Praktek penyelesaian formal dan informal masalah pertanahan, kewarisan dan perwalian pasca tsunami di banda aceh dan aceh besar

(1)

PASCA TSUNAMI DI BANDA ACEH DAN ACEH BESAR

Laporan Penelitian

INTERNATIONAL DEVELOPMENT LAW ORGANIZATION (IDLO) Post-Tsunami Legal Assistance Initiative for Indonesia

Dr. Arskal Salim

BANDA ACEH June 2006


(2)

i

Laporan penelitian ini adalah produk kegiatan yang dilaksanakan oleh International Development Law Organization (IDLO) melalui program ‘Post-Tsunami Legal Assistance Initiative in Indonesia’ di Aceh. Laporan ini disusun berdasarkan penelitian lapangan di 12 gampong di Banda Aceh dan Aceh Besar yang dilakukan oleh tim peneliti IDLO yang terdiri dari Dr. Arskal Salim, Muzakkir Abubakar SH.,SU., dan Ernita Dewi S.Ag., M.Hum. Untuk itu, tim peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada segenap informan yang berprofesi sebagai geuchik, imam meunasah, sekretaris gampong, kepala dusun dan warga gampong. Selain itu, tim peneliti juga ingin menghaturkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada sejumlah narasumber yang terdiri dari pakar hukum dan dosen perguruan tinggi (UNSYIAH dan IAIN Ar-Raniry), Ketua Mahkamah Syar’iyah Nanggroe Aceh Darussalam, segenap jajaran hakim Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh dan Jantho, dan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) yang telah meluangkan waktu mereka untuk kepentingan penelitian ini dan keikutsertaan mereka dalam kegiatan workshop hasil penelitian yang diadakan pada tanggal 30 Mei 2006 di Auditorium Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Penulisan laporan ini dikerjakan oleh Dr. Arskal Salim. Penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Erica Harper, Chief of Party IDLO Banda Aceh yang telah memberi masukan yang berharga dalam proses penulisan draft awal naskah ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Rusydi Ali Muhammad SH., guru besar Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry, yang telah sudi membaca draft awal naskah ini dan memberikan beberapa catatan yang perlu.


(3)

ii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Gempa dan Tsunami tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan dampak yang sangat dahsyat. Bukan saja ratusan ribu jiwa yang melayang dan kerugian materiel yang tak pernah terbayangkan, tetapi juga menimbulkan puluhan ribu anak yatim piatu. Dampak utama dari peristiwa ini yang bertalian langsung dengan hukum dan keluarga adalah munculnya bermacam-macam persoalan di bidang tanah, kewarisan dan perwalian.

International Development Law Organization sejak akhir tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2006 telah melaksanakan dua kali penelitian mengenai masalah hukum pasca Tsunami di Aceh. Hasil penelitian yang ada di tangan pembaca saat ini adalah penelitian lapangan di 12 gampong di Banda Aceh dan Aceh Besar yang dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2006. Penelitian ini lebih memfokuskan pada aspek praktis penyelesaian formal dan informal masalah pertanahan, kewarisan dan perwalian pasca Tsunami di wilayah tersebut. Hasil penelitian ini telah dipresentasikan di Mahkamah Syar’iyah pada tanggal 30 Mei 2006 dan dihadiri oleh sejumlah pakar hukum adat Aceh, para hakim tinggi Mahkamah Syar’iyah NAD, dan segenap hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho.

Penelitian ini menemukan bahwa kasus persengketaan hak atas tanah yang terkait erat dengan situasi pasca Tsunami tampaknya lebih sering diselesaikan pada tingkat gampong oleh pemuka adat. Hal ini terbukti dengan hampir tidak adanya perkara tersebut yang masuk ke Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Syar’iyah (MS) di Banda Aceh dan Aceh Besar hingga akhir tahun 2005. Masalah tanah yang diselesaikan oleh aparat gampong pada umumnya melalui musyawarah antar warga di gampong. Sayangnya, penyelesaian kasus-kasus tanah dengan cara-cara tersebut masih jarang sekali didokumentasikan dalam bentuk berita acara yang dapat disimpan sebagai arsip di kantor gampong.

Dalam bidang kewarisan pasca-Tsunami ini, penelitian ini melakukan analisis lewat tiga aspek: (1) ahli waris, (2) harta warisan, dan (3) implementasi pembagian warisan oleh aparat gampong. Posisi dan kedudukan perempuan menjadi fokus sentral dalam pembahasan dan analisis kasus kewarisan yang menjadi obyek penelitian ini. Salah satu hal yang penting dikemukakan di sini adalah bahwa penyelesaian perkara kewarisan di gampong tak jarang hasilnya kurang menguntungkan bagi perempuan, khususnya bila dibandingkan dengan penyelesaian masalah harta warisan yang ditangani oleh Mahkamah Syar’iyah. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa baitul mal gampong belum berfungsi sepenuhnya, khususnya dalam menangani harta warisan yang tak ada lagi pemiliknya atau ahli warisnya.

Tentang masalah perwalian pasca Tsunami, penelitian ini menemukan bahwa dalam praktek di gampong kedudukan dan kekuasaan wali seringkali lebih dikonotasikan dengan jenis kelamin laki-laki. Dengan demikian, perwalian terhadap anak-anak yatim lebih diprioritaskan kepada laki-laki dari pihak keluarga ayah. Meski begitu, sering terdapat bahwa pengasuhan anak-anak yatim tersebut berada di tangan perempuan dari sanak keluarga pihak ibu, sementara pengelolaan harta kekayaan anak yatim dan pembiayaan sehari-hari anak yatim itu berasal dari wali laki-laki dari sanak keluarga ayah. Penting dicatat bahwa Mahkamah Syar’iyah berusaha memberi arah baru bagi


(4)

iii

praktek yang berlangsung ini dengan menunjuk sebagian besar wali perempuan, apakah itu ibu kandung, kakak perempuan kandung, tante atau nenek dari yatim itu.

Guna mengatasi berbagai celah kekurangan dalam penyelesaian formal dan informal masalah tanah, kewarisan dan perwalian pasca-tsunami, seperti yang teridentifikasi dalam uraian temuan penelitian ini, sejumlah kegiatan sebagai tindak lanjut penelitian perlu disampaikan di sini. Sebagian kegiatan tindak lanjut itu akan dilaksanakan sendiri oleh IDLO selama misinya di Aceh, seperti:

• Peningkatan pengetahuan hukum dan kemampuan teknik mediasi aparat gampong.

• Diseminasi informasi hukum yang berwawasan gender untuk warga masyarakat

• Penyediaan pusat informasi hukum dan paralegal yang dapat memfasilitasi penyaluran kebutuhan hukum masyarakat.

Beberapa agenda lain yang masih perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan hasil temuan penelitian ini antara lain adalah:

• Membantu kelengkapan administratif dan peralatan yang dibutuhkan untuk memaksimalkan peran rapat adat gampong sebagai media alternatif penyelesaian hukum.

• Membentuk secara resmi lembaga baitul mal gampong yang antara lain dapat difungsikan sebagai pengawas harta peninggalan yang tidak diketahui lagi ahli warisnya dan sebagai lembaga pengawas terhadap pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab wali.

• Mengupayakan secara intensif pendekatan hukum yang bersifat afirmatif untuk menjamin lebih lanjut penguatan posisi ahli waris perempuan yang sebatangkara, apakah melalui fatwa MPU ataupun lewat surat keputusan bersama yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tingkat propinsi yang terkait.

• Di luar program RALAS, dibutuhkan pula dukungan bagi Mahkamah Syar’iyah untuk melakukan penunjukan secara formal wali-wali bagi anak-anak yatim piatu, (jumlahnya kurang lebih 20.000 orang) yang hingga kini belum berada di bawah suatu perwalian resmi. Atau dapat juga, setelah baitul mal di setiap gampong terbentuk secara resmi, Mahkamah Syar’iyah menetapkan baitul mal gampong tersebut untuk menjadi wali bagi anak-anak yatim piatu yang berada di wilayahnya.


(5)

iv

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMAKASIH ... i

RINGKASAN EKSEKUTIF ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK ... vi

DAFTAR DIAGRAM ... vii

KETERANGAN DIAGRAM KEWARISAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

II. TUJUAN PENELITIAN ... 1

III.SIGNIFIKANSI PENELITIAN ... 2

IV. METODE PENELITIAN... 2

V. TEMUAN PENELITIAN... 4

A. Pertanahan ... 4

1. Mahkamah Syar’iyah dan Penyelesaian Masalah Tanah ... 4

a. Lewat Waktu ... 5

2. Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong ... 6

a. Hukum yang digunakan dalam Penyelesaian Masalah Tanah .... 7

b. Musyawarah Gampong tentang Masalah Tanah ... 8

c. Program RALAS ... 9

d. Cara Penyelesaian Masalah Tanah ... 12

3. Hak Perempuan atas Tanah ... 14

a. Perempuan dan Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong ... 15

4. Tanah-tanah yang Pemiliknya Meninggal Sementara Ahli Warisnya Masih di Bawah Umur ... 17

5. Tanah-tanah yang Tidak Ada Pemilik atau Ahli Warisnya ... 18

6. Tanah-tanah Pesisir yang Hilang Akibat Bencana Tsunami ... 19

7. Tanah-tanah Pinggir Pantai yang Berubah Wujud Permukaannya .... 20

B. Kewarisan ... 22

1. Ahli Waris ... 22

a. Kewajiban Ahli Waris ... 22

2. Harta Peninggalan ... 23

a. Harta Bawaan ... 24

b. Harta Bersama ... 26

c. Uang Pensiun dan Tabungan Hari Tua ... 29

1) Pegawai Negeri Sipil ... 29

2) Karyawan Swasta ... 30

d. Jaminan Kematian ... 31

e. Uang Asuransi: Harta Bersama atau Harta Peninggalan? ... 31


(6)

v

a. Anak Perempuan ... 32

b. Janda ... 34

c. Cucu Perempuan (patah titi) ... 36

d. Ibu ... 38

4. Implementasi Pembagian Warisan ... 39

a. Pembagian Harta Warisan dalam Keluarga ... 39

b. Penyelesaian Masalah Warisan oleh Aparat Gampong ... 41

c. Penyelesaian Perkara Waris oleh Mahkamah Syar’iyah ... 42

C. Perwalian ... 44

1. Cakupan Perwalian ... 44

2. Usia Anak di Bawah Perwalian ... 45

3. Persyaratan Wali ... 45

4. Wali Perempuan untuk Pengasuhan dan Harta ... 46

5. Penunjukkan dan Penetapan Wali ... 48

a. Penunjukkan/Penetapan Wali dalam Program RALAS ... 49

6. Kewajiban dan Tanggungjawab Wali ... 50

a. Pengasuhan Diri Anak Jasmani dan Rohani ... 50

b. Pengurusan Harta Benda Milik Anak Yatim ... 51

c. Penyerahan Seluruh Harta kepada Anak Yatim di Bawah Perwaliannya... 52

7. Pengawasan Wali ... 52

8. Pencabutan Kekuasaan dan Penggantian Wali ... 53

VI. KESIMPULAN ... 54

VII. DAFTAR PUSTAKA ... 56

VIII.LAMPIRAN 1. Jumlah penduduk sebelum dan sesudah bencana tsunami dalam enam kecamatan di Banda Aceh dan Aceh Besar a. Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh ... 59

b. Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh ... 60

c. Kecamatan Kutaraja Kota Banda Aceh ... 61

d. Kecamatan Peukan Bada Aceh Besar ... 62

e. Kecamatan Baitussalam Aceh Besar ... 63

f. Kecamatan Lhoknga Aceh Besar ... 64

2. Formulir Bukti Kesepakatan Pewarisan ... 65

3. Matriks Hukum Formal dan Hukum Adat Aceh tentang Pertanahan ... 66

4. Matriks Hukum Formal dan Hukum Adat Aceh tentang Kewarisan ... 79

5. Matriks Hukum Formal dan Hukum Adat Aceh tentang Perwalian ... 95


(7)

vi

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK

Tabel. 1 ... 3

Tabel. 2 ... 5

Tabel. 3 ... 6

Tabel. 4 ... 15

Tabel. 5 ... 16

Tabel. 6 ... 23

Tabel. 7 ... 25

Tabel. 8 ... 25

Tabel. 9 ... 26

Tabel. 10 ... 27

Tabel. 11 ... 28

Tabel. 12 ... 29

Tabel. 13 ... 32

Tabel. 14 ... 43

Tabel. 15 ... 43

Tabel. 16 ... 47

Tabel. 17 ... 50


(8)

vii

DAFTAR DIAGRAM

Diagram. 1 ... 12

Diagram. 2 ... 33

Diagram. 3 ... 34

Diagram. 4 ... 35

Diagram. 5 ... 35

Diagram. 6 ... 36

Diagram. 7 ... 38

Diagram. 8 ... 39

Diagram. 9 ... 40

Diagram. 10 ... 42


(9)

viii

KETERANGAN DIAGRAM KEWARISAN

= Laki-laki pewaris

= Laki-laki yang telah meninggal

= Laki-laki yang masih hidup

= Perempuan pewaris

= Perempuan yang telah meniggal

= Perempuan yang masih hidup = Hubungan Perkawinan = Hubungan Persaudaraan = Hubungan keturunan


(10)

1

Nanggroe Aceh Darussalam telah menewaskan dan menghilangkan sedikitnya 150 ribu hingga 200 ribu jiwa, menimbulkan kurang lebih 30 ribu anak yatim, dan mengakibatkan kerugian materil lainnya dalam jumlah yang sangat besar. Sebagai dampak dari bencana ini, berbagai persoalan dan sengketa hukum di bidang pertanahan, kewarisan dan perwalian tak pelak bermunculan ke permukaan.

Dalam waktu hampir satu setengah tahun pasca Tsunami, Mahkamah Syar’iyah di kota dan kabupaten di seluruh Aceh yang dilanda Tsunami telah menyelesaikan belasan ribu kasus yang meliputi penetapan ahli waris dan penunjukan perwalian. Jumlah ini tentu saja masih di bawah angka korban yang meninggal akibat Tsunami yang mencapai ratusan ribu jiwa. Lebih dari itu, perkara-perkara waris dan perwalian yang diajukan ke depan Mahkamah pada umumnya bersifat volunteer

(permohonan) dan bukannya berbentuk contentious (persengketaan). Mahkamah Syar’iyah memperkirakan bahwa ke depan angka kasus sengketa akan meningkat, lebih-lebih jika kasus-kasus tersebut tak dapat diselesaikan melalui musyawarah keluarga ataupun oleh pemuka adat di gampong.

Mempertimbangkan kenyataan tersebut, International Development Law Organization (IDLO) dalam program bantuan hukum yang dilakukannya di Aceh pasca Tsunami memilih antara lain Mahkamah Syar’iyah Propinsi NAD sebagai salah satu partner kerjasama khususnya dalam bidang perkara-perkara yang merupakan kewenangan hukum Mahkamah Syar’iyah. Di antara program kerjasama tersebut adalah Penelitian dan Dokumentasi Hukum yang berkaitan dengan pertanahan,1 kewarisan dan perwalian. Hasil dari kegiatan riset ini nantinya akan digunakan sebagai kerangka pelaksanaan program berikutnya, yaitu pelatihan aparatur gampong guna peningkatan keterampilan dan teknik mediasi, dan sosialisasi tentang hak-hak perempuan dalam aspek pertanahan, kewarisan dan perwalian melalui film dokumenter pendek yang akan diproduksi oleh IDLO.

II. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian dan Dokumentasi hukum yang dilakukan oleh IDLO bekerjasama dengan Mahkamah Syar’iyah bertujuan antara lain:

1. Mengumpulkan informasi tentang prinsip-prinsip dan prosedur hukum formal berkaitan dengan persoalan pertanahan, kewarisan dan perwalian. 2. Mengumpulkan informasi tentang prinsip-prinsip dan praktek hukum

adat di Banda Aceh dan Aceh Besar berkaitan dengan masalah pertanahan, kewarisan dan perwalian.

3. Mengetahui dengan lebih jelas tentang posisi dan kedudukan perempuan dalam praktek pengambilan keputusan hukum yang dibuat, baik oleh hakim Mahkamah maupun oleh aparat gampong, berkenaan dengan pertanahan, kewarisan dan perwalian.

1

Persoalan tanah, sepanjang tersangkut di dalamnya masalah kewarisan, menjadi kewenangan hukum Mahkamah Syar’iyah untuk memeriksanya. Lihat Fatwa MPU no. 3/2005 dan Soufyan M. Saleh, “Pembagian Hak Warisan: Praktek Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Orientasi Pemahaman Harta Bersama, Penentuan Ahli Waris dan Perwalian dalam Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Mei 2005, p. 8.


(11)

4. Mempersiapkan bahan manual pelatihan keterampilan dan teknik mediasi yang berwawasan kesetaraan jender bagi aparat gampong di wilayah yang tertimpa bencana Tsunami.

5. Memperoleh informasi kasus-kasus yang terjadi di tengah masyarakat sebagai masukan untuk pengayaan cerita film dokumenter pendek yang akan diproduksi oleh IDLO.

III. SIGNIFIKANSI PENELITIAN

Sejumlah kegiatan berbentuk publikasi, penelitian, seminar dan lokakarya tentang masalah pertanahan, kewarisan dan perwalian di Aceh pasca Tsunami telah dihasilkan.2 Akan tetapi, semua karya tersebut lebih banyak menyoroti persoalan pertanahan, kewarisan dan perwalian dari sudut pandang normatif. Dengan kata lain, mereka lebih memberi perhatian pada prinsip-prinsip hukum, prosedur hukum dan skema solusi permasalahan, tetapi tidak menyoroti secara spesifik bagaimana realitas persoalan pertanahan, kewarisan dan perwalian yang terjadi di tengah masyarakat dan bagaimana kasus-kasus seputar hal itu dipecahkan baik di tingkat keluarga maupun gampong.

Penelitian ini menjadi signifikan karena ia bermaksud mengisi kevakuman di atas dengan mencoba melihat realitas masalah pertanahan, kewarisan dan perwalian di Aceh pasca Tsunami dari perspektif penyelesaian hukum melalui jalur formal pengadilan dan penyelesaian sengketa secara damai oleh aparat gampong. Selain itu, studi kasus kolektif dalam penelitian ini menjadi kian penting berhubung ia juga bermaksud memotret kecenderungan masyarakat dalam memahami dan memilih di antara berbagai hukum yang tersedia (misalnya KHI, hukum adat, dan fikih Syafi’iyah) dalam menyelesaikan perkara hukum yang dihadapi oleh mereka.

IV. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena informasi dan data yang dicari melalui penelitian ini lebih banyak dalam bentuk teks, dan juga karena penelitian ini mempelajari sejumlah studi kasus. Untuk itulah, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi, observasi dan wawancara mendalam.

Peneliti pertama-tama melakukan penelusuran terhadap sejumlah literatur khususnya yang berkenaan dengan prinsip dan prosedur hukum adat Aceh berkaitan dengan tiga aspek hukum yang menjadi fokus penelitian ini. Peneliti juga menelaah sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan topik utama penelitian ini. Hasil dari penelusuran dan telaah ini adalah matriks kompilasi peraturan formal dan prinsip hukum adat mengenai pertanahan, kewarisan dan perwalian. Penyusunan matriks ini juga berdasarkan hasil wawancara mendalam bersama

2

Lihat misalnya Daniel Fitzpatrick, “Restoring and Confirming Rights to Land in Tsunami-Affected Aceh,” UNDP/OXFAM Report, 14 July 2005; Daniel Fitzpatrick and Myrna A. Safitri, “Bagaimana Melindungi dan Memenuhi Hak-Hak atas Tanah Korban Tsunami di Aceh?”, Oktober 2005; “Laporan Lokakarya Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Yatim Korban Tsunami sebagai Prasyarat Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD”, Yayasan Putroe Kandee, Mei 2005; “Lokakarya Perwalian Perempuan terhadap Harta Anak Yatim Korban Tsunami menurut Syariat Islam dan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Banda Aceh, September 2005.


(12)

empat orang narasumber ahli hukum dan sejarah adat Aceh.3 Selain itu, wawancara mendalam dengan sejumlah hakim Mahkamah Syar’iyah di Banda Aceh dan Jantho juga ikut melengkapi matriks tersebut.4

Penelitian lapangan ke beberapa gampong sebagian dimaksudkan untuk melakukan verifikasi terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum adat yang dicantumkan dalam matriks guna mengetahui seberapa jauh prinsip dan aturan tersebut masih dipraktekkan dalam masyarakat. Selain untuk tujuan verifikasi itu, penelitian lapangan juga mempunyai maksud untuk mengevaluasi posisi dan kedudukan perempuan dalam praktek pelaksanaan hukum yang berkaitan dengan persoalan pertanahan, kewarisan dan perwalian pasca Tsunami.

Penelitian ini dibatasi hanya untuk dua wilayah, yaitu kota Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar. Selengkapnya, gampong atau kelurahan yang menjadi target penelitian ini berjumlah dua belas buah sebagai berikut:

Tabel 1.

KOTA/KAB KECAMATAN MUKIM GAMPONG/KEL

BANDA ACEH MEURAXA Tgk. Chik Lamjabat 1. Cot Lamkuweuh

Meuraxa 2. Lambung

KUTARAJA Tgk. Dianjong 3. Gampong Jawa

Tgk. Dianjong 4. Lampaseh Kota

KUTA ALAM Lam Kuta 5. Lampulo

Kuta Alam 6. Lambaro Skep

ACEH BESAR PEUKAN BADA Lam Teungoh 7. Lamteh

Baroh 8. Ajuen

LHOKNGA Lampuuk 9. Meunasah Balee

Lhoknga 10. Mon Ikeun

BAITUSSALAM Klieng 11. Lambada Lhok

Silang Cadek 12. Kajhu

Gampong-gampong di atas dipilih sebagai lokasi penelitian antara lain karena angka korban Tsunami (hilang dan meninggal) sangat tinggi jumlahnya dibandingkan dengan gampong-gampong lainnya yang terletak di kecamatan yang sama (lihat lampiran 1: Jumlah penduduk sebelum dan sesudah bencana tsunami di enam lokasi kecamatan di Banda Aceh dan Aceh Besar). Penelitian ini memandang bahwa semakin banyak jumlah korban Tsunami di suatu gampong, maka semakin besar pula kemungkinan jumlah perkara pertanahan, kewarisan dan perwalian yang bakal muncul di gampong tersebut. Selain itu, gampong yang dipilih tersebut memiliki kompleksitas masalah yang lebih banyak diakibatkan oleh heterogenitas penduduk yang berdomisili di gampong tersebut.

3

Wawancara dengan T.I. El Hakimy (26 April 2006), T. Djuned (27 April 2006), Rusdi Sufi (27 April 2006) dan Badruzzaman Ismail (8 Mei 2006).

4

Wawancara dengan hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh (26 April 2006) dan Jantho (27 April 2006).


(13)

V. TEMUAN PENELITIAN A. Pertanahan

Patut diungkap sebelumnya disini bahwa persoalan pertanahan yang dikaji lewat penelitian ini adalah yang berkaitan secara langsung dengan situasi pasca Tsunami, dan bukannya masalah pertanahan secara umum. Uraian dalam bagian ini akan diawali oleh pembahasan masalah kewenangan Mahkamah Syar’iyah atas pertanahan. Berhubung kasus pertanahan yang berkaitan dengan bencana Tsunami hampir tidak ada yang diajukan ke pengadilan, pembahasan selanjutnya akan terfokus pada penyelesaian masalah kepemilikan tanah di gampong.

1. Mahkamah Syar’iyah dan Penyelesaian Masalah Tanah

Pada dasarnya, penyelesaian masalah tanah lewat jalur hukum formal adalah merupakan kewenangan Peradilan Negeri dan bukan berada di bawah jurisdiksi Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah. Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Qanun nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam dan Keputusan Presiden nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tidak memberi kewenangan hukum untuk memeriksa kasus-kasus pertanahan secara umum. Masalah pertanahan memang bisa saja diperiksa oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah apabila di dalamnya ada melibatkan perkara kewarisan. Sungguhpun begitu, jika terdapat sengketa hak milik tanah di dalam perkara kewarisan tersebut, maka ketentuan pasal 50 UU 7/1989 yang akan berlaku. Pasal tersebut menyatakan bahwa seluruh bentuk sengketa hak milik, termasuk kepemilikan tanah, tidak dapat diselesaikan oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah kecuali apabila telah diperiksa dan diputuskan perkaranya oleh Pengadilan Negeri. Dengan demikian, jika terdapat masalah kewarisan tanah yang di dalamnya tersangkut sengketa hak milik, perkara semacam itu terlebih dahulu harus diselesaikan oleh Pengadilan Negeri, dan setelah itu baru kemudian dapat diteruskan pemeriksaan dan penyelesaiannya oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.

Namun, menurut Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, Soufyan Saleh, penyerahan sebagian kewenangan Peradilan Negeri kepada Mahkamah Syar’iyah pada tanggal 11 Oktober 2004, melalui Surat Keputusan Mahkamah Agung (KMA/070/SK/X/2004) tentang Pelimpahan Sebahagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, dapat dipandang sebagai pemberian kewenangan yang lebih luas kepada Mahkamah Syar’iyah daripada kewenangan Pengadilan Agama sebelumnya, termasuk otoritas dalam memeriksa dan menyelesaikan sengketa hak milik dalam perkara kewarisan.5

5

Soufyan M. Saleh, “Pembagian Hak Warisan: Praktek Mahkamah Syar’iyah di Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Orientasi Pemahaman Harta Bersama, Penentuan Ahli Waris dan Perwalian dalam Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Mei 2005.


(14)

Di samping itu, respon pasca-Tsunami di Aceh tampaknya menjadi alasan khusus bagi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) untuk mengeluarkan fatwa nomor 3 tahun 2005 yang menyatakan kewenangan Mahkamah Syar’iyah untuk memeriksa kasus-kasus kewarisan tanah yang di dalamnya terdapat pula sengketa milik (lihat fatwa di dalam box di bawah).

Tabel 2.

Gugatan Hak Milik dan Kewarisan atas tanah (korban gempa dan gelombang Tsunami) dapat diajukan ke Mahkamah Syar’iyah dengan penyertaan alat bukti yang sah.

Kewenangan menyelesaikan sengketa hak milik dan kewarisan atas tanah, sengketa nasab dan mafqud adalah kewenangan Mahkamah Syar’iyah.

Kewenangan Mahkamah Syar’iyah/Peradilan Agama atas sengketa hak milik, termasuk di dalamnya perkara kewarisan atas tanah, kian terakui keabsahannya menyusul diberlakukannya Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang tersebut berbunyi: “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada [UU 3/2006, 50] ayat (1) yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama sebagaimana dimaksud dalam [UU 3/2006] pasal 49.” Dengan kata lain, segala kasus sengketa hak milik atas tanah warisan, sepanjang pihak-pihak yang terlibat dalam perkara itu beragama Islam, berada di bawah kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah untuk memeriksanya. Akan tetapi, sungguhpun Mahkamah Syar’iyah sudah memperoleh otoritas penuh untuk memeriksa kasus-kasus sengketa kewarisan tanah, hingga penelitian ini selesai dilakukan, terdapat hanya satu atau dua kasus semacam itu yang diajukan ke muka hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho.

a. Lewat Waktu

Pembahasan tentang lewat waktu atau kadaluarsa dalam kaitannya dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah cukup relevan pula untuk dibahas di sini. Menurut Fatwa MPU nomor 2 tahun 2005 yang dikeluarkan tidak lama sesudah terjadinya bencana Tsunami (7 Februari 2005), “Gugatan hak milik dan gugatan kewarisan atas tanah korban Tsunami hanya diterima dalam waktu 5 tahun sejak musibah Tsunami terjadi dan setelah itu dinyatakan lewat waktu (kadaluarsa); sedang bagi anak yang belum dewasa ketika musibah Tsunami terjadi hak mengajukan gugatan ini diperpanjang sampai dia berumur 19 tahun.” Substansi butir fatwa MPU yang menyangkut lewat waktu ini tampaknya tidak seirama dengan ketentuan formal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Buku Keempat tentang Pembuktian dan Lewat Waktu. Pasal 1967 dari KUHPer itu berbunyi:


(15)

Tabel 3.

Semua tuntuan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya lewat waktu itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk.

Menarik diungkapkan di sini bahwa sebelum Tsunami terjadi di Aceh, terdapat putusan banding Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD (37/Pdt.G/2004/MS Prov.) yang menolak gugatan perkara kewarisan karena sudah lewat waktu dari 33 tahun. Akan tetapi, putusan banding itu ternyata tidak merujuk ketentuan yang terdapat dalam pasal 1967 KUHPer di atas, melainkan berdasarkan kitab Al-Nasyi’ah (jilid 7:485), sebuah kitab fikih bermazhab Syafi’i.

Berkaitan dengan batas lewat waktu ini, tampaknya Mahkamah Syar’iyah akan lebih mendasarkan diri pada ketentuan formal sebagaimana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan banding Mahkamah Syar’iyah Provinsi ketimbang pada fatwa yang dikeluarkan oleh MPU di atas.6 Selain itu, fatwa merupakan suatu produk hukum yang tidak mempunyai implikasi hukum yang mengikat, apatah lagi memaksa para hakim untuk mengikutinya.

2. Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong

Kasus persengketaan hak atas tanah yang terkait erat dengan situasi pasca Tsunami tampaknya lebih sering diselesaikan pada tingkat gampong oleh pemuka adat ketimbang oleh Pengadilan. Hal ini terbukti dengan hampir tidak adanya perkara pertanahan yang terkait bencana Tsunami yang masuk ke Pengadilan Negeri (PN) dan Mahkamah Syar’iyah (MS) di Banda Aceh dan Aceh Besar hingga penelitian lapangan berakhir pada April 2006.7 Ada kemungkinan bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) nomor 2 tahun 2005 merupakan faktor pendorong terjadinya penyelesaian masalah tanah di gampong. Fatwa tersebut berbunyi “Mengingatkan kembali bahwa Mahkamah Syar’iyah perlu memberi kesempatan kepada Geuchik dan Mukim (beserta tuha peutnya masing-masing) untuk menyelesaikan sengketa melalui perdamaian sebelum diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah”.

Tapi fatwa MPU tersebut sesungguhnya bukan faktor yang amat menentukan. Hal lain yang dapat mempengaruhi masyarakat untuk menyelesaikan persoalan tanah mereka di gampong adalah fakta bahwa mereka tidak memahami dan mengetahui secara persis mekanisme pengajuan perkara ke pengadilan.8 Lebih-lebih, pada umumnya yang menjadi korban Tsunami adalah orang-orang tua, dan yang selamat hanyalah tinggal anak-anak yang hidup bersama wali dari keluarga orang tuanya. Anak-anak yang masih di bawah perwalian ini tentu saja tidak bisa segera menangani persoalan kepemilikan tanah yang merupakan harta warisan dari orang tua mereka yang meninggal dalam Tsunami. Adapun

6

Diskusi dengan sejumlah Hakim Tinggi Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD (2 Juni 2006).

7

Wawancara dengan panitera PN Jantho (27 April 2006); Wakil Ketua PN Banda Aceh (26 April 2006); Ketua MS dan panitera MS Banda Aceh (26 April 2006); Ketua MS Jantho (27 April 2006).

8


(16)

wali dari anak-anak tersebut belum seluruhnya memperoleh penetapan resmi dari Mahkamah Syar’iyah sehingga mereka belum dianggap sah menurut hukum untuk bertindak melakukan perbuatan hukum atas nama anak yang berada di bawah perwalian mereka. Menurut perkiraan kasar seorang hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, terdapat lebih dari 20.000 anak yatim piatu yang hingga sekarang belum mendapatkan penetapan wali secara resmi.9 Pembahasan panjang lebar tentang perwalian akan dibahas dalam bagian mendatang.

Faktor lain yang tidak kalah penting tentang mengapa penyelesaian masalah tanah lebih sering dilakukan di gampong adalah sikap dan pemahaman warga masyarakat bahwa berurusan dengan pengadilan hanya menimbulkan ongkos yang mahal. Sungguhpun biaya perkara tidak dipungut atas mereka yang tertimpa bencana Tsunami, ongkos transportasi menuju lokasi pengadilan (misalnya di Jantho bagi penduduk Aceh Besar yang berdomisili di kecamatan Lhoknga, Lepung atau Lhoong) bukanlah sesuatu yang murah dan terjangkau bagi masyarakat kecil yang sudah menderita dan kehilangan harta benda akibat Tsunami. Hal lain yang juga disebut sebagai alasan warga masyarakat tidak membawa perkaranya ke pengadilan adalah persepsi mereka bahwa perdamaian hanya dapat diperoleh lewat penyelesaian hukum di gampong, sementara jika perkara sudah dimasukkan ke pengadilan maka persoalan benar-salah suatu kasus yang lebih diutamakan. Selain itu, masyarakat juga menganggap bahwa hanya orang-orang yang kuat atau pintar dan kaya yang mampu menyewa pengacara yang akan memenangkan perkara itu.10

a. Hukum yang digunakan dalam Penyelesaian Masalah Tanah

Sekalipun disadari betul bahwa terdapat praktek yang berbeda-beda antara satu gampong dengan gampong lainnya, penelitian ini menemukan bahwa penyelesaian masalah tanah yang dilakukan lewat musyawarah gampong dengan dipimpin oleh Geuchik lebih banyak menurut ketentuan adat setempat. Yang dimaksudkan dengan ketentuan adat di sini adalah bahwa Geuchik lebih menekankan kepada pihak-pihak untuk mencapai perdamaian dengan cara musyawarah atau berkompromi di antara mereka sendiri berdasarkan suatu pembuktian, misalnya keterangan dari saksi-saksi yang masih hidup. Di Gampong Jawa, kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, misalnya, terdapat masalah yang berhubungan dengan batas tanah. Oleh aparat gampong, setelah sejumlah saksi dipanggil untuk menjelaskan secara pasti tentang batas-batas tanah tersebut, perkara tanah tersebut pada galibnya sudah terselesaikan dengan sendirinya. Pada kasus lain di mana sertifikat tanah hilang atau musnah karena bencana Tsunami, aparat Gampong Jawa meminta kepada kedua belah pihak keluarga suami dan keluarga isteri, yang merupakan ahli waris yang masih tinggal, untuk melakukan musyawarah intern dengan mengutamakan kejujuran dan keikhlasan.11 Berdasarkan hasil musyawarah keluarga inilah, Geuchik lalu menerbitkan surat keterangan tentang kepemilikan tanah itu yang nantinya berguna untuk kepentingan pemecahan, pendaftaran dan penerbitan sertifikat untuk tanah tersebut.

9

Pembicaraan pribadi dengan Rosmawardani, hakim pada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, 30 Mei 2006.

10

Wawancara dengan Rafiuddin, Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho; Cf. Draft Laporan UNDP, Access to Justice in Aceh (Mei 2006).

11


(17)

Bila diamati secara seksama, proses penyelesaian masalah tanah menurut adat seperti yang terjadi di beberapa gampong sesungguhnya bersesuaian dengan ketentuan hukum formal pertanahan. Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyatakan: “Penetapan batas bidang tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak yang belum terdaftar atau yang sudah terdaftar tetapi belum ada surat ukur/gambar situasi atau surat ukur/gambar situasi yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya, dilakukan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan.” Selanjutnya, pasal 19 ayat (1) PP 24/1997 menyebutkan: “Jika dalam penetapan batas bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dengan pemegang hak atas tanah yang berbatasan, pengukuran bidang tanahnya diupayakan untuk sementara dilakukan berdasarkan batas-batas yang menurut kenyataannya merupakan batas-batas bidang-bidang tanah yang bersangkutan.”

Satu hal yang penting dicatat di sini adalah bahwa amat disayangkan sekali penyelesaian masalah-masalah tanah lewat musyawarah gampong yang menghasilkan beberapa keputusan bersama, seperti relokasi tanah, pengurangan luas tanah dan hibah sebagian tanah, tidak mendapat perhatian administratif yang sewajarnya. Padahal berbagai keputusan tersebut penting untuk didokumentasikan dalam bentuk berita acara yang dapat disimpan sebagai arsip di kantor gampong, karena suatu saat kelak dapat dipergunakan sebagai alat bukti tertulis jika ada keturunan dari pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang berkeberatan dan mengajukan gugatan ke pengadilan. Sebagai suatu hasil musyawarah gampong yang telah disetujui bersama oleh seluruh pemilik tanah, atau ahli warisnya, keputusan itu semestinya mengikat seluruh pihak-pihak peserta, termasuk anak keturunannya, dalam musyawarah tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa hampir semua gampong yang menjadi obyek penelitian ini tidak memiliki suatu perangkat dasar administrasi penyelesaian hukum di gampong. Dengan tidak adanya catatan atas keputusan-keputusan yang sudah diambil dalam setiap upaya penyelesaian hukum melalui musyawarah gampong, dikhawatirkan akan membuka celah hukum di kemudian hari yang dapat mengundang pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mengambil keuntungan akibat kelemahan administratif tersebut. Pihak-pihak tersebut mungkin saja adalah mereka yang tidak menghadiri musyawarah gampong atau pihak yang merasa dirugikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam musyawarah itu.

b. Musyawarah Gampong tentang Masalah Tanah

Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa penyelesaian masalah tanah pasca Tsunami lebih sering dilakukan di gampong. Penyelesaian ini pada umumnya mengambil bentuk musyawarah untuk mencapai kesepakatan di antara pemilik tanah, atau ahli warisnya, terhadap batas-batas tanah mereka (model penyelesaian masalah tanah seperti ini seringkali juga disebut ‘Community Driven Adjudication’ (CDA) atau Pendaftaran Tanah berbasis Masyarakat). Musyawarah gampong ini tidak selalu mengambil tempat di sebuah gedung


(18)

(meunasah, rumah warga atau kantor gampong), tetapi lebih sering terjadi di lapangan khususnya di tempat di mana tanah-tanah yang batas-batasnya akan ditentukan. Musyawarah ini biasanya dilaksanakan berkali-kali dan memakan waktu hingga beberapa bulan untuk suatu gampong. Hal ini disebabkan oleh faktor bahwa penyelesaian masalah tanah tidak dapat hanya diselesaikan satu-persatu, melainkan juga melibatkan segenap pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang berlokasi bersebelahan batas tanah. Sementara itu, keberadaan para pemilik tanah, atau ahli warisnya, tidak dapat diketahui dengan pasti. Di antara mereka ada yang bertempat tinggal di barak-barak di lokasi gampong bersangkutan. Ada juga sebagian yang menetap di tempat-tempat pengungsian di rumah kerabat mereka di luar gampong tersebut. Tapi ada pula yang tidak ada lagi kabar beritanya. Karena itulah, masalah koordinasi dan mobilisasi warga pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang dilakukan oleh aparat gampong sangat menentukan kelancaran dan keberhasilan musyawarah gampong tersebut.12 Dalam pengukuran batas bidang tanah di lapangan, pemilik tanah, atau ahli warisnya, hadir bersama-sama dengan pemilik bidang tanah yang bersebelahan, kepala dusun setempat, tuha peut dan geuchik untuk memastikan patok tanda batas tanah. Apabila tidak diperoleh kesepakatan antara pemilik bidang tanah yang bersangkutan mengenai patok tanda batas tanah, maka batas bidang tanah diukur dan dinyatakan sebagai batas sementara. Dalam hal seorang pemilik bidang tanah, atau ahli warisnya, berhalangan hadir atau tidak diketahui lagi keberadaannya, maka patok tanda batas tanah ditentukan berdasarkan pengetahuan para perangkat gampong yang hadir pada saat itu, dan batas bidang tanah tersebut dinyatakan sebagai batas sementara.13

Satu hal yang penting dijelaskan juga di sini berkaitan dengan musyawarah gampong untuk penyelesaian masalah tanah adalah rendahnya ongkos yang harus dikeluarkan bila dibandingkan dengan penyelesaian masalah tanah ini di pengadilan. Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan musyawarah gampong itu lebih banyak berupa ongkos pemanggilan/undangan, konsumsi makanan dan minuman bagi peserta dan hadirin yang mengikuti musyawarah gampong. Tidak ada keterangan pasti dari informan mengenai berapa besar rupiah yang dibelanjakan dalam setiap pelaksanaan musyawarah gampong tersebut. Namun, yang seringkali terjadi adalah bahwa pembiayaan tersebut ditanggulangi secara bersama ataupun mendapat dukungan dana dari pihak luar (BPN atau NGO) yang kebetulan sedang menjadikan gampong tersebut sebagai lokasi garapan kegiatan mereka.

c. Program RALAS

Penyelesaian soal tanah di gampong dilakukan sebagian besar dengan bantuan pendanaan World Bank yang diberikan melalui program RALAS (Reconstruction of Aceh Land and Administration System). Program yang diselenggarakan bersama oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR) ini bertujuan untuk

12

Cukup banyak kasus tanah yang pemiliknya bukanlah warga setempat, melainkan orang-orang yang bertempat tinggal di luar lokasi tanah itu, seperti. Medan, Jakarta dan sebagainya.

13


(19)

melakukan sertifikasi tanah di sejumlah wilayah yang terkena bencana Tsunami. Ada empat tujuan pokok program ini sebagai berikut:

1) Pemulihan dan perlindungan hak atas tanah masyarakat di daerah yang terkena dampak Tsunami;

2) Pembangunan kembali system administrasi pertanahan;

3) Peningkatan jaminan kepastian hak atas tanah dan peningkatan efisiensi dan transparansi serta memperbaiki kualitas pelayanan pemberian hak atas tanah dan pendaftarannya; dan

4) Perbaikan kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan fungsi manajemen pertanahan secara efisien dan transparan.

Sejauh ini, program RALAS telah memulai kegiatannya khususnya di wilayah Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Banyak pihak yang terlibat dalam kegiatan ini, termasuk Mahkamah Syar’iyah. Meski demikian, keterlibatan Mahkamah Syar’iyah dalam kegiatan ini tidak terkait langsung dengan persoalan tanah, melainkan lebih banyak berhubungan dengan masalah penetapan perwalian bagi anak di bawah umur yang akan memperoleh sertifikat tanah dari program RALAS (masalah ini akan dibahas lebih lanjut nanti dalam bagian Perwalian). Barangkali cukup untuk dikatakan di sini bahwa aktivitas penyelesaian masalah tanah dengan dukungan program RALAS ini berada dalam ranah kekuasaan gampong ketimbang oleh Mahkamah Syar’iyah.

Diagram 1 di bawah menjelaskan bagaimana gampong berperan serta dalam proses sertifikasi tanah oleh BPN. Peran gampong dalam proses sertifikasi tanah sangat menentukan, khususnya karena geuchik (kepala gampong) ataupun aparatur gampong lainnya (imam meunasah dan tuha peut) seringkali bertugas, difasilitasi oleh tim BPN atau lainnya, untuk mengorganisasikan terciptanya kesepakatan antar pemilik tanah, yaitu ahli waris dalam hal pemilik sudah meninggal atau wali dalam hal pemilik tanah adalah ahli waris yang masih di bawah umur, mengenai batas-batas sebidang tanah yang dimiliki seseorang dengan sebidang tanah tetangga lainnya. Di gampong Lamteh, kecamatan Peukan Bada, kabupaten Aceh Besar, misalnya, pada saat proses sertifikasi tanah dilakukan oleh BPN terdapat dua orang yang mengaku sebagai ahli waris atas sebuah bidang tanah. Geuchik Lamteh dengan segera menyelesaikan masalah ini lewat cara meminta masing-masing orang tersebut untuk mengajukan bukti-bukti kuat sebagai ahli waris yang sah. Melalui bukti-bukti tersebut, masalah tanah di antara ahli waris dapat diselesaikan dengan mudah oleh Geuchik. Sampai penelitian ini dilaksanakan, belum ada satupun kasus menyangkut masalah sengketa kewarisan tanah yang diajukan ke Mahkamah Syar’iyah.14 Di sini terlihat bahwa aparat gampong berupaya sebaik mungkin agar seluruh bidang tanah tersebut dapat dibagi kepada ahli waris yang berhak dengan suatu kesepakatan damai.

Dengan berdasarkan kesepakatan itulah, suatu peta dasar gampong yang terdiri dari bidang-bidang tanah dapat disusun untuk selanjutnya diikuti oleh sistem dan prosedur pendaftaran tanah oleh BPN. Hasil pendaftaran tanah dan sertifikasi oleh BPN ini nantinya berguna untuk keperluan pembangunan bantuan rumah tinggal bagi warga yang terkena bencana Tsunami. Hal ini karena persyaratan

14


(20)

memperoleh bantuan rumah dari BRR atau NGO lainnya mengharuskan bahwa tanah yang akan dibangun tersebut tidak memiliki masalah dan sudah memiliki kelengkapan surat/sertifkat tanah yang dibutuhkan.

Kegiatan pendaftaran tanah yang dilaksanakan oleh BPN di wilayah NAD yang tertimpa bencana Tsunami memiliki perbedaan dengan aktivitas pendaftaran tanah sistematik sebagaimana yang biasa dilakukan oleh BPN. Kegiatan pendaftaran tanah ini mengalami penyesuaian teknis tertentu terutama menyangkut keterlibatan anggota masyarakat dalam proses penciptaan kesepakatan atas bidang-bidang tanah dan kepemilikannya. BPN dalam hal ini lebih banyak berperan sebagai fasilitator dengan memberikan pengakuan hak atau persetujuan legalitas.15 Penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana proses penciptaan kesepakatan warga masyarakat atas persoalan tanah dan bentuk penyelesaiannya akan dibahas dalam bagian berikut.

15

“Manual Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara”, h. 7, 17.


(21)

Diagram 1

d. Cara penyelesaian Masalah Tanah

Terdapat beberapa cara penyelesaian masalah tanah yang diputuskan lewat musyawarah gampong seperti yang akan dijelaskan di bawah. Namun, penting untuk digarisbawahi di sini bahwa sesungguhnya sangatlah sulit untuk membuat suatu generalisasi mengenai model penyelesaian masalah tanah lewat musyawarah gampong, karena praktek tersebut seringkali berbeda antara satu gampong dengan


(22)

gampong lainnya. Keterangan yang disampaikan dalam uraian berikut lebih bertumpu pada hasil-hasil yang ditemukan di wilayah lokasi penelitian ini dan belum tentu menggambarkan kondisi yang sama di wilayah gampong lainnya. 1. Relokasi tanah

Gampong Lambung, kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, yang menjadi salah satu lokasi penelitian ini, adalah contoh yang tepat untuk menggambarkan bagaimana relokasi tanah terjadi pasca Tsunami. Jumlah penduduk gampong Lambung sebelum tsunami mencapai 1600 orang dan setelah tsunami jumlah tersebut berkurang dan tersisa hanya 276 jiwa. Semua penduduk Lambung yang tersisa itu masih menempati barak-barak hunian sementara dan ada juga yang tinggal bersama keluarga mereka di luar wilayah gampong Lambung. Sampai penelitian ini dilakukan, belum ada satupun rumah yang dibangun kembali. Hal ini terkait erat dengan rencana penataan ulang gampong Lambung dari keadaan semula gampong tersebut sebelum Tsunami. Dari peta dasar yang disusun berdasarkan kesepakatan warga dan sempat diperlihatkan kepada peneliti, tampak bahwa cukup banyak perubahan peruntukan tanah dan perpindahan lokasi dari tempat asal yang akan dilakukan di gampong Lambung sesudah Tsunami. Menurut geuchik Lambung, Zaidi Adan, tipe rumah yang akan dibangun kembali dibuat dalam bentuk blok-blok dengan tiga tipe antara lain tipe 300 meter, 200 meter dan 150 meter. Setiap blok akan dibatasi dengan jalan seluas yang dapat dilalui oleh dua kendaraan beroda empat yang berpapasan. Jadi, rumah-rumah di gampong Lambung yang sebelumnya tidak ada akses jalan akan berubah menjadi perumahan yang mudah terjangkau oleh kendaraan beroda empat. Demikian juga, terdapat sejumlah fasilitas umum seperti tempat pendidikan yang dipindahkan dari posisinya semula yang terletak di tengah pemukiman penduduk ke pinggir jalan besar yang menghubungkan antara satu gampong dengan gampong lain di kecamatan Meuraxa.16

2. Pengurangan luas tanah untuk kepentingan umum

Di beberapa gampong yang menjadi lokasi penelitian ini (e.g. Lampulo dan Lambung), terdapat praktek penyelesaian masalah tanah oleh gampong dengan cara mengurangi luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah, atau ahli warisnya, untuk kepentingan umum, misalnya untuk pembuatan dan pelebaran jalan di gampong tersebut. Di Lambung, misalnya, bagi masyarakat yang memiliki tanah dengan luas 1000 meter pada awalnya akan dipotong untuk desa sebesar 10%, dan sesudah itu pemilik tanah, atau ahli warisnya, berhak memiliki 3 petak tanah dan rumah yang masing-masing seluas 300 meter. Di gampong Lampulo, keadaan yang sama juga terjadi. Menurut Geuchik Lampulo, Yusuf Zakaria, proses sertifikasi yang dilakukan oleh BPN di wilayahnya sudah mendekati 90 persen dan dalam proses tersebut tidak jarang sejumlah tanah milik warga masyarakat ada yang dikurangi luasnya untuk kepentingan pembuatan akses jalan baru ataupun pelebaran ruas jalan yang sudah ada sebelumnya.17

3. Hibah sebagian tanah untuk warga lain yang hanya memiliki lahan sempit Hal lain yang juga patut diutarakan di sini sehubungan dengan cara penyelesaian masalah tanah melalui musyawarah gampong adalah fakta

16

Wawancara Zaidi Adan, Geuchik Lambung, 2 Mei 2006.

17


(23)

bahwa bagi pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang memiliki luas tanah kurang dari 100 atau 150 meter terkadang memperoleh hibah sebagian tanah dari tetangganya atau dari gampong. Tujuan hibah sebagian tanah ini adalah agar yang bersangkutan dapat memenuhi kualifikasi sebagai penerima rumah bantuan, apakah dari BRR ataupun NGO internasional lainnya, yang secara umum mempersyaratkan suatu jumlah luas tanah tertentu. Dalam hal ini, lazimnya warga masyarakat tidak menunjukkan keberatan yang berarti untuk merelakan sebagian kecil tanahnya untuk saudara atau tetangganya.18 Sebab, suatu kesepakatan akhir mengenai penggunaan dan peruntukkan lahan oleh pemilik tanah, atau ahli warisnya yang sah, menjadi prasyarat mutlak untuk penataan ulang dan pembangunan kembali suatu gampong pasca Tsunami.

3. Hak Perempuan atas Tanah

Penting untuk diutarakan pertama-tama bahwa perempuan sebagai subjek hukum memiliki hak yang sederajat dengan laki-laki untuk menguasai sebidang tanah dan mengambil keuntungan dari hasil yang berasal dari tanah tersebut. Undang-Undang pasal 9 ayat (2) nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menggariskan bahwa:

Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Berdasarkan bunyi peraturan tersebut, seorang perempuan dapat mendaftarkan tanah dan memperoleh sertifikat tanah atas namanya sendiri. Dengan demikian, perempuan-perempuan korban bencana Tsunami yang selamat dan masih hidup, apakah berposisi sebagai seorang janda, anak perempuan atau saudara perempuan sebatangkara, dapat memperoleh hak atas tanah dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya. Dalam adat Aceh, hak seorang perempuan atas tanah pun dibenarkan. Laki-laki dan perempuan, menurut adat Aceh, memiliki hak yang sama atas tanah/rumah dan manfaat dari tanah/rumah tersebut untuk kepentingan diri dan keluarganya.19

Untuk menjamin lebih lanjut hak perempuan atas tanah, Keputusan Kepala BPN nomor 114-II.2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami mengatur beberapa hal sebagai berikut: 20

• Perempuan dapat mendaftarkan tanah dan memperoleh sertifikat hak atas tanah atas namanya dirinya.

• Untuk tanah yang merupakan harta bersama suami istri maka sertifikat akan diatasnamakan dua orang tersebut. Tidak hanya atas nama suami saja.

• Janda dan anak perempuan yang memperoleh hak waris atas tanah harus mendaftarkan hak atas tanah tersebut atas nama dirinya.

• Perempuan pemilik tanah diharapkan dapat hadir dalam muswayarah gampong untuk membahas rencana pendaftaran tanah.

• Perempuan pemilik tanah harus berada di lokasi di mana tanah miliknya berada ketika tim ajudikasi akan melakukan pengukuran dan pemetaan.

18

Wawancara Muhammad Yatim, kepala dusun gampong Lambung, 2 Mei 2006

19

Wawancara T. Djuned, 27 April 2006.

20


(24)

• Perempuan (janda) diprioritaskan dalam memperoleh informasi yang berasal dari materi pengumuman peta pendaftaran tanah dan daftar bidang-bidang tanah yang sudah disiapkan oleh BPN.

• Perempuan pemilik tanah diberikan jaminan keamanan untuk hadir dalam acara penerimaan sertifikat tanah secara bersama-sama.

a. Perempuan dan Penyelesaian Masalah Tanah di Gampong

Penyelesaian masalah tanah di gampong kerapkali juga melibatkan persoalan kewarisan di dalamnya. Masalah kewarisan ini sendiri akan dibahas lebih detil nanti dalam bagian kewarisan. Namun, persoalan ini kiranya perlu didiskusikan di sini khususnya yang berkaitan langsung dengan penyelesaian masalah tanah di gampong yang melibatkan perempuan sebagai pemegang hak waris atas suatu kepemilikan tanah.

Secara gamblang dapat dikemukakan bahwa posisi perempuan dalam hal penyelesaian masalah tanah di gampong tak jarang berada dalam kondisi kurang menguntungkan. Hal ini tampak khususnya dalam konteks ketika ahli waris atas sebidang tanah hanya terdiri dari seorang ahli waris tunggal yang sebatangkara, yang mungkin saja berkedudukan sebagai janda, seorang anak perempuan, seorang saudara perempuan atau seorang ibu kandung dari pewaris. Berhubung posisi mereka masing-masing sebagai ahli waris tunggal tidak dapat menerima atau menghabiskan seluruh harta warisan (`asabah), sisa dari harta yang mereka peroleh akan diambil oleh wali, kerabat jauh (zawil arham) atau oleh gampong sebagai harta agama. Dalam hal harta peninggalan berupa sebidang tanah, perempuan-perempuan ini seringkali tidak dapat menerima seutuhnya, melainkan hanya sebagiannya saja. Jadi dari seluruh luas tanah yang merupakan harta warisan, ahli waris tunggal tersebut di atas akan menerima bagian luas tanah sebagai berikut: janda memperoleh ½ bagian bila tanah itu merupakan harta bersama dan ¼ dari total luas tanah jika tanah itu sepenuhnya adalah harta peninggalan; anak perempuan mendapatkan ½; saudara perempuan akan mendapatkan ½; dan seorang ibu kandung menerima 1/3 bagian. Ketentuan-ketentuan ini semua berasal dari Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang bersesuaian juga dengan norma-norma adat Aceh, sebagai berikut:

Tabel 4.

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (KHI, 97)

Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama (KHI, 96:1)

Janda mendapat ¼ bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak (KHI, 180) Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat ½ bagian (KHI, 176)

Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat ½ bagian (KHI, 182)

Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia [ibu kandung] mendapat 1/3 bagian (KHI, 178:1)

Memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum di atas, tidak mengherankan jika dalam penyelesaian masalah tanah di gampong yang hanya melibatkan salah satu ahli


(25)

waris perempuan sebatangkara seperti yang disebutkan di atas kerapkali menempatkan perempuan tersebut dalam posisi yang kurang menguntungkan. Sebuah kasus dari gampong X kiranya penting diketengahkan di sini untuk menunjukkan fenomena ini (lihat box di bawah).

Tabel 5.

Seorang perempuan (F) adalah korban yang selamat dari bencana Tsunami. Ibu kandungnya dan seluruh saudara-saudarinya meninggal dunia dalam bencana tersebut, sementara ayahnya telah meninggal dunia sebelum Tsunami terjadi. Harta berupa tanah yang dimiliki oleh kedua orang tua F sesungguhnya sudah dibagi-bagikan kepada seluruh anak-anaknya untuk dibuatkan rumah ketika kedua orang tua F masih hidup. Selain F yang selamat dari Tsunami, terdapat juga dua orang keponakannya, satu laki-laki dan satu perempuan, yang masih hidup. Kedua keponakan ini adalah anak-anak kandung dari salah satu adik perempuan F yang menjadi korban Tsunami. F berkeyakinan bahwa dirinya merupakan ahli waris satu-satunya yang menerima seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya dan saudara-saudarinya yang meninggal dalam bencana Tsunami. Oleh karena itu, pada saat BPN melalukan proses sertifikasi tanah di gampong, F mengajukan permohonan surat keterangan kepemilikan tanah kepada geuchik yang isinya menerangkan bahwa semua tanah warisan yang ada jatuh ke tangan F sebagai satu-satunya ahli waris. Pihak gampong menolak memenuhi permintaan F dan tidak mau menandatangani Formulir Bukti Kesepakatan Pewarisan (lihat contoh form dalam lampiran 2). Alasan yang diajukan oleh Geuchik, dan juga didukung oleh Imam Meunasah, adalah bahwa F hanyalah seorang perempuan dan tidak dapat bertindak sebagai ahli waris asabah yang menerima atau menghabiskan seluruh harta peninggalan. Geuchik dan Imam berpendapat bahwa F hanya dapat menerima ½ dari seluruh luas tanah warisan dan sisanya sebanyak ½ lagi harus diserahkan kepada Baitul Mal gampong. Sedianya F menyerahkan dua petak tanah yang merupakan harta warisan yang diterimanya kepada kedua orang keponakan yang masih hidup untuk dibangunkan rumah buat mereka. Akan tetapi, tindakan F ini pun tidak disetujui oleh aparat gampong. Akibatnya, hingga penelitian ini dilaksanakan, sertifikasi tanah belum dapat dilakukan atas tanah warisan yang diterima oleh F. Begitu juga, rumah bantuan yang diperuntukkan bagi kedua keponakan F belum dapat direalisasikan karena belum ada tindak lanjut atau keputusan yang pasti dan memuaskan bagi semua pihak.21

Masih ada kasus lain yang cukup relevan dikemukakan di sini yang terjadi antara sepasang suami istri yang sudah bercerai di gampong Kajhu. Mereka memiliki sebuah tanah dan rumah yang merupakan harta bersama. Ketika bercerai, istri dan seorang anaknya tetap menetap di rumah tersebut, sementara mantan suami pergi tinggal di gampong lain. Akibat Tsunami, rumah itu hancur dan yang tinggal hanyalah sepetak tanah. Janda dan seorang anak itu selamat dari bencana Tsunami dan kini menjadi pengungsi di sebuah barak. Mantan suami berkehendak untuk menjual tanah tersebut dan meminta anaknya untuk menandatangani surat persetujuan tanpa berkonsultasi atau minta izin mantan istrinya. Janda itu tidak terima dan pergi menghadap Geuchik dan memohon agar aparat gampong tidak membantu mantan suaminya melakukan transaksi jual beli tanahnya, karena di dalam kepemilikan tanah tersebut terdapat haknya separuh bagian. Mantan suaminya rupanya tidak tinggal diam dan bersikeras meminta aparat gampong mempermudah urusannya dalam menjual tanah tersebut.22 Sampai penelitian ini

21

Wawancara dengan Geuchik X (1 Mei 2006) dan perempuan F (1 Mei 2006).

22


(26)

selesai, belum diperoleh keterangan lebih lanjut apakah tanah milik sepasang mantan suami istri di gampong itu berhasil dijual.

Uraian di atas tentang hak perempuan atas tanah di Aceh pasca-Tsunami memperlihatkan betapa posisi dan kedudukan perempuan masih amat lemah. Lemahnya posisi perempuan vis a vis aparat gampong dalam kasus pertanahan ini hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan kasus-kasus yang muncul di Aceh pasca-Tsunami berkaitan dengan posisi perempuan. Pada bagian kewarisan di bawah, uraian yang lebih detil tentang lemahnya kedudukan perempuan akan dapat ditemukan.

4. Tanah-tanah yang Pemiliknya Meninggal Sementara Ahli Warisnya Masih di Bawah Umur

Kedudukan anak yatim piatu yang masih di bawah umur sebagai penerima warisan tanah dari orang tuanya yang meninggal dalam Tsunami perlu juga dibahas di sini dalam kaitannya dengan hak kepemilikan tanah. Hal ini penting mengingat seorang anak di bawah umur belum dapat dipandang sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum secara sah. Dalam hal pemilik tanah meninggal dunia sedang ahli warisnya masih berupa kanak-kanak di bawah umur, maka untuk anak tersebut harus ditunjuk seorang wali yang berfungsi mengurus seluruh proses pendaftaran dan sertifikasi tanah milik anak yatim itu. Agar pembahasan dalam sub bagian ini tidak tumpang tindih dengan persoalan perwalian yang akan dibahas tersendiri nanti, penting ditegaskan bahwa fokus utama uraian ini tertuju pada proses pendaftaran dan sertifikasi tanah yang dimiliki oleh seorang anak yatim yang berada di bawah perwalian.

Manual Pendaftaran Tanah di Lokasi Bencana Tsunami mengatur beberapa hal berkaitan dengan masalah ini sebagai berikut:

• Ahli waris di bawah umur dan anak yatim yang mempunyai hak waris atas tanah dapat mendaftarkan hak atas tanahnya atas nama dirinya dengan bantuan seorang wali yang mengurus harta tersebut.

• Wali hanya berwenang untuk menjaga dan mengurus pendaftaran tanahnya saja dan tidak dapat melakukan peralihan pada pihak lain. Hak atas tanah tersebut akan dialihkan kepada ahli waris tersebut ketika yang bersangkutan dinyatakan dewasa.

• Untuk bertindak sebagai wali yang sah, seorang wali perlu mendapat persetujuan perwalian dari imam meunasah dan Geuchik serta penetapan Mahkamah Syar’iyah.

• Geuchik harus secara aktif mendata berapa orang yang memerlukan penetapan perwalian dari Mahkamah Syar’iyah.

• Seorang wali, dalam kedudukan mewakili kepentingan anak yatim pemilik tanah, mengikuti langsung proses pengukuran batas bidang tanah di lapangan bersama-sama dengan pemilik bidang tanah yang bersebelahan, kepala dusun, tuha peut serta geuchik.

• Anak yatim pemilik tanah diprioritaskan dalam memperoleh informasi yang berasal dari materi pengumuman peta pendaftaran tanah dan daftar bidang-bidang tanah yang sudah disiapkan oleh BPN.

• Buku tanah dan sertifikat tanah dapat diatasnamakan ahli waris yang masih di bawah umur, tetapi pengelolaannya dilakukan oleh walinya.


(27)

5. Tanah-tanah yang tidak ada Pemilik atau Ahli Warisnya

Besarnya jumlah korban yang jatuh akibat Tsunami menimbulkan keadaan di mana terdapat kemungkinan sejumlah petak tanah di gampong-gampong tidak memiliki ahli waris lagi sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui lagi di mana kini mereka berada. Keadaan ini segera direspon oleh Majelis Permusyawaratan Ulama lewat fatwa nomor 2 tahun 2005 yang dikeluarkannya pada tanggal 7 Februari 2005 (butir fatwa yang sama diulangi sekali lagi dalam fatwa nomor 3 tahun 2005 tanggal 17 April 2005) yang berbunyi: “Tanah dan harta benda yang ditinggalkan korban Gempa dan gelombang Tsunami yang tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi milik umat Islam melalui Baitul Mal.” Mengenai masalah pendaftaran tanah semacam itu, Manual Pendaftaran Tanah yang dikeluarkan oleh BPN menyatakan bahwa dalam hal terdapat sebidang tanah yang tidak ada lagi pemiliknya dan tidak diketahui siapa ahli warisnya, yang dapat disiapkan hanyalah pembuatan buku tanah sementara sertifikatnya tidak akan diterbitkan sehingga ada kejelasan status kepemilikannya, dan tanah tersebut akan diserahkan pengelolaannya oleh badan Baitul Mal gampong.23 Tampaknya Manual yang dikeluarkan BPN ini lebih mengikuti bunyi ketentuan yang terdapat di dalam fatwa MPU di atas.

Dalam kaitan uraian di atas, perlu kiranya disampaikan di sini bahwa tanah-tanah yang tidak ada pemilik atau ahli warisnya itu tidak dapat dianggap sebagai ‘Tanah Terlantar’. Hal ini karena yang dapat dianggap sebagai ‘Tanah Terlantar’, menurut pasal 3 Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, adalah sebidang “tanah yang dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.” Adapun terhadap tanah yang sudah dinyatakan sebagai ‘Tanah Terlantar’, maka pasal 15 ayat (1), PP 36/1998, di atas mengkategorikannya sebagai tanah yang dikuasai oleh Negara.

Hukum Adat Aceh tentang nasib tanah yang tidak ada pemiliknya atau ahli warisnya tidak banyak berbeda dengan keterangan yang sudah diuraikan di atas. Hukum Adat Aceh menentukan bahwa terhadap tanah yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak diketahui lagi keberadaannya, termasuk ahli warisnya, pengurusan tanah tersebut dilakukan oleh geuchik dan perangkat gampong lain, sementara hasil yang diperoleh dari tanah tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan meunasah dan warga gampong yang bersangkutan. Tanah-tanah semacam itu dikategorikan sebagai harta baitul mal. Di sejumlah gampong, di kabupaten Aceh Besar khususnya, pengelolaan tanah-tanah tersebut diserahkan oleh Baitul Mal kepada seseorang miskin yang tinggal dalam gampong tersebut. Hasil yang diperoleh seseorang dari pengelolaan tanah tersebut biasanya dibagi-bagikan juga kepada masyarakat setempat tiap-tiap tahun dalam bentuk santapan bubur kanji (sajian buka puasa di bulan ramadhan) yang dberikan kepada orang-orang yang berbuka puasa di meunasah di bulan Ramadhan. Masyarakat Aceh Besar memberi nama tanah yang tidak diketahui lagi ahli warisnya itu dengan nama tanohie-bu (tanah bubur kanji).24

Dari pengamatan di lapangan terhadap topik yang sedang didiskusikan ini, peneliti menemukan bahwa pada umumnya Geuchik sudah memahami dengan baik bahwa

23

“Manual Pendaftaran Tanah”, p. 31.

24


(28)

tanah yang tidak ada lagi pemiliknya dan ahli warisnya tidak diketahui lagi keberadaannya, maka tanah tersebut akan dikelola oleh Baitul Mal gampong. Camat Peukan Bada, Drs. Busra, menyatakan kepada peneliti bahwa “tanah yang belum ada [diketahui] ahli warisnya, jangan diambil oleh siapapun, tetapi untuk sementara waktu tanah itu dikelola oleh aparat gampong. Apabila suatu hari ada pihak ahli waris yang datang dan memiliki bukti-bukti yang otentik, maka tanah tersebut akan diberikan kepada ahli waris itu”.25

Sayangnya, hampir semua gampong yang dikunjungi oleh peneliti belum mendirikan Baitul Mal secara resmi. Padahal, sesuai dengan pasal 10 Keputusan Gubernur 18/2003, Teungku Imam atau Imam Meunasah sesungguhnya menjabat sebagai Kepala Baitul Mal Gampong.26 Karena ketiadaan struktur resmi Baitul Mal di gampong, maka tanah-tanah yang tidak ada lagi pemilik atau ahli warisnya itu berada di bawah pengawasan langsung kantor gampong yang merangkap sekaligus sebagai Baitul Mal.

Dalam kaitannya dengan tanah-tanah yang tidak ada lagi pemilik atau ahli warisnya itu, ada pandangan yang melihat tanah-tanah yang dikuasai oleh Baitul Mal gampong tersebut merupakan hak/tanah ulayat gampong. Namun, terdapat juga pendapat lain yang tidak menerima pandangan sedemikian itu, karena bila tanah-tanah tersebut dianggap sebagai hak ulayat gampong, maka anggota masyarakat dalam gampong itu bebas meletakkan hak-hak perseorangan atas tanah tersebut, misalnya: hak garap/pakai (hak useuha), atau hak milik (hak milek). Dengan demikian, suatu saat tanah-tanah itu dapat dibagi-bagikan atau diperjualbelikan baik kepada warga gampong itu sendiri maupun kepada orang yang berasal dari luar gampong itu. Idealnya, tanah-tanah yang tak meninggalkan ahli waris tersebut merupakan harta agama dan menjadi kekayaan suatu gampong yang diperuntukkan bagi kesejahteraan warga masyarakat gampong tersebut seperti yang sudah dipraktekkan selama ini di Aceh.

6. Tanah-tanah Pesisir yang Hilang Akibat Bencana Tsunami

Di beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya dan Aceh Barat terdapat sejumlah gampong di pesisir pantai yang wilayah daratannya tersapu oleh gelombang Tsunami sehingga tanah-tanah di gampong tersebut digenangi oleh air laut dan tidak meninggalkan bekas sama sekali. Di Aceh Besar, wilayah gampong yang mengalami keadaan ini terdapat di beberapa titik di pesisir pantai wilayah Kecamatan Lepung dan Lhoong. Sekalipun dua lokasi kecamatan itu tidak menjadi obyek penelitian ini, karena akses jalan yang cukup sulit ke tempat tersebut dan terbatasnya waktu riset, tidak ada salahnya jika di sini diterangkan pula aspek legal yang berkaitan dengan status tanah-tanah yang hilang akibat Tsunami menurut ketentuan hukum formal dan hukum Adat yang berlaku di Aceh Besar.

Berdasarkan pasal 27 Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, suatu hak kepemilikan tanah hapus apabila suatu bidang tanah musnah. Dalam konteks bencana Tsunami, musnahnya tanah terjadi akibat perubahan fisiknya, yaitu wujud daratannya terendam oleh air laut, sehingga tidak

25

Wawancara Camat Peukan Bada (6 Mei 2006).

26

Selain kepala Baitul Mal Gampong, terdapat pula kemungkinan ditunjuknya beberapa orang lain sebagai pengurus Baitul Mal yang menjabat Wakil Kepala, Sekretaris, Bendaharawan dan sejumlah anggota. Lihat pasal 10 Keputusan Gubernur nomor 18 tahun 2003.


(29)

dimungkinkan untuk melakukan pengukuran dan pendaftaran kembali tanah tersebut. Keadaan ini tentu saja merugikan bagi pemilik tanah, atau ahli warisnya, yang tidak dapat lagi menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut. Apalagi menurut pasal 12 Peraturan Pemerintah nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah,

“tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh Negara.”

Terhapusnya kepemilikan hak tanah juga diakui oleh hukum Adat Aceh. Menurut hukum adat, hak milik atas tanah dapat terhapus karena:

1. Tidak dikerjakan lagi sehingga menjadi terlantar;27

2. Bekas-bekas pembukaan tanah sudah hilang (tanah kebun atau ladang yang sudah menjadi hutan belukar atau tanah sawah/tambak sudah tidak ada pematangnya lagi);28

3. Dikikis sungai atau tergenang oleh air laut.29

Sekalipun hak kepemilikan tanah bisa terhapus menurut hukum Adat Aceh, tetapi hak kepemilikan seseorang atas tanah tersebut bisa timbul kembali di kemudian hari. Berbeda dari bunyi ketentuan pasal 12, PP 16/2004, di atas yang menafikan kemungkinan kembalinya hak kepemilikan tanah atas sebidang tanah yang tenggelam bila timbul kembali, prinsip adat yang pernah berlaku di Aceh Besar adalah bahwa “tanah yang timbul kembali di bekas tenggelamnya tanah milik seseorang menjadi hak terdahulu dari orang yang tanahnya tenggelam tersebut.” Dengan kata lain, terhadap sebidang tanah yang sudah tenggelam dan suatu saat bila tanah yang tadi hilang tersebut muncul ke permukaan lagi, pemiliknya tetap berhak memperolehnya kembali.30 Berpatokan pada prinsip adat ini, maka apabila sebidang tanah yang berada dipinggir pantai dan terendam oleh air laut akibat Tsunami, tetapi kemudian suatu saat air laut itu kering dan tanah yang tadi tertelan muncul kembali ke permukaan dan menjadi daratan, maka pemiliknya atau ahli warisnya tetap dapat memperoleh hak kepemilikan atas tanah tersebut. Penelitian ini tidak menemukan apakah prinsip adat semacam ini telah diberlakukan terhadap tanah-tanah yang hilang akibat bencana Tsunami. Tampaknya, perlu dilihat terlebih dahulu apakah tanah-tanah yang terendam oleh air laut di sejumlah wilayah pesisir Kecamatan Lepung dan Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, itu telah berubah keadaannya menjadi daratan kembali atau tidak.

7. Tanah-Tanah Pinggir Pantai yang berubah Wujud Permukaannya

Masih berkaitan dengan masalah yang dibahas di atas, kiranya relevan juga untuk diketengahkan di sini masalah tanah-tanah di bibir pantai yang, walaupun tidak tertelan air laut akibat dampak gelombang Tsunami, telah berubah wujud permukaannya. Tanah-tanah tersebut sesungguhnya masih berwujud dan tidak hilang tertelan air laut, tetapi sudah tidak memenuhi syarat lagi untuk didirikan di atasnya bangunan perumahan. Hal ini terjadi di salah satu wilayah lokasi penelitian ini, yaitu gampong Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar. Gampong yang terletak di pesisir pantai ini sebagian wilayahnya sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi untuk pemukiman penduduk karena telah tertimbun

27

Pola Penguasaan, h. 56.

28

Ibid. h. 75.

29

Wawancara T.I. El-Hakimy (26 April 2006).

30


(30)

sampah dan permukaan daratannya telah berubah bentuk menjadi pasir dan lumpur. Oleh karena itu, menghadapi situasi ini, pemerintah provinsi NAD berinisiatif untuk melakukan ‘tukar guling’ atau ruislag kepemilikan tanah dengan sejumlah pemilik tanah, atau ahli warisnya, di lokasi tersebut. Dengan kata lain, pemerintah akan mengambil alih kepemilikan seluruh tanah-tanah yang terdapat di lokasi bibir pantai itu dan menggantikannya dengan tanah-tanah di tempat lain milik Negara.

Tawaran pertukaran kepemilikan tanah dari pemerintah itu direspon secara positif oleh sebagian penduduk gampong Kajhu. Beberapa orang dari mereka kini dipindahkan kepemilikan tanahnya ke suatu daerah aliran sungai yang sudah mengering (sekarang menjadi tanah milik Negara), yang terletak di gampong Panteriek, Kecamatan Lueng Bata, Banda Aceh. Salah seorang korban Tsunami bernama RK yang bersedia ditukar tanahnya menuturkan kepada peneliti bahwa tanahnya di gampong Kajhu seluas 350 meter persegi, sementara luas tanah di gampong Panteriek yang menjadi gantinya hanya terdiri dari 120 meter persegi. Menurut RK, sisa kekurangan tanah yang luasnya sebanyak 230 meter itu nantinya akan dibayar oleh pemerintah sebagai kompensasi ganti rugi.31

31


(31)

B. Kewarisan

Kewarisan merupakan salah satu mekanisme peralihan hak kepemilikan atas suatu harta benda. Di Aceh pasca Tsunami, persoalan kewarisan adalah salah satu masalah hukum yang membutuhkan penanganan sebaik dan seakurat mungkin. Apalagi dengan jumlah korban Tsunami yang mencapai lebih dari dua ratus ribu jiwa (meninggal dan hilang), status seseorang sebagai ahli waris dan hak kepemilikan atas suatu harta warisan menjadi amat krusial untuk kebutuhan pembangunan kembali Aceh.

Dalam menyajikan hasil penelitian dalam bidang kewarisan pasca-Tsunami ini, fokus uraian di bawah akan lebih diarahkan kepada empat hal: (1) ahli waris, (2) harta warisan, (3) hak waris perempuan, dan (4) implementasi pembagian warisan.

1. Ahli Waris

Dalam masyarakat Islam, termasuk pula komunitas suku-suku Aceh, hubungan darah dan perkawinan dengan pewaris yang meninggal dunia merupakan faktor utama dalam hal kewarisan. Pada dasarnya hukum formal dan norma adat Aceh tidak banyak berbeda dalam menentukan siapa-siapa saja yang berhak berkedudukan sebagai ahli waris. Ada tiga macam ahli waris utama yang diakui oleh hukum formal (KHI pasal 174:1) dan norma adat Aceh sebagai berikut:

• Jalur laki-laki: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.

• Jalur perempuan: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.

• Jalur pasangan nikah: duda atau janda

Apabila semua ahli waris primer di atas masih hidup, yang berhak mewarisi hanya anak, ayah, ibu dan janda/duda.

Kepenganutan agama Islam merupakan syarat penting lainnya bagi seseorang untuk menerima harta warisan dari seorang pewaris Muslim. Hal ini karena menurut syariat Islam, perbedaan agama antara satu orang dan orang lainnya, yang walaupun mempunyai hubungan darah atau tali perkawinan, menjadi halangan untuk saling mewarisi. Keislaman seseorang diketahui berdasarkan apa yang tertera dalam kartu identitasnya (KTP) atau melalui pengakuan dan pengamalan ibadahnya sehari-hari. Hukum adat Aceh juga menyatakan hal yang sama tentang masalah ini. Karena itu, jika terdapat seorang anak yang terlahir dalam agama Islam kemudian menjadi murtad di usia dewasa, maka ia tidak dapat menerima harta warisan dari orang tuanya apabila meninggal dunia. Bahkan, menurut adat, hilangnya hak seseorang untuk mewarisi juga berimplikasi pada putusnya hubungan silaturrahmi keluarga.

Selain hal di atas, seseorang juga tidak dapat menjadi ahli waris apabila ia dipersalahkan telah mencoba untuk membunuh atau menganiaya pewaris. Seseorang menjadi terhalang haknya untuk menerima warisan jika ia dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat (KHI, 173).

a. Kewajiban Ahli Waris

Sepeninggal pewaris, para ahli waris tidak dapat langsung begitu saja membagi-bagi harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, melainkan harus menunaikan terlebih dahulu sejumlah kewajiban seperti diterangkan oleh KHI pasal 175:1 berikut ini:

• Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.

• Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.


(32)

• Menyelesaikan wasiat pewaris.

• Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

Dengan demikian, harta yang ditinggalkan pewaris terlebih dahulu dikurangi dengan hutang pewaris serta biaya-biaya lain yang perlu dikeluarkan seperti diatur di atas. Dalam hal ini, mungkin saja terjadi tidak ada lagi harta warisan yang tinggal. Bahkan bisa jadi hanya hutang-hutang pewaris yang ditinggalkan kepada ahli warisnya tersebut. Meski begitu, pasal 175:2 KHI dengan tegas telah menerangkan bahwa “tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya”.

Masalah hutang yang ditinggalkan pewaris, bagi masyarakat Aceh, adalah persoalan yang serius. Oleh karena itu, pembayaran hutang pewaris biasanya selalu diutamakan karena dapat membuat malu para ahli waris bila tidak dibayarkan. Di sebuah lokasi penelitian ini dilakukan, terdapat sebuah kasus kewarisan yang di dalamnya tersangkut persoalan utang-piutang. Kasus di boks di bawah diajukan untuk menunjukkan betapa pembayaran utang dalam masyarakat Aceh merupakan masalah yang cukup serius dalam kaitannya dengan kewarisan.

Tabel 6.

Sepasang suami istri mempunyai dua anak perempuan. Mereka memiliki harta bersama berupa rumah, tanah dan toko untuk usaha dagang mereka. Istri (E) meninggal dunia dalam Tsunami. Selain suami (H) dan dua orang anak perempuan yang masih hidup, terdapat pula 4 orang saudara kandung laki-laki dari E sebagai ahli waris. Semasa hidupnya, E adalah seorang pedagang yang memiliki satu toko pakaian perempuan yang terpisah dari suaminya. Bahkan menurut tetangganya, etos kerja E jauh lebih tinggi dibandingkan suaminya. Walaupun pasangan suami istri tersebut memiliki banyak harta berupa toko, rumah, dan tanah, hampir semua harta tersebut sudah menjadi agunan pinjaman di bank. Selain itu, E pun banyak memiliki hutang pada orang lain. Masalah timbul ketika 4 orang saudara laki-laki dari E menuntut agar H bertanggung jawab atas semua hutang-hutang E, karena selama ini ada beberapa orang yang datang untuk menagih hutang E kepada mereka. Keempat orang saudara laki-laki dari E tersebut meminta agar H menjelaskan semua harta peninggalan dan berapa jumlah hutang yang harus dibayar oleh E. H menyanggupi akan membayar seluruh hutang-hutang tersebut, tetapi tidak bisa dilunasi secara kontan karena modal usahanya akan habis sehingga membuat H tak dapat meneruskan usaha dagangnya. Persoalan ini sudah diketahui oleh aparat gampong yang mencoba menyelesaikan masalah ini. Hingga penelitian ini selesai dilakukan, sudah terbentuk sebuah tim yang ditugaskan oleh musyawarah gampong untuk mengidentifikasi harta-harta E yang ditinggalkan dan keseluruhan jumlah hutangnya.

2. Harta Peninggalan

Kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 171d mendefinisikan ‘harta peninggalan’ sebagai berikut: “harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang miliknya maupun hak-haknya.” Tidak diperoleh suatu keterangan lebih lanjut dalam Penjelasan KHI tentang apa yang dimaksud ‘hak-hak’ dalam pasal tersebut, apakah terbatas pada hak-hak kebendaan atau malah mencakup juga hak-hak non kebendaan seperti gelar kebangsawanan.


(1)

UU 7/1989). 4 PERSYARATAN

WALI

Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. (UU 1/1974, 51:2)

Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut, dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik atau badan hukum (KHI, 107:4)

Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam [UU 23/2002, 33] ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak. (UU 23/2002, 33:3)

Wali yang ditunjuk sedapat mungkin adalah laki-laki dari pihak keluarga ayah. Jika wali dari pihak keluarga ayah tidak ada, maka barulah ditunjuk laki-laki dari karoeng (keluarga ibu) sebagai wali. Jika ini pun tidak ada, maka perempuan baik dari pihak keluarga ayah atau ibu yang akan ditunjuk, walaupun sebutan wali tidak dikenakan kepadanya.8

Perlu di catat bahwa pemeliharaan anak yatim sehari-hari biasanya diserahkan kepada perempuan dari pihak

karoeng (keluarga ibu).9

5 WALI PEREMPUAN

Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada ketentuan yang melarang perempuan untuk ditunjuk menjadi wali.

Ahli hukum Subekti berpendapat bahwa bila salah seorang dari sepasang orang tua meninggal dunia, maka pasangan yang hidup otomatis bertindak sebagai wali bagi anak-anak yang masih di bawah umur 18.10

Dalam praktek pengadilan (Mahkamah Syar’iyah), perempuan telah ditetapkan sebagai wali terhadap anak

Hukum adat menekankan sedapat mungkin wali yang ditunjuk adalah laki-laki. Meski begitu, dalam keadaan tertentu (misalnya dalam keadaan tidak ada laki-laki yang layak ditunjuk sebagai wali), seorang perempuan dimungkinkan juga berfungsi sebagai wali yang menangani pemeliharaan sehari-hari anak yatim beserta harta warisannya. Akan tetapi, perempuan tersebut tidak akan dipanggil atau disebut sebagai ‘wali’.11

Majelis Permusyawaratan

Ulama (MPU) mendukung wali perempuan, khususnya seorang ibu sebagai wali bagi anak-anaknya yang telah menjadi yatim. Akan tetapi, berkaitan dengan harta warisan anak-anak yatim itu, tanggungjawab pengelolaannya berada di pihak ayah, kakek, atau bila tidak ada, seorang wali atau Mahkamah Syar’iyah.12

8

T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006); Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).

9

Lihat Badruzzaman Ismail, “Wali Perempuan dari Aspek Hukum Adat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, makalah disajikan dalam Lokakarya Perwalian Anak yang diselenggarakan bersama oleh Mahkamah Syar’iyah Provinsi, Yayasan Putroe Kande dan UNIFEM, Banda Aceh, 9-11 September 2005, h. 4.

10

Lihat “Inheritance, Guardianship and Women’s Legal Rights in Post-Tsunami Aceh: The Interaction of Syariah, Adat and Secular Laws”, IDLO Research Paper prepared by Tim Lindsey with Robyn Philips, Cate Sumner and Cathy McWilliam, (forthcoming 2006), h. 59.

11

T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).

12

Lihat “Inheritance, Guardianship”, h. 60; Tgk. H.M. Daud Zamzamy, “Kedudukan Wali Perempuan: Kajian Fiqh Klasik”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Perwalian Anak yang diselenggarakan bersama oleh Mahkamah Syar’iyah Provinsi, Yayasan Putroe Kande dan UNIFEM, Banda Aceh, 9-11 September 2005, h. 5.


(2)

yang masih di bawah umur. Dalam beberapa kasus di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Mahkamah Syar’iyah Jantho, ada ditetapkan bahwa nenek dari pihak ibu bertindak sebagai wali.

6 WASIAT UNTUK PERWALIAN

Orang tua dapat mewasiatkan seorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anaknya (KHI, 108) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi (UU 1/1974, 51:1).

Mahkamah Syar’iyah menyatakan bahwa dalam hal tidak ada wasiat perwalian, seseorang dapat menjadi wali yang sah setelah mendapatkan penetapan/pengukuhan dari Mahkamah Syar’iyah.13

Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum sebagai wali untuk anak-anak yang

ditinggalkannya.14

7 KEWAJIBAN DAN

TANGGUNG JAWAB WALI

Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. (UU 1/1974, 51:3) Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. (UU 1/1974, 51:5)

Berkewajiban mengurus diri dan harta anak yang di bawah perwaliannya dan

Mahkamah Syar’iyah menyatakan bahwa bila seorang wali terpaksa menjual tanah milik anak di bawah perwaliannya, wali terlebih dahulu harus memperoleh izin dari Mahkamah Syar’iyah.15

Menurut adat, seorang wali berkewajiban untuk mengurus anak dan hartanya, termasuk pendidikan, kesehatan, tempat tinggal dan kemaslahatan lainnya serta mengantarnya ke jenjang perkawinan.16

Dalam masyarakat Aceh, wali tidak hanya

bertanggung jawab terhadap anak yang berada di bawah perwaliannya, tetapi juga terhadap masyarakat dalam gampong yang

bersangkutan untuk melaksanakan kewajibannya dengan baik.17

Fatwa MPU 2/2005 (1) menyatakan bahwa hukum memelihara anak yatim adalah fardhu kifayah atas umat Islam.

13

Lihat Armia Ibrahim, “Perwalian Anak menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, makalah disampaikan dalam Workshop Faraidh IIIyangdiselenggarakan oleh Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 8-10 April 2006.

14

Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).

15

Armia Ibrahim (Diskusi, 2 Juni 2006).

16

Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).

17


(3)

berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya. (KHI, 110:1)

Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam [UU 23/2002, 33] ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan. (UU 23/2002, 33:4)

Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu (UU 1/1974, 51:4). Pertanggungjawaban wali harus dibuktikan dengan pembukuan setiap tahun sekali. (KHI, 110:4)

Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam [UU 23/2002] Pasal 33, dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. (UU 23/2002, 34)

Dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali menguntungkan atau tidak dapat dihindarkan. (KHI, 110:2) bertanggung jawab terhadap harta anak dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. (KHI, 110:3)


(4)

Undang-undang [Perkawinan] ini, [yaitu “orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya”]. (UU 1/1974, 52)

8 PENGGUNAAN HARTA OLEH WALI MISKIN UNTUK KEPERLUAN PRIBADINYA

Wali dapat mempergunakan harta anak yang berada dibawah perwaliannya untuk keperluannya dan kepentingannya menurut kepatutan (ma’ruf), jika wali itu fakir. (KHI, 112)

Hukum adat membolehkan wali yang miskin untuk menggunakan harta warisan milik anak di bawah perwaliannya untuk keperluan dirinya secukupnya. Apabila wali telah menggunakan harta melebihi dari jumlah yang diperlukan, maka pihak keluarga lain akan menegur dan bahkan dapat memohon agar kekuasaan perwaliannya dialihkan kepada orang lain.18

Menurut Q.S. An-Nisa: 6,19

seorang wali miskin hanya diperbolehkan

memanfaatkan harta anak yatim untuk sebatas kebutuhan pangan yang sewajarnya. Adapun wali yang kaya tidak diperkenankan mengambil manfaat dari harta anak yatim tersebut.

9 PENGAWASAN WALI

Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam [UU 23/2002, 35] ayat (1) bertindak sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak. (UU 23/2002, 35:2)

Dinas Syariat Islam menafsirkan kata ‘wali pengawas’ sebagai pengawas para wali.20

Menurut hukum adat, seorang wali biasanya diawasi oleh geuchik, imeum meunasah dan tuha peut gampong selaku pengurus baitul mal di gampong tersebut.21

Dalam praktek, kerabat dekat anak yatim, tetangga dan masyarakat yang berdiam di sekitar gampong itu ikut serta mengawasi wali dalam menjalankan kewajibannya.22

10 PENCABUTAN KEKUASAAN DAN

PENGGANTIAN WALI

Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini, [yaitu (a) sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak; dan (b) berkelakuan buruk sekali]. (UU 1/1974, 53:1)

Wali yang lalai atau tidak melaksanakan kewajibannya dapat dicabut kekuasaannya oleh Geuchik, dan seorang yang berasal dari pemuka gampong (seperti tuha peut

Dalam praktek, jika seorang wali tidak dapat mengelola atau menyalahgunakan harta warisan milik anak yatim, imam meunasah atau

18

Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006); T.I. El-Hakimy (Wawancara, 26 April 2006).

19

Bunyi ayat Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut: “Barang siapa [wali] mampu, maka hendaklah ia menahan diri [untuk memakan harta anak yatim itu] dan barang siapa [wali] miskin maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.”

20

Lihat Al-Indzar, publikasi khusus diterbitkan oleh Dinas Syariat Islam, no. 4 (15 September 2005), h. 7.

21

Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, (Ttp. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Istimewa Atjeh, 1970), h. 103-104.

22


(5)

Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal 53, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali. (UU 1/1974, 53:2)

Atas permohonan kerabat, hak perwalian dapat dicabut bila wali adalah pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan

wewenangnya (KHI, 109)

Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan. (UU 23/2002, 36:1)

Wali yang lalai dapat diganti oleh Pengadilan Agama dengan salah seorang kerabat atas permohonan kerabat tersebut (KHI, 107:3) Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan. (UU 23/2002, 36:2)

Penunjukan orang lain sebagai wali [dilakukan] oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut. (Penjelasan UU 7/1989, 49:2).

atau teungku meunasah) dapat ditunjuk sebagai wali pengganti. Atau, mungkin saja geuchik itu sendiri yang bertindak sebagai wali pengganti.23

kerabat dekat dari anak yatim itu dapat mengajukan permohonan penggantian wali kepada Mahkamah Syar’iyah. Namun penting dicatat bahwa pencabutan kekuasaan dan penggantian wali jarang terjadi.24

11 PENYERAHAN HARTA

Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta anak yang dibawah perwaliannya bila telah

Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta bila anak telah mampu

23

Ibid., h. 103.

24


(6)

KEPADA ANAK DI BAWAH PERWALIAN

mencapai usia 21 tahun atau telah menikah. (KHI, 111:1)

mengurus dirinya sendiri, mempunyai penghasilan sendiri atau telah menikah.25

12 PERSELISIHAN ANTARA WALI DAN ANAK

Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan anak yang berada di wilayahnya tentang harta yang diserahkan. (KHI, 111:2)

Berdasarkan pasal 49 UU no. 7/1989 tentang Peradilan Agama dan Qanun no. 10/2002 tentang Peradilan Syariat Islam, penyelesaian sengketa perwalian dan kewarisan berada dalam kewenangan Mahkamah Syar’iyah.

Perselisihan mengenai harta waris yang diserahterimakan dari wali kepada anak yang berada dalam perwaliannya biasanya diselesaikan melalui rapat adat gampong yang dihadiri oleh geuchik dan pemuka gampong setempat.26

13 GUGATAN GANTI RUGI TERHADAP WALI

Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut. (UU 1/1974, 54)

[Wali] bertanggung jawab terhadap harta anak dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya (KHI, 110:3)

25

Badruzzaman Ismail (Wawancara, 8 Mei 2006).

26