Perlunya Tujuan dan Pedoman Pemidanaan Dirumuskan Diformulasikan

91 pidana sesuai yang dirumuskan dalam Undang-undang diterapkan sedemikian rupa sehingga hal ini sering disebut dengan melakukan penerapan hukum yuridis dogmatis yang didahului dengan penafsiran secara “legalisme”, artinya para penyelenggara hukum menerapkan aturan sesuai ketentuan yang tertulis dalam Undang-undang tanpa memperhatikan hal yang tertera dalam penjelasan dari Undang-undang dimaksud. Dikesampingkannya penjelasan pedoman pemberian pidana tersebut di atas maka ada hal yang terjadi tidak dapat dipahami tentang “jalan pikiran hakim” dalam memberikan pidana terhadap seorang pelaku sehingga pidana yang dijatuhkan kurang efektif dan lebih fatal lagi yaitu pidana tidak sesuai dengan karakter si pelaku sehingga terjadi disfungsi pidana. Fungsi pidana khususnya pidana penjara yang dijadikan primadona dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini adalah sebagai sarana perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Tidak dirumuskannya tujuan dan pedoman pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHPWvS juga tidak terlepas dari situasi politik saat itu bahwa hak asasi warga negara jajahan kurang mendapatkan perhatian negara penjajah, apa lagi warga negara jajahan seorang pelaku tindak pidana, dehumanisasi dan bentuk-bentuk pelanggaran hak-hak asasi sangat mungkin terjadi.

B. Perlunya Tujuan dan Pedoman Pemidanaan Dirumuskan Diformulasikan

dalam KUHP 92 Masalah pemidanaan merupakan hal atau masalah yang sangat pribadi bagi seorang Hakim, sehingga sulit kiranya untuk menarik garis yang “seragam” antara Hakim yang satu dengan Hakim yang lainnya mengenai jenis, lamanya, dan caranya pidana dilaksanakan, meskipun menyangkut perkara yang sejenis. Perbedaan yang terjadi dalam pemidanaan tidak dapat dilepaskan dari penilaian Hakim terhadap kepribadian, kedudukan sosial dan sebagainya dari pelaku. Perbedaan ini muncul juga tidak terlepas dari adanya prinsip umum “kebebasan Hakim” yang selama ini seakan-akan tidak terbatas dan dipertajam lagi bahwa perbedaan dalam pemidanaan terjadi karena KUHP WvS tidak memuat pedoman maupun tujuan pemidanaan secara jelas. Telah dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi perbedaan dalam pemidanaan dan untuk mencapai “keseragaman” dalam pemidanaan Parity in sentence . Seiring dengan upaya pembaharuan hukum yang menurut Barda Nawawi Arif telah mulai dari “kakek guru hingga ke cucu murid” 128 , maka masalah pemidanaan juga termasuk dalam pembaharuan dimaksud. Khusus mengenai pemidanaan, dalam upaya mencapai keseragaman atau keserasian pemidanaan, dalam Munas IKAHI ke VII pada tahun 1975 di Pandaan Jawa Timur telah dijadikan topik yang utama untuk dibahas yang menghasilkan kesimpulan yang antara lain “Uniformitas, perbedaan dalam penghukuman” 129 Ada beberapa makna yang terkandung di dalam pelaksanaan Munas dan hasil kesimpulan Munas yang dapat diungkapkan antara lain : yang pertama 128 Barda Nawawi Arif, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan, , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, Hal. 2 93 dengan adanya pelaksanaan Munas yang membahas masalah pemidanaan memberi gambaran bahwa masalah pidana dan pemidanaan memiliki porsi yang sama pentingnya dengan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana kesalahan yang merupakan masalah pokok dalam hukum pidana. Pelaksanaan Munas lebih jauh memberikan gambaran bahwa Hakim sebagai pelaksana hukum dalam menjatuhkan pidana sedang mencari atau sedang mengupayakan suatu bentuk pedoman dalam pemidanaan sehingga ada keserasian dan keseragaman dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana. Disamping itu, adanya pelaksanaan Munas tersebut dengan jelas Hakim mengharapkan adanya kebijakan legislatif yang merumuskan pedoman dan sekaligus tujuan pemidanaan sebagai arah pemberian pidana karena check points yang disebutkan dalam pembahasan di atas hanya merupakan pedoman praktis pemidanaan. Dari kesimpulan Munas tersebut di atas juga terkandung makna secara tersirat bahwa dalam praktek penjatuhan pidana terjadi perbedaan diantara para Hakim sehingga diperlukan satu kesatuan bentuk Uniformitas untuk meminimalisir perbedaan akibat dari prinsip kebebasan Hakim. Dengan kata lain pedoman pemidanaan diperlukan disamping untuk memberikan arah pemidanaan juga sebagai landasan dasar pemberian penjatuhan pidana. Pedoman dan tujuan pemidanaan yang diharapkan atau yang seyogyanya diformulasikan dalam sistem pemidanaan bukan untuk mengurangi “kebebasan Hakim” seperti yang termaktub dalam pasal 4 3 UU 1470 tentang kekuasaan 129

H. Eddy Djunaidi Karna Sudirdja, Standar Pemidanaan, 1984, hal 3