Kebijakan formulasi sebagai Tahapan strategis dalam menentukan

48 b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat khususnya upaya penanggulangan kejahatan c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum legal substance dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum. 78 Dari sudut pendekatan-nilai maka pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali “re-orientasi dan re- evaluasi” nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. 79

3. Kebijakan formulasi sebagai Tahapan strategis dalam menentukan

tujuan dan pedoman pemidanaan. Telah dijelaskan di atas bahwa dalam pembaharuan hukum pidana dengan tujuan untuk menanggulangi kejahatan meliputi pembaharuan dalam bidang Hukum pidana materiil substantif, bidang hukum pidana formil Hukum acara pidana dan Hukum pelaksanaan pidana. Dalam pembaharuan hukum pidana materiil pembicaraan tidak dapat dilepaskan dari kebijakan formulasi atau dapat dikatakan kebijakan legislatif. Kebijakan formulasi legislatif ini menjadi sangat penting dan memegang peranan yang sangat strategis karena pada tahap ini akan menentukan efektifnya hukum didalam masyarakat. Melihat sedemikian pentingnya peranan dari kebijakan formulatif ini sehingga ada yang menyebutkan kebijakan legislatif formulasi yang merumuskan Hukum yang dilaksanakan 78 Ibid, Hal. ………. 79 Barda Nawawi Arief, Ibid, hal 31-32. 49 oleh Badan legislatif juga merupakan bagian dari aparatur penegak hukum selain yang telah dikenal masyarakat selama ini yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Kebijakan legislatif atau kebijakan formulatif ini merupakan kebijakan policy dalam menetapkan dan merumuskan sesuatu di dalam peraturan perundang undangan 80 . Dengan penekanan pada permasalahan “menetapkan dan merumuskan” sesuatu dalam peraturan perundang-undangan, yang menjadikan kebijakan formulatif memegang peran yang sangat strategis untuk mencapai tujuan yang lebih besar dengan hukum pidana melalui upaya penegakan hukum. Persoalan kebijakan Formulatif legislative terhadap Tujuan dan Pedoman Pemidanaan semakin membutuhkan perhatian yang mendalam dan perlu tindakan yang hati-hati didalam menentukan tujuan dan pedoman pemidanaan karena merupakan prasyarat yang fundamental untuk menentukan cara, metode dan tindakan. Sebagaimana kebijakan pada umumnya, yang pada dasarnya harus merupakan kebijakan yang rasional dan ukuran rasionalitas adalah efektivitas, maka efektivitas dari tujuan dan pedoman adalah menjadi tolok ukur dalam mencapai tujuan. Dirumuskan tujuan dan pedoman pemidanaan untuk memberikan arah bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Secara teoritis juga sebagai reaksi atas kebangkitan kelompok abolisionis yang ingin menghapuskan pidana dan hukum pidana oleh aliran defense sociale yang dipelopori Fillippo Gramatica yang pada tahun 1947 melalui tulisan-tulisan dan ceramah-ceramahnya di 80 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Opcit hal 245 50 dalam Rivista di difesa siciale yang salah satu tulisannya berjudul “La lotta contra la pena The fights againts punishment ”, lebih jauh menurut Gramatica bahwa “hukum perlindungan sosial” harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana kesalahan dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. 81 Adanya kritikan dari para ahli yang menamakan dirinya aliran positivis terhadap pidana dan hukum pidana tidak terlepas dari konsepsi yang ada dalam hukum pidana yang mana dijatuhkan pidana dikarenakan adanya tindak pidana dan kesalahan, yang diyakini pidana tidak mampu menyelesaikan permasalahan bahkan menimbulkan permasalahan baru yakni terjadinya stigmani sasi tidak saja bagi pelaku sendiri tapi juga keluarganya. Falsafah “Ubi societas ibi ius” di mana ada masyarakat di sana ada hukum atau dengan kata lain di dalam masyarakat dibutuhkan hukum untuk mengatur segala tingkah laku manusia selaku anggota masyarakat, dan hukum pidana sebagai salah satu sarananya maka dengan sendirinya hukum pidana tetap diperlukan, hal ini sesuai pendapat dari Roeslan Saleh yang menyatakan bahwa Pandangan atau alam pikiran untuk menghapuskan pidana dan hukum pidana seperti dikemukakan di atas adalah keliru, lebih lanjut dikemukakan tiga alasan yang cukup panjang mengenai masih perlunya pidana dan hukum pidana. Adapun inti alasannya adalah sebagai 81 Marc Ancel dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara , BP Undip, Semarang, 1994, Hal 19. 51 berikut : a. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan tujuan-tujuan yang hendak dicapai tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan. Persoalan bukan terletak pada hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing. b. Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan di samping itu harus tetap ada suatu reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma yang telah dilakukannya itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu saja. c. Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata mata ditujukan pada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat yaitu warga masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat. 82 Dengan demikian dapat dikatakan kebijakan memformulasikan tujuan dan pedoman pemidanaan adalah sebagai arah bagi hakim dalam pemberian pidana walaupun sampai saat ini belum ada hasil penelitian yang dapat membuktikan tentang efektivitas dari pidana yang dijatuhkan.

B. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan :