B. Kewarisan Kewarisan merupakan salah satu mekanisme peralihan hak kepemilikan atas suatu harta
benda. Di Aceh pasca Tsunami, persoalan kewarisan adalah salah satu masalah hukum yang membutuhkan penanganan sebaik dan seakurat mungkin. Apalagi dengan jumlah
korban Tsunami yang mencapai lebih dari dua ratus ribu jiwa meninggal dan hilang, status seseorang sebagai ahli waris dan hak kepemilikan atas suatu harta warisan
menjadi amat krusial untuk kebutuhan pembangunan kembali Aceh.
Dalam menyajikan hasil penelitian dalam bidang kewarisan pasca-Tsunami ini, fokus uraian di bawah akan lebih diarahkan kepada empat hal: 1 ahli waris, 2 harta
warisan, 3 hak waris perempuan, dan 4 implementasi pembagian warisan.
1. Ahli Waris
Dalam masyarakat Islam, termasuk pula komunitas suku-suku Aceh, hubungan darah dan perkawinan dengan pewaris yang meninggal dunia merupakan faktor utama dalam
hal kewarisan. Pada dasarnya hukum formal dan norma adat Aceh tidak banyak berbeda dalam menentukan siapa-siapa saja yang berhak berkedudukan sebagai ahli waris. Ada
tiga macam ahli waris utama yang diakui oleh hukum formal KHI pasal 174:1 dan norma adat Aceh sebagai berikut:
• Jalur laki-laki: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. • Jalur perempuan: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
• Jalur pasangan nikah: duda atau janda
Apabila semua ahli waris primer di atas masih hidup, yang berhak mewarisi hanya anak, ayah, ibu dan jandaduda.
Kepenganutan agama Islam merupakan syarat penting lainnya bagi seseorang untuk menerima harta warisan dari seorang pewaris Muslim. Hal ini karena menurut syariat
Islam, perbedaan agama antara satu orang dan orang lainnya, yang walaupun mempunyai hubungan darah atau tali perkawinan, menjadi halangan untuk saling
mewarisi. Keislaman seseorang diketahui berdasarkan apa yang tertera dalam kartu identitasnya KTP atau melalui pengakuan dan pengamalan ibadahnya sehari-hari.
Hukum adat Aceh juga menyatakan hal yang sama tentang masalah ini. Karena itu, jika terdapat seorang anak yang terlahir dalam agama Islam kemudian menjadi murtad di
usia dewasa, maka ia tidak dapat menerima harta warisan dari orang tuanya apabila meninggal dunia. Bahkan, menurut adat, hilangnya hak seseorang untuk mewarisi juga
berimplikasi pada putusnya hubungan silaturrahmi keluarga.
Selain hal di atas, seseorang juga tidak dapat menjadi ahli waris apabila ia dipersalahkan telah mencoba untuk membunuh atau menganiaya pewaris. Seseorang menjadi
terhalang haknya untuk menerima warisan jika ia dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam
dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat KHI, 173. a. Kewajiban Ahli Waris
Sepeninggal pewaris, para ahli waris tidak dapat langsung begitu saja membagi-bagi harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, melainkan harus menunaikan terlebih
dahulu sejumlah kewajiban seperti diterangkan oleh KHI pasal 175:1 berikut ini:
• Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai. • Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk
kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
• Menyelesaikan wasiat pewaris. • Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.
Dengan demikian, harta yang ditinggalkan pewaris terlebih dahulu dikurangi dengan hutang pewaris serta biaya-biaya lain yang perlu dikeluarkan seperti diatur di atas.
Dalam hal ini, mungkin saja terjadi tidak ada lagi harta warisan yang tinggal. Bahkan bisa jadi hanya hutang-hutang pewaris yang ditinggalkan kepada ahli warisnya tersebut.
Meski begitu, pasal 175:2 KHI dengan tegas telah menerangkan bahwa “tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah
atau nilai harta peninggalannya”. Masalah hutang yang ditinggalkan pewaris, bagi masyarakat Aceh, adalah persoalan
yang serius. Oleh karena itu, pembayaran hutang pewaris biasanya selalu diutamakan karena dapat membuat malu para ahli waris bila tidak dibayarkan. Di sebuah lokasi
penelitian ini dilakukan, terdapat sebuah kasus kewarisan yang di dalamnya tersangkut persoalan utang-piutang. Kasus di boks di bawah diajukan untuk menunjukkan betapa
pembayaran utang dalam masyarakat Aceh merupakan masalah yang cukup serius dalam kaitannya dengan kewarisan.
Tabel 6. Sepasang suami istri mempunyai dua anak perempuan. Mereka memiliki harta bersama
berupa rumah, tanah dan toko untuk usaha dagang mereka. Istri E meninggal dunia dalam Tsunami. Selain suami H dan dua orang anak perempuan yang masih hidup,
terdapat pula 4 orang saudara kandung laki-laki dari E sebagai ahli waris. Semasa hidupnya, E adalah seorang pedagang yang memiliki satu toko pakaian perempuan yang
terpisah dari suaminya. Bahkan menurut tetangganya, etos kerja E jauh lebih tinggi dibandingkan suaminya. Walaupun pasangan suami istri tersebut memiliki banyak harta
berupa toko, rumah, dan tanah, hampir semua harta tersebut sudah menjadi agunan pinjaman di bank. Selain itu, E pun banyak memiliki hutang pada orang lain. Masalah
timbul ketika 4 orang saudara laki-laki dari E menuntut agar H bertanggung jawab atas semua hutang-hutang E, karena selama ini ada beberapa orang yang datang untuk
menagih hutang E kepada mereka. Keempat orang saudara laki-laki dari E tersebut meminta agar H menjelaskan semua harta peninggalan dan berapa jumlah hutang-
hutang yang harus dibayar oleh E. H menyanggupi akan membayar seluruh hutang- hutang tersebut, tetapi tidak bisa dilunasi secara kontan karena modal usahanya akan
habis sehingga membuat H tak dapat meneruskan usaha dagangnya. Persoalan ini sudah diketahui oleh aparat gampong yang mencoba menyelesaikan masalah ini. Hingga
penelitian ini selesai dilakukan, sudah terbentuk sebuah tim yang ditugaskan oleh musyawarah gampong untuk mengidentifikasi harta-harta E yang ditinggalkan dan
keseluruhan jumlah hutangnya.
2. Harta Peninggalan
Kompilasi hukum Islam KHI pasal 171d mendefinisikan ‘harta peninggalan’ sebagai berikut: “harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang
miliknya maupun hak-haknya.” Tidak diperoleh suatu keterangan lebih lanjut dalam Penjelasan KHI tentang apa yang dimaksud ‘hak-hak’ dalam pasal tersebut, apakah
terbatas pada hak-hak kebendaan atau malah mencakup juga hak-hak non kebendaan seperti gelar kebangsawanan.
‘Harta warisan’ dibedakan dari ‘harta peninggalan’. KHI pasal 171e menerangkan makna ‘harta warisan’ sebagai “harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.” Di sini terlihat
bahwa pengertian ‘harta warisan’ lebih sempit cakupannya dari konsep ‘harta peninggalan’ yang mencakup seluruh harta kekayaan milik si pewaris. Harta warisan,
sebagaimana definisi di atas, terdiri dari dua jenis harta yaitu 1 harta bawaan dan 2 harta bersama. Uraian di bawah akan mencoba menjelaskan masing-masing pengertian
kedua konsep harta tersebut. a. Harta Bawaan
Harta bawaan adalah semua harta yang dimiliki masing-masing suami dan isteri sebelum perkawinan dan harta-harta yang didapatkan selama perkawinan dalam bentuk
hadiah, hibah dan warisan dari pihak ketiga sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan UU 11974, 35:2. Lebih lanjut, KHI pasal 86 mengatur
bahwa “pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan”. “Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya”. Di Aceh, harta bawaan seperti di atas disebut sebagai hareuta tuha yang dikuasai oleh
masing-masing suami dan isteri.
32
Menurut adat Aceh, harta bawaan adalah harta yang diperoleh suami atau isteri sebelum atau pada saat perkawinan. Harta bawaan dapat
berasal dari pencariannya sendiri, warisan dari orang tua atau kerabatnya, atau dapat pula berasal dari hibah.
33
Dalam masyarakat Aceh Besar, terdapat suatu konsep yang bertalian dengan harta bawaan milik isteri yaitu areuta peunulang. Areuta peunulang
adalah sebentuk pemberian harta hibah oleh orang tua kepada anak perempuan yang umumnya berupa harta tak bergerak tanah dan rumah yang dilakukan di hadapan
geuchik pada waktu peumekleh atau pemisahan anak perempuan karena hendak membangun rumah tangga yang baru bersama dengan suaminya. Pada saat penyerahan
harta peunulang ini, geuchik biasanya menanyakan berapa banyak harta seorang ayah yang akan diserahkan kepada anak perempuannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kerugian pihak ahli waris anak laki-laki di masa akan datang. Oleh sebab itu, seorang ayah biasaya bersikap bijaksana mempertimbangkan seluruh kekayaan dan jumlah
anaknya sehingga tidak akan menimbulkan ketidakadilan dalam pembagian harta kepada ahli waris kelak.
34
Seirama dengan bunyi KHI pasal 211 ‘hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan’, menurut adat Aceh, harta peunulang adalah hibah
yang diberikan oleh pewaris pada masa hidupnya kepada anak perempuan dan dapat diperhitungkan sebagai bagian dari harta warisan. Pengertian ‘dapat diperhitungkan
sebagai harta warisan’ disini tidak berarti bahwa rumah atau tanah yang sudah diberikan kepada anak perempuan itu dibagi-bagi kepada ahli waris yang lain, melainkan tanah
atau rumah itu dianggap sepenuhnya sebagai harta warisan untuk anak perempuan itu.
35
Bagi masyarakat Aceh Besar, tindakan untuk memperkarakan harta penulang ke pengadilan merupakan suatu aib yang memalukan karena dianggap mencongkel
32
Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi terhadap Beberapa Bentuk Integrasi Hukum dalam Bidang Kewarisan di Aceh, h. 267.
33
Ibid. h. 217.
34
Ibid. h. 219.
35
Ibid. h. 218-219.
kuburan orang tua. Walaupun mungkin ada ahli waris anak laki-laki yang berkeberatan dengan jumlah harta peunulang yang begitu besar diberikan kepada anak perempuan,
masyarakat Aceh pada umumnya memandang bahwa peunulang yang telah diberikan sebagai hibah orang tua kepada anak perempuannya tidak dapat dibatalkan. Hal ini
didasarkan pada hadis Nabi saw. yang artinya “Menarik kembali hibah seumpama anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya”.
36
Konsep harta bawaan dan peunulang pada umumnya dipraktekkan dengan baik oleh masyarakat Aceh Besar. Akan tetapi, sebagian di antara mereka memahami bahwa
suami yang masih hidup tidak memiliki hak waris terhadap harta bawaan atau peunulang milik isteri yang meninggal dalam Tsunami. Dua buah kasus di bawah
merupakan contoh yang dapat mewakili fenomena ini.
37
Tabel. 7 Kasus 1
Di gampong Meunasah Balee, seorang suami yang isterinya meninggal dunia dalam Tsunami tidak diberikan sedikitpun harta bawaan milik isterinya itu oleh ahli waris dari
pihak keluarga isteri. Alasannya, harta bawaan isteri tersebut berasal dari orang tuanya dan sebagiannya lagi dari perkawinan isteri dengan suami pertamanya yang meninggal
dunia lebih dulu. Apalagi suami kedua ini miskin dan tidak memiliki harta apapun pada saat menikah dengan istrinya. Suami kedua ini akhirnya melapor kepada Geuchik untuk
meminta bantuannya mendapatkan hak warisnya dari istrinya yang sudah meninggal.
Tabel 8. Kasus 2
Seorang suami di gampong Meunasah Balee, setelah isterinya meninggal dalam Tsunami, diusir oleh adik laki-laki isteri dari rumah tempat tinggal mereka dan tidak
mendapatkan hak apapun. Rumah tempat tinggal itu memang merupakan harta peunulang yang diberikan oleh orang tua isteri kepada anak perempuannya. Akhirnya
suami pulang kembali ke rumah orang tuanya di gampong lain yang juga tertimpa Tsunami dan di sana ia mendapatkan sebidang tanah milik orang tuanya yang
meninggal dalam Tsunami. Pihak suami mengadukan hal ini kepada Geuchik sekedar menyampaikan keadaannya dan tidak bermaksud memperpanjang masalah ini, apalagi
dia kini memperoleh tanah warisan dari orang tuanya sendiri untuk dibuatkan rumah bantuan.
Kedua kasus di atas memperlihatkan bagaimana sebagian masyarakat Aceh memahami kewarisan terhadap harta bawaan dan peunulang secara keliru. Padahal, baik harta
bawaan atau harta peunulang adalah harta peninggalan yang diwariskan oleh almarhumah isteri kepada ahli warisnya, termasuk untuk suaminya. Karena itu, suami
berhak menerima warisan dari harta bawaan atau peunulang sebesar ½ bagian bila tidak punya anak dan ¼ bagian bila ada anak.
36
Ibid. h. 219-220.
37
Wawancara dengan aparat gampong Meunasah Balee 10 Mei 2006.
b. Harta Bersama Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan merumuskan harta bersama sebagai
“harta benda yang diperoleh selama perkawinan”. Harta bersama ini dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak
bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Adapun harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban. Tanpa persetujuan kedua belah pihak suami
dan istri, harta bersama tidak dibolehkan untuk dijadikan barang jaminan, dijual atau dipindahkan UU 11974, 36; KHI, 91-92.
Dalam adat Aceh, harta bersama dikenal dengan istilah hareuta sihareukat, yang pengertiannya tidak jauh berbeda dengan konsep harta bersama menurut hukum positif.
Harta semacam ini dipahami sebagai harta yang dihasilkan bersama suami dan isteri selama dalam perkawinan dan dikuasai bersama oleh suami isteri. Dalam praktek di
Aceh, pengalihan hak atas harta bersama kepada pihak ketiga cukup ditandangani oleh suami, sedangkan isteri cukup memberi persetujuan lisan saja. Persetujuan ini biasanya
dinyatakan kepada Geuchik yang menandatangani surat pengalihan hak atas barang yang tak bergerak di suatu gampong. Seharusnya isteri juga ikut serta menandatangani
surat pengalihan hak atas harta bersama, tetapi dalam praktek, camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT percaya kepada Geuchik yang sudah mengetahui adanya
persetujuan isteri.
38
Menurut ketentuan hukum formal, harta bersama dibagi-bagi untuk suami dan isteri apabila terjadi perceraian atau kematian salah seorang pasangan suami isteri. KHI pasal
97 mengatur bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Apabila
terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama KHI, 96:1, dan separoh sisanya lagi menjadi harta warisan bagi para ahli waris
termasuk pasangan yang hidup lebih lama itu. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama KHI, 96:2.
Mahkamah Syar’iyah di Aceh telah mengeluarkan putusan untuk perkara mafqud hilang atau meninggal bagi para korban bencana Tsunami. Penetapan perkara
semacam ini ada yang dikeluarkan secara independen, tetapi ada juga yang dirangkaikan dengan perkara pengesahan ahli waris. Jumlah perkara mafqud di Mahkamah Syar’iyah
Banda Aceh dan Jantho dapat dilihat dalam tabel di bawah.
Tabel 9.
MAHKAMAH SYAR’IYAH
BANDA ACEH PENETAPAN
KEMATIAN MAFQUD
MAHKAMAH SYAR’IYAH
JANTHO PENETAPAN
KEMATIAN MAFQUD
Januari 2005 -
Januari 2005 -
Februari 2005 -
Februari 2005 -
Maret 2005 -
Maret 2005 -
April 2005 1
April 2005 -
Mei 2005 1
Mei 2005 -
38
Syahrizal, h. 272-273.
Juni 2005
-
Juni 2005
2
Juli 2005
1
Juli 2005
23
Agustus 2005
2
Agustus 2005
-
September 2005
2
September 2005
1
Oktober 2005
1
Oktober 2005
-
November 2005
3
November 2005
-
Desember 2005
4
Desember 2005
1
Januari 2006
2
Januari 2006
1
Februari 2006
-
Februari 2006
-
Maret 2006
-
Maret 2006
-
TOTAL 17
TOTAL 28
Akan tetapi, putusan untuk perkara mafqud seperti dalam tabel di atas kebanyakannya tidak bertalian langsung dengan masalah pembagian harta bersama. Biasanya penetapan perkara
mafqud yang independen diajukan oleh pihak isteri yang masih hidup untuk keperluan menikah lagi. Adapun perkara mafqud yang dirangkaikan dengan pengesahan ahli waris
bisa diajukan oleh pihak mana pun, termasuk keluarga jauh dari pihak suami atau isteri. Menurut ketentuan hukum adat Aceh, harta bersama tidak dibagi selama suami isteri masih
terikat dalam perkawinan. Harta bersama baru dibagi antara suami dan isteri apabila mereka bercerai, baik cerai hidup maupun cerai mati. Apabila salah satu pihak meninggal dunia
cerai mati, terlebih dahulu harta bersama dan harta milik pribadi pasangan yang meninggal dipisahkan. Setelah itu, barulah harta pasangan yang meninggal itu, yang terdiri
dari harta bawaannya dan sebagian dari harta bersama miliknya, difaraidhkan kepada semua ahli waris yang berhak, termasuk untuk pasangan yang masih hidup.
39
Sampai pada tahap ini, ketentuan adat tidak banyak berbeda dengan peraturan formal. Akan tetapi, cara
pembagian harta bersama dalam adat Aceh agak berbeda dari hukum positif karena terdapat bermacam-macam model pembagian harta bersama. Syahrizal mengemukakan sedikitnya 6
model pembagian harta bersama di Aceh, yang itu amat ditentukan oleh keadaan saat berakhirnya perkawinan seperti terdapat dalam kotak di bawah:
40
Tabel 10.
Adat Aceh tentang Cara Pembagian Harta Bersama
1 Dalam hal cerai hidup dan tidak mempunyai anak, maka harta bersama dibagi dua, yaitu ½ untuk suami dan ½ untuk isteri.
2 Dalam hal cerai hidup dan mempunyai anak, isteri mendapat ½, suami mendapat ¼ dan anak mendapat ¼.
3 Dalam hal cerai mati tanpa meninggalkan anak, tetapi ada ahli waris lainnya, maka ¾ untuk suami atau isteri dan ahli waris lainnya mendapat ¼.
4 Dalam hal cerai mati tanpa meninggalkan anak dan tanpa meninggalkan ahli waris, maka ¾ untuk suami atau isteri dan ¼ untuk Baitul Mal.
5 Dalam hal cerai mati dan ada meninggalkan anak laki-laki, maka semua harta untuk isteri dan anak-anaknya.
6 Dalam hal cerai mati dan hanya mempunyai anak perempuan, maka selain isteri dan anak perempuan itu, terdapat juga bagian hak untuk walinya.
Seperti diakui oleh Syahrizal sendiri, cara pembagian harta bersama di atas memperlihatkan ketidakseragaman di seluruh Aceh, dan hal itu tergantung dari
39
Ibid. h. 274-275.
40
Ibid. h. 275.
kabupaten masing-masing yang memiliki alasan-alasan kultural tertentu. Adapun di Aceh Besar yang menjadi lokasi penelitian ini, terdapat dua cara pembagian harta
bersama yaitu: 1. Untuk suami seperdua, dan untuk istri pun seperdua.
2. Untuk suami duapertiga, dan untuk istri sepertiga. Cara pembagian ini didasarkan
pada alasan bahwa pekerjaan usaha suami dianggap lebih berat bila dibandingkan dengan usaha isteri. Praktek pembagian semacam ini umumnya dilakukan di
gampong-gampong yang terletak di pesisir pantai yang mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah nelayan, sementara isteri hanya bertugas di rumah mengurus
masakan dan menjaga anak-anak.
41
Pemahaman terhadap konsep harta bersama di kalangan sebagian besar informan yang ditemui di beberapa gampong dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa mereka
kurang mengerti dengan baik apa yang dimaksudkan dengan harta bersama dalam perkawinan sepasang suami isteri. Akibatnya, dalam pembagian harta warisan pasca
Tsunami seringkali diketemukan bahwa nama yang tertera di atas kepemilikan suatu harta benda, baik berupa rekening bank atau sertifikat tanah, yang diperoleh selama
perkawinan, dianggap menjadi patokan untuk menentukan siapa pemilik harta benda tersebut. Dengan demikian, harta benda dengan kondisi semacam itu, walaupun
diperoleh selama perkawinan, dipandang sebagai milik pribadi dan bukan sebagai harta bersama.
Dalam banyak kasus yang seluruh anggota keluarga inti suami, isteri dan anak-anak meninggal dunia akibat Tsunami, keluarga pihak isteri pada umumnya dirugikan dengan
berkembangnya pemahaman harta bersama seperti itu. Hal ini karena harta bersama yang ditinggalkan, seperti tabungan, deposito dan sertifikat tanah, pada umumnya
adalah atas nama suami. Dengan demikian, biasanya pihak keluarga suami lah yang lebih sering menguasai semua dana-dana tersebut dan mengabaikan hak pihak keluarga
isteri atas harta bersama tersebut. Dalam hal ini, posisi keluarga pihak istri berhadapan dengan posisi keluarga pihak suami seringkali terlihat tak berdaya. Padahal seluruh
harta peninggalan yang diperoleh setelah berumah tangga itu dikategorikan sebagai harta bersama, di mana masing-masing pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri
berhak untuk bersama-sama memperoleh setengah bagian. Dua kasus yang ditemukan di Banda Aceh di bawah memperjelas uraian ini.
Tabel 11.
Kasus 1: Harta Bersama di Lambaro Skep
A dan B masing-masing adalah sepasang suami isteri korban Tsunami tanpa memiliki anak. C
adalah saudara laki-laki dari suami A yang sudah meninggal dan mempunyai dua orang anak laki-laki
yaitu D dan E. Adapun F adalah saudara laki-laki seayah dari isteri B. A dan B memiliki harta
bersama sebagai harta peninggalan. D, E pihak keluarga suami dan F pihak keluarga isteri
sesungguhnya adalah para ahli waris yang sah atas
41
Ibid. h. 275-276.
A B
F C
D E
harta bersama tersebut. Akan tetapi, D dan E menguasai semua harta bersama tersebut, sementara
F tidak mendapatkan apapun dari harta bersama milik B, yang merupakan saudara perempuannya. F
tidak menerima hal ini dan akhirnya mengadukan hal itu ke kantor gampong dan meminta agar CARE
tidak memberikan bantuan rumah untuk D dan E di atas tanah warisan yang masih disengketakan itu.
Tabel 12.
Kasus 2: Harta Bersama di Lampaseh Kota
A dan B masing-masing merupakan suami isteri yang meninggal dalam Tsunami. Mereka berdua tidak punya anak. E dan F adalah ahli waris dari pihak keluarga suami,
sedangkan C dan D adalah ahli waris dari pihak keluarga isteri. C dan D mengetahui bahwa pasangan suami isteri tersebut memiliki simpanan di bank BRI Darussalam dan
mencairkannya berdasarkan surat keterangan yang mereka peroleh dari Sigli, tempat mereka berasal. Tak lama setelah mendengar bahwa C dan D menerima uang sebesar 11
juta rupiah yang merupakan harta bersama milik A dan B dari bank, pihak keluarga suami F dan E membuat pengaduan kepada Geuchik dan Imam Meunasah kelurahan
Lampaseh Kota. Aparat kelurahan kemudian menyiapkan surat keterangan untuk F dan E sebagai ahli waris. Diantar oleh Imam Meunasah ke kantor BRI, F dan E meminta
pihak bank membatalkan pencairan dana 11 juta rupiah untuk pihak keluarga isteri C dan D, dan agar menyerahkan dana tersebut kepada F dan E. Pihak bank akhirnya
mengambil kembali dana tersebut dari C dan D, dan kemudian meberikan seluruhnya kepada pihak keluarga suami F dan E. Tragisnya, pihak keluarga isteri tidak
mendapatkan sama sekali bagian dari uang tabungan tersebut yang merupakan harta bersama. Bahkan, sebidang tanah yang ditinggalkan oleh A dan B kini dibangun sendiri
oleh pihak keluarga suami F dan E tanpa sepengetahuan pihak keluarga isteri C dan D yang sebenarnya juga adalah ahli waris yang sah.
c. Uang Pensiun dan Tabungan Hari Tua Di antara ratusan ribu korban yang hilang atau meninggal dalam bencana Tsunami
terdapat pegawai negeri sipil PNS yang bekerja pada instansi pemerintah dan karyawan tetap yang bekerja di perusahaan swasta yang berlokasi di Aceh. Sebagai
korban dalam Tsunami, mereka tentu berhak mendapat sejumlah pembayaran yang akan diterima oleh ahli waris mereka.
i
Pegawai Negeri Sipil Di antara pembayaran yang diterima oleh ahli waris dari korban Tsunami yang berstatus
PNS adalah uang pensiun dan tabungan hari tua PP 251981, 8, yang sesungguhnya
A B
C D
F E
berasal dari penyisihan delapan persen dari upah bulanan PP 251981, 6. Dari penjelasan ini, uang pensiun tentunya dapat dikategorikan sebagai harta bersama karena
diperoleh selama perkawinan. Akan tetapi berbeda dari pembagian harta bersama pada umumnya, uang pensiun akan dibayarkan tunai setiap bulan kepada salah satu dari 3
pihak ahli waris yang ada, yaitu 1 jandaduda dari pegawai yang meninggal dunia hingga jandaduda itu meninggal dunia atau menikah lagi; 2 anak yatim piatu dari
pegawai yang meninggal sampai anak yatim piatu itu mencapai usia 23 tahun, bekerja tetap atau menikah; dan 3 ayah atau ibu dari pegawai yang tewas dalam keadaan
masih lajang sampai batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan UU 402004, 41:1, 41:6 dan PP 251981, 10:2. Dalam hal ketiga pihak ahli waris
tersebut ikut pula meninggal atau hilang dalam bencana Tsunami, maka uang pensiun bulanan itu tidak akan dibayarkan kepada kepada ahli waris lainnya misalnya: saudara
kandung atau paman di luar tiga pihak ahli waris yang disebutkan di atas. Salah seorang hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh menuturkan kepada peneliti bahwa
jika masalah semacam ini diperiksa oleh Mahkamah, hakim akan memutuskan sama seperti ketentuan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan itu.
42
Selain uang pensiun yang diterima setiap bulan oleh ahli waris dari PNS yang meninggal, ahli waris juga berhak menerima tabungan hari tua yang dibayar satu kali
secara tunai sekaligus pada saat PNS yang bersangkutan meninggal dunia Penjelasan PP 251981, 9:2; UU 402004, 37:1. Akan tetapi, berbeda dengan uang pensiun yang
dibatasi penerimanya hanya pada salah satu dari tiga pihak ahli waris di atas, tabungan hari tua bagi PNS atau yang kerap dikenal oleh masyarakat sebagai Taspen ini dapat
dibayarkan kepada ahli waris lain di luar tiga pihak ahli waris tersebut UU 402004, 37:4.
2. Karyawan Swasta Karyawan swasta tidak menerima uang pensiun, kecuali bila mereka menjadi peserta
Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
43
Akan tetapi, karyawan swasta menerima juga Jaminan Hari Tua. Jaminan Hari Tua ini dapat
dibayarkan tunai sekaligus, atau secara berkala, atau sebagian dan berkala UU 31992, 14:1. Dalam hal karyawan swasta tersebut meninggal dunia, pembayaran ini diberikan
kepada ahli warisnya, yaitu “janda atau duda atau anak yatim piatu”. UU 31992, 14:2. Ketentuan dalam UU 31992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja ini telah menentukan
secara spesifik para ahli waris yang akan menerima manfaat Jaminan Hari Tua apabila seorang pekerja meninggal dunia.
Akan tetapi, sebuah peraturan yang baru dikeluarkan UU 402004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional telah mengintroduksi suatu ketentuan yang lebih umum dalam
pasal 37 4 sebagai berikut: “Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya yang sah berhak menerima manfaat jaminan hari tua.” Pengertian ‘ahli waris yang sah’ dalam
pasal tersebut tidak menunjuk langsung siapa-siapa pihak tertentu yang berhak menerima dana Jaminan Hari Tua atau Taspen. Dengan demikian, dalam hal seluruh
keluarga inti meninggal dunia, seperti yang cukup sering didapati dalam bencana Tsunami, pihak keluarga suami dan pihak keluarga istri apakah ayah ibu, saudara
kandung, maupun keponakan, dapat juga menjadi ahli waris yang menerima manfaat
42
Wawancara Salahuddin Mahmud, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, 16 Mei 2006.
43
Keterangan lebih lanjut mengenai Dana Pensiun silakan lihat Undang-Undang nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun; Peraturan Pemerintahan nomor 76 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi
Kerja, dan Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
Jaminan Hari Tua dari karyawan swasta atau Taspen milik seorang PNS yang meninggal dalam Tsunami itu. Mungkin karena ketentuan ini masih baru dikeluarkan 2 bulan sebelum
Tsunami terjadi, belum banyak pihak yang mengetahuinya, termasuk aparat gampong. Karena itu tidak heran bila terdapat Geuchik yang belum dapat menyelesaikan pembagian
dana Taspen antara seorang janda yang sudah menikah kembali dengan pria lain dengan seorang saudara laki-laki suami yang meninggal dalam Tsunami.
44
d. Jaminan Kematian Selain gaji pensiun dan tabungan hari tua, terdapat pula uang santunan kematian yang
diberikan kepada ahli waris dari korban Tsunami yang bekerja di kantor pemerintahan atau perusahaan swasta. Iuran jaminan kematian ditanggung oleh kantor pemberi kerja.
Adapun besarnya manfaat Jaminan Kematian ditetapkan berdasarkan suatu jumlah nominal tertentu UU 402004, 45-46. Jaminan Kematian meliputi biaya pemakaman
dan santunan berupa uang tunai. Jaminan Kematian dibayarkan kepada ahli waris pekerja yang meninggal dunia UU 31992, 13, dengan urutan penerima yang
diutamakan sebagai berikut:
1. janda atau duda; 2. anak;
3. orang tua; 4. cucu;
5. kakek atau nenek; 6. saudara kandung;
7. mertua.
45
e. Uang Asuransi: Harta Bersama atau Harta Peninggalan? Dalam beberapa kasus korban yang meninggal dalam Tsunami, terdapat di antara
mereka yang memiliki polis asuransi jiwa dari berbagai perusahaan asuransi yang terdaftar. Pembayaran dari perusahaan asuransi jiwa tersebut kepada keluarga korban
Tsunami masih sering menjadi pembicaraan apakah menjadi harta bersama korban dengan isterisuaminya ataukah merupakan harta peninggalan dari korban yang
meninggal itu.
46
Soufyan Saleh, Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, berpendapat bahwa dengan mengacu kepada putusan kasasi yang dikeluarkan
Mahkamah Agung no. 97AG1994 uang asuransi tidak dapat digolongkan sebagai harta bersama dan tidak pula dapat disebut sebagai harta peninggalan. Dengan
demikian, pembayaran uang pertanggungan asuransi harus mengacu kepada ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut dalam klausula perjanjian Asuransi itu sendiri.
47
Putusan kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung di atas sesungguhnya sudah didahului dua tahun sebelumnya oleh sebuah putusan kasasi yang amar putusannya
sebetulnya tidak banyak berbeda. Kasus di bawah ini dengan jelas menunjukkan bahwa uang pertanggungan asuransi bukanlah harta bersama dan bukan pula harta peninggalan.
Adapun ringkasan kasusnya sebagai berikut:
48
44
Wawancara dengan M. Amin, gampong Meunasah Balee, 10 Mei 2006.
45
Pasca Tsunami, Jamsostek NAD mengeluarkan Edaran yang menambah satu ahli waris penerima selain tujuh orang di atas, yaitu saudara kandung orang tua. Lihat Rusydi Ali Muhammad, “Permasalahan Tanah
di Aceh Pasca Tsunami”, Makalah Diskusi Bulanan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Banda Aceh, 17 Juli 2006, h. 9.
46
Saleh, “Pembagian Hak Warisan”, h. 7.
47
Ibid.
48
Kasus ini dikutip secara ringkas dari rubrik Analisis Yurisprudensi, Mimbar Hukum no.18, vol. VI 1995.
Tabel 13.
Tingkat Pertama
Pengadilan Agama Tapak
Tuan Aceh Selatan
Putusan No: 29G1991PA-
TTN Para penggugat 1 saudara perempuan dan dua saudara laki-laki seibu
menggugat janda dan mengklaim bahwa dana dari asuransi jiwa dan tunjangan kematian yang berasal dari Menteri Agama dan Pemerintah Saudi
Arabia kepada saudara laki-laki mereka suami dari tergugat yang meninggal akibat musibah terowongan Mina pada saat beribadah haji
merupakan harta warisan. Penggugat meminta Pengadilan Agama memfaraidhkan uang tersebut. Pengadilan Agama menerima gugatan para
penggugat dan membagi harta tersebut: janda mendapat ¼, saudara perempuan memperoleh ½, dan dua saudara laki-laki seibu menerima sisanya
¼.
Tingkat Banding
Pengadilan Tinggi Agama
Banda Aceh Putusan No:
491991 Pengadilan Tinggi Agama menemukan bahwa putusan Pengadilan Agama
Tapak Tuan telah keliru menerapkan hukum; uang dari Menteri Agama dan pemerintah Saudi bukanlah tirkah harta peninggalan dari pewaris, tetapi
donasi untuk seluruh ahli waris yang harus dibagikan sama rata antara penggugat dan tergugat. Adapun uang asuransi dipandang sebagai harta
bersama dari pernikahan janda dan almarhum suaminya yang harus difaraidkan untuk seluruh ahli waris menurut ketentuan hukum.
Tingkat Kasasi
Mahkamah Agung
Putusan No: 198KAG1992
Mahkamah Agung memutuskan bahwa Pengadilan Tinggi Agama telah keliru menerapkan hukum karena yang dipandang sebagai harta warisan itu
seluruhnya berada dalam kepemilikan janda pada saat pewaris hidup. Karena itu, uang asuransi dan dana yang diberikan oleh Menteri Agama dan
Pemerintah Saudi tidak dapat dibagi-bagikan di antara ahli waris. Mahkamah Agung akhirnya memutuskan semua dana itu diserahkan kepada janda.
3. Hak Waris Perempuan
Setelah menjelaskan tentang harta peninggalan pada bagian di atas, kini saatnya untuk membicarakan hak atas bagian dari harta peninggalan yang akan diterima oleh
para ahli waris. Mengenai besarnya bagian untuk ahli waris dalam hukum adat pada prinsipnya, sama dengan ketentuan hukum Islam atau sebagaimana yang diatur
secara umum dalam KHI.
Pengaruh hukum Islam terhadap hukum adat Aceh diakui sangat besar. Namun, pelaksanaan ketentuan hukum semacam itu tidak terlalu ketat
sepanjang ada kesepakatan antara semua ahli waris berkaitan dengan jumlah bagian
dari harta warisan yang akan diterima. Mempertimbangkan fokus utama dan tujuan penelitian ini, bagian ini tidak akan
menguraikan semua pihak-pihak ahli waris, tetapi akan membatasi pada ahli waris berkelamin perempuan saja.
a. Anak Perempuan Menurut pasal 176 KHI, anak perempuan mendapatkan seperdua bila seorang diri,
dan duapertiga bila mereka jumlahnya berdua atau lebih. Apabila anak perempuan tersebut bersama anak laki-laki sebagai pewaris, maka bagian anak perempuan
adalah setengah dari bagian anak laki-laki.
Norma adat Aceh mengenai hak waris anak perempuan ini tidak banyak berbeda. Dengan demikian, jika terdapat hanya
seorang anak perempuan ia akan mendapatkan ½ bagian, dan jika 2 orang atau lebih
mereka akan mendapatkan 23 bagian dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan pewaris. Begitupun, bila anak perempuan itu bersama-sama dengan anak laki-laki,
maka anak perempuan akan menerima ½ bagian dari jumlah yang diterima oleh anak laki-laki. Tapi pada dasarnya pembagian harta warisan di gampong amat
bergantung pada pertimbangan orang-orang tua adat dan atau persetujuan sesama anak-anak laki-laki dan perempuan. Malah dalam adat Aceh, terdapat konsep harta
peunulang, yaitu rumah dan tanah pekarangannya diberikan kepada anak perempuan pada saat ia menikah, yang salah satu tujuannya adalah untuk perimbangan dari
kekurangan bagian yang diterima oleh anak perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki pada saat pembagian harta warisan sepeninggal pewaris. Melalui konsep
harta peunulang inilah, boleh jadi bagian harta yang diterima oleh anak perempuan akan lebih banyak dibandingkan dengan harta bagian anak laki-laki.
Posisi anak perempuan dalam praktek kewarisan di gampong terlihat lemah khususnya jika ia adalah satu-satunya, atau lebih, anak perempuan yang masih hidup
sementara ahli waris utama lainnya e.g. anak laki-laki, ayah dan ibu, janda atau duda sudah meninggal dunia. Dalam keadaan seperti ini, dimana anak perempuan
tidak dapat menjadi `asabah ahli waris yang menghabiskan seluruh harta warisan, timbul kecenderungan bahwa wali, khususnya pihak keluarga ayah dari anak
perempuan tersebut, datang dengan alasan perwalian untuk menguasai harta peninggalan para pewaris. Terlebih lagi apabila anak perempuan tersebut masih di
bawah umur dan belum mengerti akan hak-haknya. Aparat gampong pada umumnya tidak menghalangi tindakan yang diambil oleh wali tersebut, karena itu memang
merupakan praktek yang berlaku luas. Diagram di bawah mencoba mengilustrasikan bagaimana posisi anak perempuan yang sebatangkara sepeninggal kedua
orangtuanya berhadapan dengan wali yang merupakan saudara laki-laki ayahnya paman.
Diagram 2.
Di gampong Meunasah Balee, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, terdapat seorang anak perempuan E yang tidak mendapatkan sama sekali harta
warisan dari ayahnya C karena pamannya D menguasai seluruh harta peninggalan AB lihat diagram di bawah. Harta warisan berupa 150 juta rupiah
mulanya merupakan milik kakek nenek AB yang meninggal sebelum kejadian Tsunami. Kakek nenek ini mempunyai dua orang putra C dan D sebagai ahli
waris. Akan tetapi, salah satu ahli waris ini, yaitu C, meninggal dalam Tsunami. Akhirnya seluruh harta peninggalan kakek diambil oleh paman D dan tidak
memberikan hak sedikitpun kepada anak perempuan itu yang sesungguhnya
A D
C B
merupakan ahli waris yang sah dari harta milik ayahnya yang diterimanya dari AB.
49
Diagram 3. Situasi yang agak menguntungkan bagi anak perempuan di bawah umur adalah jika
di gampong di mana anak perempuan itu menetap terdapat proses sertifikasi tanah yang dilakukan oleh program RALAS yang berada di bawah kendali BPN dan
mengikutsertakan Mahkamah Syar’iyah dalam program tersebut. Dalam keadaan ini, kemungkinan besar anak perempuan tersebut mendapatkan hak penuh atas tanah
yang ditinggalkan oleh orang tuanya, termasuk sertifikat tanah akan diterbitkan atas nama anak perempuan tersebut. Hal ini karena Mahkamah Syar’iyah dalam
menetapkan perwalian bagi seorang anak di bawah umur di suatu gampong seringkali juga menginformasikan kepada warga masyarakat dan aparat gampong
bahwa anak perempuan dapat mewarisi seluruh harta peninggalan milik pewaris. Penting kiranya dicatat di sini bahwa terdapat yurisprudensi di Pengadilan Agama
Mahkamah Syar’iyah yang memutuskan untuk menyerahkan seluruh sisa dari harta warisan yang tidak habis itu ½ kepada seorang anak perempuan, dan tidak
lagi diberikan, misalnya, kepada paman wali yang masih hidup.
50
Dengan kata lain, seorang anak perempuan yang sebatangkara dapat menghabiskan seluruh harta
peninggalan pewaris. Yurisprudensi ini jelas bertentangan secara diametral dengan
bunyi pasal 176 KHI yang sudah disebutkan di atas. Tampaknya suatu terobosan hukum baru ijtihad sudah dilakukan dalam praktek khususnya untuk mengatasi
persoalan yang dipandang kurang menguntungkan bagi posisi anak perempuan. Oleh sebab itu, sebagaimana disampaikan oleh Hasyim Mannan, Ketua Mahkamah
Syar’iyah Banda Aceh, anak perempuan di bawah umur yang ditetapkan perwaliannya oleh Mahkamah Syar’iyah melalui program RALAS dapat
dicantumkan namanya dalam sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN, sementara pengelolaan tanah tersebut tetap akan di bawah kontrol wali yang sudah ditunjuk
oleh Mahkamah hingga anak yatim itu dewasa. Hasyim juga menambahkan bahwa dalam hal terdapat dua orang anak di bawah umur yang berbeda jenis kelamin, laki-
laki dan perempuan, maka bagian tanah untuk anak perempuan adalah setengah dari bagian anak laki-laki. Perbedaan ukuran luas tanah bagi anak laki-laki dan
perempuan tersebut terlihat dalam sertifikat yang diterbitkan oleh BPN atas nama mereka masing-masing.
51
b. Janda
49
Wawancara dengan Geuchik Meunasah Balee 10 Mei 2006.
50
Wawancara Rafiuddin, Ketua Mahkamah Syar’iyah Jantho 27 April 2006.
51
Wawancara Hasyim Mannan, Ketua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh 26 April 2006.
AB C
D
E
Posisi janda merupakan contoh lain yang tidak jauh berbeda dengan kasus anak perempuan di atas. Menurut KHI, seorang janda mendapat ¼ bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan mendapat 18 bila pewaris meninggalkan anak KHI, 180. Selain itu, janda akibat cerai mati juga berhak atas harta bersama sebesar separoh
bagian KHI, 96:1. Hak janda atas harta peninggalan pewaris menurut adat Aceh tidak berbeda dengan ketentuan formal dalam KHI itu. Akan tetapi, hak seorang
janda atas harta bersama, menurut adat, besarnya boleh seperdua bagian atau sepertiga bagian seperti sudah diterangkan di atas dalam pembahasan Harta
Bersama.
Seorang janda tanpa anak ataupun hanya mempunyai anak perempuan sesungguhnya dalam beberapa kasus berada dalam posisi yang relatif lemah
berhadapan dengan keluarga pihak suami e.g. ipar dan mertua. Sungguhpun seorang janda memperoleh 18 324, seorang anak perempuannya memperoleh ½
1224, sementara keluarga pihak suami yaitu ibu mertua mendapat 16 atau 424 dan ipar akan memperoleh 524, seringkali terjadi keluarga pihak suami ini
mengontrol seluruh harta kekayaan yang diwariskan dengan pertimbangan bahwa mereka berkedudukan sebagai wali yang nantinya akan menikahkan anak
perempuan tersebut. Kondisi semacam ini lebih tampak khususnya jika anak-anak perempuan tersebut masih di bawah umur. Diagram di bawah mencoba
mengilustrasikan posisi janda dengan seorang anak perempuan berhadapan dengan pihak keluarga suami yang terdiri dari ipar laki-lakinya dan ibu mertuanya.
Diagram 4. Pembagian warisan:
Janda B = 324
Anak E = 1224 Ibu C = 424
Saudara laki-laki D = 524
Dalam hal janda tersebut tidak mempunyai anak sama sekali, kedudukannya betul- betul menjadi lemah sekali berhadapan dengan satu-satunya ipar laki-lakinya yang
masih hidup. Di gampong Meunasah Balee, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, ditemukan kasus seorang janda dan seorang ipar laki-laki sebagai ahli waris.
Masalah kewarisan ini sudah diajukan kepada Geuchik untuk diselesaikan. Geuchik kemudian memberikan ¼ bagian dari harta warisan kepada janda karena tidak ada
anak, sedang sisanya yaitu ¾ bagian menjadi milik saudara laki-laki dari almarhum suami janda tersebut.
52
Ilustrasi kasus ini dapat dilihat pada diagram di bawah. Diagram 5.
52
Wawancara dengan Geuchik Meunasah Balee 10 Mei 2006.
A D
E B
C
A C
B
Sesungguhnya janda tersebut tidak hanya memperoleh ¼ bagian, karena harta warisan yang ditinggalkan pewaris merupakan harta bersama. Seharusnya janda itu memperoleh
½ dari harta bersama dan ¼ dari harta warisan suaminya yang meninggal karena mereka tidak punya anak. Dengan demikian, sebetulnya janda memperoleh total ¾ bagian dari
keseluruhan harta peninggalan, sementara iparnya hanya memperoleh ¼ bagian. Masih di gampong Meunasah Balee, terdapat kasus janda lain yang berhadapan
dengan ipar laki-lakinya. Dalam kasus ini, pembagian harta warisan sebetulnya sudah dapat dilakukan secara musyawarah keluarga. Akan tetapi, muncul persoalan
pada harta warisan berupa barang bergerak yaitu kendaraan mobil. Mobil itu ditaksir harganya sebesar 35 juta rupiah. Janda itu diminta untuk membayar sebesar sepuluh
juta rupiah kepada saudara laki-laki suaminya kalau ia ingin memiliki sepenuhnya kendaraan tersebut. Tapi janda tersebut tidak mau melakukannya. Setelah mendapat
laporan kasus ini, oleh pihak gampong, janda tersebut akhirnya ditetapkan berhutang kepada iparnya sebesar 10 juta rupiah dan wajib melunasinya. Janda tersebut tidak
punya pilihan lain dan terpaksa mengusahakan agar mobil itu lekas terjual untuk dapat melunasi hutangnya.
53
c. Cucu perempuan patah titi Ahli waris perempuan lainnya yang patut didiskusikan di sini adalah cucu
perempuan yang ayah ibunya meninggal terlebih dahulu daripada pewaris kakek cucu perempuan. Menurut ketentuan formal, ahli waris yang meninggal lebih
dahulu daripada pewaris, kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, dan bagian ahli waris pengganti itu tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti KHI, 185:1-2. Hukum positif ini mengatur bahwa hubungan saling mewarisi antara seorang kakek dan cucunya, walaupun orang tua dari cucu itu
sudah meninggal lebih dulu, adalah sesuatu yang dibenarkan secara hukum. Adapun jumlah bagian harta warisan yang diterima oleh cucu itu tidak dapat melebihi bagian
harta warisan yang diterima oleh masing-masing saudara-saudari dari orang tuanya. Kemungkinan besar jumlah yang bakal diterima cucu itu setidaknya sama
banyaknya dengan bagian saudara-saudari orang tuanya. Diagram di bawah mencoba menjelaskan kasus ini.
Diagram 6.
Keterangan gambar: F adalah cucu perempuan
D adalah orang tua F yang meninggal lebih dulu dari A dan B yg merupakan kakek dan nenek
dari F yang meninggal dalam Tsunami E dan C adalah anak kandung dan merupakan ahli
waris dari A dan B F menggantikan kedudukan ayahnya D sebagai
ahli waris yang sejajar dgn E dan C
53
Wawancara Geuchik Meunasah Balee 10 Mei 2006.
A
C
E B
F D
Melalui putusan kasasi, Mahkamah Agung telah memperlebar ketentuan pasal 185 KHI di atas sehingga mencakup juga kondisi patah titi ke samping anak dari
saudara.
54
Maksudnya, seseorang keponakan, baik perempuan atau laki-laki, yang orang tuanya meninggal lebih dulu daripada pewaris, dapat menempati posisi orang
tuanya sebagai ahli waris ‘saudara kandung’ dari pewaris. Meskipun sudah terdapat putusan Mahkamah Agung seperti ini, Mahkamah Syar’iyah NAD tidak berencana
untuk mempraktekkan hal ini di wilayah hukumnya.
55
Adapun menurut hukum Adat Aceh, seseorang yang lebih dahulu meninggal dunia daripada pewaris ayahnya tidak dapat digantikan oleh anak perempuan dari orang
yang meninggal tersebut sebagai ahli waris untuk menerima harta warisan dari pewaris. Hal ini dikenal di Aceh dengan istilah Patah Titi, yang maksudnya adalah
titian yang menyambungkan pewaris dengan cucu perempuannya telah hilang karena orang tua dari cucu itu meninggal dunia lebih dulu dari pewaris. Oleh sebab
itu, penggantian kedudukan ahli waris, dalam hal ini cucu perempuan menggantikan ayahnya, tidak dianggap berlaku menurut Adat Aceh. Namun, menurut Teuku
Djuned, guru besar hukum Adat dari Fakultas Hukum Unsyiah, patah titi bukanlah suatu konsep yang murni berasal dari adat Aceh.
56
Sesungguhnya konsep patah titi berasal dari pengaruh mazhab fikih Syafi’iyah terhadap praktek hukum kewarisan
Islam di Aceh,
57
yang lama kelamaan kemudian menjadi norma dan dipraktekkan dalam adat Aceh dalam kurun waktu yang cukup panjang. Akan tetapi, dalam
praktek adat dewasa ini, biasanya cucu perempuan dari seseorang yang telah meninggal lebih dahulu dari kakek pewaris akan memperoleh bagian bukan
sebagai ahli waris tetapi karena diberikan secara sukarela oleh ahli waris yang lain. Berkat sosialisasi informasi yang dilakukan oleh para hakim Mahkamah melalui
berbagai kesempatan di tengah masyarakat di Banda Aceh,
58
konsep patah titi mulai ditinggalkan. Akan tetapi, aparat gampong di beberapa tempat di Aceh Besar yang
belum pernah mendapatkan pelatihan dan peningkatan pengetahuan masalah waris oleh hakim Mahkamah, masih mengamalkan patah titi ketika memecahkan masalah
waris yang diajukan oleh anggota masyarakatnya. Sesungguhnya tertutupnya akses kepada harta warisan tidak selamanya berlaku
hanya untuk cucu perempuan, melainkan juga dapat berakibat pada cucu laki-laki. Di gampong Lambada Lhok, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar,
terdapat kasus patah titi yang terjadi pada cucu laki-laki dan Geuchik gampong tersebut mengalami kebimbangan dalam memberikan harta warisan kepada cucu
laki-laki tersebut. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam diagram di bawah ini.
54
Lihat Armia Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti Ditinjau dari Aspek Hukum dan Penerapannya dalam Praktek Peradilan”, Makalah disampaikan dalam Workshop Masalah Faraidh yang dilaksanakan oleh
Yayasan Lamjabat, Banda Aceh, 18-20 Oktober 2005, h. 8.
55
Diskusi dengan Soufyan Saleh, Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, 2 Juni 2006. Lihat juga Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti”, h. 15-16.
56
Tanggapan T. Djuned dalam Workshop Hasil Penelitian IDLO 30 Mei 2006.
57
Ibrahim, “Ahli Waris Pengganti”, h. 7.
58
Misalnya, hakim diundang sebagai narasumber dalam pelatihan peningkatan pengetahuan aparat gampong tentang masalah waris yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat, Oktober 2005.
Diagram 7.
Dalam diagram di atas, seorang pewaris A memiliki 2 orang istri B dan C dengan 7 orang anak D, E, F, G, H, I dan J. Pewaris, kedua orang istrinya dan tiga orang
anaknya F, G dah H semuanya meninggal dalam Tsunami, sementara salah seorang anaknya D sudah meninggal dunia sebelum Tsunami terjadi. Yang
menjadi ahli waris atas semua peninggalan milik pewaris adalah E, I dan J, sementara O dan P terhalang mahjub oleh orang tua mereka yang telah menjadi
ahli waris. D tidak dapat menerima warisan dari A karena meninggal dunia lebih dulu. Berhubung patah titi dianggap telah terjadi dalam kasus ini, Geuchik Lambada
Lhok masih bingung untuk memutuskan apakah akan memberi bagian harta warisan kepada dua orang cucu K dan L dari pewaris atau tidak sama sekali.
59
d. Ibu Pasal 178 1 KHI menentukan bahwa seorang ibu memperoleh 13 dari harta
warisan bila pewaris tidak meninggalkan anak atau dua orang saudara atau lebih, dan menerima 16 dari harta warisan bila pewaris memiliki anak atau dua saudara
atau lebih KHI, 178:1. Selain itu, pasal 178 2 KHI juga mengatur bahwa Ibu mendapat 13 dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama
dengan ayah. Dengan demikian, maksimal perolehan harta warisan untuk seorang ibu hanyalah sepertiga. Yang menjadi masalah adalah jika ibu merupakan satu-
satunya ahli waris yang masih hidup, dan telah mendapatkan bagian maksimalnya sebanyak 13, kepada siapa sisa harta warisan sebesar 23 itu akan diberikan?
Sayang sekali, peneliti tidak menemukan adanya kasus semacam ini di lapangan. Namun, besar dugaan bahwa sisa harta tersebut tidak akan diserahkan kepada ibu
melainkan dikuasai oleh Baitul Mal gampong. Hal ini karena ibu tidak dapat berfungsi sebagai `asabah yang dapat menerima atau menghabiskan seluruh harta
warisan. Sebagai ahli waris atas harta peninggalan anak-anaknya, seorang ibu tak jarang
menghadapi masalah khususnya jika anak perempuannya yang sudah menikah meninggal dunia bersama suaminya dan mempunyai harta bersama dari
pernikahannya sementara anak-anak pun meninggal dalam Tsunami. Masalah yang dihadapi ibu tersebut adalah pengabaian hak-hak kewarisannya oleh ahli waris yang
lain, khususnya dari pihak keluarga menantu laki-lakinya. Padahal sebagai ahli waris yang sah, ibu tersebut berhak mendapatkan 13, atau 16 bila pewaris
mempunyai dua orang saudara atau lebih, dari harta peninggalan harta bersama dan
59
Wawancara Geuchik Lambada Lhok 9 Mei 2006.
A
D E
F G
H I
C B
J K
L M
N P
O
harta bawaan milik anak perempuannya itu. Namun, yang terjadi adalah saudara laki-laki dari suami anak perempuannya mengambil alih seluruh harta dan tidak
memberikan sedikitpun hak kepada ibu itu. Di gampong Meunasah Balee, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, peneliti menemukan kasus seperti
terlihat dalam diagram di bawah:
Diagram 8.
K adalah abang kandung dari C yang menikah dengan B yang merupakan anak perempuan dari A. K mengambil semua harta peninggalan pasangan suami istri A dan B
dan tidak memberikan bagian apapun kepada A selaku ibu kandung B dan merupakan salah satu ahli waris yang sah. Saudara-saudari B yang lain D, E, F, G dan H yang
selamat dari Tsunami dan berhak juga menerima warisan, sama sekali diabaikan juga hak-hak kewarisannya.
60
4. Implementasi Pembagian Warisan
a. Pembagian harta warisan dalam keluarga Pasal 188 KHI menyatakan bahwa para ahli waris baik kolektif ataupun individual dapat
mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan untuk dilakukan pembagian harta warisan. Ahli waris yang telah mandiri atau telah menikah dapat
berinisiatif untuk meminta pembagian warisan segera dilakukan. Hal ini terjadi lebih- lebih apabila orang tuanya janda atau duda telah kawin lagi dengan orang lain.
Apabila belum ada anak yang telah mandiri, maka pihak keluarga, terutama keluarga pihak ayah wali akan segera meminta pembagian warisan dan wali itu akan menjadi
pengawas atau pengelola terhadap bagian warisan yang menjadi hak anak yang belum dewasa atau belum mampu tersebut.
Masyarakat Aceh melakukan pembagian harta peninggalan pewaris biasanya setelah 100 hari sejak kematian pewaris. Tapi ketentuan waktu ini sesungguhnya agak longgar,
karena banyak juga keluarga yang tidak membagi harta warisan, kecuali kalau seluruh ahli waris sudah dewasa atau kawin. Jika jumlah harta peninggalan pewaris itu tidak
seberapa banyak, pembagian harta warisan itu biasanya dilakukan sendiri secara damai dalam keluarga atau dibantu oleh sanak famili lain. Apabila pembagian harta warisan itu
cukup banyak dan dikhawatirkan menimbulkan persengketaan di antara ahli waris, Imam Meunasah dan geuchik seringkali juga diundang untuk memfasilitasi proses
60
Wawancara dengan ibu A 10 Mei 2006.
B C
K D
E F
G H
A
pembagian harta warisan secara kekeluargaan itu.
61
Pembagian itu biasanya dilakukan dalam suatu acara kenduri sekaligus doa untuk memperoleh keselamatan, sehingga para
ahli waris yang memperoleh harta warisan akan hidup tenteram dan damai. Sebagaimana dinyatakan oleh pasal 183 KHI, para ahli waris dapat bersepakat
melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. Dalam adat Aceh pun, para ahli waris dapat melakukan
persetujuan tentang besarnya bagian yang diterima masing-masing. Pada umumnya pembagian warisan antara ahli waris dilakukan secara musyawarah antara para ahli
waris. Antara anak laki-laki dan anak perempuan membagi secara sama dan tidak diperhitungkan jumlah nilainya harga, melainkan secara innatura. Rumah dan
pekarangan untuk anak perempuan, sedangkan anak laki-laki diberikan sawah dan ladang, ternak, toko di pasar atau sumber penghasilan lainnya. Apabila ditaksir
harganya, kemungkinan harta rumah yang diperoleh anak perempuan lebih besar karena mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi. Akan tetapi, anak laki-laki umumnya
tidak membantah hal ini, karena adalah suatu keaiban bagi mereka apabila saudara- saudara perempuan mereka tidak mempunyai tempat tinggal atau menumpang di rumah
orang lain.
62
Penyelesaian masalah kewarisan secara damai di atas lebih dikehendaki oleh semua pihak karena tidak menimbulkan pembiayaan yang tinggi dan membawa kemudahan
dalam implementasi pembagian harta untuk para ahli waris. Sebuah kasus dari gampong Lamteh lihat diagram kiranya relevan untuk diketengahkan di sini untuk menunjukkan
bagaimana pembagian harta waris yang berlangsung secara damai.
Diagram 9. A dan B adalah sepasang suami istri yang meninggal dunia dalam Tsunami. A
meninggalkan seorang anak perempuan F dan saudara laki-laki C sebagai ahli waris. Sementara itu, D seorang saudara laki-laki dari A juga meninggal dalam Tsunami dan
meninggalkan seorang anak laki-laki E. Menurut ketentuan hukum Islam dan juga adat Aceh, C berhak untuk menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh A saudara laki-
lakinya apalagi cuma terdapat seorang anak perempuan sebagai ahli waris. Akan tetapi, C tidak mengambil sedikitpun dari harta peninggalan A dan menyerahkan semuanya
kepada F. Dalam pandangan adat, E dapat bertindak sebagai wali bagi F jika kelak akan melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu, kepada E ditawarkan juga bagian dari
harta peninggalan A, tetapi E menolak dan memilih untuk menyerahkan semua harta warisan kepada sepupunya F.
63
61
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Depdikbud Atjeh, 1970, h. 100.
62
Ibid. h. 102.
63
Wawancara Geuchik Lamteh 6 Mei 2006.
A
F B
E D
C
b. Penyelesaian Masalah Warisan oleh Aparat Gampong Dalam menyelesaikan masalah warisan yang muncul di gampong, Geuchik beserta
Imam Meunasah mempunyai peranan yang cukup penting. Apalagi, menurut pasal 12 Qanun nomor 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, Geuchik dan
Imam Meunasah adalah pimpinan Rapat Adat Gampong, suatu wadah pertemuan yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan dan permasalahan yang terjadi di gampong.
Dalam Rapat Adat Gampong inilah perselisihan antara ahli waris dicoba diselesaikan dengan damai. Pimpinan rapat dalam mengambil keputusan lebih banyak mengandalkan
saksi sebagai alat bukti. Di sini kejujuran seorang saksi amat menentukan keputusan akhir musyawarah tersebut. Selain itu, pengetahuan aparat gampong juga ikut
menentukan hasil keputusan rapat itu. Pengetahuan yang dimaksudkan di sini mencakup pengetahuan tentang materi hukum yang berkaitan dengan kewarisan dan pengetahuan
tentang asal usul harta dan silsilah keluarga dari para ahli waris. Untuk menunjang pengetahuan aparat gampong tentang materi hukum, tak jarang seorang teungku dari
dayah diundang untuk menyampaikan ilmunya mengenai kewarisan Islam dalam rapat tersebut. Keputusan yang dibuat pada akhir rapat itu tidak selalu memuaskan semua
pihak, dan karenanya Geuchik dan Imam Meunasah sering mewanti-wanti pihak-pihak yang bertikai untuk dapat menerima keputusan akhir dengan hati ikhlas.
64
Harus diakui bahwa keputusan-keputusan yang dibuat dalam musyawarah gampong ataupun berdasarkan petunjuk yang disampaikan oleh aparat gampong pada saat
pembagian warisan di antara ahli waris cenderung untuk mengutamakan ahli waris pihak laki-laki daripada ahli waris pihak perempuan, dan lebih memprioritaskan
keluarga dari pihak suami daripada keluarga dari pihak istri. Selain itu, terhadap anak perempuan tunggal yang menjadi ahli waris, harta warisan peninggalan orang tuanya
tidak diberikan seluruhnya tetapi hanya separuhnya saja. Adapun sisanya diserahkan kepada wali anak perempuan itu jika masih ada. Tapi sekiranya anak perempuan itu
tinggal sebatangkara, sisa harta peninggalan orang tuanya dikuasai oleh baitul mal.
65
Akan tetapi, patut dicatat di sini bahwa terdapat inisiatif penting yang dilakukan oleh Geuchik gampong Kajhu mengenai hak anak perempuan terhadap harta peninggalan
orang tuanya. Berbeda dari kebanyakan gampong yang mempraktekkan hukum waris yang berlaku umum, di mana seorang anak perempuan hanya mendapatkan ½ harta
warisan, Geuchik Kajhu membuat keputusan luar biasa bersama aparat gampong lainnya dan tokoh masyarakat dalam sebuah musyawarah yang memutuskan bahwa
anak perempuan tunggal itu berhak memperoleh semua harta peninggalan orang tuanya. Dalam kasus itu, anak perempuan yang dimaksud masih berusia 17 tahun dan berada di
bawah perwalian. Pihak wali pun tidak berkeberatan dengan keputusan musyawarah gampong itu dan membiarkan anak perempuan tersebut untuk mengurus sendiri harta
warisan miliknya.
66
Seperti sudah pernah diuraikan di muka bahwa karakteristik hukum adat adalah penyelesaian perselisihan dengan cara damai melalui kesepakatan kedua belah pihak.
Prinsip ini amat dihormati dan lebih sering diimplementasikan oleh aparat gampong dalam pembagian harta warisan, walaupun penentuan hak bagian untuk masing-masing
64
Wawancara Geuchik Kajhu 7 Mei 2006; Imam Meunasah Lampaseh Kota 3 Mei 2006; Geuchik Lambung 2 Mei 2006; Geuchik Cut Lamkuweuh 1 Mei 2006.
65
Wawancara Geuchik Cut Lamkuweuh 1 Mei 2006; Geuchik Lamteh 6 Mei 2006; Geuchik Mon Ikeun 7 Mei 2006;
66
Wawancara Geuchik Kajhu 7 Mei 2006.
ahli waris akan berbeda dari apa yang sudah ditentukan oleh hukum formal maupun syariat Islam. Di gampong Lamteh, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar,
ada sebidang tanah yang dibeli oleh sepasang suami isteri. Suami isteri ini beserta anaknya meninggal dunia dalam bencana Tsunami. Ahli waris yang masih hidup adalah
seorang saudara laki-laki dari isteri dan ibu kandung dari suami, seperti terlihat dalam diagram di bawah.
Diagram 10. Seharusnya, ibu kandung suami F menerima 13 dari harta warisan dan saudara laki-
laki E menerima seluruh sisanya 23. Akan tetapi, Geuchik Lamteh mengambil inisiatif untuk membagi dua harta peninggalan para pewaris untuk masing-masing ahli
waris. Dengan demikian, baik E dan F masing-masing akan menerima ½ dari keseluruhan luas tanah. Kedua pihak E dan F menyetujui petunjuk Geuchik dan
akhirnya mengakhiri persoalan itu secara damai.
67
Hal terakhir yang penting dicatat di sini adalah tentang kemampuan Geuchik dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum pasca Tsunami. Agaknya Geuchik yang baru
diangkat setelah bencana Tsunami atau masih berusia muda kurang memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk menangani masalah-masalah hukum pasca
Tsunami. Minimnya pengalaman yang dimiliki Geuchik baru itu turut mempengaruhi kemampuan mereka dalam menerapkan hukum secara tepat. Sedangkan Geuchik yang
sudah terangkat sejak sebelum Tsunami, apalagi mereka yang telah puluhan tahun menjabat sebagai Geuchik, mempunyai wawasan dan pengetahuan yang cukup baik
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di gampong. c. Penyelesaian Perkara Waris oleh Mahkamah Syar’iyah
Sampai bulan Maret tahun 2006, penyelesaian perkara waris akibat bencana Tsunami oleh Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dan Jantho kebanyakannya mengambil bentuk
pengesahan atas permohonan penetapan ahli waris sebagaimana dapat dilihat pada dua tabel di bawah. Berbeda dengan pemeriksaan atas sengketa kewarisan yang melibatkan
pihak-pihak ahli waris yang saling bertikai, pengesahan atas permohonan penetapan ahli waris itu merupakan perkara volunteer, yang artinya tidak ada pihak lawan dalam
perkara itu. Meski begitu, bukan tidak mungkin suatu saat nanti jika ada pihak lain yang dirugikan oleh penetapan ahli waris yang sudah dikeluarkan dapat mengajukan gugatan
keberatan ke Mahkamah dan meminta pembatalan penetapan ahli waris tersebut.
67
Wawancara Geuchik Lamteh 6 Mei 2006.
A E
C D
F B
Tabel 14. Perkara Waris di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH
PENGESAHAN AHLI WARIS
SENGKETA KEWARISAN
Januari 2005 - -
Februari 2005 - -
Maret 2005 22 -
April 2005 101 -
Mei 2005 118 -
Juni 2005 110 1
Juli 2005 69 1
Agustus 2005 91 4
September 2005 123 2
Oktober 2005 104 -
November 2005 55 -
Desember 2005 134 1
Januari 2006 83 1
Februari 2006 70 -
Maret 2006 39 2
TOTAL 1119 12
Tabel 15. Perkara Waris di Mahkamah Syar’iyah Jantho
MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH
PENGESAHAN AHLI WARIS
SENGKETA KEWARISAN
Januari 2005 2 -
Februari 2005 18 -
Maret 2005 116 -
April 2005 71 1
Mei 2005 80 -
Juni 2005 93 1
Juli 2005 64 1
Agustus 2005 64 -
September 2005 39 1
Oktober 2005 24 -
November 2005 40 2
Desember 2005 67 1
Januari 2006 56 -
Februari 2006 39 1
Maret 2006 30 1
TOTAL 803 9
Sampai penelitian ini selesai dilakukan di Banda Aceh dan Aceh Besar, sengketa kewarisan yang diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah di dua lokasi tersebut boleh
dibilang dapat dihitung dengan jari. Perkara kewarisan yang terlihat dalam kolom sebelah kanan di atas sebagian besarnya tidak berkait dengan perkara waris pasca
Tsunami. Pada umumnya, perkara waris tersebut melibatkan orang-orang yang berada di luar bencana Tsunami dan diajukan sebelum Tsunami terjadi. Sengketa kewarisan
yang berkaitan dengan bencana Tsunami baru mulai muncul satu-satu di awal tahun 2006. Pada saat penelitian ini dilaksanakan, perkara sengketa kewarisan tersebut masih
dalam tahap awal proses pemeriksaan dan belum ada yang mencapai tahap akhir, yaitu pembacaan hasil keputusan oleh majelis hakim.
68
Sebuah perkara sengketa kewarisan
68
Wawancara Ketua MS Banda Aceh 26 April 2006; Ketua MS Jantho 27 April 2006.
antara ahli waris anak perempuan vs. paman di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh malah berakhir dengan perdamaian, setelah majelis hakim berhasil membujuk pihak-
pihak yang bertikai itu untuk berdamai.
69
Minimnya sengketa kewarisan yang diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah adalah akibat hampir seluruh masalah waris dicoba diselesaikan terlebih dahulu oleh aparat gampong.
Sesungguhnya masih cukup banyak masalah waris yang tak dapat ditangani dengan baik oleh gampong, dan oleh karena itu, pihak-pihak yang terkait, khususnya perempuan,
tidak puas dengan penyelesaian yang dilakukan oleh Geuchik atau Imam Meunasah. Akan tetapi, walaupun tidak puas dengan keputusan yang dibuat oleh aparat gampong,
pihak-pihak yang dirugikan itu pada umumnya tidak mengerti jalur dan mekanisme untuk mencari keadilan di lembaga-lembaga formal,
70
sehingga akhirnya mereka cenderung apatis seolah-olah menerima nasib.
C. Perwalian Perwalian bagi anak-anak yatim piatu di Aceh pasca Tsunami adalah suatu persoalan