xxiii
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Nilai-nilai apa saja yang terdapat dalam tradisi bersih desa di Kebon Agung?
2. Apakah fungsi dan peran dari pelaksanaan upacara bersih desa bagi
masyarakat Dukuh Kebon Agung? 3.
Bagaimana perubahan pelaksanaan upacara bersih desa pada masyarakat Kebon Agung?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi bersih desa di Dukuh Kebon Agung.
2. Untuk mengetahui fungsi dan dari pelaksanaan upacara bersih desa di Dukuh
Kebon Agung. 3.
Untuk mengetahui perubahan pelaksanaan upacara bersih desa pada masyarakat Kebon Agung.
D. Manfaat Penelitian
1. Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran singkat mengenai keadaan masyarakat Kebon Agung dalam kehidupan sosial budaya dan
kepercayaan serta dapat menambah wawasan dan bahan bacaan mengenai
xxiv masalah kebudayaan. Sehingga penulis dapat menjelaskan fenomena-fenomena
budaya yang ada di masyarakat..
2. Akademis
Penulisan dalam disiplin Ilmu Sejarah ini dapat memberikan sumbangan untuk memperkaya penulisan sejarah Indonesia terutama Sejarah Kebudayaan
Jawa di Indonesia dan khususnya sejarah kebudayaan mengenai Acara Bersih Desa di dukuh Kebon Agung . Penulisan ini juga bisa menjadi bahan masukan
bagi para penulis sejarah di masa yang akan datang
E. Tinjauan Pustaka
Agar dapat melakukan penelitian tentang upacara bersih desa, diperlukan bantuan dari berbagai tulisan yang berhubungan dengan masalah tersebut. Adapun
tulisan-tulisan tersebut antara lain, tulisan dari Koentjaraningrat dengan judul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, 1983. Disebutkan bahwa
kebudayaan itu mempunyai tiga wujud ialah : wujud ideal, wujud kelakuan dan wujud fisik. Adat adalah wujud ideal dari kebudayaan. Secara lengkap wujud itu
dapat disebut adat tata kelakuan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Suatu contoh dari adat ialah aturan sopan santun untuk memberi uang sumbangan
kepada seseorang yang mengadakan pesta kondangan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat ialah : tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma,
tingkat hukum dan tingkat aturan khusus.
xxv Skripsi Ariyanti, yang berjudul Upacara Nyadran di Desa Balongdowo
Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur 1998. Karya ilmiah tersebut membahas mengenai upacara-upacara yang berhubungan dengan masalah
pertanian dan nelayan umumnya bagi masyarakat Jawa merupakan tradisi yang telah ada sejak dahulu yang diturunkan oleh nenek moyangnya. Upacara adat
yang diturunkan oleh nenek moyang tersebut dikenal sebagai bersih desa atau sedekah bumi atau laut, yang sama-sama mempunyai tujuan untuk mendapatkan
keselamatan. Kebudayaan adalah seluruh total dari pikiran, dan hasil karya manusia
yang tidak berakar pada nalurinya dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar.
8
Melihat luasnya batasan kebudayaan, maka setiap pembahasan masalah akan mendapat sudut pengertian dalam kebudayaan
sesuai dengan kebutuhannya. Sehubungan dengan luasnya batasan kebudayaan maka, kebudayaan dibagi dalam tiga wujud yaitu :
1. Wujud kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-
norma, peraturan dan sebagainya. 2.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
9
Van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan, 1983, menguraikan berbagai pandangan antara suasana berfikir yang mistis dan suasana berfikir pada
tahap fungsional. Tahap fungsional yakni tahap yang dialami dan diintegrasikan
8
Ibid, hlmaman 1.
9
Ibid, hlmaman 186 – 187.
xxvi dalam hidup. Sesuatu dapat dianggap penuh arti bila hal itu masuk akal, berguna
dan efisien. Dalam mistis daya kekuatan adikodrati yang terpancar dari peristiwa yang terjadi dahulu kala dan telah bersifat simbolis, menjamin suksesya perbuatan
di masa kini. Hal tersebut terlihat dalam upacara tradisional. Pada tahap fungsional, jaminan adikodrati tidak dihiraukan lagi, yang penting suatu situasi
yang terjadi itu setiap saat harus dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan. Demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaannya terletak pada cara yang tepat
menangani atau mengartikan simbol-simbol pengetahuan. Dalam pikiran mistis, pengertian sesuatu itu yang penting ialah sesuatu itu ada, sedangkan pada
pandangan fungsional yang dipentingkan ialah bagaimana itu ada. Joko Suryo dalam bukunya yang berjudul Gaya Hidup Jawa di Pedesaan;
Pola Kehidupan, Sosial Ekonomi dan Budaya, 1985. Buku ini membahas tentang pengaruh budaya yang dianggap sebagai budaya modern yang mampu
memberikan respon terhadap gejala pembaharuan yang datang dari luar, baik dalam bentuk adaptasi maupun adopsi unsur-unsur baru. Adanya sifat elastis dan
dinamis pada masyarakat pedesaan memungkinkan penerimaan perubahan- perubahan yang terjadi, tetapi di lain pihak tetap berusaha mempertahankan pola
kehidupan yang telah ada sebelumya. Buku ini membantu untuk mengupas tentang masyarakat pedesaan.
Salah satu bentuk tradisi orang Jawa yang sampai sekarang masih hidup dan dilestarikan keberadaannya adalah tradisi bersih desa. Bersih desa menurut
Hasan Alwi dalam bukunya Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI Edisi 111 2002, berarti membersihkan desa dari gangguan alam dan gangguan mahkluk-
xxvii mahkluk ghaib yang mendiami suatu tempat tertentu dengan upacara adat. Jadi
dalam hal ini seluruh masyarakat desa membersihkan diri dari kejahatan, dosa serta yang menyebabkan kesengsaraan. Hal ini memang tercermin dari berbagai
aspek perayaan yang diselenggarakan dengan upacara tersebut, yang mengandung unsur-unsur simbolik untuk memelihara kerukunan warga masyarakat. Dalam
kegiatan yang berhubungan dengan bersih desa biasanya berlangsung di suatu tempat dekat makam pendiri desa atau danyang dusun.
10
Kebudayaan merupakan suatu sistem menyeluruh yang terdiri dari cara- cara dan aspek-aspek pemberian arti pada laku ajaran. Unsur terkecil dari sistem
ini yang biasanya dinamakan sistem budaya, adalah simbol, sehingga kebudayaan biasa juga ditanggapi sebagai suatu sistem simbol, yang mempunyai arti bagi
orang-orang yang menggunakannya. Bentuk-bentuk tindakan simbolis orang Jawa dapat dikelompokan tiga macam, yaitu: tindakan simbolis dalam religinya,
tindakan simbolis dalam keseniannya. Menurut Budiono Herusatoto dalam bukunya Simbolisme Dalam Budaya Jawa 1985, bagi masyarakat Jawa pada
umumnya, tindakan-tindakan simbolis yang dilakukan banyak dipengaruhi oleh paham mitologi, animisme, dan dinamisme yang dianut sejak zaman prasejarah.
Mitos tetap melekat dalam pribadi-pribadi Jawa walaupun ajaran-ajaran religi yang murni ataupun yang mengambil jalan mistik telah diterima selama berabad-
abad lamanya. Etika Jawa 1985 karya Frans Magnis Suseno. Dalam buku membahas
tentang peristiwa-peristiwa di alam empiris berkaitan dengan peristiwa-peristiwa
10
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm., 274
xxviii di alam non empiris. Manusia tidak boleh gegabah dalam tindakannya agar tidak
menimbulkan konflik dengan kekuatan halus dan dengan jalinan yang baik dengan kekuatan tersebut manusia akan mendapat kebahagiaan, keselamatan dan
ketentraman. Selama berabad-abad lamanya masyarakat pedalaman belajar bagaimana harus bersikap untuk tetap menjaga keselarasan dengan alam raya,
dengan roh-roh dan norma-norma kelakuan masyarakat desa. Bagi masyarakat Jawa alam empiris berhubungan erat dengan alam metaempiris alam ghaib, alam
adikodrati, kepekaan terhadap dimensi ghaib dunia empiris menemukan ungkapan dalam berbagai cara, misalnya upacara-upacara tradisional, dimana mitos-mitos
kuno dimainkan yang berkisar tentang asal-usul suku, keselarasan dan gangguan, perkawinan dan kesuburan penanaman padi.
11
Hal-hal semacam ini memberikan kesempatan kepada desa untuk mengambil bagian dalam pengalaman dimensi
adikodrati masyarakat dihadirkan kesatuan mistik masyarakat dan kosmos yang dalam berbagai konflik tetap terjaga.
Tulisan lainnya adalah karya Clifford Geertz, yaitu Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa, 1989. Ia berpendapat bahwa agama Islam Jawa
yang sinkretis kemudian lebih dikenal dengan agama Jawi, yang membedakan dengan agama Islam Santri yang taat menjalankan agama Islam. Berdasarkan pada
agama inilah kemudian dikenal tiga golongan varian agama dalam masyarakat yaitu abangan, santri dan priyayi yang masing-masing memegang prinsip yang
berbeda-beda. Pada dasarnya priyayi dan abangan tidak menerima agama Islam secara mutlak. Kedua golongan ini masih terpengaruh oleh budaya Jawa yang
11
Magnis Suseno Frans, op. cit., hlmman 87.
xxix kental. Mereka menerima agama Islam tanpa meninggalkan kebudayaan lain atau
kepercayaan asli mereka yaitu animisme dan dinamisme. Bagi masyarakat golongan santri, mereka berusaha untuk menjaga ortodoksi Islam walaupun dalam
prakteknya masih sering bercampur dengan unsur-unsur kebudayaan lokal.
F. Metode Penelitian