MAKNA SIMBOLIK TRADISI “NYADRAN” PADA RITUAL SELAMETAN DI DESA BALONGGEBANG KECAMATAN GONDANG KABUPATEN NGANJUK.

(1)

MAKNA SIMBOLIK TRADISI “NYADRAN” PADA RITUAL SELAMETAN DI DESA

BALONGGEBANG KECAMATAN GONDANG KABUPATEN NGANJUK

Skripsi

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom)

Oleh :

Dwi Astutik NIM. B06211052

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI JURUSAN KOMUNIKASI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2015


(2)

 

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA PENULISAN SKRIPSI

Bismillahirrahmanirrahim,

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Dwi Astutik

NIM : B06211052

Prodi : Ilmu Komunikasi

Alamat : Dsn/Ds. Nglinggo, RT/RW. 002/001, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk.

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:

1) Skripsi ini tidak pernah dikumpulkan kepada lembaga pendidikan tinggi manapun untuk mendapatkan gelar akademik apapun.

2) Skripsi ini adalah benar-benar hasil karya saya secara mandiri dan bukan merupakan hasil plagiasi atas karya orang lain.

3) Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini sebagai hasil plagiasi, saya akan bersedia menanggung segala konsekuensi hukum yang terjadi.

Surabaya, 08 Juli 2015 Yang Menyatakan,

Dwi Astutik NIM.B06211052


(3)

 

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama : Dwi Astutik

NIM : B06211052

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Judul : Makna Simbolik Tradisi “Nyadran” Pada Ritual Selametan Di Desa Balonggebang Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk.

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh dosen pembimbing untuk diujikan.

Surabaya, 08 Juli 2015 Dosen Pembimbing,

Dr. Agoes Moh. Moefad, SH, M.Si. NIP. 197008252005011004


(4)

 

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Skripsi oleh Dwi Astutik ini telah dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi Surabaya, 12 Agustus 2015

Mengesahkan

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Dekan,

Dr. Hj. Rr. Suhartini, M.Si NIP. 195801131982032001

Penguji I

Dr. Agoes Moh. Moefad, SH, M.Si. NIP. 197008252005011004

Penguji II,

Advan Naviz Zubaidi, S.ST, M.Si. NIP. 198311182009011006

Penguji III,

Drs. H.M. Hamdun Sulhan, M.Si NIP. 195403121982031002

Penguji IV,

Muchlis, S.Sos.I, M.Si NIP. 197911242009121001


(5)

 

ABSTRAK

Dwi Astutik, B06211052. Makna Simbolik Tradisi “Nyadran” Pada Ritual Selametan Di Desa Balonggebang Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk. Skripsi Program Studi llmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci : Makna Simbolik, Tradisi, Kebudayaan

Dalam penelitian ini, peneliti mengangkat tiga fokus penelitian, yaitu : 1). Bagaimana proses komunikasi simbolik dalam tradisi nyadran di Desa Balonggebang, 2). Bagaimana makna tradisi nyadran dikomunikasikan kepada masyarakat Desa Balonggebang.

Untuk menjawab fokus penelitian di atas, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Kemudian data yang sudah diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data model fenomenologi.

Adapun hasil penelitian dari pengumpulan data di lapangan ditemukan bahwa 1). Komunikasi simbolik yang terjadi pada masyarakat desa Balonggebang dalam tradisi nyadran ditunjukkan melalui proses belangsungnya upacara nyadran. 2). Dalam tradisi Nyadran terdapat pemakaian simbol komunikasi verbal dan nonverbal. Simbol komunikasi verbal berupa ungkapan dan do’a. Sedangkan simbol komunikasi nonverbal berupa tindakan, makanan, sesajian dan isyarat lainnya. 3). Makna tradisi Nyadran bagi masyarakat desa Balonggebang adalah jembatan antara hubungan dengan sesama, para leluhur, dan Yang Mahakuasa. Tradisi Nyadran dimaknai sebagai sedekah bumi, sebagai bentuk syukur atas melimpahnya hasil bumi. 4). Tradisi Nyadran dikomunikasikan kepada masayarakat melalui : a). Komunikasi Verbal : Dalam kehidupan masyarakat desa Balonggebang tradisi nyadran telah disakralkan sejak jaman nenek moyang. Adanya faktor dorongan dari semua pihak, (masyarakat dan pemerintah) untuk senantiasa melaksanakan tradisi ini agar tradisi nyadran nantinya tidak akan hilang oleh arus perkembangan jaman. b). Komunikasi Non Verbal : Tradisi nyadran diwariskan pada generasi muda melalui bentuk perayaan yang meriah. c). Mitos Masyarakat : Dipercaya jika tidak melakukan tradisi Nyadran akan ada bahaya di desa Balonggebang.

Bertitik tolak dari penelitian ini, beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi seluruh pemerhati adalah 1). Melestarikan warisan budaya agar tidak hilang oleh perkembangan jaman, 2). Memahami makna yang terkandung dalam tradisi Nyadran agar terus dijaga dan disosialisasikan kepada generasi muda agar mampu dipahami oleh semua pihak mengapa tradisi ini selalu dilaksanakan sehingga tradisi ini dapat terus berjalan tanpa kehilangan maknanya.


(6)

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA PENULISAN SKRIPSI ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR BAGAN ... xiv

BAB I : PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Fokus Penelitian ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 7

F. Kajian Penelitian Terdahulu ... 8

G. Definisi Konsep ... 12

1. Makna Simbolik ... 13

2. Proses Simbolik... 13

3. Tradisi Nyadran ... 15

4. Ritual Selametan ... 16

H. Kerangka Pikir Penelitian ... 17

I. Metode Penelitian ... 20

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 20

2. Subyek, Objek dan Lokasi Penelitian ... 21

3. Jenis dan Sumber Data ... 23

4. Tahap-Tahap Penelitian ... 25

5. Teknik Pengumpulan Data ... 30

6. Teknik Analisa Data ... 32

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 33

J. Sistematika Penelitian ... 35

K. Jadwal Penelitian ... 36

BAB II : KAJIAN TEORITIS TENTANG MAKNA SIMBOLIK TRADISI NYADRAN PADA RITUAL SELAMETAN A. Kajian Pustaka ... 37

1. Tradisi Nyadran dan Mitos Masyarakat ... 37

2. Ritual Selametan sebagai Bentuk Kebudayaan Masyarakat ... 43


(7)

 

4. Simbolik dan Pemahaman Pesan Komunikasi Ritual ... 49

5. Komunikasi Melibatkan Penerimaan dan Penciptaan Pesan serta Mengubahnya Menjadi Informasi yang dapat Digunakan ... 52

B. Kajian Teori ... 55

1. Teori Interaksionisme Simbolik ... 55

BAB III : PENYAJIAN DATA TENTANG MAKNA SIMBOLIK TRADISI NYADRAN PADA RITUAL SELAMETAN A. Profil Informan ... 64

B. Profil Lokasi Penelitian ... 70

C. Deskripsi Data Penelitian ... 78

1. Data Tentang Proses Komunikasi Simbolik dalam Tradisi Nyadran di Desa Balonggebang ... 78

a. Nyadran di Makam ... 78

b. Nyadran di Pundhen Desa ... 80

c. Do’a (Tahlil dan Shalawat) di Area Pundhen ... 81

d. Makan Bersama ... 82

e. Pertunjukkan Langen Tayub ... 84

f. Pertunjukkan Pengajian Akbar ... 86

g. Pertunjukkan Pasar Nyadran (Bazar) ... 88

h. Nama Nyadran ... 90

i. Simbol Makanan atau Perlengkapan Nyadran ... 91

2. Data Tentang Makna Tradisi Nyadran Dikomunikasikan Kepada Masyarakat Desa Balonggebang ... 95

a. Cerita Masyarakat ... 95

b. Mitos Masyarakat ... 96

c. Tradisi Diwariskan pada Generasi Muda ... 97

BAB IV : ANALISIS DATA TENTANG MAKNA SIMBOLIK TRADISI NYADRAN PADA RITUAL SELAMETAN A. Temuan Penelitian ... 99

1. Temuan Tentang Proses Komunikasi Simbolik dalam Tradisi Nyadran di Desa Balonggebang ... 99

a. Simbolisasi Tradisi Lokal dan Nilai KeIslaman ... 99

b. Makna Simbolik Tradisi Nyadran ... 101

2. Temuan Tentang Makna Tradisi Nyadran Dikomunikasikan Kepada Masyarakat Desa Balonggebang ... 103

a. Komunikasi Verbal ... 103

b. Komunikasi Non Verbal ... 104

c. Mitos Masyarakat ... 105

3. Temuan Tentang Tradisi Nyadran dalam Perspektif Islam ... 105


(8)

 

BAB V : PENUTUP

A. Simpulan ... 113 B. Rekomendasi ... 115 DAFTAR PUSTAKA

PEDOMAN OBSERVASI PEDOMAN WAWANCARA BIODATA PENULIS


(9)

 

BAB I PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian

Indonesia merupakan negara yang multikultur dengan berbagai macam bahasa, budaya, kepercayaan dan tradisi yang dimiliki masyarakat Indonesia. Hal inilah yang menjadikan Indonesia memiliki kekayaan yang tak terhitung nilainya. Sehingga sudah seharusnya masyarakat mampu melestarikan tradisi dan budaya agar sebagai manusia Indonesia memiliki identitas diri.

Seiring berkembangnya jaman, sebagian besar masyarakat Indonesia mulai meninggalkan tradisi dan budaya leluhurnya. Tidak sedikit tradisi atau adat istiadat yang sudah diwariskan oleh leluhur bisa memudar atau bahkan musnah. Sebaliknya, tak banyak diantara masyarakat Indonesia yang masih melestarikan tradisi nenek moyang. Sehingga terdapat juga tradisi yang semakin eksis walaupun perkembangan jaman semakin modern.

Manusia hidup tidak dapat lepas dari komunikasi, begitu juga dengan budaya dan komunikasi yang tidak dapat dipisahkan, karena budaya adalah hal penting agar sebagai manusia memiliki identitas diri. Budaya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang


(10)

2

menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan.1 Karena kebudayaan merupakan ekspresi dan ungkapan kehadiran manusia.

Fenomena komunikasi dan budaya dapat dilihat pada masyarakat Jawa yang sering menggunakan berbagai macam simbol dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan bahasa, kesenian, interaksi, maupun upacara-upacara selalu ada penggunaan simbol-simbol untuk mengungkapkan rasa budayanya, seperti melakukan ritual-ritual tertentu untuk menyampaikan pesan pada masyarakat dan generasi-generasi berikutnya.

Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan sepanjang hidup, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun, pernikahan, hingga upacara kematian. Dalam acara-acara itu orang mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku simbolik. Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, komunitas, suku, bangsa, negara, ideologi, atau agama mereka.2

Tidaklah mudah bagi masyarakat untuk dapat menjaga dan mempertahankan tradisi dan budaya warisan leluhur. Banyak masyarakat yang menganggap tradisi leluhur merupakan tradisi kuno. Anggapan inilah yang menjadi faktor penyebab tradisi dan budaya suatu daerah yang mulai sirna dan cenderung dilupakan. Namun masih ada tradisi dalam suatu daerah yang masih dilestarikan oleh masyarakat Jawa yakni ritual Selametan.

       1

Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.19

2

Deddy Mulyana, Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), hlm. 27


(11)

3

Upacara ritual Selametan pada masyarakat Jawa merupakan ritual yang dilakukan masyarakat Jawa atau kelompok kejawen sebagai bentuk penghormatan terhadap para leluhur dan roh nenek moyang mereka yang diyakini dapat mendatangkan berkah dan bahaya. Upacara ritual bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sakral dan mempunyai nilai mistis sehingga kegiatan ritual wajib dilakukan. Apabila kegiatan upacara ritual tidak dilakukan ada kepercayaan akan terjadi bencana terhadap keluarga mereka. Salah satu bentuk Selametan yang masih eksis di masyarakat Jawa adalah tradisi Nyadran/Nyadranan yang secara tradisional hingga kini masih dilaksanakan secara turun temurun, terutama di Desa Balonggebang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk.

Tradisi Nyadran juga dikenal dengan istilah bersih desa atau sedekah

bumi atau manganan. Pada umumnya terjadi pada saat penggarapan tanah

pertanian dan masa panen padi, karena moyoritas masyarakat desa Balonggebang bekerja sebagai petani. Pelaksanaan tradisi Nyadran tidak terikat pada penanggalan tertentu, namun uniknya tradisi ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan diiringi dengan berbagai bentuk perayaan yang semakin meriah dengan harapan dapat merekatkan hubungan masyarakat.

Tradisi Nyadran adalah kegiatan ritual, sedangkan ritual sendiri berkaitan dengan identitas kepercayaan masyarakat. Dalam ritual terkandung makna utama yaitu kemampuan masyarakat dalam memahami budaya dan tradisi lokal yang ada. Dalam konteks tersebut, maka penciptaan


(12)

4

dan pemaknaan simbol-simbol tertentu menjadi sangat penting dan bervariasi. Di dalam simbol tersebut dimasukkan unsur-unsur keyakinan yang membuat semakin tingginya nilai sakralitas sebuah simbol.

Kegiatan ritual sebagai pengabdian kepada kelompok, para pesertanya dari berbagai komitmen emosional menjadi perekat bagi kepaduan mereka. Sampai kapanpun ritual tampaknya akan tetap menjadi kebutuhan manusia, dan bentuknyapun juga berubah-ubah, demi memenuhi jati dirinya sebagai individu, sebagai anggota, komunitas sosial dan sebagian salah satu unsur dari alam semesta.

Kegiatan Nyadran bersifat simbolis, sehingga dalam upacara tersebut terdapat simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri. Partisipasi masyarakat dalam upacara Nyadranan menggambarkan adanya komunikasi sosial dan budaya, sebab semua anggota masyarakat dalam lingkaran bertetangga tersebut dalam suasana yang sama dan juga menikmati makanan yang hampir sama sehingga inilah suatu wujud dari pemahaman masyarakat Jawa mengenai hidup slamet dan rukun dalam menerapkan nilai-nilai budaya.

Lambang atau simbol adalah suatu yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang lainnya. Hanya saja tidak seperti komunikasi biasanya, karena tidak hanya menyampaikan suatu pesan seseorang kepada orang lain, simbol-simbol disini berhubungan antara orang-orang yang berkomunikasi itu mengandung unsur-unsur kejiwaan yang sangat


(13)

5

mendalam.3 Oleh karena itu, upaya untuk mengkaji dan memahami makna simbolik dalam sebuah tradisi perlu dilakukan.

Pemakaian simbol ketika berinteraksi dengan seseorang dapat memberikan makna berupa ide, gagasan maupun pendapat seseorang ketika melakukan komunikasi. Makna simbolik tradisi Nyadran memberikan arti khusus pada masyarakat desa Balonggebang, sehingga tradisi tersebut masih berfungsi sebagai bagian dari sistem nilai masyarakat dan sistem sosial yang mempererat komunikasi masyarakat.

Akan tetapi perkembangan jaman modern saat ini pemahaman orang terhadap makna dan nilai tradisi Nyadranan mulai kabur, terutama para generasi muda. Banyak dari mereka menganggap Nyadranan hanya sekedar kegiatan rutin setiap tahun sebagai hiburan semata tanpa memahami dengan benar makna dari Nyadranan itu sendiri. Sangat perlu pengetahuan terhadap pewarisan budaya dan tradisi dari generasi ke generasi. Suatu kenyataan bahwa budaya dan tradisi diperoleh melalui proses belajar dari masyarakat dan lingkungannya.

Berdasarkan uraian di atas, yang kemudian menjadi asumsi dasar peneliti untuk mengadakan sebuah penelitian mengenai tradisi Nyadran. Berangkat dari sebuah pemahaman pentingnya mengetahui potret tradisi

Nyadran dan pemaknaan terhadap simbol budaya dalam tradisi Nyadran,

penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih jauh tentang makna tradisi

Nyadran serta melakukan penelitian dengan judul skripsi : "Makna

       3

Onong Uchjana Effendy, Komunikasi Teori dan Praktek,(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009), hlm. 138.


(14)

6

Simbolik Tradisi “Nyadran” Pada Ritual Selametan Di Desa Balonggebang Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk ".

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian konteks penelitian di atas, maka peneliti menentukan rumusan masalah yakni : Bagaimana makna simbolik tradisi

nyadran” pada ritual selametan di Desa Balonggebang Kecamatan

Gondang Kabupaten Nganjuk?

C. Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian konteks penelitian di atas, maka peneliti menentukan fokus penelitian yakni :

1. Bagaimana proses komunikasi simbolik dalam tradisi nyadran di Desa Balonggebang?

2. Bagaimana makna tradisi nyadran dikomunikasikan kepada masyarakat Desa Balonggebang?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian yang telah dipaparkan maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk menjelaskan proses komunikasi simbolik dalam tradisi nyadran

di Desa Balonggebang.

2. Untuk menjelaskan dan memahami makna simbolik tradisi nyadran


(15)

7

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan atas fokus penelitian dan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini sebagai sumbangsih ilmu komunikasi mengenai studi komunikasi dan budaya. Betapa pentingnya komunikasi sebagai alternatif yang positif bagi kelangsungan budaya-budaya yang ada. 2. Secara Praktis

a. Masyarakat

Sebagai bahan masukan bagi masyarakat Balonggebang untuk meningkatkan pengetahuan dalam memahami makna simbolik tradisi nyadran.

b. Penulis

Sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi pada jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

c. Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi mahasiswa mengenai penelitian-penelitian yang berkaitan dengan budaya dan tradisi nyadran di suatu daerah. Pentingnya memahami nilai-nilai dan makna simbolik yang terdapat dalam suatu kebudayaan.


(16)

8

F. Kajian Penelitian Terdahulu

Sebagai rujukan dari penelusuran hasil penelitian yang terkait dengan tema yang diteliti, peneliti mencoba mencari referensi hasil penelitian yang diteliti atau dikaji oleh peneliti terdahulu. Dari hasil pencarian peneliti ditemukan hasil penelitian terdahulu dengan judul :

Penelitian sebelumnya yang berjudul “Komunikasi Ritual Prosesi “Nyadran” Desa Widang Tuban”, dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif yang ditulis oleh Martina Ulfa pada tahun 2014 Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui simbol-simbol komunikasi ritual Nyadran di Desa Widang dan untuk mengetahui masyarakat Widang memaknai ritual Nyadran.

Hasil penelitian ditemukan bahwa (1) simbol-simbol komunikasi yang terdapat dalam tradisi nyadran yang merupakan suatu simbol komunikasi nonverbal yang berupa peralatan, sajian makanan atau hidangan. (2) makna yang terkandung dalam tradisi nyadran yakni salah satu simbol yang paling dominan bagi masyarakat desa Widang khususnya para petani untuk menunjukan rasa cinta kasih sayang dan sebagai penghargaan manusia atas bumi yang telah memberi kehidupan bagi manusia, dan untuk menjalin silaturrahim antar warga masyarakat.

Selain penelitian Skripsi diatas terdapat juga penelitian Skripsi dari Umul Mukaromah pada tahun 2013 Jurusan Ilmu Komunikasi IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan


(17)

9

judul “Makna Simbol Komunikasi dalam Ritual Bari’an di Desa Kedungringin Kertosono Nganjuk”. Fokus penelitian ini adalah apa saja simbol yang komunikasi yang digunakan dalam ritual bari’an. Dan apa makna ritual bari’an sebagai simbol komunikasi bagi warga desa Kedungringin Kertosono Nganjuk? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui simbol dan makna ritual bari’an yang digunakan oleh warga desa Kedungringin Kertosono Nganjuk.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa rituan Bari’an sebagai simbol komunikasi warga desa Kedungringin Kertosono Nganjuk. Dan juga dapat dijadikan sarana komunikasi yang harmonis dan dapat dijadikan sebagai alat pemersatu dan damai bagi orang yang melakukannya. Karena dalam komunikasi yang dibangun dapat menciptakan pemaknaan sama ketika rituan bari’an dilakukan sebagai adat istiadat setempat. Selain itu dengan melakukan ritual ini dapat diyakini sebagai do’a keselametan serta kedamaian bagi yang menjalankan.

Pada Jurnal Riza Ayu Purnamasari Prahastiwi Utari Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta menggunakan metode Deskriptif Kualitatif dengan judul “Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet Dalam Kirab 1 Suro Keraton Kasunanan Surakarta (Studi Persepsi Masyarakat Surakarta Terhadap Miskomunikasi di Balik Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet dalam Kirab Malam 1 Suro Keraton Kasunanan Surakarta).


(18)

10

Dalam penelitian jurnal tersebut ditemukan hasil penelitian bahwa (1) Keraton berhutang budi terhadap kehidupan agraris. Simbol yang tepat untuk mengingatkan pada kejayaan agraris adalah kerbau, hewan kaya manfaat dan berjasa dalam pertanian (2) Kebo bule diinterpretasikan sebagai jelmaan seorang pria tua bernama Kyai Slamet. Dia menjadi sosok kerbau putih yang memiliki kekuatan magis, dan menjadi hewan peliharaan raja hingga saat ini (3) Simbol-simbol harapan yang dilontarkan keraton dalam wujud bunga, sesaji, pusaka, Kebo Bule Kyai Slamet dibelokkan maknanya, dan diinterpretasikan dalam satu kalimat “semua dapat mendatangkan berkah”.

Persamaannya terletak pada metode penelitian dan subjek penelitian yakni sama-sama meneliti tradisi yang ada di suatu masyarakat di wilayah tertentu. Sedangkan perbedaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu terletak pada obyek dan tempat penelitian, pada jurnal Riza Ayu Purnamasari Prahastiwi Utari meneliti tentang persepsi masyarakat terhadap suatu tradisi dan budaya, lalu pada skripsi Martina Ulfa meneliti tentang komunikasi ritual budaya dan tradisi masyarakat, dan yang terakhir Skripsi dari Umul Mukaromah meneliti tentang makna simbol komunikasi ritual di masyarakat.

Pada penelitian kali ini peneliti ingin meneliti bagaimana proses komunikasi simbolik pada tradisi nyadran dan bagaimana makna tradisi


(19)

11

Tabel 1.1

Kajian Hasil Penelitian Terdahulu

Nama Peneliti

Martina

Ulfa Umul Mukaromah

Riza Ayu Purnamasari Prahastiwi Utari

Jenis Karya

Skripsi Skripsi Jurnal

Tahun

Penelitian 2014 2013 2014

Metode

Penelitian Kualitatif Deskriptif Kualitatif Deskriptif Kualitatif Deskriptif

Tujuan Penelitian (1) untuk mengetahui simbol-simbol komunikasi ritual Nyadran di Desa Widang. (2) untuk mengetahui masyarakat Widang memaknai ritual Nyadran. untuk mengetahui simbol dan makna ritual bari’an yang digunakan oleh warga desa Kedungringin Kertosono Nganjuk.

Untuk mengetahui perbedaan persepsi masyarakat keraton di Surakarta sebagai komunikator, serta Masyarakat awam dan ahli sebagai komunikan pada fenomena Kebo Bule Kyai Slamet di Kirab Malam 1 Suro Keraton Kasunanan Surakarta sehingga menyebabkan misskomunikasi. Hasil Temuan (1) simbol komunikasi nonverbal yang berupa peralatan, sajian makanan

(2) makna yang

terkandung bagi masyarakat desa Widang khususnya para petani untuk menunjukan rasa

rituan Bari’an sebagai simbol komunikasi warga desa Kedungringin Kertosono Nganjuk. Dan juga dapat dijadikan sarana komunikasi yang harmonis dan dapat dijadikan sebagai alat pemersatu dan damai bagi orang yang

(1) Simbol yang tepat untuk

mengingatkan pada kejayaan agraris adalah kerbau, hewan kaya manfaat dan berjasa dalam pertanian.

(2) Kebo bule

diinterpretasikan sebagai jelmaan seorang pria tua bernama Kyai Slamet. Dia menjadi sosok kerbau putih yang


(20)

12 cinta kasih sayang dan sebagai penghargaan manusia atas bumi yang telah memberi kehidupan bagi manusia, dan untuk menjalin silaturrahim antar warga masyarakat. melakukannya. Karena dalam komunikasi yang dibangun dapat menciptakan pemaknaan sama ketika rituan bari’an dilakukan sebagai adat istiadat setempat. Selain itu dengan melakukan ritual ini dapat diyakini sebagai do’a keselametan serta kedamaian bagi yang menjalankan.

memiliki kekuatan magis, dan menjadi hewan peliharaan raja hingga saat ini.

(3) Simbol-simbol harapan

yang dilontarkan keraton dalam wujud bunga, sesaji, pusaka, Kebo Bule Kyai Slamet dibelokkan maknanya, dan diinterpretasikan dalam satu kalimat “semua dapat

mendatangkan berkah”.

Perbedaan

Perbedaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu terletak pada obyek dan tempat penealitian.

Perbedaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu terletak pada obyek dan tempat penelitian.

Perbedaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu terletak pada obyek dan tempat penelitian.

Persamaan

Persamaannya terletak pada metode penelitian dan subjek penelitian yakni sama-sama meneliti tradisi yang ada di suatu masyarakat di wilayah tertentu.

Persamaannya terletak pada metode penelitian dan subjek penelitian yakni sama-sama meneliti tradisi yang ada di suatu

masyarakat di wilayah tertentu.

Persamaannya terletak pada metode penelitian dan subjek penelitian yakni sama-sama meneliti tradisi yang ada di suatu

masyarakat di wilayah tertentu.

G. Definisi Konsep

Definisi konsep sangat membantu di dalam menemukan fakta dan memahami istilah yang digunakan dalam mengemukakan batasan-batasan


(21)

13

pengertian terhadap konsep yang digunakan untuk menghindarkan arti yang meragukan atau ganda dalam penelitian ini.

1. Makna Simbolik

Makna hubungan antara suatu objek dengan lambangnya. Makna pada dasarnya terbentuk berdasarkan hubungan antara lambang komunikasi (simbol), akal budi manusia penggunanya (obyek).4 Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia.5

Pemaknaan simbol dalam penelitian ini diartikan sebagai bentuk interpretasi masyarakat terhadap nilai dalam pelaksanaan tradisi

nyadran. Simbol adalah bentuk-bentuk ritual adat yang dilakukan

sebagai petunjuk atau ciri khas dalam tradisi. Jadi makna simbolik dalam penelitian ini adalah nilai-nilai atau pesan yang terkandung pada proses komunikasi simbolik dalam tradisi nyadran.

2. Proses Simbolik

Proses merupakan gejala menciptakan dan saling menukar informasi yang berjalan terus-menerus dan tidak ada henti-hentinya.6 Proses dalam konteks komunikasi berarti komunikasi bersifat berkesinambungan dan tidak memiliki akhir. Komunikasi juga dinamis, kompleks dan senantiasa berubah. Melalui pandangan mengenai       

4

Dani Vardiansyah, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm.

70-71 5

Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Rosda Karya, 2004) hlm. 77

6


(22)

14

komunikasi ini, menekankan bahwa menciptakan suatu makna adalah sesuatu yang dinamis. Oleh karena itu, komunikasi tidak memiliki awal dan akhir yang jelas.7

Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non-verbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama.8

Proses simbolik merupakan kebebasan untuk menciptakan simbol dengan nilai-nilai tertentu dan menciptakan simbol-simbol bagi simbol-simbol-simbol-simbol lainnya.9 Dalam hal ini proses simbolik ditinjau dari ilmu komunikasi adalah kegiatan yang berlangsung secara dinamis atau tidak statis dan tidak berakhir pada suatu titik, tetapi terus berkelanjutan oleh karena itu komunikasi disebut sebagai sebuah proses. Komunikasi sebagai simbolik ialah simbol dinyatakan dalam bentuk lisan maupun melalui isyarat – isyarat tertentu, simbol yang membawa pernyataan dan diberi arti oleh penerima.

Jadi proses simbolik dalam penelitian ini adalah proses komunikasi simbolik yang berlangsung selama proses tradisi nyadran

berlangsung. Bagaimana masyarakat desa Balonggebang ketika       

7

Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi, Analisis dan Aplikasi Edisi 3, Buku 1, Penerjemah : Maria Natalia Damayanti Maer, (Jakarta : Salemba Humanika, 2009), hlm. 6

8

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosda Karya:

2010), hlm. 92 9

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rahmat, Komunikasi Antarbudaya, (Bandung: Rosdakarya, 1993), hlm. 102.


(23)

15

berinteraksi dalam tradisi nyadran menggunakan simbol-simbol melalui lisan maupun isyarat tertentu.

3. Tradisi Nyadran

 Dalam Kamus Bahasa Indonesia tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.10 Jadi tradisi merupakan kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat dan akan diwariskan secara turun-temurun.

Nyadran merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati,

dan memperingati roh leluhur. Dalam ritual Nyadran ada dua tahap yaitu tahap selametan dan tahap ziarah. Pada tahap selametan biasanya orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.11

Makna lainnya nyadran adalah sadran berasal dari kata sudra

sehingga nyadran berarti menyudra menjadi sudra atau berkumpul dengan orang-orang awam. Ini mencerminkan nilai-nilai bahwa pada hakekatnya manusia adalah sama.12 Karena lidah orang Jawa maka kata

sadra kemudian berubah menjadi kata nyadran yang memiliki arti

ziarah kubur, tradisi nyadran merupakan sebuah ritual yang berupa       

10

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 1208.

11

Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam, (Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta, 1995), hlm. 246-247.

12

Anonim.http://MujiburRohman.Blogspot.com/2010/06/Nyadran-Agung-JogjaTrip-html. Diakses 3 Maret 2015 jam 16.00 WIB


(24)

16

penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan do’a selametan.13

Jadi tradisi Nyadran dalam penelitian ini kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat dan akan diwariskan secara turun-temurun. Kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam perayaan bersih desa dan menziarahi makam atau tempat yang dianggap sebagai cikal bakal suatu desa, biasanya masyarakat menamakan tempat tersebut dengan sebutan pundhen yaitu makam cikal bakal desa setempat.

4. Ritual Selametan

Upacara di dalam antropologi sering di satu artikan dengan kata ritus atau ritual. Sebab hal kedua tersebut mengandung pengertian yang berhubungan dengan rangkaian tindakan manusia yang beragama. Di dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa upacara merupakan suatu tindakan yang menandai suatu kesucian.14

Menurut Koentjaraningrat pengertian upacara ritual atau ceremony adalah sistem aktifitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan.15

       13

Anonim.http://Nurmalita Sari.Blogspot.com/2012/12/Makna-dan-Objek-Tradisi-Jawa-html. Diakses 3 Maret 2015 jam 16.00 WIB

14

Hasan Shadily, Ensiklopedi ( Jakarta: Ikhtisar Vanhove, 1984), hlm. 3718


(25)

17

Selametan dalam masyarakat Jawa mempunyai arti tentang

suatu keadaan yang didambakan yaitu keadaan slamet yang oleh orang Jawa didefinisikan sebagai “gak ana apa-apa” − tidak ada apa-apa, atau lebih tepatnya “ tak ada sesuatu yang akan menimpa (seseorang).16

Jadi ritual selametan dalam penelitian ini adalah Nyadran sebagai sarana dan simbol (penolak bala) bagi masyarakat untuk mencari keselametan dan sebagai sarana ucapan syukur kepada Tuhan terhadap penghasilan masyarakat. Selametan berkaitan dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian dan setelah panen. Ritual selametan dilaksanakan berdasarkan aturan yang sudah diatur dan ditentukan oleh agama maupun adat dari suatu kelompok masyarakat tertentu.

H. Kerangka Pikir Penelitian

1. Teori Interaksionisme Simbolik

Kerangka pikir penelitian akan memberi panduan pada peneliti dalam melakukan penelitiannya. Serta memperketat data-data yang diperoleh nantinya. Dalam penelitian ini yang berjudul Makna Simbolik Tradisi “Nyadran” Pada Ritual Selametan Di Desa Balonggebang Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk, peneliti memaparkan secara skematik teoritis dengan alur pemikiran sebagai berikut :

       16

Geertz, Clifford. 1964. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Translated by Mahasin, Aswab. (Jakarta : PT. Pustaka Jaya, 1989), hlm. 18


(26)

18

Bagan 1.1

Kerangka Pikir Penelitian Makna Simbolik Tradisi Nyadran

Tradisi Nyadran

Tingkat Pendididikan, Latar Budaya, Latar Agama

Mitos dan Masyarakat

Makna Simbolik Tradisi Nyadran Teori Interaksionisme Simbolik

Proses Komunikasi Simbolik Simbol Komunikasi

Masyarakat Balonggebang

Interaksi Sosial

Bagan diatas merupakan gambaran kerangka pikir penelitian yang akan peneliti gunakan sebagai acuan penelitian. Sedikit penjelasan mengenai bagan diatas sebagai berikut, makna disini dapat ditinjau dari adanya nilai kultural dan mitos yang ada di sekitar masyarakat, nilai tersebut dapat dilihat dari segi religiusitas yakni pandangan masyarakat terhadap nilai suatu budaya dan tradisi yang ada dari tingkat pemahaman keagamaan, pengalaman maupun dari tingkat pendidikan masyarakat.

Dari tingkat pemahaman tersebut, selanjutnya terjadi interaksi dalam masyarakat sebagai perwujudan tentang pemahaman masyarakat mengenai nilai kultural yang ada, sehingga diperoleh makna dari masyarakat mengenai budaya dan tradisi. Proses tersebut saling terkait satu sama lain dan terjadi proses komunikasi simbolik yang terbentuk pada masyarakat, maka akan diperoleh pemahaman masyarakat mengenai makna budaya dan tradisi yang


(27)

19

ada dalam masyarakat. Proses inilah yang menguhubungkan individu satu dengan yang lain sehingga terbentuk interaksi sosial yang membantu masyarakat mengkomunikasikan makna budaya.

Dalam penelitian kali ini peneliti akan menggunakan teori Interaksionisme Simbolik. Teori yang dipakai oleh peneliti mengacu pada teori Interaksionisme Simbolik Blumer yang mengawali pemikirannya mengenai interaksi simbolik melalui tiga dasar pemikiran penting sebagai berikut:17

a. Manusia berperilaku terhadap hal-hal berdasarkan makna yang dimiliki hal-hal tersebut baginya.

b. Makna hal-hal itu berasal dari interaksi sosial yang pernah dilakukan dengan orang lain.

c. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.

Peneliti memilih teori Interaksionisme Simbolik ini karena dalam penelitian ini bertujuan untuk memperoleh makna simbolik tradisi nyadran

pada masyarakat desa Balonggebang. Makna diperoleh melaui interaksi sosial yang terjadi dalam kelompok-kelompok sosial yang ada di masyarakat yang kemudian diinterpretasikan berdasarkan pengalaman yang dimiliki.

       17

Margaret M. Paloma, Sosiologi Komtemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,


(28)

20

I. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian a. Pendekatan

Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi yang bermaksud memahami suatu peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu. 18

Pendekatan ini digunakan peneliti untuk melakukan penelitian mengenai tradisi, karena untuk mengetahui bagaimana masyarakat bisa mempertahankan tradisi ini dari masa ke masa yang semakin eksis meskipun perkembangan jaman semakin modern.

Pendekatan ini menitik beratkan pada observasi dan suasana alamiah. Peneliti bertindak sebagai pengamat. Hanya membuat kategori

informan yang akan dipilih dengan telaah dokumen yang akan

mempermudah peneliti mendapatkan informasi hasil data secara

utuh, mengamati gejalanya dan mencatatnya dalam buku observasi.

Sehingga data yang diperoleh dapat dianalisis dan dibuat kesimpulan yang nantinya penelitian ini dapat memberi manfaat kepada beberapa pihak.

b. Jenis Penelitian

Menurut Botgar dan Tailor, penelitian kualitatif adalah adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa       

18

Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung :Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 17


(29)

21

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.19

Sehingga dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif, peneliti mendeskripsikan wawancara mendalam terhadap subyek penelitian. Hasil wawancara berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari subyek penelitian, selanjutnya peneliti memberi makna secara kritis pada realitas yang dikontruksi subyek penelitian.

2. Subyek, Objek dan Lokasi Penelitian a. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ditentukan dengan teknik purposive

sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik penentuan

sampel dengan pertimbangan tertentu.20

Pertimbangan ini dalam menentukan siapa informan yang hendak diwawancarai agar tetap fokus dalam penelitian dan sesuai dengan tujuan penelitian. Karena peneliti hanya memilih orang-orang tertentu yang dianggap berdasarkan penelitian. Hal ini terjadi karena adanya penilaian pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh subyek itu sendiri. Informan adalah orang yang benar-benar tahu dan terlibat dalam penelitian tersebut. Informan dalam

       19

Suwandi Basrowi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.1. 20

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,


(30)

22

penelitian tradisi nyadran ditentukan oleh peneliti berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh informan.

Tabel 1.2

Daftar Informan Penelitian

No Nama Berusia Keterangan

1. Jamari 82 tahun Alasan peneliti menjadikan nama-nama

yang tertera disamping adalah informan desa setempat dan informan tersebut asli warga Desa Balonggebang, Gondang, Nganjuk. Peneliti juga menganggap bahwa informan tersebut merupakan masyarakat yang aktif melaksanakan tradisi Nyadran dan sebagian memiliki pengetahuan berkaitan dengan tradisi Nyadran, baik berdasarkan pengalaman ataupun wawasan yang dimiliki oleh informan tersebut.

2. Sukadi 60 tahun

3. M. Muslim 40 tahun

4. Juma’in 50 tahun

5. Sulaiman 64 tahun

6. Manirin 70 tahun

b. Obyek Penelitian

Obyek dalam penelitian ini adalah makna simbolik tradisi

nyadran, bagaimana proses komunikasi simbolik tradisi nyadran

dan bagaimana makna simbolik tradisi nyadran dikomunikasikan kepada masyarakat Desa Balonggebang.

c. Lokasi Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini adalah di desa Balonggebang Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk. Peneliti memilih lokasi tersebut karena tradisi nyadran di desa Balonggebang yang semakin eksis seiring dengan perkembangan jaman tetap dilestarikan terus menerus hingga sekarang bahkan cenderung semakin mendapatkan perhatian dari berbagai pihak sehingga makin ramai dikunjungi orang.


(31)

23

Penelitian ini dilakukan di Desa Balonggebang dengan pertimbangan bahwa masyarakat Desa Balonggebang masih melaksanakan tradisi “Nyadran” walaupun masyarakat telah memeluk agama Islam, Kristen tapi kepercayaan mereka adanya roh nenek moyang sebagai pelindung tetap berdampingan dengan keyakinan agama.

3. Jenis dan Sumber Data a. Jenis data

Dalam suatu penelitian diperlukan jenis data yang dapat digolongkan menjadi dua yakni:

1) Jenis Data Primer, yaitu diperoleh melalui sumber dimana biasanya dilakukan dalam dua cara yakni:

(a) Observasi

Penulis mengadakan pengamatan langsung terhadap objek penelitian.

(b) Indepth Interview (WawancaraMendalam)

Penulis melakukan wawancara mendalam secara langsung dengan pihak yang dianggap dapat memberikan (informan) dan berkompeten sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai informan inti adalah masyarakat yang tinggal di desa Balonggebang.


(32)

24

2) Jenis Data Sekunder

Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi pustaka dengan membaca literatur, buku-buku bacaan dan tulisan ilmiah yang berkaitan dan relevan dengan objek penelitian yang akan diteliti.

b. Sumber data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan dari informan, selebihnya adalah data tambahan seperti hasil wawancara dan lain-lain.21

1) Data Primer

Data primer adalah adalah sumber data yang berasal dari sumber data langsung dalam penelitian untuk tujuan tertentu. Dalam penelitian ini yang termasuk sebagai sumber data primer adalah dari hasil wawancara dengan masyarakat setempat.22

Peneliti melakukan proses wawancara dalam upaya menggali data atau informasi yang berkaitan dengan penelitian, peneliti hanya menggunakan alat bantu draf pertanyaan, buku tulis, bolpoint, untuk mencatat informasi yang disampaikan oleh informan yakni warga desa setempat.

       21

Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung; Remaja Rosda Karya, 2002) hlm. 122.

22 Ibid.


(33)

25

2) Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti.23 Data ini berupa studi kepustakaan.

Disini peneliti mencari data penelitian bersumber dari bahan bacaan yaitu dengan cara mempelajari melalui Internet dan buku-buku referensi tentang penelitian ini. Selain itu data sekunder ini berbentuk data yang sudah tersedia misalnya sejarah berdirinya desa Balonggebang, demografi, sosial ekonomi masyarakat dan berbagai literatur yang mendukung. Data sekunder ini untuk memperkuat data dan informasi penelitian yang telah ada.

4. Tahap-Tahap Penelitian

Dalam penelitian ini, ada 4 tahapan yang dilakukan oleh peneliti sebelum melakukan pengambilan data yaitu dengan prosedur :24

a. Tahapan Pra Lapangan

Pada tahap ini peneliti melakukan berbagai persiapan, baik yang berkaitan dengan konsep penelitian maupun persiapan perlengkapan yang dibutuhkan di lapangan. Diantaranya adalah menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian,

       23

Ibid, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 86 24

Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung; Remaja Rosda Karya, 2009) hlm. 127.


(34)

26

mengurus perizinan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah:

1) Menyusun Rancangan Penelitian

Pada tahap ini peneliti membuat usulan judul penelitian yang berbentuk dalam proposal penelitian yang sebelumnya telah didiskusikan dengan dosen pembimbing, untuk kemudian diseminarkan dengan beberapa dosen pendamping dan penguji. Proposal penelitian ini terdiri dari latar belakang, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian hasil penelitian terdahulu, definisi konsep, kerangka pikir, metode penelitian.

2) Memilih Lapangan Penelitian

Dalam hal ini peneliti mengambil lokasi penelitian di Desa Balonggebang Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk. 3) Mengurus Perizinan

Pertama-tama yang perlu diketahui oleh peneliti ialah siapa saja yang berwewenang memberikan izin bagi pelaksanaan penelitian. Tentu saja peneliti jangan mengabaikan izin meninggalkan tugas yang pertama-tama perlu dimintakan dari atasan peneliti sendiri, dan lain-lain.25

Pada tahap ini, peneliti mengajukan permohonan kepada Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi dan diberikan kepada       

25


(35)

27

kepala desa bersamaan dengan dilampirkan proposal penelitian, selama proses penelitian dan penggarapan laporan penelitian berlangsung.

4) Menjajaki dan Menilai Lapangan

Penjajakan dan penilaian lapangan akan terlaksana dengan baik apabila peneliti sudah membaca terlebih dahulu dari kepustakaan atau mengetahui melalui orang dalam tentang situasi dan kondisi daerah tempat penelitian dilakukan. Sebaiknya sebelum menjajaki lapangan, peneliti sudah mempunyai gambaran umum tentang geografi, demografi, sejarah, tokoh-tokoh, adat, istiadat, konteks kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan, agama, pendidikan, mata pencaharian, dan sebagainya. Hal tersebut akan membantu penjajakan lapangan.26

Dalam hal ini peneliti penjajakan lapangan membantu peneliti untuk mengenal segala unsure lingkungan sosiall, fisik dan keadaan alam. Dengan begini membantu peneliti untuk mempersiapkan diri, mental maupun fisik serta mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan untuk penelitian.

       26


(36)

28

5) Memilih dan Memanfaatkan Informan

Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Jadi ia harus mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian.27

Disini peneliti memilih dan memanfaatkan informan berdasarkan latar belakang sosial dan budaya, pendidikan, agama dan memiliki pengetahuan mengenai latar penelitian dan mempunyai pandangan tertentu tentang peristiwa yang terjadi, yakni mengenai tradisi nyadran di desa Balonggebang. 6) Menyiapkan Perlengkapan Penelitian

Peneliti hendaknya menyiapkan tidak hanya perlengkapan fisik, tetapi segala macam perlengkapan penelitian yang diperlukan.28

Pada tahap ini yang dilakukan oleh peneliti agar proses penelitian berjalan lancar terutama pada saat wawancara yaitu menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan seperti: Blocknote, Tape Recorder, dan sebagainya. Agar hasil wawancara tercatat dengan baik sehingga karyanya dapat didokumentasikan. b. Tahapan Lapangan

Pada tahap ini peneliti lebih fokus pada pencarian dan pengumpulan data dilapangan, serta mengamati segala bentuk       

27

Ibid, hlm. 132 28


(37)

29

aktivitas yang ada dilokasi penelitian. Sambil menulis catatan lapangan seperti tahap berikut ini :29

Dalam tahap ini pekerjaan lapangan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1) Memahami Latar Penelitian dan Persiapan Diri

Untuk memasuki pekerjaan lapangan, peneliti perlu memahami latar penelitian terlebih dahulu. Di samping itu, ia perlu mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun secara mental.30 Adapun yang dilakukan oleh peneliti disini yaitu mempersiapkan diri untuk melakukan penelitian terutama dalam hal wawancara harus mempersiapkan pedoman wawancara terlebih dahulu agar peneliti mempunyai gambaran kalimat pertanyaan apa saja yang akan peneliti ajukan.

Melakukan wawancara langsung dan observasi ke lokasi penelitian yakni di desa Balonggebang Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk, dengan informan yang telah ditentukan. 2) Memasuki Lapangan

Yakni mempererat hubungan dan mempelajari bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang berada pada latar

       29

Hidayat, Dedy N, 1999. “Paradigmadan Perkembangan Penelitian Komunikasi”, “Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Vol.III/April 1999, Jakarta: IKSI dan Remaja Rosdakarya. Hal. 73

30

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 137


(38)

30

penelitian.31 Disini peneliti melakukan pendekatan dengan warga sekitar dalam hal ini bertujuan agar saat peneliti mencari informasi tidak ada dinding pemisah antara peneliti dan informan yang menyebabkan sulitnya peneliti mendapatkan informasi.

3) Laporan Penelitian

Yakni dari hasil yang diperoleh penulis selama melakukan penelitian akan didokumentasikan dalam bentuk skripsi dengan menyusunnya secara sistematis dan ilmiah sesuai prosedur yang telah ditentukan.

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data yang dilakukan di lapangan harus menggunakan teknik maupun metode yang tepat dan releven dengan kondisi yang ada di lapangan. Penelitian ini dilakukan mulai tanggal 01 April 2015 sampai 30 April 2015 dengan teknik pengumpulan data berikut :

a. Teknik Observasi

Observasi atau pengamatan terlibat menurut Becker et al. adalah pengamatan yang dilakukan sambil sedikit banyak berperan serta dalam kehidupan orang yang diteliti. Pengamat terlibat mengikuti orang-orang yang diteliti dalam kehidupan sehari-hari

       31


(39)

31

mereka, melihat apa yang mereka lakukan, kapan, dengan siapa dan dalam keadaan apa, menanyai mereka mengenai tidakan mereka.32

Disini peneliti melakukan pengamatan terhadap realita yang terjadi di masyarakat. Peneliti melakukan pengamatan langsung pada objek penelitian untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai fakta dan kondisi di lapangan, selanjutnya membuat catatan-catatan hasil pengamatan tersebut.

b. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh data yang diinginkan dengan cara memberikan pertanyaan langsung dalam hal ini kepada informan. Di dalam wawancara itu, para narasumber sudah mengetahui kalau mereka sedang diwawancarai dan mengetahui apa maksud dari wawancara tersebut.33

Wawancara ini merupakan wawancara tatap muka antara peneliti dengan informan Peneliti melakukan serangkaian tanya jawab secara mendalam kepada masyarakat yang terlibat langsung dalam pelaksanaan tradisi nyadran. Peneliti mengajukan pertayaan terkait dengan fokus penelitian dengan menggunakan bahasa pertayaan yang mudah dipahami oleh informan berdasarkan latar belakang tingkat pengetahuan informan.

       32

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigama Baru Ilmu Komunikasi

dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006) hlm.163 33

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm.189.


(40)

32

c. Dokumentasi

Dokumentasi dari asal katanya dokumen yang artinya barang-barang tertulis. Dokumen adalah rekaman peristiwa yang lebih dekat dengan percakapan, menyangkut persoalan pribadi dan memerlukan interpretasi yang berhubungan sangat dekat dengan konteks rekaman peristiwa tersebut.34

Dokumentasi digunakan peneliti ketika mengumpulkan data, data-data dari dokumentasi berupa segala macam bentuk informasi yang berhubungan dengan penelitian yang dimaksud dalam bentuk tertulis atau rekaman suara. Mengenai hal-hal yang berupa catatan kegiatan dan rekaman suara. Dan foto-foto berbagai kegiatan yang dilakukan. Dokumentasi ini untuk membantu peneliti membuktikan kebenaran penelitian telah yang dilakukan.

6. Teknik Analisa Data

Miles and Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus pada tiap tahap penelitian hingga tuntas, dan datanya sampai jenuh. Aktivitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.35

Pada tahap pertama, temuan data dari hasil wawancara, observasi dan studi pustaka di kelompokkan. Setelah itu peneliti menyusun       

34

Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta:PT.RajaGrafindoPersada, 2001),

hal. 97. 35


(41)

33

catatan mengenai segala aspek yang berkaitan dengan proses penelitian termasuk tema dan data penelitian.

Selanjutnya peneliti menyusun rancangan konsep-konsep dari data yang dikumpulkan. Tahapan berikutnya adalah penyajian data. Pada tahap ini, peneliti mengorganisasikan data dengan menghubungkan data yang satu dengan yang lain hingga seluruh data yang dianalisis merupakan satu kesatuan. Data yang telah tersaji merupakan kelompok-kelompok data yang dikaitkan dengan kerangka teori yang digunakan.

Fase terakhir adalah penarikan dan pengujian kesimpulan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan prinsip induktif dengan mempertimbangkan pola data yang ada. Peneliti melakukan interpretasi terhadap data yang telah direduksi dan disajikan dengan mengeksplorasi teori yang relevan untuk selanjutnya menarik kesimpulan atas temuan penelitian. Kesimpulan dapat dikonfirmasi dan dipertajam untuk sampai pada kesimpulan final atas fenomena yang diteliti.

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Adapun teknik yang digunakan peneliti dalam pemeriksahan keabsahan data pada penelitin ini adalah sebagai berikut: 36

a. Meningkatkan Ketekunan

Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut       

36

Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 175-178


(42)

34

maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis.

Disini peneliti melakukan pengamatan selama proses upacara nyadran berlangsung sesuai dengan urutan-urutan kegiatan yang ada dalam tradisi nyadran dengan mendokumentasikan kegiatan tersebut.

b. Triangulasi sumber

Teknik pemeriksahan keabsahan data yang memanfaakan sesuatu yang lain diluar data itu. Dalam hal ini triangulasi dengan sumber sebagai penjelasan banding. Selain triangulasi dengan sumber sebagai pembanding terhadap sumber yang diperoleh dari hasil penelitian dengan sumber data lain.37

Dalam penelitian mengenai makna simbolik tradisi nyadran, peneliti mengumpulkan data dengan melakukan wawancara dari mereka yang sedang terjun dalam kegiatan nyadran. Data dari informan tersebut perlu dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, yang berbeda, dan yang spesifik dari tiga sumber data tersebut.

c. Menggunakan bahan referensi

Yang dimaksud dengan bahan referensi di sini adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti berupa adanya rekaman wawancara.

       37

Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004), hlm. 176-178


(43)

35

Disini peneliti harus menyertakan data wawancara mengenai tradisi nyadran berupa rekaman guna mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

J. Sistematika Penelitian

BAB I : PENDAHULUAN. Dalam bab ini meliputi konteks penelitian, rumusan masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian hasil penelitian terdahulu, definisi konsep, kerangka pikir penelitian, dan metode penelitian, yang didalamya membahas tentang pendekatan dan jenis penelitian, jenis dan sumber data, tahap-tahap penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi mengenai teori dari buku-buku yang ditemukan peneliti guna mendukung judul dari penelitian ini dan model metodologi penelitian yang diterapkan dalam menganalisa data.

BAB III : GAMBARAN UMUM. Dalam bab tiga penelitian ini, akan digambarkan data-data dari tradisi nyadran di Desa Balonggebang Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk yang ditemukan peneliti dari sumber-sumber pendukung.

BAB IV : HASIL PENELITIAN. Bab keempat dalam laporan penelitian ini berisi mengenai penjelasan hasil penelitian


(44)

36

yang diperoleh peneliti dan dikaitkan dengan teori Interaksionisme Simbolik.

BAB V : PENUTUP. Dalam bab ini membahas tentang simpulan dan rekomendasi.

DAFTAR PUSTAKA : Bagian ini berisi buku-buku dan sumber-sumber lain yang diperoleh peneliti guna memperoleh data, dan mendukung pengumpulan data yang lengkap atas penelitian ini.

K. Jadwal Penelitian

No. Kegiatan

Waktu Pelaksanaan

Pebruari Maret April Mei Juni Juli

1 Pengajuan Judul

Skripsi

2 Penyusunan

Proposal

3 Bimbingan

Proposal

4 Ujian Proposal

5 Revisi Proposal

6 Pengumpulan

Data

7 Pengolahan dan

Analisis Data

8 Bimbingan

Skripsi

9 Penyusunan


(45)

 

BAB II

KAJIAN TEORITIS TENTANG MAKNA SIMBOLIK TRADISI NYADRAN PADA RITUAL SELAMETAN

A. Kajian Pustaka

1. Tradisi Nyadran dan Mitos Masyarakat

Penduduk Indonesia terdiri atas bermacam- macam keturunan, ras maupun bangsa. Oleh sebab itu dari masyarakat satu dan masyarakat lainnya memiliki perbedaan budaya sesuai mata pencaharian. Oleh karena itu Indonesia memiliki baragam kebudayaan, salah satunya adalah tradisinyadran.

Nyadran merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur. Dalam ritual nyadran ada dua tahap yaitu tahap selametan dan tahap ziarah. Pada tahap selametan biasanya orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.38 Kebiasaan menyembah arwah orang mati, terutama arwah para leluhur atau apa yang disebut cikal

bakal, pendiri desa semula, memainkan peranan yang penting secara

       38

Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam, (Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta, 1995), hlm. 246-247.


(46)

38

religious. Yang sama pentingnya ialah penghormatan kepada kuburan-kuburan suci yang disebut kramat.39

Tradisi nyadran merupakan kebudayaan yang telah berkembang di masyarakat yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat yang masih mempercayai dan melaksanakan tradisi nyadran secara rutin. Tradisi Nyadran menjadi rutinitas sebagian besar masyarakat Jawa setiap tahun pada bulan dan hari yang telah ditentukan.Tradisi nyadran hakekatnya adalah simbol yang mewakili kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat.

Tradisi nyadran sudah ada pada masa Hindu-Budha sebelum agama Islam masuk di Indonesia. Zaman kerajaan Majapahit tahun 1284 ada pelaksanaan seperti tradisi nyadran yaitu tradisi craddha. 40 Kesamaan dari tradisi tersebut pada kegiatan manusia dengan leluhur yang sudah meninggal seperti sesaji dan ritual sesembahan untuk penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal.41 Tradisi nyadran

merupakan sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa selamatan.

Pelaksanaan tradisi nyadran pada masa Hindu-Budha menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagai perlengkapan ritualnya sedangkan oleh walisongo diakulturasikan dengan doa-doa dari Al-      

39

Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, Terjemahan: Sukarsi (Jakarta : INIS,

1988), hlm. 31 40

Anonim.http://NovianaWijayati.Blogspot.Com/2011/04/tradisi-Nyadran-sebagai-Transformasi-Agama-soaial-dan-Budaya-html. Diakses pada 25 Juni jam 17.00 WIB.

41

Suyitno. 2001. Mengenal Upacara Tradisional Masyarakat suku Tengger. Satu Buku.


(47)

39

Quran. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya.Karena pengaruh agama Islam pula makna nyadran mengalami pergeseran sebagai upaya untuk berdoa kepada Tuhan. Oleh karena itu pelaksanaan ziarah kubur juga dimaksud sebagai sarana intropeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama satu tahun.

Upacara tradisional nyadran disebarkan dan diwariskan secara turun temurun dari suatu generasi ke generasi yang lain, oleh karena itu tradisi ini dapat digolongkan dalam bentuk folklor. Menurut Danandjaja folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja,secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. 42 Sedangkan menurut John Harold Bruvant (melalui Danandjaja) berdasarkan tipenya folklor dapat digolongkan dalam tiga kelompok :43

a. Folklor lisan, yaitu folklor yang bentuknya murni lisan, misalnya ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat.

       42

James Danandjaja, Folklor Indonesia Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 2.

43


(48)

40

b. Folklor sebagian lisan, yaitu folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan, misalnya kepercayaan rakyat, permainan rakyat, adat-istiadat, upacara dan pesta rakyat.

c. Folklor bukan lisan, yaitu folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor ini ada yang berbentuk material dan nonmaterial. Yang berbentuk material bisa berupa arsitektur rakyat, kerajinan tangan, pakaian serta perhiasan adat, makanan, alat musik, dan senjata.

Berdasarkan penggolongan di atas, upacara tradisional nyadran

termasuk folklor sebagian lisan karena di dalamnya terdapat bentuk foklor lisan, yaitu doa-doa yang digunakan dalam upacara dan juga terdapat bentuk folklor bukan lisan berupa ubarampe dalam upacara tersebut.

Konsepsi dasar Jawa mengenai dunia gaib (dunia yang tak nampak) didasarkan pada gagasan bahwa semua perwujudan dalam kehidupan disebabkan oleh makhluk berfikir yang berkepribadian yang mempunyai kehendak sendiri. Gagasan animis ini dapat dirumuskan demikian : segala sesuatu dalam alam, di dunia hewan dan tetumbuhan, apakah besar atau kecil, mempunyai nyawanya sendiri.44

       44

Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, Terjemahan: Sukarsi (Jakarta : INIS,


(49)

41

Roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya disebut

hyang atau yang yang berarti “tuhan”. Tuhan dalam bahasa Jawa

terkadang dinamakan Hyang Maha Kuwasa (Tuhan Yang Maha Kuasa). Tak seorang pun dapat menghitung jumlah para yang.Diantaranya terdapat danyang desa (roh pelindung desa). Orang Jawa menganggap bahwa setiap desa mempunyai roh pelindung sendiri yang tinggal dalam sebatang pohon yang rindang. Penduduk membayangkan bahwa roh-roh itu sudah tinggal di tempat tersebut sebelum tanah itu dibersihkan untuk pembangunan desa bersangkutan. 45

Masyarakat khususnya di pulau Jawa yang masih melestarikan tradisi penghormatan nenek moyang dalam bentuk perayaan tradisi nyadran memiliki ikatan yang erat dengan alam. Itu juga sebabnya mereka sangat memperhatikan kejadian-kejadian alam sekitar sebagai pertanda bagi kejadian-kejadian lain. Oleh karena itu sebagian masyarakat meyakini jika tidak melaksanakan upacara maupun tradisi yang merupakan adat akan ada bahaya maupun bencanayang terjadi di masyarakat tersebut, biasa masyarakat menyebutnya sebagai mitos. Hal ini karena masyarakat memiliki sistem budaya tersendiri yang sudah begitu mengakar kuat.

Mitos dalam konteks budaya Jawa bukan sekedar dongeng. Mitos pada kebudayaan Jawa menjadi referensi semua tindakan dan sikap dalam kehidupan masyarakat Jawa. Tindakan yang dimaksud adalah       

45


(50)

42

dalam hal spiritual religius, bukan tindakan sehari-hari. Mitos mengandung suatu kebenaran yang tidak boleh diganggu gugat, harus diikuti, baik suka ataupun tidak suka.

Sistem kepercayaan dari suatu masyarakat meliputi semua aspek kesadaran, gagasan, pengetahuan, cerita rakyat/pengetahuan, takhayul, dan legenda yang ada dalam masyarakat. Mitos dan dongeng adalah suatu bagian yang sangat penting dari dongeng-dongeng yang ada dalam masyarakat. Mereka menyediakan suatu dasar untuk berkesinambungan hidup masyarakat dan budaya. Melalui mereka dunia memberikan suatu arti. Mitos dan legenda adalah bagian yang nyata dari sistem kepercayaan.46

Banyak orang desa yang ingin mendapat berkah atau minta perlindungan terhadap bencana, mengantarkan saji-sajian berupa kemenyan dan bunga ke tempat sajian pohon besar tersebut serta mengemukakan kesulitannya dan kebutuhannya akan perlindungan kepada danyang desa. Bukan hanya desa yyang ada danyangnya melainkan juga sawah, pasar, gedung-gedung besar dan sebagainya. Tempat-tempat yang dikuasai oleh danyang dan tidak dapat dihuni atau dimasuki oleh manusia disebut angker dalam bahasa Jawa yang artinya “tak dapat didekati”.47

       46

A. M. Moefad, Perilaku Individu Dalam Masyarakat, (Jombang: el-Deha Press, Fakultas Dakwah IKAHA, 2007), hlm. 49

47

Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, Terjemahan: Sukarsi (Jakarta : INIS,


(51)

43

Mitos merupakan sesuatu hal yang dipercayai oleh sebagian orang, biasa dipakai untuk menakut-nakuti, memberi peringatan, ataupun diceritakansecara berkelanjutan. Semua mitos yang ada di dunia, merupakan mitos yang telah ada sejak zaman nenek moyang, dikarenakan cerita yang terus bergulir, atau bisa saja sesuatu mitos berubah dikarenakan zaman yang terus berkembang. Bagi sebagianorangmitos merupakan sesuatu yang sudah jarang dipercaya, tapi masih juga ada yang percaya tentang mitos-mitos tertentu dan terus bergulir sampai sekarang.

2. Ritual Selametan sebagai Bentuk Kebudayaan Masyarakat

Ibadah orang Jawa meliputi upacara perjalanan, penyembahan roh halus, upacara cocok tanam dan tata cara pengobatan yang semuanya berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok dalam agama orang Jawa tradisional ialah selametan (selamatan, kenduri). Ini merupakan acara agama yang paling umum dan melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam selametan itu.48

Selametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacarakeagamaan yang paling umum di dunia. Ia melambangkan kesatuan mistis dan sosial yang mereka anut di dalamnya. Tradisi ini merupakan semacam wadah bersama masyarakat yangmempertemukan berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan dengan       

48


(52)

44

suatu cara memperkecil ketidakpastian, ketegangan dan konflik atau setidak-tidaknya dianggap berbuat demikian.49

Selametan dan lambang-lambang yang mengiringinya memberikan gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara kepercayaan masyarakat Jawa yang animis dan Buddhis-Hindu dengan unsur Islam serta membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan. Adapun selametan diadakan pada hampir setiap kesempatan yang mempunyai arti upacara bagi orang Jawa, seperti kehamilan, kelahiran, pengkhitanan, perkawinan, kematian, hari raya Islam resmi, seperti Lebaran, Muludan

(Maulid Nabi Muhammad SAW), upacara panen, dan lain sebagainya. Jika seseorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa apapun yang berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak memperoleh berkah atau minta perlindungan dari bencana, maka selametan harus diadakan.50

Adanya ritual selamatan atau merupakan suatu upaya manusia untuk mencari keselamatan, ketentraman dan sekaligus menjaga kelestarian alam. Selamatan ini pada hakikatnya merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia dan melambangkan kesatuan mistis dan sosial dari mereka yang ikut hadir didalamnya.

Aktifitas selamatan atau upacara ini merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara dunia bawah (manusia) dengan dunia       

49

Clifford Geertz, The Religin Of Java, diterjemakan oleh Aswab Mahasin, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya,1989), hlm. l3

50


(53)

45

atas (makhluk halus atau Tuhannya). Melalui selamatan maupun sesaji maka diharapkan bisa menghubungkan manusia dengan dunia atas, dengan leluhur, roh halus dan Tuhannya. Melalui perantara ini leluhur, roh halus dan Tuhannya akan memberi berkah keselamatan manusia di dunia.

Istilah selametan rupanya telah lama populer dan telah menjadi sistem simbol yang dikembangkan oleh para peneliti untuk menjelaskan makna dibalik simbol itu. Dalam prakteknya, selametan menggunakan empat siklus upacara; (1) Selametan dalam rangka lingkaran hidup seseorang. Seperti; hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara untuk anak yang baru turun tanah (dapat berjalan), sunatan, kematian, serta saat setelah kematian, (2) Selametan yang berkaitan dengan bersih desa

(Nyadran), penggarapan tanah pertanian dan setelah panen, (3)

Selametan yang berhubungan dengan hari-hari dan bulan-bulan Islam, dan (4) Selametan pada saat-saat tertentu; berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti melakukan perjalanan jauh, menempati rumah baru, menolak bahaya (ngruwat), bernadzar kalau sembuh sakit (Kaul).51 Selain itu, bentuk selametan digunakan masyarakat sebagai sarana untuk meningkatkan komunikasi untuk mempererat hubungan dengan sesama.

Menurut Geertz dalam bukunya Religious Belief menjelaskan bahwa tujuan utama selametan ialah mencari keadaan slamet (selamat), dalam arti tidak terganggu oleh kesulitan alamiah atau ganjalan gaib.       

51


(54)

46

Dalam selametan orang Jawa bukan minta kesenangan atau tambahan kekayaan, melainkan semata-mata agar jangan terjadi apa-apa yang dapat membingungkan atau menyedihkan, yang memiskinkan atau menjadikan sakit.Juga menjadi tujuan orang yang mengadakan selametan agar terhindar dari perasaan hendak menyerang orang lain, atau dari gangguan emosional.52

Ritual Selametan sebagai bentuk kebudayaan masyarakat yang diwariskan turun-temurun secara lisan maupun bukan lisan yang disertai dengan gerak isyarat. Berbicara tentang ritual selametan yang tidak dapat dilepaskan dari konteks kebudayaan, maka selametan merupakan bagian dari tujuh unsur kebudayaan yang disebut cultural universal yang terdiri atas (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian, (6) sistem religi, dan (7) kesenian. (Kluckhohn melalui Koentjaraningrat).53

Menurut Koentjaraningrat sistem upacara religi mengandung empat komponen pokok atau utama yang harus ada dalam rangkaian upacara, yaitu (1) tempat pelaksanaan upacara, (2) saat atau waktu pelaksanaan upacara, (3) benda-benda pusaka dan perlengkapan upacara, dan (4) orang-orang yang bertindak sebagai pelaksana upacara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa selain empat komponen utama tersebut dalam upacara adat terdapat juga kombinasi dari berbagai unsur, seperti berdoa,       

52

Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, Terjemahan: Sukarsi (Jakarta : INIS,

1988), hlm. 30 53

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm.


(55)

47

bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari, menyanyi, berprosesi, berseni, berpuasa, bertapa, dan bersemedi.54

Clifford Geertz memandang kebudayaan sebagai system simbol

yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik.55

3. Hubungan Manusia, Simbol Budaya dan Religi

Sedemikian tak terpisahkannya hubungan antara manusia dengan kebudayaan, sampai disebut makhluk budaya. Kebudayaan sendiri terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan manusia, sehingga tidaklah berlebihan jika ada ungkapan, “Begitu eratnya kebudayaan manusia dengan simbol-simbol, sampai manusia pun disebut makhluk dengan simbol-simbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis.”

Setiap orang, dalam arti tertentu, membutuhkan sarana atau media untuk berkomunikasi. Media ini terutama ada dalam bentuk-bentuk simbolis sebagai pembawa maupun pelaksana makna atau pesan yang akan dikomunikasikan. Makna atau pesan sesuai dengan maksud pihak komunikator dan (diharapkan) ditangkap dengan baik oleh pihak lain. Hanya perlu diingat bahwa simbol-simbol komunikasi tersebut adalah kontekstual dalam suatu masyarakat dan kebudayaannya.

       54

Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1985),

hlm. 240. 55

Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm.84


(56)

48

Dikatakan Geertz bahwa kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melaui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah sistem dari konsep-konsep yang diwariskan dan diungkapkan dalam bentuk-bentuk simbolik melalui mana manusia berkomunikasi,mengekalkan dan memperkembangkan pengetahuan tentang kehidupan ini dan bersikap terhadap kehidupan ini.56

Nilai budaya lokal biasanya terealisasi dalam kondisi kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebuah penelitian dari Nur Syam (2005) menegaskan bahwa tradisi keagamaan lokal (terutama Islam) merupakan buah dari proses sinkretis dan akulturatif. Artinya, sebuah tradisi lokal akan senantiasa memberikan pengaruh terhadap ajaran keagamaan yang berkembang, sekaligus simbol-simbol keagamaan yang memberikan pengaruh di masyarakat tersebut.

Pengetahuan kebudayaan lebih dari suatu kumpulan simbol, baik istilah-istilah takyat maupun jenis-jenis simbol lain. Semua simbol, baik kata-kata yang terucapkan, sebuah objek seperti sebuah bendera, suatu gerak tubuh seperti melambaikan tangan, sebuah tempat seperti masjid atau gereja, atau suatu peristiwa seperti perkawinan, merupakan bagian-bagian suatu sistem simbol. Simbol adalah objek atau peristiwa apa pun yang menunjuk pada sesuatu. Simbol itu meliputi apa pun yang dapat dirasakan atau dialami.

       56


(57)

49

Bahkan, kekuatan sebuah agama dalam menyangga nilai-nilai sosial, menurut Geertz (1992:57), terletak pada kemampuan simbol-simbolnya untuk merumuskan sebuah dunia tempat nilai-nilai itu, dan juga, kekuatan-kekuatan yang melawan perwujudan nilai-nilai itu, menjadi bahan-bahan dasarnya. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun sebuah gambaran kenyataan.

4. Simbolik dan Pemahaman Pesan Komunikasi Ritual

Banyak cara untuk berkomunikasi, yakni berbicara atau menggunakan kata-kata, gambar, simbol, tulisan, bahasa isyarat dan lain-lain, merupakan sarana untuk berkomunikasi antarmanusia. Namun manusia mempunyai cara yang fantastik untuk berkomunikasi sesuai dengan budaya masing-masing. Adat maupun kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara turun temurun dengan menggunakan simbol-simbol khusus yang mereka percayai juga menjadi cara mereka dalam berinteraksi.

Kebutuhan dasar yang memang hanya ada pada manusia, adalah kebutuhan akan simbolisasi. Fungsi pembentukan simbol ini adalah satu diantara kegiatan dasar manusia, seperti makan, melihat dan bergerak. Ini adalah proses fundamental dari pikiran, dan berlangsung setiap waktu. Prestasi-prestasi manusia bergantung pada penggunaan simbol-simbol. (Susanne K Langer).57

       57

Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antarbudaya Satu Perspektif Multidimensi, (Jakarta:


(58)

50

Manusia akan menciptakan dan menggunakan simbol untuk keluar dari suasana yang kacau balau, menjelaskan untuk kelauar dari keraguan, dan memprediksi untuk keluar dari misteri. Diantara bentuk-bentuk simbolis yang utama digunakan manusia adalah mitos, acara keagamaan, upacara-upacara, cerita dongeng, cerita, humor dan permainan.58

Simbol dalam komunikasi ritual ini berfungsi sebagai simbolisasi untuk ide-ide dan penilaian atas keramah-tamahan, perayaan, dan persahabatan. Jadi bukan menjadi alat untuk tujuan tertentu. Pesan yang disampaikan dalam komunikasi ritual biasanya bersifat tersembunyi (laten) dan bermakna ganda (ambigu), tergantung pada hubungan dan simbol yang tersedia dalam sebuah kebudayaan, bukan simbol yang dibuat oleh partisipan komunikasi. Medium dan pesan dalam komunikasi ritual umumnya susah dipisahkan. Artinya, medium itu sendiri bisa menjadi pesan, karena bagi sebuah kebudayaan medium itu bisa memiliki makna tertentu.59

Pesan dalam hal ini adalah susunan simbol yang penuh arti tentang orang, objek, kejadian yang dihasilkan oleh interaksi dengan orang. Untuk berkomunikasi seseorang harus sanggup menyusun suatu gambaran mental, member gambaran itu nama dan mengembangkan suatu perasaan terhadapnya. Komunikasi tersebut efektif kalau pesan       

58

Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi,(Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 61. 59

Brent D. Ruben dan Lea P. Stewart, Komunikasi dan Perilaku Manusia, Terjemahan: Ibnu Hamad, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm. xv


(59)

51

yang dikirimkan itu diartikan sama dengan apa yang dimaksudkan oleh si pengirim. Simbol-simbol yang digunakan dalam pesan dapat berupa verbal dan nonverbal.60

Pesan dalam komunikasi dapat disampaikan melalui lambang atau simbol verbal maupun non-verbal.61 Simbol verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai perangkat simbol dengan aturan untuk mengombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas atau kelompok.

Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud yang ada dalam hati seseorang. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual seseorang. Konsekuensinya kata-kata adalah abstraksi realitas yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata-kata itu.62

Pada dasarnya kehadiran manusia terhadap manusia lainnya ditandai oleh perilaku, dan perilaku itu bersifat komunikatif. Artinya komunikasi tidak bisa diletakkan pada situasi tertentu saja, karena semua perilaku tidak hanya berdasarkan kata-kata yang dapat menunjukkan adanya proses komunikasi, bahkan tanpa berkatapun manusia sudah       

60

Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi,(Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm.68-69. 61

Deddy Mulyana, Komunikasi Antarbudaya, (Bandung: Remaja Rosda Karya,2000), hlm. 12

62

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja


(60)

52

dapat melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh, perilaku, yang sering disebut sebagai komunikasi nonverbal, komunikasi juga merupakan hal yang sangat mendasar dalam proses sosial atau masyarakat, dan komunikasilah yang menghubungkan manusia satu dengan yang lain dalam situasi tertentu terdapat suatu interaksi.63

Dari asumsi diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian komunikasi nonverbal dalam konteks penelitian ini menurut penulis adalah komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan bahasa isyarat (bahasa tubuh), perilaku, tanda atau simbol yang disebut nonverbal. Biasanya komunikasi nonverbal ini sering digunakan manusia di saat dia mengungkapkan tingkah laku yang dilakukan.

5. Komunikasi Melibatkan Penerimaan dan Penciptaan Pesan serta Mengubahnya Menjadi Informasi yang Dapat Digunakan

Adalah melalui proses menciptakan dan menafsirkan pesan yang membuat kita dapat berinteraksi satu dengan yang lain dan dengan lingkungan sekitar kita. Sebuah pesan adalah simbol atau kumpulan simbol yang memilki arti atau kegunaan. Pesan mungkin melibatkan aturan bahasa verbal dalam bentuk ucapan atau tulisan, atau aturan bahasa nonverbal seperti penampilan, gerak tubuh, sentuhan, atau cara lainnya.

       63

Alo Liliweri, Komunikasi Verbal Maupun Nonverbal, (Bandung: Citra Aditya Bakti,


(1)

 

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Dari berbagai data dan fakta yang sudah diperoleh dari lapangan dan dikonfirmasikan dengan teori-teori yang menjadi acuan peneliti, dengan demikian dapat diperoleh beberapa kesimpulan mengenai beberapa hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Kesimpulan-kesimpulan ini meliputi makna tradisi Nyadran, komunikasi simbolik dalam tradisi Nyadran dan makna simbolik tradisi Nyadran dikomunikasikan kepada masyarakat desa Balonggebang.

1. Komunikasi simbolik yang terjadi pada masyarakat desa Balonggebang dalam tradisi nyadran ditunjukkan melalui proses belangsungnya upacara nyadran. Dalam perkembangannya, tradisi Nyadran masih dilakukan di desa Balonggebang hingga sekarang ini telah mengalami banyak perubahan jika dibandingkan dengan tradisi Nyadran yang dilakukan di masa lampau. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh simbolisasi dan akulturasi nilai keIslaman yang diyakini oleh masyarakat setempat.

2. Dalam tradisi Nyadran terdapat pemakaian simbol komunikasi verbal dan nonverbal. Simbol komunikasi verbal berupa ungkapan dan do’a. Sedangkan simbol komunikasi nonverbal berupa tindakan, makanan,


(2)

114

sesajian dan isyarat lainnya. Semua simbol-simbol tersebut memiliki makna simbol yang terkandung di dalamnya.

3. Makna tradisi Nyadran bagi masyarakat desa Balonggebang adalah jembatan antara hubungan dengan sesama, para leluhur, dan Yang Mahakuasa. Tradisi Nyadran dimaknai sebagai sedekah bumi, sebagai bentuk syukur atas melimpahnya hasil bumi. Nyadran adalah media dan usaha agar masyarakat desa Balonggebang diberikan keselamatan, mendapat berkah hidup dan peningkatan perekonomian, seperti dalam penggarapan lahan pertanian, perdagangan dan jenis-jenis usaha lainnya.

4. Tradisi Nyadran dikomunikasikan kepada masayarakat melalui :

a) Komunikasi Verbal : Dalam kehidupan masyarakat desa Balonggebang tradisi nyadran telah disakralkan sejak jaman nenek moyang. Adanya faktor dorongan dari semua pihak, (masyarakat dan pemerintah) untuk senantiasa melaksanakan tradisi ini agar tradisi nyadran nantinya tidak akan hilang oleh arus perkembangan zaman.

b) Komunikasi Non Verbal : Tradisi nyadran diwariskan pada generasi muda melalui bentuk perayaan yang meriah.

c) Mitos Masyarakat : Dipercaya jika tidak melakukan tradisi Nyadran akan ada bahaya di desa Balonggebang.


(3)

115

B. Rekomendasi

Dari hasil penelitian dan uraian di atas, maka peneliti memberikan beberapa saran yang mungkin bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi beberapa pihak, seperti:

1. Pemerintah

Dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada pelaksanaan tradisi Nyadran, diharapkan agar pemerintah bijak untuk membantu agar tradisi Nyadran tetap dilestarikan sehingga tidak hilang oleh modernisasi.

2. Masyarakat Desa Balonggebang

Menjadi suatu keharusan bahwa makna yang terkandung dalam tradisi Nyadran agar terus dijaga dan disosialisasikan kepada generasi muda agar mampu dipahami oleh semua pihak mengapa tradisi ini selalu dilaksanakan sehingga tradisi ini dapat terus berjalan tanpa kehilangan maknanya.

3. Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi

Mahasiswa sebagai generasi penerus sudah seharusnya mampu menjaga dan mempertahankan warisan budaya khususnya tradisi Nyadran. Tradisi suatu budaya akan menambah kajian komunikasi yang berhubungan dengan makna yang disampaikan melaui interaksi dan simbol komunikasi yang dihasilkan terutama dalam menjaga keaslian budaya di daerah masing-masing.


(4)

 

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Basrowi, Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta. Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Effendy, Onong Uchjana. 2009. Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.

Fisher, B. Aubrey. 1986. Teori-Teori Komunikasi: Perspektif Mekanistis, Psikologis, Interaksional, dan Pragmatis, Penyunting: Jalaluddin Rakhmad. Bandung: Penerbit Remadja Karya CV.

Geertz, Clifford. 1964. The Religin Of Java. Translated by Mahasin Aswab. 1989.

Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT. Pustaka Jaya.

Hidayat, Dedy N, 1999. “Paradigmadan Perkembangan Penelitian Komunikasi”, “Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Vol.III/April 1999. Jakarta: IKSI dan Remaja Rosdakarya.

Koentjaraningrat. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

...---... 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. ...---... 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Liliweri, Alo. 1994. Komunikasi Verbal Maupun Nonverbal. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Moefad, A. M. 2007. Perilaku Individu Dalam Masyarakat. Jombang: el-Deha Press, Fakultas Dakwah IKAHA.

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung; Remaja Rosda Karya.


(5)

 

……..---….. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung; Remaja Rosda Karya.

…....---…… 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Muchtarom, Zaini. 1988. Santri dan Abangan di Jawa, Terjemahan: Sukarsi. Jakarta : INIS.

Muhammad, Arni. 2005. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Mulyana, Deddy. 2000. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Remaja Rosda Karya.

…....---……. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Rosda Karya. ……---…… dan Jalaludin Rakhmat. 2005. Komunikasi Antar Budaya.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

…....---……… 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigama Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. …....---…… 2010. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Paloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Komtemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Partokusumo, Karkono Kamajaya. 1995. Kebudayaan Jawa dan Perpaduannya dengan Islam. Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Ritzer, George. 2004. Teori Sosiologi. Bantul: Kreasi Wacana.

Ruben, Brent D. dan Lea P. Stewart. 2013. Komunikasi dan Perilaku Manusia.

Terjemahan: Ibnu Hamad. Jakarta : Rajawali Pers.

Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada Media Group.

Shadily, Hasan. 1984. Ensiklopedi. Jakarta: Ikhtisar Vanhove.

Sihabudin, Ahmad. 2011. Komunikasi Antarbudaya: Suatu Perspektif Multidimensi. Jakarta: Bumi Aksara Edisi 1 Cetakan 2.


(6)

 

...----... 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D.

Bandung: Alfabeta.

Suyitno. 2001. Mengenal Upacara Tradisional Masyarakat Suku Tengger. Tengger : Satu Buku.

Syam, Nur. 2007. Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS.

Vardiansyah, Dani. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia. West, Richard dan Lynn H. Turner. 2009. Pengantar Teori Komunikasi, Analisis

dan Aplikasi Edisi 3, Buku 1, Penerjemah: Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta : Salemba Humanika.

Sumber Internet :

Anonim.http://MujiburRohman.Blogspot.com/2010/06/Nyadran-Agung-JogjaTrip-html. Diakses 3 Maret 2015 jam 16.00 WIB

Anonim.http://Nurmalita Sari.Blogspot.com/2012/12/Makna-dan-Objek-Tradisi-Jawa-html. Diakses 3 Maret 2015 jam 16.00 WIB