what (apa pesannya), when (kapan pelaksanaannya), how (bagaimana cara/metode/format penyampaian pesannya) dan where (dimana tempat pelaksanaannya). Berkaiatan dengan unsur who, Berlo (1960) menyatakan komunikator harus memiliki simpati dan empati terhadap kondisi komunikan, karena pada dasarnya tujuan komunikasi adalah adanya interaksi timbal balik.

Devito (1997) menyatakan bahwa ada lima ciri komunikasi interpersonal yang efektif yaitu: (1) openness (keterbukaan), (2) emphaty (empati), (3) supportiveness (dukungan), (4) positiveness (rasa positif), (5) equality (kesamaan). Berkaitan dengan unsur how, keahlian serta kredibilitas sumber informasi. Selanjutnya Berlo (1960) menyatakan bahwa terdapat empat hal yang dapat meningkatkan ketepatan komunikasi antara sumber dan sasarannya yaitu: (1) keterampilan/keahlian berkomunikasi, (2) sikap, (3) tingkat pengetahuan, (4) sistem sosial budaya sumber dan penerima.

Penerapan Konsep “Energi sosial”

Masyarakat Aceh seperti yang telah banyak di bicarakan, sangat baik dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Rasa kekeluargaan mereka sangat tinggi, mereka selalu saling membantu satu sama lainnya. Masyarakat Aceh adalah pekerja yang ulet dan giat. Jiwa perantauan mereka sudah ada sejak dahulu dan sudah diwariskan secara turun-temurun. Ditambah lagi jiwa dagang atau bisnis yang tertanam dalam diri mereka, menunjang unsur jiwa perantauan mereka. Rasa fanatisme paling menonjol dari kesemuanya itu adalah pada keyakinan dan kekuasaan mereka. Hal ini bisa terlihat dari kuatnya mereka membela kehormatan agama yang mereka anut walaupun nyawa taruhannya. Begitu pula halnya dengan kehormatan keluarga, harta, suku dan yang terutama harga diri.


(30)

Masyarakat Aceh di perantauan sangat berpotensi dalam pembangunan kembali Aceh. Rasa fanatisme mereka yang telah mendorong mereka merasa menjadi satu di perantauan. Rasa ini pulalah yang menjadi pembangkit semangat mereka untuk ikut membantu. Bantuan sangat diharapkan oleh saudara-saudara mereka yang ada di kampung halaman mereka yang mengalami musibah, bantuan moril maupun materil. Motivasi masyarakat Aceh diperantauan juga sangat besar akan hal itu. Partisipasi sangat berguna terutama dalam kebangkitan kembali masyarakat Aceh dari keterpurukan mereka. Partisipasi ini dapat memotivasi saudara-saudaranya. Keefektivan komunikasi diantara mereka sangat menentukan.

Motivasi masyarakat Aceh di perantauan untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan kembali Aceh, bangkit dari rasa fanatikisme mereka terhadap suku dan daerah mereka. Rasa fanatik ini terutama pada Alim Ulama, yang statusnya bisa jadi lebih tinggi dari siapapun, dari penguasa sekalipun. Hal ini sesuai dengan semboyan yang terdapat pada masyarakat Aceh ”Adat Bak Peutmeureuhom, Hukum Bak Syiah Kuala” yaitu tata kehidupan bisa jadi diatur oleh petua adat tetapi hukum harus bergantung pada ulama. Maksud dari pernyataan tersebut bahwa dalam kehidupan sehari-hari segala hukum yang berlaku harus sesuai dengan syariat Islam. Orang yang mengerti benar syariat Islam adalah Alim Ulama. Oleh karena itu, masyarakat Aceh menganggap bahwa para Ulama merupakan panutan yang harus dihormati.

Terpusatnya pengaruh pada ulama merupakan bagian kekuatan terbesar dalam masyarakat Aceh. Kekuatan ini dapat dinilai sebagai suatu ”tenaga dalam” (energi sosial), yang sebaiknya dimanfaatkan untuk memperkuat ketahanan dirinya dalam mengikuti gerak dan upaya membangun Aceh. Sehubungan dengan hal ini, Sumardjo (1994) menyatakan bahwa energi sosial kreatif dapat dibangkitkan dengan memanfaatkan jalur-jalur atau pusat-pusat pengaruh yang ada di tingkat desa (petua adat, tokoh agama, guru, dan tokoh formal di desa) untuk setiap kegiatan yang bertujuan mengangkat harkat (kualitas) hidup masyarakat di desa.


(31)

Sudah terpateri di dalam benak masyarakat Aceh, ”Membela agama dan adat istiadat lebih penting dari segalanya”. Hal ini telah ditanamkan semenjak bayi masih dalam ayunan, sebagaimana dapat dilihat dari senandung para ibu dalam meninabobokan anak-anak mereka yaitu pada syair ”Mate Syahed”. Jadi bagi masyarakat Aceh, ulama adalah mesin penggerak dalam kehidupan, hal inilah yang harus dimanfaatkan dalam partisipasi pembangunan Aceh kembali.

Partisipasi masyarakat merupakan kekuatan dalam pembangunan. Kekuatan-kekuatan inilah yang harus digali dari masyarakat dalam menunjang pembangunan. Kekuatan yang merupakan tenaga penggerak, sebagai roda penggerak yang harus muncul dari dalam diri masyarakat itu sendiri.

Partisipasi diperlukan di dalam proses pelaksanaan pembangunan karena di dalamnya menyangkut dukungan informasi, dan kesempatan menentukan tujuan pembangunan. Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan meliputi: (a) mengerahkan daya dan dana, (b) administrasi dan koordinasi, (c) penjabarannya kedalam program. Masyarakat diajak ikut untuk berpartipasi dengan jalan menyumbangkan tenaga atau hartanya kepada pembangunan, baik bersifat fisik maupun nonfisik (Ndraha, 1987). Hamidjojo (1974) menjelaskan bahwa dalam tahapan implementasi, partisipasi meliputi buah pikiran, keterampilan, tenaga, harta benda dan uang. Lebih jauh dijelaskan bahwa partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan mengandung lima unsur, yakni: (1) pimpinan daerah, (2) orang atau masyarakat, (3) administrator, (4) partisipasi masyarakat dan (5) orang-orang yang sesuai dengan bidangnya.

Davis dalam Huneryager (1992) memberikan definisi partisipasi sebagai berikut: ”Participation is defined as an individuals mental and emotional involvement in a group situation that encourrager him to contribute to group goals and to share responsibility for them”. Definisi ini mengemukakan tiga hal pokok yang menjadi perhatian partisipasi, yakni: (1) titik berat keterlibatan partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional, ini berarti bahwa kehadiran secara fisik semata-mata didalam suatu kelompok, tanpa keterlibatan mental dan emosional bukanlah partisipasi, (2) sumbangan yang diberikan demi


(32)

tercapainya tujuan kelompok itu sangat beragam, (3) kesediaan untuk bertanggung jawab diantara sesama anggota kelompok tersebut terbangkitkan.

Gaffar (1986) menyatakan hakekat partisipasi adalah kemandirian, artinya setiap individu yang melakukan kegiatan partisipasi harus berasal dari dirinya sendiri, atas inisiatif atau kemauan sendiri. Jika seorang individu melakukan kegiatan karena didorong atau digerakkan orang lain, atau karena merasa khawatir akan konsekuensi kalau tidak melakukan partisipasi, maka apa yang sebenarnya terjadi adalah mobilisasi, atau istilah populernya partisipasi yang digerakkan.

PBB memberikan definisi partisipasi masyarakat apabila dikaitkan dengan pembangunan sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk pada tingkatan-tingkatan yang berbeda, yaitu: (a) dalam proses pembentukkan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan tersebut, (b) pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara sukarela, dan (c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau proyek. Sedangkan Mubyarto (1988) memberikan pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap kegiatan sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan diri mereka sendiri.

Menurut Uphoff, et al. (1979) ada empat jenis partisipasi yang merupakan suatu tahapan sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Sebagaimana terlihat pada gambar tersebut, mereka mendefinisikan empat jenis partisipasi: dimulai dari partisipasi dalam pembuatan keputusan, partisipasi dalam penerapan keputusan, partisipasi dalam pencapaian hasil, serta partisipasi dalam evaluasi. Salah satu syarat yang mereka ajukan adalah ”empowerment”. Keefektivan keikutsertaan warga masyarakat sangat ditentukan oleh berapa banyak ”power” yang dipunyainya.


(33)

Gambar 1 Tahapan Partisipasi menurut Uphoff, et al. (1979).

Partisipasi dalam pengawasan pembangunan berkaitan erat dengan proses penyelenggaraan pembangunan, yang tujuannya untuk mengetahui apakah pelaksanaan telah sesuai dengan apa yang direncanakan. Masyarakat harus terlibat dalam proses pengawasan pembangunan, baik yang dilakukan oleh lembaga formal secara langsung, maupun tidak langsung dari segenap aktivitas (Uphoff, et al. 1979). Dalam pelaksanaannya, pengawasan yang dilakukan oleh golongan masyarakat itu, bentuknya dapat secara langsung, maupun berupa pengutaraan pendapat atau kritik yang ditujukan kepada kebaikan ataupun keburukan suatu rencana atau program pembangunan.

Pada saat ini, manajemen pengembangan sumberdaya yang berwawasan lokal begitu mencuat. Model pembangunannya menekankan pada implementasi program-program dari bawah, yakni melihat sampai dimana peran serta masyarakat. Partisipasi tidak hanya berasal dari orang yang dipengaruhi dan dikenai pembangunan saja, tetapi juga para perencana pembangunan (birokrat atau pemerintah) menginginkan agar masyarakat berpartisipasi aktif. Peran aktif masyarakat bukan hanya dalam proses pembangunan saja, tetapi mulai dari pelaksanaan sampai ke monitoringnya (Moss, 1976 dalam Thoha, 1987).

Gempa Bumi dan Tsunami Aceh 26 Desember 2004

Tsunami adalah serangkaian gelombang tinggi yang disebabkan oleh perpindahan sejumlah besar air laut secara tiba-tiba. Secara lebih detail dijelaskan bahwa tsunami adalah sederetan gelombang laut yang menjalar dengan panjang gelombang sampai 100 km dengan ketinggian beberapa puluh

1. Decision Making

2. Implementation

3. Benefit


(34)

meter di tengah laut dalam (BMG, 2005a). Istilah tsunami berasal dari bahasa Jepang yang pada dasarnya menyatakan suatu gelombang laut yang terjadi akibat gempa bumi tektonik dasar laut. Magnitudo tsunami yang terjadi di Indonesia berkisar antara 1,5 - 4,5 skala Imamura, dengan tinggi gelombang tsunami maksimum yang mencapai pantai berkisar antara 4 - 24 meter dan jangkauan gelombang kedaratan berkisar antara 50 - 200 meter dari garis pantai.

Badan Meteorologi dan Geofisiska (BMG, 2005b) menentukan pusat gempa di 2,9o LU, 95,6o BT, kedalaman 20 km, kekuatan 6,8 Skala Richter (body wave), sedangkan lokasi yang ditentukan oleh USGS 3,4o LU, 94,7o BT dengan kekuatan 8,1 SR (magnitude momen). Gempa bumi ini diikuti gempa-gempa susulan dengan kekuatan bervariasi dengan magnitude 4 sampai dengan 6,2 SR, yang dapat ditentukan oleh BMG. Tsunami hanya ditimbulkan oleh gempa-gempa dangkal di bawah laut dengan magnitude diatas 6 SR. Untuk itu dapat dikatakan bahwa tsunami susulan di daerah Aceh sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi. Meskipun demikian masyarakat diminta tetap waspada.

Bencana tsunami di Aceh 24 Desember 2004 telah menimbulkan kerugian yang luar biasa. Menurut Azwar Abubakar, Plt. Gubernur Aceh, tsunami telah menyebabkan kerusakan di Aceh yang diperkirakan kerugiannya mencapai Rp 41,401 triliun (Acehkita. 2005). Kerugian itu meliputi sektor kesehatan, perumahan, pendidikan agama dan budaya (senilai Rp 16,186 triliun). Di bidang transportasi, komunikasi, energi, air dan bendungan telah merugikan Rp 8,154 triliun, selebihnya sektor produksi, agribisnis, perikanan, industri, perdagangan serta beberpa sektor lain seperti perbankan dan lingkungan pemerintahan lebih dari Rp 14 triliun. Sementara itu Menurut kajian Bank Dunia dan Bappenas, diperkirakan bencana ini telah menimbulkan kerugian di sektor ekonomi Rp. 41,4 trilyun atau 2,2 % dari PDRB nasional atau 97% dari PDRB Provinsi NAD. Berdasarkan analisis Kementerian Lingkungan Hidup dan UNEP, kerugian kerusakan dan pencemaran lingkungan akibat bencana tersebut mencapai 127,5 – 476,2 juta US $ (Perbatakusuma, 2005).


(35)

Selain kerugian fisik, bencana tsunami juga telah menimbulkan korban jiwa yang sangat banyak. Perbatakusuma (2005) melaporkan bahwa di Provinsi NAD dan Sumatera Utara korban meninggal sampai minggu kelima telah tercatat 115.229 orang dan sebanyak 603.518 menjadi pengungsi. Jumlah korban meninggal ini akan terus meningkat, karena masih banyak mayat yang belum dapat dievakuasi di bawah runtuhan puing bangunan, di daerah-daerah yang masih terisolasi bala bantuan atau masih terbenam di dalam sedimen lumpur.

Sebenarnya tidak semua gempa dapat menimbulkan tsunami. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk terjadinya tsunami (BMG, 2005c), yaitu: (1) pusat gempa (episenter) berada di bawah laut, (2) pusat gempa berkisar antara 0-30 km atau biasa dikenal dengan sebutan gempa dangkal, (3) magnitudo gempa yang berdampak biasanya lebih besar dari 6 Skala Richter, dan (4) tsunami yang besar umumnya juga terjadi apabila terjadi dislokasi vertikal, atau pada sesar naik atau sesar turun. Sementara itu, gempa bumi tektonik terjadi akibat tumbukan lempeng tektonik. Di Indonesia terdapat 3 pergerakan lempeng yaitu: pergerakan Australia dengan Eurasia, Indo-Australia dengan Pasifik dan Pasifik dengan Indo-Indo-Australia. Pertemuan lempeng ini adalah lokasi gempa-gempa yang besar dan berada di lautan yang berjarak 100-150 km dari pantai barat Sumatra, selatan Jawa, selatan Nusatenggara, Maluku dan pantai utara Papua

Tsunami biasanya diklasifikasikan menjadi tsunami lokal dan tsunami jauh (BMG, 2005c). Tsunami yang terjadi secara lokal biasanya terjadi dalam waktu yang kurang untuk memberi peringatan, dan mungkin juga diiringi kerusakan yang diakibatkan oleh gempa pemicu seperti tanah bergerak, surface faulting, liquefaction, atau tanah longsor. Tsunami jauh bisa berjalan selama berjam-jam sebelum melanda pesisir.

Pengelolaan Dampak Tsunami

Pengelolaan berarti pengaturan, penataan atau menjalankan suatu kegiatan atau pembenahan. Pengelolaan dampak tsunami berarti membenahi kembali atau


(36)

menata ulang keadaan pasca tsunami. Pembenahan bisa dilakukan pada keadaan fisik atau non fisik yang merupakan dampak dari bencana tsunami.

Oemarmadi (2005) menyatakan bahwa fenomena bencana atau ‘Disaster’ adalah suatu peristiwa yang disebabkan oleh alam yang pada umumnya terjadi secara sangat mendadak, dan dapat menimbulkan dampak yang merugikan. Sehingga masyarakat yang mengalami dan terkena bencana, perlu melakukan tindakan untuk menghadapinya dan menanggulanginya. Upaya tersebut dikenal dengan istilah Penanggulangan atau Penanganan Bencana atau ‘Disaster Management’, yang merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus yang meliputi sebelum, pada saat dan setelah bencana terjadi.

Penerapan Disaster Management, perlu menetapkan pola dari siklus penanggulangan bencana yang berlaku secara umum, guna memudahkan untuk dilakukannya upaya perumusan analisis dari persepsi dan sudut pandang yang sama. Sebagaimana diketahui bahwa The Disaster Cycle adalah suatu wacana visual untuk memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang berbeda, dalam melakukan usaha penanggulangan bencana mulai dari sebelum, pada saat dan sesudah terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam maupun karena ulah manusia. Oemarmadi (2005) menggambarkan secara jelas Siklus Manajemen Bencana yang dimulai dari Tahap Kesiap Siagaan, Tanggap Darurat, sampai dengan Pemulihan Pasca Bencana (Gambar 2).

Terjadinya bencana (Disaster) yang diakibatkan oleh bencana alam atau ‘Natural Disaster’ seperti halnya gempa. Timbulnya kerugian yang relatif besar yang harus ditanggung oleh masyarakat dan Negara, serta akibat tragis lainnya yang tidak dapat dinilai dengan uang karena kehilangan jiwa manusia, keluarga, harta benda, rumah, kesempatan dan lapangan kerja. Termasuk terganggunya fasilitas, sarana dan prasarana publik yang sangat vital bagi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat seperti jalan raya, transportasi, telekomunikasi.


(37)

Gambar 2 Siklus Penanggulangan Bencana (Siklus Manajemen Bencana).

Secara universal penanganan bencana mempunyai aspek-aspek dasar kegiatan (Oemarmadi, 2005), antara lain:

1.Response (Tanggap Darurat); Kegiatan ini dilakukan segera setelah bencana terjadi di suatu tempat. Tindakan darurat ini dilakukan oleh otoritas pemerintah pusat, daerah atau lokal dan masyarakat setempat dengan maksud untuk membatasi meluasnya dampak dari bencana terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

2.Recovery (Pemulihan); Kegiatan ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan tanggap darurat dari saat terjadinya bencana, dan diteruskan sampai pada saat seluruh keadaan menjadi normal kembali.

3. Mitigation (Mitigasi); Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperkecil atau mengurangi dampak atau akibat dari suatu bencana. Kegiatan ini dapat dikatakan untuk menutup celah dari titik kegiatan tanggap darurat sampai saat bencana itu terjadi, dengan persiapan untuk menghadapi bencana yang mungkin terjadi dikemudian hari.

4.Risk Reduction (Pengurangan Resiko); Kegiatan ini merupakan upaya untuk memperkecil semaksimal mungkin segala akibat dan dampak yang bersifat merusak, merugikan dan mengancam keamanan jiwa manusia dan harta benda milik masyarakat umum maupun publik.


(38)

5.Prevention (Pencegahan); Kegiatan ini menyangkut upaya untuk mencegah dan memperkecil peluang atau terjadinya suatu keadaan darurat, serta terjadinya kerusakan dan kerugian yang mungkin timbul pada saat adanya bencana.

6.Preparedness (Persiapan); Kegiatan ini untuk melakukan perencanaan yang sistematis tentang bagaimana upaya dari masyarakat dan pihak terkait dalam menghadapi suatu keadaan darurat yang diakibatkan oleh terjadinya bencana. Termasuk dalam kegiatan ini adalah kesiapan dan pelatihan untuk memastikan bahwa rencana yang telah dipersiapkan dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Fenomena alam dari bencana dapat dikatakan sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia. Namun pada kenyataannya setelah bencana berlalu, manajemen penanganan bencana masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal dan memadai, sehingga perlu untuk dapat ditingkatkan kinerja dan keefektivannya. Sehingga pada perkembangan selanjutnya, aplikasi manajemen penanganan bencana di Indonesia pada masa mendatang diharapkan dapat menciptakan rasa aman masyarakat, karena telah berhasil melakukan aplikasi dari konsep dan metoda reduksi akibat bencana secara signifikan. Oemarmadi (2005) menyatakan bahwa pengetahuan tentang karakteristik bencana, serta akibat yang ditimbulkan oleh bencana alam yang sangat berpotensi untuk dapat terjadi sewaktu-waktu, sangat penting untuk diketahui dan dijadikan bahan rujukan dan kajian dalam mencari bentuk formulasi penanganan bencana yang tepat, aplikatif efisien dan efektif untuk Indonesia.

Belajar dari pengalaman yang dialami suatu negara atau masyarakat di suatu lokasi dengan karakteristik bencana tertentu, maka pola yang umumnya berlaku setelah bencana terjadi, adalah adanya sejumlah tindakan atau kegiatan dari pemerintah dan masyarakat untuk menghadapinya dalam waktu sesegera mungkin. Ada suatu pola yang dikenali sebagai suatu siklus yang berulang dari suatu tahapan ke tahapan berikutnya, mulai dari ‘saat terjadinya bencana’ sampai kepada tahap ‘normalisasi kembali keadaan’. Siklus tersebut akan kembali berulang pada setiap periode waktu yang tidak dapat ditentukan secara


(39)

pasti, oleh karena sumber penyebab bencana adalah alam yang kadang-kadang tidak dapat diduga ulahnya.

Pengelolaan dampak tsunami, tindakan atau kegiatan yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi keadaan dan menangani situasi semenjak terjadinya tsunami sampai kepada tahap ‘normalisasi kembali keadaan’. Menangani keadaan pasca tsunami tidak hanya menangani pembangunan fisik kembali saja, tetapi yang paling sulit adalah menangani penormalan kembali keadaan non fisik. Keadaan non fisik ini termasuk di dalamnya masalah psikologis, tromatis serta kepercayaan kepada diri dan kemampuan diri sendiri.

Penataan Daerah yang Terkena Tsunami

Bencana tsunami selain menyebabkan dampak penghancuran kehidupan sosial dan sumber-sumber penghidupan manusia, para ilmuwan meyakini bahwa tsunami telah mengakibatkan kerusakan ekologis jangka panjang, baik dari aspek biodiversitas dan fungsí ekosistim alam (Perbatakusuma, 2005). Mangunjaya (2005) melaporkan bahwa selain kerusakan fisik secara luar biasa yang dijumpai di Aceh dan Sumatera Utara, ternyata alam sekitar pun turut menjadi korban. Alam asli yang tadinya indah menjadi porak poranda. Aceh mempunyai pantai-pantai indah, tetapi setelah tsunami, pohon-pohon banyak tercabut bersama akar-akarnya. Di bantaran pantai, selain telah tidak ada lagi pohon-pohon pantai seperti bakau dan cemara, kondisi umum kawasan pantai adalah berlumpur dan tercemar dengan sampah. Terumbu karang diperkirakan rusak berat dan perlu rehabilitasi. Meskipun belum ada survei dan laporan ilmiah tentang berapa luas kerusakan pantai dan terumbu karang yang perlu rehabilitasi, mengembalikan alam merupakan salah satu agenda penting dalam membangun kembali Aceh dan Sumatera Utara yang telah porak poranda.

Dalam upaya penetaan daerah yang terkena bencana tsunami, Wurjanto (2005) menyatakan bahwa peran lembaga-lembaga lingkungan akan lebih strategis mengingat tahap pemulihan memerlukan pikiran bersama untuk menentukan arah pembangunan berkelanjutan bagi Provinsi NAD pasca


(40)

tsunami. Badan Konservasi International diharapkan memberikan kontribusi berdasarkan pengalaman yang dimiliki dengan memberikan konsultansi dan kalkulasi untuk menajamkan arah pada pembangunan Aceh yang berkelanjutan dan berwawasan ekologis. Pengalaman dan keahlian para ahli lingkungan perlu dimanfaatkan sebab penanganan bencana yang tidak didasarkan pada perencanaan secara cerdas dan cermat, maka upaya tersebut tidak ubahnya sebagai pemulihan pasca bencana dengan merakit bencana lainnya. Sebagai suatu contoh, menghilangnya fungsi hutan atau tercemarnya lingkungan yang menjadi penyebab musnahnya suatu komunitas, juga merupakan suatu bencana. Sejarah telah membuktikan bahwa kebijakan ekonomi dan lingkungan yang keliru merupakan sumber bencana sistematis yang mengerikan.

Hikmah dari bencana yang maha dahsyat ini membuat banyak kalangan semakin sadar betapa pentingnya manusia bersahabat dan memelihara alam. Banyak kawasan pantai yang mempunyai kawasan mangrove (hutan bakau) yang baik, ternyata turut menyelamatkan penduduk dan bangunan yang ada di dalamnya Sebagai bukti konkrit, seorang nelayan di Pematang Alai, Pantai Cermin, Sumatera Utara, menuturkan, puluhan rumah yang terlindung bakau di dusunnya terselamatkan dari sapuan ombak tsunami, sedangkan di pantai lainnya, yang tidak memiliki pohon penyangga, rumah-rumah habis terbawa ombak. Beberapa penduduk di Dusun Pematang Alai, Sumatera Utara, sejak tahun 1994 telah menanami pesisir di depan rumah-rumah mereka dengan ribuan pohon bakau. Selain mereka telah menikmati hasilnya dengan menjual kayunya, saat bencana ini ternyata kerusakan yang mereka alami sedikit ringan (Mangunjaya, 2005).

Keadaan yang sama juga dialami di Pulau Simuelue, yang dikhawatirkan tenggelam, ternyata mengalami kerusakan relatif sedikit karena bakau di pesisisir pantai pulau itu ternyata masih utuh. Dari satelit image yang dirilis oleh Digital Globe yang dipublikasikan oleh media-media nasional, memperlihatkan dahsyatnya gelombang tsunami menyapu pantai di Banda Aceh yang tadinya telah dipenuhi tambak-tambak, namun tidak mempunyai pohon bakau sebagai pelindung. Departemen Kehutanan mengambil kebijakan untuk


(41)

segera kembali menanam bakau. Dephut, menyediakan anggaran dana awal 800 milyar untuk rehabilitasi lahan wilayah seluas 150-200 ribu hektar. Kondisi hutan mangrove di Aceh secara umum berdasarkan data tahun 2000 menunjukkan bahwa hutan mangrove yang kondisinya baik hanya seluas 30 ribu hektar diantaranya di pesisir Pulau Simeuleu. Hutan mangrove yang rusak mencapai 25 ribu hektar dan hutan mangrove yang kondisinya sedang seluas 286 ribu hektar (Mangunjaya, 2005).

Bila dipelajari, alam memang mempersiapkan diri untuk menahan bencana. Pohon bakau yang berusia puluhan tahun, beradaptasi membentuk akar-akar tunjang yang tinggi yang berfungsi sebagai penopang pohon yang tumbuh di atasnya. Di sela-sela pohon itulah berlindung dan bersemai ’secara alami’ anak-anak udang dan kepiting. Di tempat ini juga timbul interaksi ekosistem bakau yang harmonis yang berfungsi selain mencegah terjadinya abrasi, juga sebagai tempat mencari makan ikan-ikan perairan pantai.

Ekosistem bakau sangat tinggi produktifitasnya dalam mengakomodasi penangkapan dan transfer energi. Dedaunan yang lapuk dan menumpuk pada kawasan pantai menyatu dengan limbah segala jenis binatang yang ada disekitarnya lalu kemudian menjadi basis mata rantai makanan yang menyokong kekayaan ekosistem sekitar. Bakteri dan jamur, sama ada dengan kepiting, cacing, kerang dan spesies lainnya, secara cepat akan menyerap nutrisi dari materi yang tersedia ini. Maka, bila ada organisme yang mati, lalu diuraikan. Atau ada ikan kecil dimangsa ikan yang lebih besar sebagai predator. Hutan bakau, juga merupakan sumber pakan berbagai spesies ikan bernilai komersil tinggi di laut lepas yang ditangkap nelayan di laut lepas. Tidak heran, mengapa ada tangkapan nelayan menurun, dan mencari ikan dan udang akan sulit, karena tidak ada lagi tempat pemijahan alami gara-gara hutan bakau ditebang.

Mengembalikan alam tentu tidaklah mudah. Tidak pernah tercatat keberhasilan mengembalikan alam dalam jangka empat atau lima tahun. Puluhan bahkan ratusan tahun waktu diperlukan untuk kembali merestorasi kawasan yang telah rusak. Sampai saat ini, memang belum ada laporan resmi mengenai kerusakan alam asli Aceh dan Sumatera Utara yang harus


(42)

dikembalikan. Biaya total restorasi pembangunan kembali Aceh mestinya juga memperhitungkan kembalinya ekosistem dan berfungsinya kembali kawasan tangkapan air, kesuburan tanah yang tergerus, dan pengembalian kawasan pantai pada ekosistemnya semula.

Berkenaan dengan pelaku pembangunan fisik di Aceh masih ada kesimpangsiuran. Ada empat pihak yang terlibat dalam pembangunan Aceh yakni pemerintah daerah, BP, penguasa darurat sipil dan lembaga-lembaga internasional. Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, Alwi Shihab di Banda Aceh, menyatakan, pemerintah tidak memaksa kehendak menyangkut penyerahan cetak biru pembangunan di Aceh. Cetak biru rekonstruksi pembangunan NAD pasca gempa dan tsunami tersebut diserahkan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla pada 26 Desember 2004 kepada Pemda NAD di Banda Aceh. (Sinar Harapan, 26 Maret 2005).

Selanjutnya ketua Bappenas, Sri Mulyani, menjelaskan, berkenaan dengan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh itu ada empat elemen besar, jadi tidak hanya pembangunan fisik. Empat elemen itu adalah Pembangunan Kemasyarakatan, Pembangunan Bidang Ekonomi, Pembangunan Infrastruktur sarana prasarana dan perumahan, dan Pembangunan Bidang Kelembangaan, terutama pemerintahan daerah (Sinar Harapan. Sabtu, 26 Maret 2005).


(43)

Kerangka Pemikiran

Setelah lebih setahun terjadinya gelombang tsunami di Aceh, bayangan kejadian itu belum bisa hilang dari ingatan, betapa dasyatnya gelombang tsunami yang diawali oleh gempa menerjang sepanjang pesisir Aceh. Peristiwa tersebut sampai saat ini masih meninggalkan dampak, baik dampak fisik maupun dampak psikologis bagi warga Aceh. Keadaan ini terus diusahakan oleh pemerintah dan pihak-pihak yang bergerak di bidang sosial agar kembali kepada keadaan normal.

Sebagian besar masyarakat Aceh korban tsunami saat ini masih belum mempunyai kehidupan yang layak dan mereka masih banyak ditampung di tenda-tenda darurat. Di samping itu, banyak di antara mereka kehilangan mata pencaharian. Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik dalam maupun luar negeri, telah berusaha sekuat tenaga untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Bantuan tidak bisa menopang kehidupan masyarakat Aceh untuk jangka waktu yang lama, mereka tentunya ingin mandiri dan tidak tergantung dengan pihak manapun. Untuk itu perlu pemikiran jangka panjang untuk membangun kembali Aceh secara berkesinambungan.

Pemikiran kreatif dan inovatif bisa muncul dari siapa saja, namun pemikiran kreatif dan inovatif perlu suatu tanggung jawab yang besar, artinya pihak-pihak yang membangun Aceh sangat diharapkan orang-orang yang mengerti tentang Aceh secara komprehensif. Warga Aceh merupakan pihak yang paling tepat dalam hal ini, sebab mereka tentunya memahami karakterisitik masyarakat Aceh lebih baik. Namun demikian, mereka perlu dibantu oleh para intelektual Aceh, khususnya yang berada di perantauan. Pemikiran-pemikiran masyarakat Aceh di perantauan sangat diperlukan untuk pengembangan konsep-konsep atau program-program dalam pengelolaan dampak tsunami.

Tidak sedikit warga Aceh yang berada di perantuan yang telah berhasil dalam berbagai bidang. Ketika musibah melanda Aceh, kepedulian dan partisispasi mereka sangat dibutuhkan dalam pengelolaan dampak tsunami.


(44)

Peran serta mereka dapat dioptimalkan dengan adanya suatu komunikasi yang efektif, yang merupakan salah satu faktor penentu kebersamaan.

Keefektivan komunikasi masyarakat Aceh di Bogor perlu diketahui untuk menggambarkan sejauhmana keberhasilan pencapaian tujuan proses komunikasi mereka dalam pengelolaan dampak tsunami di Aceh. Keefektivan komunikasi ini diukur dengan tingkat pengetahuan, kepedulian dan partisipasi mereka. Keefektivan komunikasi diduga dipengaruhi oleh faktor proses komunikasi dan lingkungan. Proses komunikasi yang meliputi aspek-aspek arah komunikasi, intensitas komunikasi, akses media dan intensitas keterdedahan dapat mempengaruhi aspek kognitif (pengetahuan), aspek afektif (kepedulian), dan konatif (partisipasi).

Proses komunikasi berkaitan dengan karakteristik dan lingkungan individu. Karakteristik individu tersebut meliputi aspek-aspek umur, tingkat pendidikan, status, tingkat pendapatan, hubungan keluarga, kepedulian, kepemilikan media, dan motif. Sementara itu, lingkungan individu meliputi aspek-aspek dukungan keluarga, dukungan teman, dukungan tetangga, ketersediaan media, dan dukungan sosial.

Perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui aspek-aspek proses komunikasi dan lingkungan yang cenderung berkaitan dengan keefektivan komunikasi. Demikian pula halnya dengan aspek-aspek karakteristik individu dan lingkungan yang cenderung berkaitan dengan proses komunikasi. Secara diagramatik, kerangka pemikiran penelitian adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 3.


(45)

Gambar 3 Kerangka pemikiran keefektivan komunikasi masyarakat aceh di bogor mengenai pengelolaan dampak tsunami.

Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian di atas, hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah:

H1 Terdapat hubungan yang nyata antara karakteristik individu dengan proses komunikasi masyarakat Aceh di Bogor dalam pengelolaan dampak tsunami.

H2 Terdapat hubungan yang nyata antara lingkungan dengan proses komunikasi masyarakat Aceh di Bogor dalam pengelolaan dampak tsunami.

H3 Terdapat hubungan yang nyata antara Lingkungan dengan keefektivan komunikasi masyarakat Aceh di Bogor dalam pengelolaan dampak tsunami.

H4 Terdapat hubungan yang nyata antara proses komunikasi dengan keefektivan komunikasi masyarakat Aceh di Bogor dalam pengelolaan dampak tsunami.

X1 Karakteristik Individu X1.1 Umur

X1.2 Tingkat Pendidikan X1.3 Status

X1.4 Tingkat pendapatan X1.5 Hubungan keluarga X1.6 Kepedulian X1.7 Kepemilikan media X1.8 Motif

X2 Lingkungan X2.1 Dukungan Keluarga X2.2 Dukungan Teman X2.3 Dukungan Tetangga X2.4 Ketersediaan media X2.5 Dukungan Sosial

Y1 Proses Komunikasi Y1.1 Arah Komunikasi Y1.2 Intensitas komunikasi Y1.3 Akses Media

Y1.4 Intensitas Keterdedahan

Y2 Keefektivan Komunikasi Y2.1 Pengetahuan tentang pengelolaan dampak

tsunami

Y2.2 Kepedulian terhadap pengelolaan dampak

tsunami Y2.2 Partisipasi dalam

pengelolaan dampak tsunami H1 H2 H4 H3


(46)

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten/Kota Bogor, dengan sasaran adalah masyarakat Aceh yang ada di Bogor. Pengumpulan data dilakukan selama 3 bulan yakni, April - Juni 2006.

Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksplanasi (explanatory research) dengan metode survai untuk menganalisis hubungan antar variabel yang diteliti. Hal ini sesuai dengan pendapat Faisal (2005) bahwa objek telaahan penelitian eksplanasi adalah untuk menguji hubungan antar variabel yang dihipotesiskan. Lebih jauh beliau menyatakan bahwa survai merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang ditujukan pada sejumlah besar individu atau kelompok, dimana unit yang ditelaah jumlahnya relatif besar sehingga mustahil dilakukan secara intensif, mendalam, mendetil dan komprehensif. Sementara itu, Singarimbun dan Effendi (1995) menyatakan bahwa penelitian survai adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Variabel-variabel penelitian meliputi karakteritik individu, lingkungan, proses komunikasi dan keefektivan komunikasi.

Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh anggota masyarakat Aceh yang berdomisili di Kabupaten dan Kota Bogor. Sampel diambil secara acak stratifikasi (Stratified Random Sampling). Menurut Singarimbun dan Effendi (1995) ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menggunakan metode ini yaitu: (1) harus ada kriteria yang jelas yang akan dipergunakan sebagai dasar untuk menstratifikasi populasi ini dalam lapisan-lapisan, (2) harus ada data pendahuluan dari populasi mengenai kriteria yang digunakan untuk menstratifikasi, dan (3) harus diketahui


(47)

dengan tepat jumlah satuan-satuan elementer dari tiap lapisan (stratum) dalam populasi itu. Lebih jauh Rakhmat (2002) menjelaskan bahwa pengambilan sample secara acak stratifikasi, atau disebut juga dengan sampling berstrata, melibatkan pembagian populasi ke dalam kelas, kategori, atau kelompok yang disebut strata. Karakteristik strata boleh jadi kota, daerah, suku bangsa, jenis kelamin, status, usia, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini sudah memenuhi syarat-syarat tersebut. Lebih lanjut pertimbangan penentuan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) warga Aceh yang berdomisili di Bogor terdiri atas keluarga menetap dan mahasiswa, (2) mahasiswa Aceh di Bogor terdiri atas beberapa strata yakni Program Diploma dan Sarjana (S0 dan S1) serta Program Pascasarjana (S2 dan S3).

Untuk memenuhi syarat keterwakilan (representatif) maka sampel penelitian diambil secara acak stratifikasi nonproporsional (Disproportional Stratified Random Sampling) berdasarkan kelompok masyarakat dan jenis kelamin. Strata meliputi: (1) masyarakat menetap, (2) mahasiswa S0/S1, dan (3) mahasiswa S2/S3. Jumlah sampel dari setiap kelompok sebanyak 30 orang yang masing-masing terdiri atas 15 orang laki-laki dan 15 orang perempuan, jumlah sampel seluruhnya adalah 90 orang. Populasi dan sampel dicantumkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Data populasi dan sampel penelitian menurut kategori

No. Kategori Populasi

(Orang)

Sampel (Orang)

1. Keluarga (bukan mahasiswa) 484 30

2. Mahasiswa S0 dan S1 224 30

3. Mahasiswa Pascasarjana (S2 dan S3) 164 30

Total 872 90

Sumber: Komite Peduli Aceh Bogor (KPA-B) dan Ikatan Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (IKAMAPA) Bogor, 2005.


(48)

Data dan Instrumentasi

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur serta wawancara mendalam (in depth) kepada berbagai pihak terkait serta informan kunci. Data sekunder diperoleh dengan pengumpulan informasi dari instansi terkait dan publikasi di berbagai media massa. Instrumen penelitian adalah kuesioner yang dibagi dalam empat bagian yakni: karakteristik individu, lingkungan, proses komunikasi dan keefektivan komunikasi.

Definisi Operasional

Untuk mempermudah pemahaman terhadap isitilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, berikut didefinisikan secara operasional beberapa peubah yang digunakan.

X1. Variabel Karakteristik Individu adalah ciri-ciri yang melekat pada pribadi seseorang (individu). Variabel karakteristik individu diukur menggunakan delapan aspek yang meliputi: umur, pendidikan, status, pendapatan, hubungan keluarga, kepedulian, kepemilikan media, dan motif.

X1.1 Umur adalah usia responden pada saat penelitian dilakukan, yang dihitung dari hari kelahiran dan dibulatkan ke ulang tahun terdekat yang dinyatakan dalam tahun. Umur diukur menggunakan skala rasio, kemudian dikategorikan ke dalam skala ordinal berdasarkan sebaran normal responden, yaitu:

(1)Muda (18 tahun – 34 tahun) (2)Dewasa (35 tahun – 50 tahun) (3)Tua (51 tahun – 67 tahun)

X1.2 Tingkat pendidikan adalah jenjang sekolah yang telah/sedang diselesaikan oleh responden, diukur menggunakan skala ordinal dan dikategorikan atas:


(49)

(1)Rendah (tamat SMA)

(2)Sedang (telah/sedang menyelesaikan S0/S1) (3)Tinggi (telah/sedang menyelesaikan S2/S3)

X1.3 Status adalah kondisi sosial yang melekat pada diri responden yang diukur dengan skala nominal, dengan kategori:

(1)Tidak Kawin (belum menikah) (2)Kawin (telah menikah)

X1.4 Tingkat pendapatan adalah penghasilan bersih yang diperoleh responden, baik dari pekerjaan pokok maupun dari pekerjaan tambahan dalam satu bulan yang dinyatakan dalam Rupiah. Tingkat pendapatan diukur menggunakan skala rasio, kemudian dikategorikan menjadi skala ordinal, yaitu:

(1)Rendah (Rp 150.000 – Rp 327.200) (2)Sedang (Rp 327.300 – Rp 2.118.200) (3)Tinggi (Rp 2.118.300 – Rp 5.000.000)

X1.5 Hubungan keluarga adalah keterikatan responden dengan korban tsunami (meninggal dan mengungsi) yang terjadi di NAD. Keterikatan ini diukur menggunakan skala nominal, kemudian dikategorikan menjadi skala ordinal, yaitu:

(1)Jauh (di luar keluarga Inti dan keluarga dekat)

(2)Dekat (saudara senenek: nenek, kakek, bibik, paman, sepupu, keponakan, ipar-iparan: keluarga/saudara kandung dari istri/suami, suami/istri dari saudara kandung)

(3)Erat (keluarga inti: ayah, ibu, adik, kakak, istri/suami, anak)

X1.6 Kepedulian adalah sikap kerjasama responden atas keprihatinan terhadap korban bencana tsunami di NAD. Pengkategorian ini menggunakan rasa keprihatinan responden terhadap musibah, meliputi sikap positif responden terhadap kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan dampak tsunami. Kepedulian diukur dengan


(50)

melihat sikap kerjasama responden dan dikategorikan dalam skala ordinal menggunakan interval skor, yaitu:

(1)Rendah (5) (2)Sedang (6 – 7) (3)Tinggi (8 – 9)

X1.7 Kepemilikan media adalah fasilitas sarana komunikasi yang dimiliki oleh responden. Media komunikasi ini meliputi semua jenis media yaitu media cetak, media audio, media audiovisual serta multi media. Kepemilikan media diukur dengan menggunakan skala nominal, kemudian dikategorikan dalam skala ordinal menggunakan interval skor, yaitu:

(1)Tidak lengkap (6 – 7) (2)Sebagian (8 – 9) (3)Lengkap (10 – 12)

X1.8 Motif adalah alasan, rangsangan, atau dorongan dalam berkomunikasi. Motif dalam berkomunikasi banyak penyebabnya: adanya korban dalam keluarga, adanya rasa keprihatinan terhadap keadaan Aceh, dan adanya keinginan untuk ikut berpartisipasi dalam menyumbang dana, bahan kebutuhan hidup, tenaga, dan ide/pikiran. Motif diukur dengan skala nominal, kemudian dikategorikan dalam skala ordinal menggunakan interval skor, yaitu:

(1)Rendah (6 – 7) (2)Sedang (8 – 9) (3)Kuat (10 – 12)

X2. Lingkungan adalah dukungan kondisi fisik atau sosial di sekitar responden. Dukungan lingkungan meliputi dukungan keluarga, pertemanan, tetangga, sosial yaitu dalam lingkup keorganisasian dan lingkungan fisik berupa ketersediaan media yang selama ini ada memuat perihal bencana tsunami. Dukungan ini bisa berupa materi, berupa dana


(51)

atau bantuan lainnya, maupun nonmateri yaitu berupa kepedulian atau perhatian yang di ungkapkan berupa pemberian informasi atau rasa simpatik. Variabel lingkungan ini diukur menggunakan lima indikator yang meliputi: dukungan keluarga, dukungan teman, dukungan tetangga, ketersediaan media, dan dukungansosial.

X2.1 Dukungan keluarga adalah kecenderungan respon positif lingkungan famili/kerabat terdekat responden, yang terdiri dari ibu, bapak, kakak, adik, suami/istri, anak, kakek, nenek, bibik, paman, sepupu, dan keponakan. Variable ini diukur menggunakan skala nominal, kemudian dikategorikan dalam skala ordinal menggunakan interval skor, yaitu:

(1)Rendah (10 – 12) (2)Sedang (13 – 16) (3)Tinggi (17 – 20)

X2.2 Dukungan teman adalah kecenderungan respon positif lingkungan kenalan/sahabat yang sangat mendukung responden dalam berkomunikasi. Variable ini diukur menggunakan skala nominal, kemudian dikategorikan dalam skala ordinal menggunakan interval skor, yaitu:

(1)Rendah (3) (2)Sedang (4) (3)Tinggi (5 – 6)

X2.3 Dukungantetangga adalah sikap positif orang-orang di lingkungan tempat tinggal responden yang memberikan perhatian dan dukungan dalam berkomunikasi. Variable ini diukur menggunakan skala nominal, kemudian dikategorikan dalam skala ordinal menggunakan interval skor, yaitu:

(1)Rendah (3) (2)Sedang (4) (3)Tinggi (5 – 6)


(1)

25. Apakah Anda sering mengklarifikasi informasi yang Anda terima tentang keadaan Aceh setelah tsunami?

a. Tiga bulan pertama pasca tsunami: ...kali / bulan b. Tiga bulan kedua pasca tsunami: ...kali / bulan

c. Enam bulan pasca tsunami hingga sekarang: ...kali / bulan 3.2.2 Substansi komunikasi

26. Apakah Anda sering membahas informasi tentang keadaan/penanganan korban tsunami di Aceh?

a. Tiga bulan pertama pasca tsunami: ...kali / bulan b. Tiga bulan kedua pasca tsunami: ...kali / bulan

c. Enam bulan pasca tsunami hingga sekarang: ...kali / bulan

27. Apakah Anda sering membahas informasi tentang dampak tsunami di Aceh?

a. Tiga bulan pertama pasca tsunami: ...kali / bulan b. Tiga bulan kedua pasca tsunami: ...kali / bulan

c. Enam bulan pasca tsunami hingga sekarang: ...kali / bulan

28. Apakah Anda sering membahas informasi tentang recovery/pemulihan dan mitigasi/kesiap-siagaan pasca tsunami di Aceh?

a. Tiga bulan pertama pasca tsunami: ...kali / bulan b. Tiga bulan kedua pasca tsunami: ...kali / bulan

c. Enam bulan pasca tsunami hingga sekarang: ...kali / bulan 3.3 Akses Media

29. Menurut Anda, bagaimana kemudahan dalam memperoleh atau mengakses media berikut, surat kabar yang memuat tentang tsunami di Aceh?

c

Sulit

d

Agak sulit

e

Mudah

30. Menurut Anda, bagaimana kemudahan dalam memperoleh majalah yang memuat tentang tsunami di Aceh?

c

Sulit

d

Agak sulit

e

Mudah

31. Menurut Anda, bagaimana kemudahan dalam memperoleh tabloid yang memuat tentang tsunami di Aceh?

c

Sulit

d

Agak sulit

e

Mudah

32. Menurut Anda, bagaimana kemudahan dalam memperoleh siaran radio yang menyiarkan tentang tsunami di Aceh?

c

Sulit

d

Agak sulit


(2)

33. Menurut Anda, bagaimana kemudahan dalam memperoleh siaran televisi yang menyiarkan tentang tsunami di Aceh?

c

Sulit

d

Agak sulit

e

Mudah

34. Menurut Anda, bagaimana kemudahan dalam mengakses internet yang memuat tentang tsunami di Aceh?

c

Sulit

d

Agak sulit

e

Mudah

3.4 Intensitas Keterdedahan

35. Apakah Anda sering mendengarlangsung dari korban informasi tentang keadaan Aceh setelah tsunami?

a. Tiga bulan pertama pasca tsunami: ...kali / bulan b. Tiga bulan kedua pasca tsunami: ...kali / bulan

c. Enam bulan pasca tsunami hingga sekarang: ...kali / bulan

36. Apakah Anda sering mendengar dari radio/teman informasi tentang keadaan Aceh setelah tsunami?

a. Tiga bulan pertama pasca tsunami: ...kali / bulan b. Tiga bulan kedua pasca tsunami: ...kali / bulan

c. Enam bulan pasca tsunami hingga sekarang: ...kali / bulan

37. Apakah Anda pernah membaca langsung laporan resmi pemerintah tentang keadaan Aceh setelah tsunami?

a. Tiga bulan pertama pasca tsunami: ...kali / bulan b. Tiga bulan kedua pasca tsunami: ...kali / bulan

c. Enam bulan pasca tsunami hingga sekarang: ...kali / bulan

38. Apakah Anda pernah membaca dari surat kabar/majalah informasi tentang keadaan Aceh setelah tsunami?

a. Tiga bulan pertama pasca tsunami: ...kali / bulan b. Tiga bulan kedua pasca tsunami: ...kali / bulan

c. Enam bulan pasca tsunami hingga sekarang: ...kali / bulan 39. Apakah Anda pernah melihat langsung keadaan Aceh setelah tsunami?

a. Tiga bulan pertama pasca tsunami: ...kali / bulan b. Tiga bulan kedua pasca tsunami: ...kali / bulan

c. Enam bulan pasca tsunami hingga sekarang: ...kali / bulan

40. Apakah Anda pernah melihat dari TV/foto keadaan Aceh setelah tsunami? a. Tiga bulan pertama pasca tsunami: ...kali / bulan

b. Tiga bulan kedua pasca tsunami: ...kali / bulan


(3)

41. Apakah Anda sering berkomunikasi dengan keluarga inti/keluarga dekat yang mengalami tsunami di Aceh?

a. Tiga bulan pertama pasca tsunami: ...kali / bulan b. Tiga bulan kedua pasca tsunami: ...kali / bulan

c. Enam bulan pasca tsunami hingga sekarang: ...kali / bulan 42. Apakah Anda sering berkomunikasi dengan teman dekat/famili jauh

yang mengalami tsunami di Aceh?

a. Tiga bulan pertama pasca tsunami: ...kali / bulan b. Tiga bulan kedua pasca tsunami: ...kali / bulan

c. Enam bulan pasca tsunami hingga sekarang: ...kali / bulan IV. KEEFEKTIVAN KOMUNIKASI

4.1Pengetahuan masyarakat Aceh di Bogor tentang pengelolaan dampak tsunami di NAD

Berikan tanda (√) pada kolom B apabila menurut anda pernyataan benar atau pada kolom S jika menurut anda pernyataan salah!

No. Pernyataan Benar Sebagian

Benar Salah 43. Pengelolaan dampak tsunami merupakan tangung

jawab pemerintah sepenuhnya.

44. Dalam tahap tanggap darurat, prioritas utama kegiatan bantuan pasca tsunami adalah penanganan langsung korban bencana.

45. Isolasi daerah yang terkena bencana harus dibuka agar penanganan korban dan penyaluran bantuan dapat berjalan dengan lancar.

46. Untuk mengatasi dampak tsunami, pembangunan fisik merupakan prioritas utama yang harus segera dilaksanakan di Aceh.

47. Pemulihan Aceh pasca tsunami harus didasarkan pada pembangunan kelembagaan, pembenahan infrastruktur, dan pemantapan perekonomian masyarakat.

48. Untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat perlu dilakukan pemetaan kembali tanah masyarakat.

49. Untuk memenuhi kebutuhan perumahan sebaiknya masyarakat diizinkan membangun kembali di atas tanah bekas rumah mereka yang telah rusak/hancur akibat tsunami.

50. Perlu adanya pengawasan ketat dari

pemerintah terhadap tataguna lahan, terutama daerah-daerah yang terkena tsunami

51. Pembangunan tanggul pemecah ombak di tepi pantai diperlukan untuk mencegah terjadinya abrasi.


(4)

52. Dalam tahapan tanggap darurat pasca tsunami, menurut anda apakah penyaluran bahan makanan dan penyediaan tempat tinggal darurat sudah berjalan dengan semestinya?

c

Tidak

d

Belum

e

Sudah

53. Apakah penanganan korban tsunami oleh pemerintah selama ini sudah dilakukan secara merata atau menyeluruh?

c

Tidak

d

Belum

e

Sudah

54. Apakah anda mengetahui tentang ”Blue Print” pembangunan kembali Aceh?

c

Tidak

d

Belum

e

Sudah

55. Menurut anda, apakah pemenuhan kebutuhan SDM harus dilakukan sesegera mungkin?

c

Tidak

d

Ya

56. Apakah menurut anda penanaman kembali hutan menggrove dapat mengurangi korban atau kerusakan apabila tsunami terulang kembali?

c

Tidak

d

Ya

57. Apakah menurut anda ”Sistem Peringatan Dini” perlu segera dibangun di Aceh?

c

Tidak

d

Ya

4.2 Kepedulian masyarakat Aceh di Bogor tentang pengelolaan dampak tsunami di NAD

58. Dalam pengelolaan dampak tsunami perlu dilakukan penggalangan dana untuk membantu para korban.

c

Tidak setuju

d

Setuju

e

Sangat setuju

59. Pengiriman para relawan dari berbagai wilayah Indonesia ke Aceh merupakan bantuan yang sangat berarti dalam penanganan korban.

c

Tidak setuju

d

Setuju


(5)

60. Bantuan para relawan dari luar negeri sebaiknya tidak ditolak.

c

Tidak setuju

d

Setuju

e

Sangat setuju

61. Sebaiknya tataguna lahan yang telah dirancang dalam rencana rekonstruksi Aceh dipatuhi semua pihak, misalnya menghindari pembangunan pemukiman di sekitar pantai.

c

Tidak setuju

d

Setuju

e

Sangat setuju

62. ”Blue print” rekonstruksi Aceh harus dijalankan secara utuh.

c

Tidak setuju

d

Setuju

e

Sangat setuju

63. Dalam pembangunan kembali Aceh sebaiknya seluruh masyarakat Aceh ikut dilibatkan.

c

Tidak setuju

d

Setuju

e

Sangat setuju

64. Masyarakat Aceh perlu diberikan pengetahuan menyeluruh tentang tsunami.

c

Tidak setuju

d

Setuju

e

Sangat setuju

65. Pemerintah sebaiknya membangun sistem komunikasi yang baik untuk menunjang sistem peringatan dini.

c

Tidak setuju

d

Setuju

e

Sangat setuju

66. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat Aceh, pembangunan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, situasi dan kondisi Aceh saat ini serta adanya sosialisasi dan transparansi kepada masyarakat Aceh.

c

Tidak setuju

d

Setuju


(6)

4.3 Partisipasi masyarakat Aceh di Bogor tentang pengelolaan dampak tsunami di NAD

67. Apakah anda pernah menyumbang atau menggalang dana untuk membantu para korban tsunami di Aceh?

c

Tidak

d

Ya

68. Apakah anda pernah menyumbangkan ide tentang arah rekonstruksi Aceh pasca tsunami?

c

Tidak

d

Ya

69. Apakah anda pernah terlibat dalam penanganan korban tsunami di Aceh, misalnya sebagai relawan atau menampung pengungsi di Bogor?

c

Tidak

d

Ya

70. Apakah anda proaktif memantau penanganan korban dan rekonstruksi pasca tsunami di Aceh?

c

Tidak