Andy Setiawan

Andy Setiawan

Andy Setiawan (1972-…), seorang guru, penyair dan filsuf, mencoba melampaui Modernisme dengan Spiritualitas. Ia berjalan di jalur yang sama dengan para filsuf Perenialisme di Barat, seperti Frithjof Schuon dan Syed Hossein Nasr, dalam artian, bahwa ia meyakini ‘spiritualitas agama-agama’, yang dengannya ia dapat melampaui

Modernisme. Modernisme, dalam pandangan Andy, harus bertanggungjawab atas kegagalan manusia untuk memahami dirinya secara utuh. Ungkap Andy:

Dari segi biologis, manusia berasal dari segumpal darah, dari campuran air mani, satu dari berjuta-juta sel sperma dan sel telur. Namun ketika pertanyaan manusia ‘dari manakah saya berasal?’ berkembang menjadi lebih filosofis, jawaban demikian tidak lagi mencukupi. Manusia datang ke dunia fisik atau lahir memang melalui kedua orang tuanya, tapi tidak dari mereka, seperti dikatakan Khalil Gibran dalam Sang Nabi, ‘Anakmu bukanlah anakmu. Mereka adalah anak Sang Kehidupan… Mereka datang melalui kamu tapi bukan dari kamu’. Penekanan semacam ini perlu untuk melihat manusia secara lebih menyeluruh. Manusia gagal melihat manusia dan kemanusiaan karena cenderung pada aspek lahiriah. Kebudayaan manusia modern sangat bersifat dan berorientasi fisik. Pembangunan dan kemajuan diukur dengan banyaknya bangunan-bangunan, infrastruktur, produksi missal, yang berujung pada pola hidup konsumerisme. Manusia, tentu saja adalah wujud fisik biologis yang bisa dicitra dan diidentifikasi dari ciri-ciri biologisnya, seperti bangun fisik, warna kulit, wajah, ciri-ciri khusus, dan sebagainya. Namun jika sampai manusia mampu membangun stasiun luar angkasa, pencarian akan jati dirinya tetap sebatas pada wujud biologis yang, paling jauh, memiliki otak, tidakkah manusia tetap saja masih merupakan hanya

segumpal darah? Dimanakah nilai kemanusiannya? Darimana asalnya? [24] Agar dekadensi Modernisme dapat dilampaui, jelas Andy, tak ada cara lain

kecuali bahwa Manusia Modern harus menemukan kembali ‘saudara kembar’ aspek lahiriahnya, yakni, aspek ke-batin-an nya, dan aspek ke-batin-an manusia ini baru dapat disadari dan dipahami secara penuh lewat Spiritualitas. Dengan spiritualitas, penyakit- penyakit Manusia Modern dapat dieliminir. Apa yang dimaksud dengan penyakit- penyakit Manusia Modern? Kecenderungan Modernisme untuk memandang segalanya dari aspek lahir, aspek material, aspek ‘luar’, aspek ‘kulit’, aspek formal. Kecenderungan tersebut mengakibatkan Manusia Modern memandang realitas secara dualistik: benar-tidak benar, sehat-tidak sehat, Islam-bukan Islam, kita-bukan kita, agama-bukan agama. Serba dualitas, dan karenanya serba bertentangan dan berlawanan. Menurut Andy, dualitas tersebut harus dilampaui, sehingga tercapai unitas. Dualitas Islam-bukan Islam, misalnya, dapat dilampaui dan mencapai unitas dalam bentuk Spiritualitas. Dualitas agama-bukan agama juga dapat dilampaui menjadi unitas di dalam Spiritualitas, sebab, menurut Andy, ‘spiritualitas: inti universal keberagamaan’ dan ‘benang merah semua agama’.

Akibat dualitas yang dianut Modernisme, terjadi pula problem-problem Manusia Modern, seperti dikotomi agama-sains, kebingungan akibat perbedaan penafsiran Akibat dualitas yang dianut Modernisme, terjadi pula problem-problem Manusia Modern, seperti dikotomi agama-sains, kebingungan akibat perbedaan penafsiran

modern’ tersebut dapat diatasi. Tentang unitas sains-agama, Andy menerangkan:

Harapan baru yang bersinar ke arah ini kita temukan di masa lalu dan di masa depan. Di masa lalu, belum ada pemisahan yang definitif antara agama, filsafat, sains dan cabang-cabang ilmu yang lain. Filsuf-filsuf awal seperti Plato, Socrates dan Phytagoras adalah juga ilmuan sekaligus tokoh spiritual. Dalam Phaedo, Socrates menjelaskan dengan sangat gamblang perjalanan ruh di alam kematian dan proses kelahirannya kembali ke dunia fisik. Phytagoras dan Plato adalah para filsuf Yunani yang menerima inisiasi spiritual dan tradisi mistik tertua di India. Di kemudian hari, konon Yesus pada saat berusia 19 tahun pergi ke India tepatnya ke Biara Essene di gunung Serbal, untuk mendapatkan inisiasi, belajar teknik penyembuhan kuno dan meditasi. Barangkali Phytagoras adalah orang pertama yang menggabungkan filsafat agama (atau spiritualitas) dan sains sekaligus ketika mengatakan bahwa setiap benda adalah angka-angka; memberikan sentuhan mistis pertama kepada sains dan sekaligus menjembatani agama dengan kebenaran logika.

Cahaya baru yang menyala di masa depan sesungguhnya telah dimulai ketika bangunan fisika klasik mulai runtuh dengan ditemukannya teori relativitas dan teori kuantum, memulai paradigma sains baru yang subtil, holistik, dan organik tentang

alam… [25]

Ferry Hidayat

Ferry Hidayat (1973 -…), seorang pengkaji Filsafat di UPN ‘Veteran’ Jakarta, mencoba melampaui Modernisme dengan ‘Perenialisme Adat’ atau ‘Adat Kosmik’ (the Cosmic Adat). Dipengaruhi oleh ‘Studi Filsafat Indonesia’ yang dipelopori M. Nasroen, serta didukung oleh Filsafat Perenialisme (terkenal pula dengan sebutan ‘Tradisionalisme’) Frithjof Schuon dan Syed Hossein Nasr—suatu aliran Filsafat yang mengritik Modernisme dengan kritikan yang amat pedas—, ia percaya bahwa dengan kembali kepada Adat, manusia Indonesia-Modern dapat melampaui Modernisme yang telah dekaden. Tapi, karena Adat pun telah lebih dulu dekaden, maka Adat harus pula diperbaharui sebelum dipakai kembali oleh orang-orang modern. Pembaharuan Adat, menurut Ferry, tidak boleh dilakukan lewat metode-metode Modernisme yang justru menolak dan merendahkan keberadaan Adat, tapi harus digali dari Adat itu sendiri, yang disebutnya ‘metodologi Adat’.

Lewat beberapa studinya tentang Adat, ditemukanlah resep-resep pembaharuan Adat dalam khazanah Adat Suku Melayu-Riau. Suku Melayu-Riau membagi Adat dalam

3 (tiga) kategori: Adat sebenar adat, Adat yang diadatkan, dan Adat yang teradat. Ketiga pembagian Adat di Riau itu, hemat Ferry, menunjukkan sumber asalnya, yakni Adat yang bersumber dari ‘Yang Abadi’ dan Adat yang bersumber dari ‘Yang Sementara’. Adat sebenar adat adalah Adat yang abadi karena bersumber dari ‘Yang Abadi’, sedangkan kedua Adat yang disebut terakhir adalah Adat yang sementara karena bersumber dari ‘Yang Sementara’. Karena keabadiannya, Adat sebenar adat tak boleh diubah-ubah dan tetap, sebagaimana peribahasa Adat mengatakan ‘adat tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan’, sedangkan adat yang diadatkan dan adat yang teradat dapat saja berubah, digonta-ganti menurut kepentingan historis-temporal setempat, sebagaimana peribahasa Adat mengatakan ‘rusak taro datu’, ten rusak taro ade’ (hukum raja boleh saja rusak, tapi hukum adat tak boleh rusak).

Dengan dikotomi Adat itu, Ferry berupaya ‘memperbaharui’ Adat yang dekaden, dengan pemikiran bahwa Adat yang dekaden itu sebenarnya adalah ‘Adat temporal’ yang telah kehilangan maknanya yang abadi. Agar ‘Adat temporal’ yang dekaden itu menemukan lagi maknanya yang esensial-abadi, maka ia harus dirujukkan kembali pada ‘Adat yang abadi’ (adat sebenar adat). Lalu, apa itu ‘Adat yang abadi’?

Menurut Ferry, Adat yang abadi adalah esensi-esensi universal abadi berupa ajaran abadi yang diajarkan oleh leluhur (nenek moyang) dari semua suku etnis lokal Indonesia yang jumlahnya banyak itu, yang ajarannya secara esensial menyerupai ajaran guru-guru mistikus sedunia, guru-guru agama sedunia, bahkan guru-guru primitif dari suku primitif sedunia, yang dalam bahasa filsuf Perenialisme atau Tradisionalisme disebut sophia perennis (kebijaksanaan abadi) atau religio perennis (agama abadi) atau

the Tradition (tradisi abadi). Tulis Ferry:

In the traditionalists’ view, the eternal aspect of Adat is like primordial wisdom, primordial tradition, perennial philosophy, primordial revelation, or sacred science which always exists in every culture in everywhere in the world, since ‘…there has never been a time without God, nor a place into which He has failed to descent. His eternal power and Godhead have always been manifest in the things that are made, and the particular traditions are so many palimpsests of a script written into the In the traditionalists’ view, the eternal aspect of Adat is like primordial wisdom, primordial tradition, perennial philosophy, primordial revelation, or sacred science which always exists in every culture in everywhere in the world, since ‘…there has never been a time without God, nor a place into which He has failed to descent. His eternal power and Godhead have always been manifest in the things that are made, and the particular traditions are so many palimpsests of a script written into the

All the temporal manifestations of Adat, such as architecture, religious ceremonies, divinations or prophecies, musical instruments, dances, armistice, ceremony ornaments, motifs, arts, social organization and social relationship, must be based on the Sacred Principle which can be assumed as eternal, since its manifestations found almost everywhere in each ethnic groups in Indonesia and it always echoes some

perpetual, recurrent themes in their cosmologies. [26]

Dekadensi Adat, menurut Ferry, dapat diatasi dengan merujukkan kembali ‘Adat temporal’ kepada ‘Adat abadi’ lewat pembaharuan interpretasi atau pembaharuan manifestasi luar ‘Adat temporal’ di dalam sejarah-aksidental. Lanjut Ferry:

Untuk menghindari kehilangan makna Adat, hemat penulis, harus dilakukan pembaharuan, revitalisasi, serta refreshment (penyegaran-ulang), dalam bentuk reinterpretasi (tafsir-ulang) atas Adat. Telah diterangkan di muka, bahwa Adat memiliki ‘aspek abadi’ dan ‘aspek sementara’. ‘Aspek abadi’ Adat disebut adat sebenar adat, sementara ‘aspek temporal’ Adat disebut adat yang diadatkan dan adat yang teradat. Yang harus direinterpretasi dalam kaitannya dengan kasus hilangnya makna Adat, ialah ‘aspek temporal’ nya, bukan ‘aspek abadi’ nya. Upacara cabut gigi dan tari ekstase kecak di Bali, upacara tepung tawar dan seni silat di Melayu, kesenian debus di Banten, upacara mengayau kepala di Nias, tari saman di Aceh, atau upacara perkawinan dan tari kuda lumping di Jawa adalah aspek temporal Adat yang dapat direinterpretasi, tapi makna-makna esensial, ‘isi-isi’ kesakralan, kandungan-kandungan spiritual dari upacara tersebut, seperti keserasian kosmik, kepatuhan pada hukum kosmik sakral-abadi, serta kesadaran akan totalitas realitas sakral adalah aspek universal Adat yang tak boleh diubah-ubah dan bersifat aksiomatik. Misalnya, jika makna sakral-spiritual upacara cabut gigi di Bali telah hilang dalam ingatan manusia Bali Modern dan yang tinggal dipahami hanyalah upacara glamor dengan atribut- atributnya yang profan demi keuntungan material bidang pariwisata, maka, dengan mengikuti logika tadi, upacara tersebut dapat direinterpretasi dengan cara diganti dengan upacara lain yang sedianya dapat membangkitkan kembali makna spiritualnya yang abadi, walaupun upacara itu harus berubah bentuk secara drastis dan dramatis. Jika tari saman dari Aceh rupanya tidak menyebabkan penarinya serta penontonnya mengalami ‘kesadaran kosmik’ sedangkan tari whirling dervishes dari Persia dan tari belly dance dari Mesir bisa, maka tidak ada salahnya kita memilih dua tari yang disebut

terakhir itu. [27]

Dengan pembaharuan Adat sebagaimana yang diusulkannya itu, manusia Indonesia-Modern dapat melampaui Modernisme yang dekaden. Lalu, bagaimana sikap Ferry terhadap Modernisme? Dulu ia adalah pendukung setia Modernisme-Barat, namun disebabkan oleh etnosentrisme filsuf-filsuf Barat yang menurutnya keterlaluan dan ketertarikannya pada ‘proyek filsafat jangka-panjang’ Filsafat Indonesia yang dipelopori M. Nasroen, serta rintisan kajian yang dipeloporinya ‘Sejarah Filsafat Indonesia’, ia melepaskan Modernisme dan mengritiknya dengan hebat, lantaran, Dengan pembaharuan Adat sebagaimana yang diusulkannya itu, manusia Indonesia-Modern dapat melampaui Modernisme yang dekaden. Lalu, bagaimana sikap Ferry terhadap Modernisme? Dulu ia adalah pendukung setia Modernisme-Barat, namun disebabkan oleh etnosentrisme filsuf-filsuf Barat yang menurutnya keterlaluan dan ketertarikannya pada ‘proyek filsafat jangka-panjang’ Filsafat Indonesia yang dipelopori M. Nasroen, serta rintisan kajian yang dipeloporinya ‘Sejarah Filsafat Indonesia’, ia melepaskan Modernisme dan mengritiknya dengan hebat, lantaran,

pada aftermath krisis tersebut, hingga detik ini. [28]

[1] Microsoft Encarta Encyclopedia 2005 [2] William Grassie, “Postmodernism: What One Needs to Know”, dalam artikel online

http://www.voicenet.com/~grassie [3] Microsoft Encarta Encyclopedia 2005 [4] William Grassie, “Postmodernism: What One Needs to Know”, dalam artikel online

http://www.voicenet.com/~grassie [5] Sutan Takdir Alisjahbana, ‘Politik Bahasa Nasional dan Pembinaan Bahasa Indonesia’,

dalam Halim, Amran. Politik Bahasa Nasional 1: Kumpulan Kertas Kerja Praseminar, (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), h. 44.

[6] Sutan Takdir Alisjahbana, ‘Socio-Cultural Development in Global and National Perspective and Its Impacts’, dalam Majalah Bulanan Ilmu dan Budaya, Tahun X, No.10, Juli 1988, Jakarta, Universitas Nasional, hh. 730-731.

[7] Muhidin M. Dahlan & Mujib Hermani (ed.), Kebudayaan Sosialis: Kumpulan Tulisan Soedjatmoko, (Jakarta: Penerbit Melibas, 2004), cet-2, hh- 140-141

[8] Soedjatmoko, “Menjelang Suatu Politik Kebudayaan”, dalam Agus R. Sarjono (ed.), Pembebasan Budaya-Budaya Kita: Sejumlah Gagasan, (Jakarta: Gramedia & TIM, 1999), h. 53

[9] Ibid., hh. 73-74 [10] Ibid., hh. 207-208 [11] Nicolaus Drijarkara, Percikan Filsafat, (Jakarta: PT. Pembangunan, 1978), cet-3, h. 43 [12] Ibid., h. 12 [13] Ibid., hh. 23-24

[14] Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di Tengah Letupan Disintegrasi Sosial Kebangsaan, (Yogyakarta: AK Group, 2003), h. 116

[15] Wasito Poespoprodjo, Interpretasi: Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya, (Bandung: Rosda Karya, 1987), hh. 17-18

[16] Ibid., h. 7 [17] Ibid., h. vii & 24 [18] Ibid., h. 2 [19] YB. Mangunwijaya, Putri Duyung yang Mendamba: Renungan Filsafat Hidup Manusia

Modern, (Jakarta: YOI, 1987), h. 5 [20] Ibid., hh. 7-17 [21] Armahedi Mahzar, Integralisme, (Bandung: Pustaka, 1983), hh. 1-3 [22] Kuntowijoyo, “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra”, dalam

Majalah Sastra HORISON, Tahun XXXIX, No. 5/2005, Mei 2005, hh. 11-12 [23] Ibid., hh. 104-112 [24] Andy Setiawan, Kuantum Keimanan, belum dipublikasikan. [25] Ibid. [26] Ferry Hidayat, Some Studies in Indonesian Philosophy. [27] Ferry Hidayat, Modernisme dalam Sejarah Filsafat Indonesia. [28] Ferry Hidayat, Return to ‘the Cosmic Adat’ to Solve ‘the Chaotic Present.