D.S. Hadiwidjana (1895--
R.D.S. Hadiwidjana (1895--
Nama kecilnya Soewanda. Ia lahir di Sragen pada 9 Oktober 1895. Nama kecilnya yang disingkat “S” selalu disertakan mendahului nama tuanya, Hadiwidjana. Ia merupakan anak ketiga dari enam bersaudara. Nama orang tuanya R.M. Ambjah Darmawisastra. Soewanda dibesarkan di lingkungan budaya Jawa dan menganut agama Kristen Roma Katolik.
Dalam usia menjelang 27 tahun, tepatnya pada 2 Februari 1922, Soe- wanda dinikahkan di Muntilan dengan R.A. Agnes Soekartini, putri Sasra- negara. Sejak itulah nama Soewanda dilengkapi dengan nama Hadiwidjana (nama yang diberikan setelah menikah). Dari perkawinan itu lahirlah 13 orang Dalam usia menjelang 27 tahun, tepatnya pada 2 Februari 1922, Soe- wanda dinikahkan di Muntilan dengan R.A. Agnes Soekartini, putri Sasra- negara. Sejak itulah nama Soewanda dilengkapi dengan nama Hadiwidjana (nama yang diberikan setelah menikah). Dari perkawinan itu lahirlah 13 orang
Jika diperhatikan dari sisi orang tua, tampak bahwa Hadiwidjana termasuk keluarga priayi meskipun stratanya di bawah keluarga orang tua istrinya. Perbedaan strata sosial itu bukan merupakan kendala bagi Hadiwi- djana untuk menciptakan keluarga harmonis. Hal itu dibuktikan dengan keberhasilannya mendidik semua anaknya. Keberhasilan Hadiwidjana dalam mendidik anak-anaknya bermodal pendidikan dan kedisiplinan yang diterapkannya.
Pendidikan pengarang dan sekaligus filolog itu dimulai dari magang di Sumanegaran, Sragen, tahun 1904. Kemudian Hadiwidjana menempuh pendi- dikan di Kweek School tahun 1917, Kursus Guru Bahasa Jawa tahun 1920, ke Sekolah Jawa di Batavia tahun 1921, Kursus Guru Bahasa Jawa di Batavia tahun 1928-1931; semua itu untuk mengajar di AMS dan HIK. Adapun yang terakhir ditempuh ialah pendidik Akte Onderwijzer di Batavia, tahun 1932.
Sesuai pendidikan yang ditempuh, Hadiwidjana kemudian bekerja sebagai guru, yang secara berturut-turut ialah di AMS dan HIK (1931-1942), Sekolah Guru Lanjutan (SGL) Jetis, Yogyakarta (1942-1945), Sekolah Menengah Tinggi (SNT) di Yogyakarta (1945-1955), Guru Kepala Kursus BI Bahasa Indonesia di Yogyakarta (1955-1958), serta Dosen Luar Biasa pada Kursus BI Bahasa Indonesia dan Jawa di Yogyakarta dan Dosen Bahasa Indonesia di Universitas Saraswati Surakarta (1960-1961). Di samping itu, pada tahun 1946 ia diangkat menjadi Dosen Luar Biasa di Sekolah Tinggi Gadjah Mada dan sejak tahun 1949 diangkat menjadi Dosen Luar Biasa di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, serta sejak tahun 1969 menjadi Dosen Luar Biasa di FKSS IKIP Yogyakarta sampai tahun 1970-an.
Berkat pengetahuan dan pengalamannya, Hadiwidjana termotivasi untuk mengembangkan bakatnya mengarang. Karangan pertamanya dimuat dalam majalah Jawi Sraya di Muntilan ketika ia masih belajar di Kweek School. Karangannya dalam bentuk guritan dengan judul “Duk Anomku”, “Wong Becik”, “Yasaning Setan marang Manungsa”, dan “Ngibadah” di- muat dalam Medan Bahasa Basa Jawi (No. 4, Thn. IV, 1959). Sebelum itu, Berkat pengetahuan dan pengalamannya, Hadiwidjana termotivasi untuk mengembangkan bakatnya mengarang. Karangan pertamanya dimuat dalam majalah Jawi Sraya di Muntilan ketika ia masih belajar di Kweek School. Karangannya dalam bentuk guritan dengan judul “Duk Anomku”, “Wong Becik”, “Yasaning Setan marang Manungsa”, dan “Ngibadah” di- muat dalam Medan Bahasa Basa Jawi (No. 4, Thn. IV, 1959). Sebelum itu,
Selain menulis guritan, Hadiwidjana juga menyusun buku bahan ajar dan bahan bacaan. Buku-buku tersebut, antara lain Sastra Gita Wicara (Jilid I 1950 dan Jilid II 1963), Sarana Sastra (1950), Sarwa Sastra (Jilid I, II, dan III, 1963), Mrih Raharja (1960), dan Tata Sastra (1967). Beberapa artikel tentang bahasa dan sastra pernah pula ditulisnya, di antaranya ‘Tinjauan Serat Centhini ” dan “Aksara Dua Puluh” yang dimuat dalam Buletin Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM (No. 4, 1971). Hadiwijana juga menyunting Babad Clereng yang kemudian dimuat dalam majalah Widyaparwa terbitan Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta. Bahkan, beberapa bukunya, di antaranya Sarwa Sastra dan Tata Sastra, masih dijadikan buku acuan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang memiliki Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa.
Jika dilihat pendidikan, pengalaman kerja, dan keberhasilannya me- nyusun beberapa buku, Hadiwidjana termasuk seorang tokoh yang gigih memegang prinsip untuk memperjuangkan kelangsungan hidup bahasa dan sastra Jawa serta pengajarannya. Kegigihan dan ketabahannya terbukti hingga berusia tua ia masih diminta untuk mengajar di Fakultas Sastra dan Budaya UGM dan Fakultas Keguruan Sastra Seni IKIP Yogyakarta sampai tahun 1970-an.