61
Pemimpin adalah seorang yang harus membela kepentingan rakyatnya. Ia harus rela untuk banyak hal demi terpenuhinya kepentingan warganya. Syair di atas
menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus rela sengsara demi membela hak, ia harus rela membela kawan meski harus berkorban. Ia juga harus rela dalam
kesulitan ketika rakyatnya kesulitan, mengusahakan kebahagiaan untuk rakyatnya saat ia bahagia. Jiwa patriotisme juga ditanamkan di sini karena bela negara
memang sangat dianjurkan. Bahkan, seorang pemimpin harus rela mati demi membela bangsanya, serta rela berpenat dan terkebat dalam membela adatnya.
Bagaimanapun seorang pemimpin memang difungsikan sebagai orang yang bersedia berkorban demi orang banyak.
I. Sebagai pemimpin banyak ikhlasnya
Ikhlas menolong tak harap sanjung Ikhlas berbudi tak harap puji
Ikhlas berkorban tak harap imbalan Ikhlas bekerja tak harap upah
Ikhlas memberi tak harap ganti Ikhlas mengajar tak harap ganjar
Ikhlas memerintah tak harap sembah Terminologi rela memiliki pengertian yang berbeda dengan ikhlas. Bila rela adalah
sebuah bentuk siap untuk berkorban, maka ikhlas lebih mengarah kepada pengelolaan niat. Hal ini sangat jelas disuarakan dalam pepatah lama: “Kalau
pemimpin tidak ikhlas, banyaklah niat yang ‘kan terkandas”. Artinya, keikhlasan seorang pemimpin dalam bertindak akan sangat mempengaruhi output dari proses
pelaksanaan niat tersebut. Apabila seorang pemimpin tidak ikhlas, maka niat-niat baik yang ada tentunya akan hilang.
J. Sebagai pemimpin banyak taatnya
Taat dan takwa kepada Allah Taat kepada janji dan sumpah
Taat memegang petua amanah Taat memegang suruh dan teguh
62
Taat kepada putusan musyawarah Taat memelihara tuah dan meruah
Taat membela negeri dan rakyatnya Ketaatan bukan hanya sebagai kewajiban yang dimiliki oleh rakyat terhadap
pemimpinnya, melainkan juga dimiliki oleh seorang pemimpin itu sendiri. Budaya politik Melayu menekankan pentingnya hubungan timbal balik yang baik antara
pemimpin dan yang dipimpin. Rakyat wajib menaati pemimpin, begitu pula sebaliknya. Raja harus menaati suara rakyat. Ia tak boleh mengabaikan aspirasi
warganya, terlebih apabila suara itu adalah keputusan musyawarah. Ia harus taat pada kewajibannya untuk membela negara dan rakyatnya. Selain itu, yang paling
penting juga adalah bahwa ia harus taat pada Allah, karena bagaimanapun Ia adalah perwakilan Allah di muka bumi.
K. Sebagai pemimpin mulia duduknya
Duduk mufakat menjunjung adat Duduk bersama berlapang dada
Duduk berkawan tak tenggang rasa Sikap dan sifat yang baik harus menjadi identitas seorang pemimpin. Kelakuan
sehari-hari sang pemimpin mampu mencerminkan kepribadian yang baik. Inilah yang dimaksud dengan syair di atas, bahwa seorang raja harus memiliki tingkah laku
yang baik sehingga tidak kehilangan kewibawaannya. Ia harus bersama-sama rakyat untuk menjunjung adat tanpa adanya perbedaan kewajiban. Kedudukannya
sebagai pemimpin tak mengurangi sedikit pun untuk selalu menjunjung adatnya. Ia juga harus sering duduk bersama rakyatnya, dengan segala kebesaran hatinya mau
menghilangkan kesombongan dan bersedia mendengarkan keluh kesah rakyatnya, sehingga akhirnya mampu bertenggang rasa. Kewibawaan akhirnya menjadi
penilaian apakah
ia seorang
pemimpin yang
baik atau
buruk.
63
L. Sebagai pemimpin banyak sadarnya
Memimpin sedar yang ia pimpin Mengajar sedar yang ia ajar
Memerintah sedar yang ia perintah Menyuruh sedar yang ia suruh
Berdasarkan fenomena di banyak negara dan kerajaan, seorang pemimpin kerap menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan
di sini tak hanya merujuk pada perbuatan yang menjurus pada pelampiasan ambisi pribadi, melainkan kesalahan dalam mengambil keputusan yang akhirnya
menyusahkan rakyatnya. Banyak pemimpin yang tak mampu membaca situasi dan tak mengerti keadaan yang pasti, akhirnya terjerumus dalam persoalan yang lebih
parah. Maka dari itu, seorang pemimpin harus benar-benar sadar apa yang ia lakukan, sadar tentang alasan dalam melakukannya, dan yang paling penting adalah
sadar akan akibatnya. Mungkin metode Socrates perlu diterapkan dalam hal ini. Ia pernah mengemukakan
tiga kriteria untuk menguji perlu-tidaknya sebuah tindakan. Pertanyaan pertama: apakah sebuah tindakan adalah benar dan dapat dibenarkan? Kalau tindakan itu
terbukti benar, maka menyusul pertanyaan kedua: apakah tindakan yang benar tersebut perlu dilakukan atau tidak perlu dilakukan? Kalau tindakan itu ternyata
benar dan perlu, maka pertanyaan ketiga adalah: apakah hal tersebut baik atau tidak untuk dilaksanakan? Metode tersebut sangatlah cocok untuk digunakan dalam
melatih kesadaran seorang pemimpin dalam bertindak.
M. Sebagai pemimpin banyak tidaknya