4. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Di Bidang Pendidikan

b. hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatan yang dilakukan yang berbentuk kesengajaan; c. tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan pada pembuat. Roeslan Saleh berpendapat bahwa terdapat 4empat unsur kesalahan, yakni: 149 a. adanya perbuatan pidana; b. adanya kemampuan bertanggung jawab; c. dilakukan dengan sengaja atau alpa; d. tidak adanya alasan penghapus pidana. Dari beberapa pendapat ahli tersebut di atas, Martiman menyimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat ditinjau dalam 2 dua arti, yakni: 150 1. Pertanggungjawaban pidana dalam arti luas schuld in ruime zin, yang terdiri dari 3 tiga unsur: a. Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan toerekenings vatbaarheid; b. Hubungan batin sikap psikis orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya, baik sengaja ataupun culpa; c. Tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat 2. Pertanggungjawaban pidana dalam arti sempit schuld in enge zin yang terdiri atas 2 dua unsur: a. sengaja dolus 149 Ibid 150 Ibid Comment [ BAYAN10] : ARTI LUAS SEMPIT INI, HARAP LIHAT JUGA PROF. SUDARTO. b. alpa culpa Sedikit berbeda dengan Martiman, Sudarto berpendapat bahwa kesalahan dalam arti seluas-luasnya dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”. Di dalamnya mengandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya.Adapun unsur-unsur kesalahan dalam arti yang luas adalah sebagai berikut: 1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal; 2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, berupa kesengajaan dolus atau kealpaan culpa; 3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf. Sedangkan, kesalahan dalam arti sempit adalah kealpaan culpa. 151 Persoalan kesalahan terkait dengan kebebasan kehendak.mengenai hubungan kebebasan kehendak dengan kesalahan diuraikan selanjutnya dalam 3 tigaaliran di bawah ini: 152 1. Aliran determinisme Bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak dan motif-motif seseorang. Artinya, seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya dikarenakan ia tidak mempunyai kehendak bebas. Namun meskipun demikian, seseorang tersebut tetap dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, tetapi konsekuensi yang dikenakan kepadanya berupa tindakan untuk ketertiban masyarakat, bukan sanksi pidana. 2. Aliran indeterminisme Bahwa manusia dapat menentukan kehendaknya secara bebas dalam melakukan setiap perbuatannya, dan ini merupakan sebab dari segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan, dan apabila tidak ada kesalahan maka tidak ada pemidanaan. 3. Golongan ketiga 151 Sudarto, Op.Cit, hlm 90-91 152 Ibid, hlm. 87 Comment [ BAYAN11] : CEKKAJI ULANG, APKH INI TEORI-TEORI KESALAHAN? JANGAN BERSUMBER DARI FOOTNOTE 135 NANDA. HINDARI BUKU “NANDA” DLM MEMBUAT RUJUKAN, KRN. BUKU ITU BERMA-SALAH. Dalam hukum pidana, ada atau pun tidak adanya kebebasan kehendak itu tidak menjadi persoalan. Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan ada dan tidak adanya kehendak bebas. Ridwan Halim menghubungkan tindak Pidana di bidang Pendidikan dengan pandangan kehendak bebas dari tiga aliran di atas adalah sebagai berikut: 153 1. Indeterminisme dalam Bidang Pendidikan Inti pandangan indeterminisme dan falsafah pendidikan pada dasarnya terdapat kecocokan, khususnya dengan subjek hukum pengajar. Dalam pandangan indeterminisme ditegaskan bahwa pelaku bertanggungjawab penuh atas perbuatannya karena ia dipandang sebagai orang yang berkemauan bebas. Falsafah dasar pendidikan dan pengajaran memandang dan menilai persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap pendidik atau pengajar adalah adanya kemampuan untuk mengerti, memahami dan menguasai dunia pendidikan dan pengajaran sebagai dunia kegiatan hidupnya sehingga ia diharapkan dapat mengendalikan kehendak bebasnya. Persyaratan yang dimaksud di atas disebut dengan Panca Tunggal, dengan rincian sebagai berikut: a. adanya bakat untuk mendidik atau mengajar; b. adanya hobi untuk mendidik atau mengajar; c. adanya kasih sayang yang luhur dan merata pada semua anak didik; d. adanya tanggung jawab yang tebal dalam melaksanakan tugasnya 153 Ridwan Halim, Tindak Pidana Pendidikan Dalam Asas-Asas Hukum Pidana, Op. Cit., hlm 201-210 Comment [ BAYAN12] : Cek lagi, karena buku nanda bermasalah e. adanya kemantapan batin yang spontan, teguh dan langsung dalam menempatkan diri dalam perannya. 2. Determinisme dalam Bidang Pendidikan Dalam teori ini dikatakan bahwa pelaku tindak pidana di bidang pendidikan berada di bawah pengaruh faktor-faktor tertentu yang mendorong atau memaksanaya untuk melakukan perbuatan yang salah. 3. Aliran Modern atau dalam bidang ini dikenal dengan Determinisme Sosial- Edukatif Istilah yang dipakai Ridwan Halim Bahwa setiap orang meskipun telah menjadi panutan masyarakat tetaplah manusia yang tidak dapat luput dari keterbatasan dan kekhilafan dalam hidupnya. Namun, sebagai makhluk sosial yang selalu hidup di dalam masyarakat, ia seharusnya mengetahui dan menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya merugikan orang lain atau mengganggu ketertiban umum sosial.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PENDIDIKAN

A. Jenis-Jenis Tindak Pidana Di Bidang Pendidikan Di Indonesia

A.1. Jenis-Jenis Tindak Pidana Di Bidang Pendidikan Pada Umumnya Seperti yang telah disinggung dalam bab sebelumnya, bahwa setiap aspek kehidupan senantiasa tunduk pada kodrat dualisme semesta, yakni suatu kodrat mengenai segala sesuatu di dunia ini yang diciptakan berpasang-pasangan dua. Ada pria tentunya ada wanita, jika ada kebaikan maka tentunya ada pula keburukan. 154 Eksistensi pendidikan yang penuh dengan nilai-nilai positif kebaikan bukan berarti akan terlepas dari pengaruh nilai-nilai negatif Kejahatantercela. Dunia pendidikan bukanlah dunia tanpa atau bebas cela. Sama halnya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya, bidang pendidikan memiliki kecenderungan yang sama besarnya untuk terjadinya berbagai bentuk perbuatan tercelapenyimpangan. Sebagai salah satu bidang kehidupan yang memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas intelektual dan moral suatu bangsa, pendidikan dewasa ini telah mengalami kegagalan yang cukup signifikan. Kondisi pendidikan tidak lagi menggambarkan pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang senantiasa mengedepankan moralitas di dalam pelaksanaannya. 154 Ridwan Halim, Tindak Pidana Pendidikan Dalam Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Ibid, hlm. 15 Kegagalan pendidikan di Indonesia dapat dikatakan kompleks. Dikatakan demikian karena kegagalan pendidikan di Indonesia tidak hanya meliputi ketidakberdayaan jenjang pendidikan dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, komersialisasi pendidikan, kebijakan-kebijakan pendidikan yang dinilai merugikan pendidikan itu sendiri, namun meliputi juga demoralisasi dari pendidik atau peserta didik yang berbentuk penyimpangan-penyimpangan yang mengarah pada perbuatan pidana. Tindak pidana di bidang pendidikan adalah tindak pidana yang terjadi pada bidang pendidikan. Eksistensi tindak pidana ini diibaratkan seperti fenomena gunung es iceberg phenomenon. Artinya, fenomena ini banyak terjadi di masyarakat, namun seringkali terabaikan, tertutup oleh asumsi-asumsi publik bahwa pendidikan merupakan bidang yang tanpa cela dan bebas dari pengaruh berbagai tindakan negatif, sehingga setiap tindakan tersebut seringkali dibenarkan dengan alasan-alasan yang nampak rasional, seperti alasan kedisiplinan. Asumsi publik yang keliru mengenai bidang pendidikan tersebut mengakibatkan penanganan berbagai penyimpangan di bidang pendidikan yang pada hakikatnya tindak pidana tersebut kurang mendapatkan perhatian yang serius. Selain sering dinyatakan sebagai pelanggaran kode etik saja, penanganan tindak pidana tersebut jarang diselesaikan melalui jalur hukum atau tidak sampai diputus di pengadilan litigasi, melainkan diselesaikan secara kelembagaan, misalnya penyelesaian kekeluargaan di sekolah ataupun di PGRI jika pelakunya adalah Guru yang berada dalam naungan PGRI.