M. Soelardi (1885/1888--?)
R.M. Soelardi (1885/1888--?)
Raden Mas Soelardi adalah anak seorang guru. Ia lahir tahun 1885 di Wonogiri, Surakarta. Keterangan tahun kelahirannya itu berbeda dengan keterangan penerbit Fa. Nasional, Surakarta, yang menerbitkan novelnya Serat Riyanta pada tahun 1965. Diterangkan bahwa ketika buku itu diterbitkan (dengan angka tahun 1965), Soelardi berusia 77 tahun. Hal itu berarti bahwa R.M. Soelardi lahir tahun 1888 (selisih 3 tahun).
Sejak kecil Soelardi telah menunjukkan bakatnya sebagai seniman (sastrawan). Minatnya terhadap dunia sastra bermula dari kesukaannya pada dunia wayang kulit. Dari seringnya menyaksikan pertunjukan wayang ia kemudian belajar menabuh gamelan, melukis dan menatah wayang, serta menulis cerita berbahasa Jawa. Bakat inilah yang menarik perhatian Mang- koenegara VII sehingga ia diangkat menjadi abdi dalem di Mangkunegaran. Di Mangkunegaran, antara lain, ia diberi tugas melukis, menabuh gamelan, membuat wayang kulit, dan sebagai guru bahasa Jawa.
Ketika menjadi abdi dalem di Mangkunegaran, Soelardi jatuh cinta kepada seorang gadis bangsawan. Gadis itu pun membalas cintanya, tetapi orang tua si gadis melarang hubungan mereka. Cinta Soelardi gagal karena ia hanya seorang abdi, hanya seorang seniman, lagipula tidak kaya. Menurut keterangan penerbit F.A. Nasional (1965), kegagalan itulah yang mengilhami Soelardi untuk menulis novel Serat Riyanta.
Ketika menggubah/menulis novel Serat Riyanta, Soelardi konon baru berusia 23 tahun sehingga diperkirakan bahwa ketika jatuh cinta kepada gadis bangsawan itu (seperti Srini dalam novelnya) ia berusia 22 tahun. Dua tahun kemudian, setelah cinta pertamanya gagal, ia jatuh cinta lagi kepada gadis bangsawan lain hingga menikah. Namun, sial baginya, tidak lama kemudian istrinya meninggal. Karena itu, Soelardi kemudian mengambil keputusan untuk keluar sebagai abdi dalem Mangkunegaran. Keputusannya itu merupa- kan sikap tegasnya untuk melepaskan ikatan tradisional yang feodalistik. Sikapnya itu juga tercermin pada tokoh Riyanta dalam novel Serat Riyanta yang menolak perkawinan atas pilihan orang tua.
Di luar istana Mangkunegaran, Soelardi mengisi hari-harinya dengan menulis, melukis, dan menyungging (menatah) wayang kulit. Selain menulis novel Serat Riyanta (yang dicetak ulang sampai tiga kali), Soelardi juga menulis novel Serat Sarwanta (dua jilid, terbit tahun 1939). Novel yang kedua itu lebih mengutamakan masalah kejiwaan dan kebatinan. Sebelum itu, ia juga menulis panduan menabuh gamelan dan melukis wayang sebagaimana dimuat dalam Serat Pedhalangan Ringgit Purwa (1932) karya Mangkoenegara VII (38 Jilid).
Oleh beberapa pengamat, di antaranya Suripan Sadi Hutomo (1975) dan J.J. Ras (1985), Serat Riyanta dianggap sebagai novel pertama yang mengawali periode baru kesusastraan Jawa. Dianggap demikian karena novel itu telah memenuhi kriteria novel modern Barat, yang cirinya, antara lain, tidak lagi dikuasai oleh norma-norma ekstraestetik, seperti masalah moral atau kecenderungan didaktis (mendidik).
Sementara itu, Quinn (1995) menilai bahwa Serat Riyanta sangat menonjol karena mampu melakukan kritik secara tersamar bagi kebiasaan perkawinan atas kehendak orang tua di kalangan elit bangsawan dengan gambaran etiket kebangsawanan yang mempesona dan mengagumkan (meskipun kadang-kadang agak ironis). Selain itu, Damono (1999) menge- mukakan bahwa Serat Riyanta menawarkan tema yang berkaitan dengan perkawinan sebagai salah satu masalah utama novel itu. Hal itulah yang menjadi kelebihan dan yang membedakan Serat Riyanta dari karya-karya lain sezamannya.
Rara Soedarmin
Seperti halnya pengarang prakemerdekaan lain yang menulis di majalah Kajawen waktu itu, identitas Rara Soedarmin pun amat minim, bahkan tak ada sama sekali. Seperti kebanyakan pengarang wanita waktu itu, Seperti halnya pengarang prakemerdekaan lain yang menulis di majalah Kajawen waktu itu, identitas Rara Soedarmin pun amat minim, bahkan tak ada sama sekali. Seperti kebanyakan pengarang wanita waktu itu,
Pada tahun yang sama (1942), dan dalam majalah yang sama pula, ia muncul sekali lagi, tetapi tulisannya berupa artikel dan dimuat dalam rubrik “Jagading Wanita” . Namun, seperti pada umumnya tradisi majalah berbahasa Jawa pada waktu itu, baik Kajawen, Penjebar Semangat, maupun Pusaka Surakarta , rubrik wanita itu pun lebih banyak didominasi oleh penulis pria yang menggunakan nama samaran.
Menurut Hutomo (1978) dan Ras (1979), nama-nama penulis wanita dalam rubrik “Jagading Wanita” itu sangat dimungkinkan adalah nama-nama para anggota redaksi yang sengaja menulis dengan nama samaran wanita dengan tujuan untuk menarik perhatian para wanita agar menulis di majalah tersebut.
S.K. Trimoerti (1912--
Nama lengkapnya Surastri Karma Trimurti, tetapi lebih dikenal dengan nama S.K. Trimurti (kadang-kadang ditulis S.K Trimurty). Ia lahir di Boyolali, Jawa Tengah, pada 11 Mei 1912. Pada masa perjuangan, pengarang yang dikenal juga sebagai politikus ini pernah menikah dengan Mohammad Ibnu Sayuti (Sayuti Melik), seorang tokoh pergerakan nasional. Akan tetapi, karena di zaman kemerdekaan keduanya berbeda ideologi, mereka memilih berpisah. Mohammad Sayuti Melik menjadi anggota DPR dari Partai Golkar, sedangkan S.K. Trimurti melanjutkan aktivitasnya di bidang politik dan jurnalistik.
S.K. Trimurti yang dikenal pula sebagai wanita pejuang ini menem- puh pendidikan di Normaal School dan AMS di Sala. Sementara itu, pada masa kemerdekaan, ia juga mengikuti kuliah di Universitas Indonesia (UI) meng- ambil Jurusan Ekonomi hingga meraih gelar Doktoranda (Dra). Meskipun demikian, ia tidak menekuni bidang ekonomi, tetapi tetap aktif di bidang jurnalisme dan politik. Bahkan, pada masa pemerintahan Orde Lama, ia pernah menjabat sebagai Menteri Perburuhan selama satu periode (dilantik pada 3 Juli 1947 di Yogyakarta).
Selama penjajahan Belanda dan Jepang pengarang ini turut berjuang sebagai anggota Laskar Wanita, politikus, dan membantu Palang Merah Indonesia di garis belakang. Sebagai konsekuensi ideologis yang dianutnya, ia lebih mementingkan politik daripada pendidikan. Ia pernah mendapat hadiah uang dari Penjebar Semangat, tidak lama setelah ia keluar dari penjara. Uang Selama penjajahan Belanda dan Jepang pengarang ini turut berjuang sebagai anggota Laskar Wanita, politikus, dan membantu Palang Merah Indonesia di garis belakang. Sebagai konsekuensi ideologis yang dianutnya, ia lebih mementingkan politik daripada pendidikan. Ia pernah mendapat hadiah uang dari Penjebar Semangat, tidak lama setelah ia keluar dari penjara. Uang
Pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16, S.K. Trimurti yang berteman baik dengan Mr. Maria Ulfah itu mendapatkan Bintang Mahaputra Tingkat V dari Presiden Sukarno atas jasa-jasanya di masa perjuangan kemerdekaan. Selanjutnya, pada tahun 17 Agustus 1965 ia juga mendapatkan penghargaan Satya Lencana Perintis Pergerakan Kemerdekaan dari Pemerintah RI. Hingga kini ia masih hidup dan tetap membaca artikel- artikel politik di media massa. Dalam setiap wawancara di mana pun, sikap hidupnya terlihat jelas, yaitu ingin tetap menjadi pejuang yang pantang mun- dur membela martabat negara.
Dalam karya-karyanya S.K. Trimurti lebih banyak menulis masalah- masalah politik berkaitan dengan profesinya sebagai politikus. Artikel- artikelnya tentang dunia potitik ditulis dalam bahasa Indonesia dan beberapa buah ditulis dalam bahasa Jawa, terutama dalam Panji Pustaka. Selain itu, ia juga menulis guritan di Panjebar Semangat dan dalam lampiran berbahasa Jawa Panji Pustaka (zaman Jepang). Salah satu guritan-nya yang dirangkai dalam bentuk tembang macapat kinanthi berjudul ”Ramening Asepi” (Panji Pustaka , 1 April 19…). Di dalam dunia sastra Jawa, S.K. Trimurti seangkatan dan sealiran dengan Subagijo Ilham Notodijojo (Subagijo I.N.). Itulah sebab- nya, biodata lengkapnya ditulis oleh jurnalis terkenal itu pada tahun 1982, terbitan Gunung Agung. Guritan S.K. Trimurti antara lain pernah dibicarakan oleh Suripan Sadi Hutomo dan dimuat dalam majalah Kebudayaan, Agustus 1993, dengan judul “Pengarang Wanita dalam Sastra Jawa Modern”.
Sadwara Hatmasarodji
Lengkapnya R.M. Sadwara Hatmasarodji. Meskipun tidak diketahui secara pasti biografinya, dilihat dari gelar raden mas di depan namanya kemungkinan besar ia berasal dari keluarga priayi di Surakarta. Hal ini barangkali dapat dikaitkan dengan latar cerita novel yang ditulisnya (Sumirat), yaitu kota Sala dan sekitarnya. Karena penulis ini diperkirakan dari lingkungan priayi, suasana cerita dalam novelnya pun bernuansa priayi. Novel Sumirat menceritakan seorang agen polisi bernama Sumirat. Dalam menjalankan tugasnya, ia selalu berkedok sebagai seorang ahli gambar (pelukis). Membaca novel detektif Sumirat seseorang dapat menangkap kesan bahwa penulisnya tampaknya mempunyai bacaan cerita-cerita detektif dari Barat.
Berbeda dengan novel-novel lainnya, novel Sumirat mengandung kebaruan. Letak kebaruannya terlihat pada jenisnya, yaitu cerita detektif. Di dalam cerita detektif ada konvensi khas yang harus diketahui pembaca, misalnya harus ada mayat sebagai korban pembunuhan dan bentuk watak tokoh-tokoh yang meragukan. Novel Sumirat dapat digolongkan ke dalam jenis cerita detektif walaupun belum serumit cerita-cerita detektif Barat seperti karya Agatha Cristie atau Sir Arthur Conan Doyle. Sebab, secara keseluruhan persyaratan sebagai cerita detektif telah terpenuhi.
Jika dibandingkan dengan novel sejenis terbitan Balai Pustaka seperti Jarot (1922) karya Jasawidagda dan Sukaca (1923) karya M. Soeratman Sastradiardja, novel Sumirat jauh lebih maju. Sebab, unsur misteri dalam Jarot dan Sukaca kurang memadai sehingga pelaku kejahatan telah dapat diduga identitasnya, setidak-tidaknya bukan misteri yang mendapat perhatian pem- baca, melainkan bentuk pelacaknya.
Sastraharsana
Pengarang ini tidak diketahui biografinya secara pasti. Jati diri R. Sastraharsana hanya dapat diduga berdasarkan novelnya Bandha Pusaka (1922) dan Mrojol Selaning Garu (1922) yang diterbitkan Balai Pustaka. Karena hanya menerbitkan karya melalui Balai Pustaka, diperkirakan ia pengarang yang “menyuarakan” pandangan yang sejalan dengan kebijakan pemerintah Belanda. Novel Bandha Pusaka menampilkan seorang anak laki- laki yang berhasil mencapai kedudukan terhormat berkat asuhan seorang pembantu rumah tangga. Laki-laki bernama Wahyana berhasil mencapai kedu- dukan sebagai wedana walaupun tidak diasuh oleh ibu kandungnya.
Dari novel didaktis tersebut dapat diketahui bahwa Sastraharsana kemungkinan besar berprofesi sebagai guru. Indikasi sebagai priyayi dapat dilihat dari gelar yang terdapat di depan namanya, yakni raden. Meski kisah- nya berbeda, pola novel Mrojol Selaning Garu masih sama dengan Bandha Pusaka. Novel Mrojol Selaning Garu mengangkat penderitaan seseorang aki- bat terjadi bencana banjir yang melanda desanya. Seseorang yang mengalami penderitaan tersebut adalah guru agama Islam bernama Ki Kasan Ngali.
Dua novel tersebut ditulis dengan menggunakan huruf Jawa cetak dan termasuk jenis novel pendidikan yang terkait dengan kearifan dan ketabahan seseorang dalam menghadapi cobaan hidup. Hal ini tercermin dalam sikap hidup Wahyana sebagai pribadi yang tidak mudah putus asa. Ia tetap gigih menghadapi berbagai cobaan. Misalnya, ia diasuh orang lain (janda) atau tanpa bimbingan orang tua. Suatu hari Wahyana difitnah sehingga ditangkap polisi Dua novel tersebut ditulis dengan menggunakan huruf Jawa cetak dan termasuk jenis novel pendidikan yang terkait dengan kearifan dan ketabahan seseorang dalam menghadapi cobaan hidup. Hal ini tercermin dalam sikap hidup Wahyana sebagai pribadi yang tidak mudah putus asa. Ia tetap gigih menghadapi berbagai cobaan. Misalnya, ia diasuh orang lain (janda) atau tanpa bimbingan orang tua. Suatu hari Wahyana difitnah sehingga ditangkap polisi
Novel karya Sastraharsana telah mendapat tanggapan dari beberapa pemerhati sastra, di antaranya Rass (1985), Subalinata (1994), dan Widati dkk. (2001). Subalidinata menyatakan bahwa novel Mrojol Selaning Garu termasuk novel bertema pendidikan sosial. Berdasarkan persoalan yang tertuang dalam kedua novel tersebut dapat diketahui bahwa Raden Sastraharsana memiliki pemikiran yang sejalan dengan pendidikan modern, seperti pentingnya cara berpikir objektif dan peningkatan kualitas hidup melalui pendidikan formal.
Soebagijo I.N. (1924--)
Soebagijo I.N. (lengkapnya Soebagijo Ilham Notodijojo) lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 5 Juli 1924. Pengarang yang aktif menulis sastra sejak sebelum kemerdekaan ini dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sederhana. Konon, berkat kesahajaan orang tuanya ia diberi umur panjang. Di antara empat saudaranya, hanya ialah satu-satunya yang hingga kini masih hidup meskipun daya ingatnya menurun akibat penyakit migren yang diderita.
Pada tahun 1961 Soebagijo menikahi Siti Supiah. Dari pernikahan ini lahir enam orang anak. Kini ia telah memperoleh tujuh orang cucu. Sebagai pemeluk Islam yang taat, Soebagijo telah menunaikan ibadah haji ke tanah suci (1968). Kepada anak keturunannya, ia selalu menanamkan pentingnya nilai-nilai keagamaan, di samping mendidik mereka agar gemar membaca dan mengoleksi berbagai macam buku. Ia berhasil menyekolahkan keenam anaknya hingga menjadi sarjana, meskipun sebagian besar hidupnya hanya ditopang oleh profesinya sebagai penulis.
Orang tua Soebagijo adalah guru. Karenanya, tidak heran jika ia juga tertarik terjun ke dunia pendidikan. Tahun 1939 ia masuk pendidikan dasar guru HIK Muhamadiyah Yogyakarta. Tahun 1942 ia memilih sekolah di kampung halaman sendiri, yaitu SGL (Sekolah Guru Laki-Laki) di Blitar. Setelah lulus, ia sempat menjadi guru di sekitar kota kelahirannya, yaitu di Sidomulyo.
Pada zaman Jepang Soebagijo terpilih sebagai wakil karesidenannya untuk mengikuti pelatihan guru di gedung HCK (bekas sekolah guru untuk Cina) Jakarta. Selama tiga bulan ia dilatih mempelajari bahasa dan nyanyian
Jepang sehubungan dengan banyaknya tenaga guru yang diperlukan oleh pemerintah Jepang ketika itu. Selanjutnya Soebagijo menempuh pendidikan Sekolah Guru Tinggi (Kootoo Shihan Gakko) di Jakarta, memilih bidang Sastra dan Budaya sesuai dengan keahliannya. Namun, pendidikan ini terhenti akibat pecah perang revolusi yang mengharuskan Soebagijo meninggalkan bangku sekolah untuk ikut berjuang (di Yogyakarta). Selain itu, Soebagijo juga pernah belajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), walaupun tidak selesai. Pendidikan terakhir ditempuh di Jurusan Sastra Nusantara Fakultas Sastra UI dengan gelar Sarjana Muda.
Di dunia sastra Jawa, Soebagijo lebih dikenal dengan sebutan Pak SIN, singkatan dari nama lengkapnya (Soebagijo Ilham Notodijoyo). Seperti lazimnya penamaan menurut adat kebiasaan orang Jawa, Soebagijo menambah nama orang tua di belakang namanya sendiri. Pada zaman prakemerdekaan Soebagijo sering menggunakan nama samaran, misalnya Sotho Blitar (nama samaran di Taman Putra), Puthut Sidomulya (nama samaran di Panji Pus- taka ), Endang Werdiningsih, Anggajali, Satriya Wibowo, Adjisaka, Pak SIN, dan lain-lain. Menurutnya, nama-nama samaran tersebut tidak mempunyai maksud tertentu, kecuali hanya untuk menghindari rasa bosan bagi pembaca. Bahkan, di kemudian hari ia sadar bahwa penggunaan nama samaran tersebut justru merugikan diri sendiri karena nama asli menjadi tidak dikenal oleh masyarakat.
Soebagijo merintis karier kepengarangannya sejak zaman Jepang. Ia sering menulis di Panji Pustaka dan Indonesia Merdeka. Pada awal revolusi kemerdekaan, tepatnya sejak 15 Desember 1945, ia menjadi pemimpin redaksi Api Merdeka terbitan Ikatan Pelajar Indonesia dan Jiwa Islam terbitan Pemuda Islam Indonesia. Selain sebagai pengarang, Soebagijo juga seorang jurnalis. Sejak 1956 hingga 1948 ia menjadi wartawan kantor berita Antara. Namun, karena Antara berhenti besamaan dengan didudukinya kota Yogyakarta oleh Belanda, Soebagijo lalu kembali ke Jawa Timur.
Di samping itu, Soebagijo juga dikenal sebagai pelopor terbitnya Crita Cekak (1955) dan Poestaka Roman sebagai ajang berkreasi para pengarang muda. Pada April 1949—Februari 1957 Soebagijo menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat di Surabaya (bersama Iman Supardi). Tahun 1957 ia kembali menjadi wartawan kantor Antara di Jakarta dan pernah ditugaskan ke PBB untuk meliput perjuangan Indonesia dalam usahanya mendapatkan kembali Irian Barat. Selama tiga bulan Soebagijo melakukan perjalanan jurnalistik ke Amerika dan berbagai negara Eropa Barat, selain meliput Pasukan Garuda I atas undangan USIS. Tahun 1966—1968 ia ditugaskan Di samping itu, Soebagijo juga dikenal sebagai pelopor terbitnya Crita Cekak (1955) dan Poestaka Roman sebagai ajang berkreasi para pengarang muda. Pada April 1949—Februari 1957 Soebagijo menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat di Surabaya (bersama Iman Supardi). Tahun 1957 ia kembali menjadi wartawan kantor Antara di Jakarta dan pernah ditugaskan ke PBB untuk meliput perjuangan Indonesia dalam usahanya mendapatkan kembali Irian Barat. Selama tiga bulan Soebagijo melakukan perjalanan jurnalistik ke Amerika dan berbagai negara Eropa Barat, selain meliput Pasukan Garuda I atas undangan USIS. Tahun 1966—1968 ia ditugaskan
Selain sebagai pengarang dan wartawan, Soebagijo juga aktif di berbagai organisasi. Misalnya, di SGL Blitar dan SGT Jakarta, ia menjadi pengurus pengajian agama Islam. Tahun 1946 menjadi pengurus GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) dan Pandu Hizbul Wathan-Muhamadiyah Yogyakarta. Selama di Yugoslavia ia juga menjadi Ketua Jemaah Pengajian Indonesia. Meski sudah pensiun, Soebagijo masih tetap aktif dalam berbagai organisasi, di antaranya Panitia Hadiah Dewan Pers Jakarta, Pengurus Besar Himpunan Penerjemah Indonesia, Redaksi Ensiklopedi Indonesia Baru, dan Pengurus Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah.
Ketertarikan Soebagijo menggeluti bidang kepengarangan dan jurnal- istik telah terbentuk sejak kecil. Ketika itu, oleh orang tuanya diberi tugas rutin untuk mengambil majalah atau koran langganan yang dibayar secara patungan dengan kawan ayahnya. Tugas itulah yang memberi kesempatan untuk banyak membaca. Kesempatan membaca berbagai karya sastra maupun berita itu akhirnya mendorong minatnya untuk menulis. Rasa cinta pada dunia sastra juga berkat peran ibunya (Siti Sutinah) yang sering memperkenalkan karya- karya sastra lama padanya. Dorongan untuk menulis semakin besar saat ia mendapat hadiah buku karangan ibunya; dan hal ini membuat ia semakin sayang pada ibunya (selain kepada saudara-saudaranya). Rasa hormat dan sayang kepada ibunya diungkapkan lewat puisi berjudul “Biyungku”. Rasa sayang kepada adiknya juga diungkapkan melalui puisi di majalah Jaya Baya berjudul “Wanita Utama”.
Senjak sebelum perang Soebagijo telah menulis dalam bahasa Jawa di rubrik “Taman Bocah” majalah Kejawen dan rubrik “Taman Putra“ majalah Swara Tama . Ketika sekolah di SGT Soebagijo juga menulis sejumlah cerita pendek. Karya Soebagijo yang menonjol berupa cerkak dan guritan yang dimuat di majalah Panji Pustaka, satu-satunya majalah yang terbit di masa penjajahan Jepang. Karya cerpen dan puisinya yang ditulis sekitar tahun 1943—1949 tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk buku antologi berjudul Seroja Mekar.
Seorang pengarang yang pernah mengalami masa perang, misalnya, tentu lebih berhasil ketika ia harus bercerita tentang kepahitan hidup, pergu- latan batin, gigihnya perjuangan, maupun dahsyatnya peperangan apabila dibandingkan dengan pengarang yang sama sekali tidak mengalami masa perang atau tidak mempunyai referensi tentang situasi peperangan. Begitu pula Seorang pengarang yang pernah mengalami masa perang, misalnya, tentu lebih berhasil ketika ia harus bercerita tentang kepahitan hidup, pergu- latan batin, gigihnya perjuangan, maupun dahsyatnya peperangan apabila dibandingkan dengan pengarang yang sama sekali tidak mengalami masa perang atau tidak mempunyai referensi tentang situasi peperangan. Begitu pula
Berangkat dari konsep itulah, wajar jika karya-karya Soebagijo memi- liki ciri khas. Sebagai seorang pendidik, pejuang, wartawan, dan kepasrah- annya terhadap Tuhan serta nasib (sebagai orang Jawa), wajar pula jika ia melahirkan karya-karya yang bersifat didaktis, berlatar perang, penuh muatan moral, dengan beberapa tokoh yang taat pada agama. Latar perang, misalnya, dapat dicermati dalam cerpen “Katresnan Cawang Loro”. Di samping itu, dunia pendidikan dalam cerpen ini mendapat tekanan tertentu lewat tokoh Martono yang bercita-cita menjadi guru. Sampai-sampai ia mengorbankan cintanya pada Pratiwi hanya untuk mencerdaskan bangsanya. Niat akhir pemuda ini ikut berjuang dengan menjadi tentara PETA. Sementara itu, ketaatan menjalankan ibadah dan sikap nasional seorang pemuda Islam terlihat melalui tokoh Iskak dalam cerpen “Nyuwun Pamit Kyai”. Hal senada juga terlihat dalam cerpen “Tukang Jaga ing Tepining Samodra”. Di sisi lain, upaya untuk memajukan dan mencerdaskan bangsa terungkap lewat cerpen “SSS” dengan keterlibatan tokoh-tokohnya memberantas buta huruf. Cerpen ini sesungguhnya ingin mengatakan betapa penting peran guru dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; salah seorang tokohnya, Siti Pangastuti, bahkan mengutamakan pendidikan dari pada berumah tangga.
Persoalan moral diungkapkan Soebagijo I.N lewat cerpen “Mas Tiron” yang terasa begitu satir. Cerpen tersebut mengungkapkan keprihatinan terhadap sikap hidup glamor yang mulai membudaya di masyarakat. Semua tokoh yang diciptakan Soebagijo hampir tidak mengalami perkembangan. Tokoh-tokohnya hanyalah sebuah blue print untuk menyampaikan pesan moral yang begitu mendominasi hampir keseluruhan cerpennya. Efek dari eksistensi tokoh tersebut adalah longgarnya alur dan tidak terjaganya hu- bungan kausalitas dalam membangun cerita. Tanggapan Soebagijo terhadap kebudayaan Jawa tampak melalui beberapa puisinya. Konsep tersebut misalnya mencakupi persoalan pasrah dan nrima. Puisi “Jinontra Donya”, misalnya, mengingatkan manusia bahwa tidak ada yang kekal di dunia; karenanya diperlukan sikap pasrah dan nrima, begitu juga dalam puisi “Rerengganing Ngaurip”. Kepekaan mengenai pancaindra juga digunakan pengarang untuk memberi nasihat, melalui puisi “Ilat” diharapkan manusia mampu mengendalikan semua ucapannya.
Puisi Erahing Kagunan mengungkap keinginan akan suatu bentuk Puisi Erahing Kagunan mengungkap keinginan akan suatu bentuk
Soedjono Roestam
Nama Soedjono Roestam hanya muncul dalam rubrik “Caios Cekak” majalah Kajawen. Tidak ditemukan data apa pun mengenai identitas dirinya. Yang dapat ditemukan hanyalah beberapa cerkak karyanya. Menurut informasi Muryalelana (alm.), kemungkinan nama itu adalah nama samaran salah seorang redaksi majalah Kajawen. Dilihat dari gaya berceritanya yang lucu, dimungkinkan sifat humor pengarang ini dekat dengan sifat humor Poerwa- darminta. Sebab, sehari-harinya Poerwadarminta dikenal senang melucu. Selain itu, Poerwadarminta juga dikenal sebagai penulis (dan pengasuh) rubrik “Rembaganipun Petruk kaliyan Gareng” dalam majalah tersebut. Nama rubrik tersebut memang tidak selalu dimunculkan. Yang penting di dalam rubrik yang diasuh itu ia menempatkan diri sebagai Petruk, seorang tokoh punakawan Pandawa yang cerdas tetapi lucu.
Rubrik yang diasuh Poerwadarminta membawakan misi atau kebi- jakan pemerintah dalam menghadapi perkembangan informasi baru dari luar yang waktu itu mulai gencar. Misalnya, dalam salah satu edisi rubrik ini dibahas masalah “Basa Jawa ing Peres” (28 November; 5 Desember 1941). Rubrik ini digarap melalui format dialog antara Gareng dan Petruk yang keduanya secara ikonik mirip dengan tokoh Petruk dan Gareng dalam dunia wayang. Kedua tokoh tersebut menggelar gagasan dengan bahasa ngoko andhap , tidak dengan bahasa krama. Apakah hal itu disebabkan karena dunia kedua tokoh wayang itu adalah “orang kecil”? Jawabnya wallahualam.
Di samping itu, apabila kita ingin mendapatkan kejelasan apakah benar Soedjono Roestam adalah Poerwadarminta? Jawabnya juga wallahu- alam karena bahasa pengantar yang digunakan pengarang ini bukan bahasa ngoko andhap , tetapi krama. Ragam ngoko hanya digunakan untuk wacana dialog. Dalam wacana tersebut penggunaan bahasa disesuaikan dengan fakta empirik masyarakat yang menerapkan undha-usuk bagi hubungan antar- Di samping itu, apabila kita ingin mendapatkan kejelasan apakah benar Soedjono Roestam adalah Poerwadarminta? Jawabnya juga wallahu- alam karena bahasa pengantar yang digunakan pengarang ini bukan bahasa ngoko andhap , tetapi krama. Ragam ngoko hanya digunakan untuk wacana dialog. Dalam wacana tersebut penggunaan bahasa disesuaikan dengan fakta empirik masyarakat yang menerapkan undha-usuk bagi hubungan antar-
Soedjono Roestam diketahui hanya sebagai cerpenis karena karya yang muncul dalam majalah itu hanya karya jenis cerpen. Misalnya, dua buah cerpennya, “Polatan Sumeh…Mbedhahaken Kanthongan Jas” (Kajawen, 13 Januari 1942) dan ”Mas Tirtamandura Badhe Ndandosi Griyanipun … Kapeksa Pados Sambutan ” (Kajawen, 17 Februari 1942). Seperti halnya karya-karya Krendhadigdaja, karya Soedjono Roestam pun digarap dengan gaya humor yang tinggi; yang berbeda hanyalah dalam hal bahasa pengantar yang digunakan. Bahasa pengantar dalam cerpen-cerpen Soedjono Roestam ngoko andhap , sedangkan bahasa pengantar dalam cerpen-cerpen Krendha- digdaja krama. Meskipun demikian, humor di dalamnya tetap dominan.
Seperti halnya dalam karya Krendhadigdaja yang bertema didaktis, cerpen Soedjono Roestam ini pun bertema didaktis, yaitu “jangan cepat-cepat mengambil keputusan pada saat hati sedang cemburu dan marah.” Hal itu terlihat, misalnya, pada sikap Mbok Mas Tirta-mandura. Ia marah kepada suami dan cemburu kepada pembantu, yang disulut oleh lenyapnya (secara tiba-tiba) kebaya sutra hijaunya, juga oleh sikap ramah suami kepada pem- bantunya, sehingga ia memutuskan untuk memecat pembantunya. Padahal, anak-anaknyalah yang mengambil baju sutra hijau itu untuk bermain pengantin-pengantinan. Di samping itu, bentuk mulut suaminya memang lebar, yang mengesankan selalu tersenyum.
Soedjono Roestam mengambil situasi sehari-hari yang terkesan lucu karena terbangun oleh sifat Mas dan Mbokmas Tirta yang mudah gugup. Sifat semacam itu, biasanya, mudah mengesampingkan akal sehat sehingga sering- kali menciptakan ironi-ironi yang menimbulkan suasana geli. Mas Tirta terpaksa meminjam uang --yang sebenarnya memang dibutuhkan-- bukan dari salah seorang keluarga, tetapi justru dari orang lain (penjaja jarum mesin).
Sementara itu, cerpen “Mas Tirtamandoera badhe Ndandosi Griya- nipun … Kapeksa Pados Sambutan… ” termasuk juga cerpen humor. Sebab, pengarang mengedepankan dua hal yang bertentangan: (akan merenovasi rumah) tetapi (terpaksa mencari pinjaman). Kata badhe ‘akan’ di sini berarti ada niatan untuk melakukan sesuatu, sama dengan istilah “will/shall” dalam bahasa Inggris, bukan “to be going to“, yang menegaskan bahwa sesuatu pasti akan dilakukan. Makna inilah yang dipermainkan di dalam cerpen ini.
Cerpen diawali dengan konflik antara Mas Tirtamandura dan istrinya Cerpen diawali dengan konflik antara Mas Tirtamandura dan istrinya
Kedatangan calon pemberi dana itu dipelajari dengan cermat oleh suami-istri tersebut, bahkan terkesan berlebihan, padahal mereka belum pernah bertemu. Unsur ketidaktahuan inilah yang dikedepankan dan diprediksi memungkinkan timbulnya kelucuan-kelucuan. Di dalam cerpen ini kelucuan terjadi karena pada hari H itu Mas Tirta kedatangan tamu yang berpakaian rapi, yang dikiranya calon pemilik dana. Tanpa banyak bertanya, suami-istri Tirtamandura mengembangkan pembicaraan --tanpa basa-basi-- tentang calon uang pinjaman, calon bunga, dan sebagainya, sambil … menjamu tamunya dengan sangat baik. Sampai akhirnya mereka tahu bahwa tamu tak dikenal itu adalah penjual jarum, bukan calon pemilik modal. Tamu yang sesungguhnya diharapkan itu ternyata sakit dan urung datang. Padahal, Mas Tirta berdua sudah menjamu dengan mahal dan sudah berembug tentang calon uang yang akan dihutang itu.
Cerpen diakhiri dengan amat ironis pula, yaitu Mas Tirtamandura meminjam uang dari si penjual jarum, dan masih diperlucu lagi, yaitu dengan membeli 5 jarum jahit yang sebenarnya tidak perlu dibeli. Jadi, ketergesa- gesaan seseorang seringkali menyebabkan orang melakukan tindakan tanpa nalar, bahkan konyol. Pengedepanan analogi-analogi semacam ini seringkali membangun suasana menggelikan karena terjadinya miskomunikasi kepen- tingan antara tokoh satu dengan lainnya. Soedjono Roestam memang sangat mahir membuat cerita lucu walaupun hanya dari objek yang ringan. Di samping itu, seperti yang digariskan oleh Kajawen, ia tetap menggunakan ragam krama dalam narasi.
Soegeng Tjakrasoewignja
Soegeng Tjakrasoewignja adalah penulis novel Ayu Ingkang Siyal (Balai Pustaka, 1930). Meskipun jati dirinya tidak diketahui secara pasti, melalui novel itu diduga ia adalah pengarang yang berpendidikan modern. Di dalam novel itu diceritakan bahwa Juriyah, satu-satunya putri Jayadikarsa, mantan lurah, yang bertempat tinggal di Kawirayudan. Karena kecantikannya, Juriyah menjadi congkak. Kesombongannya tampak pada sikapnya yang menolak semua pria yang ingin mempersuntingnya. Sikap Juriyah itu menim- bulkan kebingungan orang tua sehingga ayahnya jatuh sakit. Akhirnya, Juriyah Soegeng Tjakrasoewignja adalah penulis novel Ayu Ingkang Siyal (Balai Pustaka, 1930). Meskipun jati dirinya tidak diketahui secara pasti, melalui novel itu diduga ia adalah pengarang yang berpendidikan modern. Di dalam novel itu diceritakan bahwa Juriyah, satu-satunya putri Jayadikarsa, mantan lurah, yang bertempat tinggal di Kawirayudan. Karena kecantikannya, Juriyah menjadi congkak. Kesombongannya tampak pada sikapnya yang menolak semua pria yang ingin mempersuntingnya. Sikap Juriyah itu menim- bulkan kebingungan orang tua sehingga ayahnya jatuh sakit. Akhirnya, Juriyah
Novel Ayu Ingkang Siyal digubah dalam bahasa Jawa berhuruf Latin. Berdasarkan persoalan dan kisah tokoh utama dalam novel itu dapat dikatakan bahwa pengarang cenderung mengikuti pola pikir modern. Hal itu tampak pada sikap Juriyah yang menghendaki suami tampan dan berstatus pegawai. Wanita itu juga melakukan penolakan terhadap tradisi kawin paksa yang dianut oleh orang tua. Pada waktu itu, untuk menjadi pegawai, seseorang terlebih dahulu harus memiliki latar belakang pendidikan formal yang memadai. Sekolah formal yang sebagian besar didirikan oleh pemerintah kolonial itu sebagai “jendela” bagi masyarakat pribumi untuk memasuki perabadan modern. Akan tetapi, Soegeng Tjakrasoewignja belum sepenuhnya melakukan “pemberontakan” terhadap tradisi dan mengikuti budaya modern. Kegagalan perkawinan Juriyah dengan Margana yang membawa dirinya tidak mampu menolak R. Sudira menggambarkan “keraguan” pengarang dalam memasuki budaya modern secara total.
Soenarno Sisworahardjo (1904--)
Sebenarnya Soenarno Sisworahardjo adalah pengarang yang menga- wali karier kepengarangannya pada masa sebelum kemerdekaan, tetapi ia justru aktif pada masa kemerdekaan. Pengarang yang nama kecilnya adalah Soenarno ini lahir di Sukoharjo, Surakarta, Jawa Tengah, pada tanggal 19 Januari 1904. Dilihat garis keturunan ayahnya (Hardjasoedarso), ia adalah cucu Ngabei Pantjabratang, seorang Panewu Gunung di wilayah Jatisrono, Wonogiri, Surakarta, Jawa Tengah. Dilihat dari garis keturunan ibunya, ia adalah cucu Ngabei Soetasoedarso, seorang Panewu Distrik di Sukoharjo, Surakarta, Jawa tengah, pada masa pemerintahan Pakoe Boewono X. Jadi, Sebenarnya Soenarno Sisworahardjo adalah pengarang yang menga- wali karier kepengarangannya pada masa sebelum kemerdekaan, tetapi ia justru aktif pada masa kemerdekaan. Pengarang yang nama kecilnya adalah Soenarno ini lahir di Sukoharjo, Surakarta, Jawa Tengah, pada tanggal 19 Januari 1904. Dilihat garis keturunan ayahnya (Hardjasoedarso), ia adalah cucu Ngabei Pantjabratang, seorang Panewu Gunung di wilayah Jatisrono, Wonogiri, Surakarta, Jawa Tengah. Dilihat dari garis keturunan ibunya, ia adalah cucu Ngabei Soetasoedarso, seorang Panewu Distrik di Sukoharjo, Surakarta, Jawa tengah, pada masa pemerintahan Pakoe Boewono X. Jadi,
Semasa kecil Soenarno tidak mengenyam kebahagiaan karena ketika dia berumur dua tahun sang ayah (Hardjasoedarso) meninggal (1906). Pada tahun 1915, kakeknya, Ngabei Sutasoedarso, juga meninggal (dalam usia 94 tahun). Harta warisan satu-satunya peninggalan ayahnya yang berupa tanah bengkok telah habis karena ditipu orang. Dengan demikian, kehidupan Soenarno, yang pada waktu itu tinggal bersama ibunya, penuh keprihatinan. Setelah usia remaja, ia tinggal bersama kakaknya di Malang, Jawa Timur. Di kota itulah kehidupan Soenarno sedikit membaik. Ia diterima di Normal School dan mendapatkan ‘uang saku’ dari sekolah itu. Ia kemudian diangkat menjadi guru di Bogokidul. Beberapa tahun kemudian pindah ke Surabaya menjadi guru tetap di Taman Siswa. Di sela-sela kesibukan bekerja dan mengajar, ia tidak pernah lupa menulis (mengarang). Karena sering menulis, kemudian ia dipercaya menjadi pembantu tetap majalah Kekasihku, bela- kangan juga di Jaya Baya (Dojosantosa, 1990). Setelah pensiun pada 1 April 1964, Soenarno Sisworahardjo kemudian pindah ke Jakarta menjadi pegawai pada Kementerian Dalam Negeri.
Soenarno mulai menulis sejak tahun 1930-an dan masih aktif hingga 1980-an. Dilihat kiprahnya yang panjang itu (sekitar 50 tahun), Soenarno tidak mungkin dapat dipisahkan dari kehidupan dan perjalanan sastra Jawa modern. Soenarno merupakan pengarang yang tetap mempertahankan eksis- tensinya sebagai penulis Jawa dan tidak berkeinginan menulis dalam bahasa Indonesia. Ia barangkali dapat disejajarkan dengan para pengarang lain, seperti Hardjawiraga atau M.W. Asmawinangoen.
Pada masa kemerdekaan, karya-karya Soenarno tersebar di berbagai media massa, seperti Jaya Baya, Panjebar Semangat, Jaka Lodhang, Mekar Sari, Kekasihku, Dharma Nyata, Kunthi, Kumandhang, Parikesit, Gotong Royong, dan Waspada. Hingga kini Soenarno telah menerbitkan enam buah buku berupa fiksi dan nonfiksi. Karya yang berupa fiksi (novel) ada dua, yaitu Prawan Tuwa (1938) dan Sinta (1957). Prawan Tuwa (Balai Pustaka, 1938) merupakan terjemahan dari karya Ong Khing Han berjudul Perawan Tuwa yang pernah dimuat di majalah Penghidupan (Januari, 1930). Sementara itu, novel Sinta (Balai Pustaka,1957) adalah karya asli Soenarno. Adapun buku yang berupa nonfiksi (antologi artikel) adalah Pituduhe Ngaurip (1962), Bathok Bolu Isi Madu (1961), Biografi Sunan Kalijaga (1951), dan Sastra Jendra Hayuningrat.
Di dalam karya-karyanya Soenarno tidak selalu mencantumkan namanya. Ia terkadang mencantumkan nama samaran Soesi atau SS (singkatan dari nama Soenarno Sisworahardjo). Penggunaan nama samaran itu bagi Soenarno agar tidak menimbulkan kejenuhan bagi pembaca karyanya. Dilihat dari karya yang dihasilkannya, pembaca yang menjadi sasaran Soenarno adalah orang dewasa (bukan anak-anak) yang dapat memahami bahasa Jawa dengan baik.
Soenarno Sisworahardjo adalah sosok laki-laki yang juga sangat suka menciptakan tokoh-tokoh perempuan. Hal itu terlihat, misalnya, di dalam novel Sinta dan Prawan Tuwa, ia menonjolkan tokoh wanita. Seperti telah dinyatakan bahwa Soenarno adalah seorang priyayi (dengan gelar R atau Raden). Gelar kebangsawanan itu kadang-kadang juga digunakan dalam karangan-karangannya. Dalam novel Sinta, gambaran kepriayian itu diung- kapkan lewat tokoh Sastrawigena, orang tua Sinta, yang ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit HIS Muhammadiyah di Klaten. Dengan masuknya Sinta ke sekolah yang muridnya mayoritas anak-anak priayi itu, Sastrawigena berharap dapat mengubah status Sinta menjadi seorang priayi.
Novel Sinta antara lain juga mengungkapkan persoalan Islam abangan dan Islam mutihan yang berlaku pada saat itu. Tokoh Sinta dan keluarganya digambarkan sebagai abangan (beragama Islam tetapi tidak menjalankan rukun Islam dengan sempurna) yang masih percaya dan memelihara warisan budaya leluhur. Sementara itu, tokoh Achmad Syamsuri digambarkan sebagai orang mutihan. Tokoh Achmad Syamsuri agaknya sengaja diciptakan untuk membimbing dan menasihati keluarga M. Sastrawigena (orang tua Sinta) khususnya dan pembaca umumnya agar mereka berlaku benar dalam hidup. Selain itu, lewat tokoh-tokohnya pengarang mencoba mendobrak tradisi poligami yang berlaku pada saat itu. Hal ini tampak pada sikap Sinta ketika menolak keinginan suaminya yang ingin kawin lagi. Sebagaimana karya seorang guru pada umumnya, karya Soenarno Sisworahardjo juga banyak mengandung nilai pendidikan (bersifat didaktis).
Soeradi Wirjoharsana
Soeradi Wirjoharsana adalah penulis novel Wisaning Agesang (Balai Pustaka,1928) dan Anteping Wanita (Balai Pustaka, 1929). Seperti sebagian besar pengarang Jawa yang karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka, ia adalah pengarang yang sepaham dengan kebijakan pemerintah. Novel itu mencer- minkan pemahaman sosial yang baik sebagai bukti kepandaian Soeradi memainkan peran sosialnya baik sebagai abdi pemerintah kolonial maupun Soeradi Wirjoharsana adalah penulis novel Wisaning Agesang (Balai Pustaka,1928) dan Anteping Wanita (Balai Pustaka, 1929). Seperti sebagian besar pengarang Jawa yang karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka, ia adalah pengarang yang sepaham dengan kebijakan pemerintah. Novel itu mencer- minkan pemahaman sosial yang baik sebagai bukti kepandaian Soeradi memainkan peran sosialnya baik sebagai abdi pemerintah kolonial maupun
Novel Wisaning Agesang merupakan novel Jawa prakemerdekaan yang bersifat melawan dominasi kolonial. Karya seperti ini jarang ditemukan dalam sastra Jawa. Novel itu dapat lolos sensor Balai Pustaka berkat kepandaian Soeradi menampilkan sisi buruk kehidupan bangsa Belanda yang diramu dengan penampilan yang cukup dominan sisi buruk masyarakat pribumi. Sementara itu, persoalan yang diungkap dalam novel Anteping Wanita juga tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkap dalam Wisaning Agesang . Keduanya mengangkat pentingnya membangun kehidupan rumah tangga modern yang harmonis tanpa melepaskan diri dari norma etika Jawa. Dari dua karya tersebut dapat diduga kemungkinan Soeradi Wirjoharsana adalah guru. Kedua novel itu dimaksudkan sebagai pendidikan keluarga, misalnya perlunya menghindari terjadinya perselingkuhan yang dapat menyebabkan kehancuran rumah tangga.
Perbedaan kedua novel tersebut hanya terletak pada kategori sosok yang melakukan ‘selingkuh’. Novel pertama menampilkan tokoh wanita sebagai pihak yang mejadi penyebab kehancuran rumah tangga orang lain (Raden Ajeng Sujinah). Sementara itu, pelaku affair dalam novel kedua adalah seorang pria pegawai pemerintah (Sukarna). Namun, kedua novel itu menampilkan sisi yang sama yakni sosok wanita Jawa yang legawa menerima perlakuan buruk dari pasangan hidupnya. Penerimaan mereka itu dilandasi oleh pandangan bahwa wanita harus memiliki kesabaran sebagai bekal membangun keutuhan rumah tangga.
Berdasarkan persoalan yang digarap dalam Wisaning Agesang (1928) dan Anteping Wanita (1929) dapat diduga bahwa Soeradi Wirjoharsana adalah sosok pribumi yang tidak sepenuhnya mengabdi kepada kepentingan kolonial Belanda sehingga berani menampilkan keburukan sifat orang-orang Belanda. Kepribadian Raden Ajeng Sujinah yang disebut sebagai setan alas tidak terlepas dari pengalaman hidupnya bersama laki-laki Belanda.
Soeratman Sastradihardja
Soeratman Sastradihardja adalah salah seorang pengarang sastra Jawa periode prakemerdekaan. Pengarang ini seusia dengan Hardjadisastra, Ardja- soeparta, dan Djaka Lelana. Soeratman yang memiliki nama lengkap Soerat- man Sastradihardja tergolong pengarang novel Jawa yang tidak produktif. Sepanjang hidupnya, pengarang ini hanya menerbitkan tiga novel, yaitu
Sukaca (1928), Katresnan (1928), dan Kanca Anyar (1928), ketiganya diter- bitkan oleh Balai Pustaka.
Seperti halnya sebagian besar pengarang Jawa pada masa itu, biografi Soeratman Sastradihardja tidak dapat diungkapkan secara pasti. Hal itu disebabkan oleh belum mentradisinya penulisan biografi pengarang Jawa pada saat itu. Dengan demikian, jati diri pengarang tersebut hanya dapat diketahui (serba sedikit) dari faktor-faktor di sekitar karya yang ditulisnya.
Menilik persoalan yang dikemukakan di dalam novel-novelnya dapat dikatakan bahwa Soeratman Sastradihardja adalah sosok seorang Jawa yang berpikiran modern. Hal itu tidak terlepas dari pendidikan yang diikutinya, yakni pendidikan formal yang dikelola secara modern (Barat). Sebagai orang modern dan intelek Soeratman memiliki sikap kritis terhadap budaya bangsa yang dinilai kurang sesuai dengan pola-pola kehidupan modern. Di samping itu, Soeratman dapat dipastikan sebagai pegawai pemerintah sehingga ia tidak mampu melepaskan diri dari kebijakan colonial yang selalu ingin menjaga kewibawaannya di hadapan pribumi. Akibatnya, ia terbawa arus menjadi corong pemerintah (Belanda). Salah satu kebijakan Belanda dalam mema- syarakatkan bacaan bagi penduduk pribumi adalah agar penduduk pribumi mengagumi budaya Barat yang modern. Hal itu terlihat jelas novel Sukaca.
Berdasarkan pemikiran tersebut, sikap kritis Soeratman Sastradi- hardja terhadap budaya tradisional dalam novel Sukaca jelas dimaksudkan untuk menciptakan citra buruk bagi pribumi. Sebaliknya, penilaian baik pada budaya modern (tradisi makan, moralitas, dan pendidikan) dimaksudkan agar budaya modern (Barat) berada di atas atau mengungguli budaya tradisional yang disebutnya kolot itu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Soe- ratman adalah orang Balai Pustaka yang berkewajiban membela kepentingan pemerintah (colonial) dalam menjaga kewibawaannya di mata pribumi.
Soesanto Tirtoprodjo (1900—1969)
Soesanto Tirtoprodjo lahir di Surakarta pada 3 Maret 1900. Ia putra seorang bangsawan di Surakarta (Jawa) yang kaya raya. Karena itu, bersama saudaranya (Wiryono), ia disekolahkan ke Betawi (Jakarta). Mas Susanto seorang yang cerdas. Pada tahun 1920 ia lulus dari Rechts-School (Sekolah Hakim) dengan nilai cumlaude. Karena itu, ia diberi kesempatan untuk belajar ke Universitas Leiden di Belanda, lulus tahun 1922. Setelah itu, ia melanjutkan ke tingkat Doktoral Nederland Indische Recht. Pada tahun 1925, ia menempuh ujian, lulus dengan predikat terbaik, sehingga mendapat penghargaan “Kanaka Prys” dari perguruan tinggi tersebut.
Selain pengarang, Susanto juga seorang pejuang, politikus, dan nega- rawan. Sebagai pejuang, ketika menjabat sebagai hakim di pengadilan negeri Surakarta, ia aktif di organisasi pergerakan pemuda. Bersama-sama dengan kaum muda intelek, ia mendirikan “ Indonesia Studie Club ”. Karena organisasi pemuda itu dianggap membahayakan pemerintah Belanda, ia dipindah ke Bogor dengan alasan pegawai pemerintah tidak boleh terjun ke organisasi politik. Meskipun dilarang, ia tetap aktif memperjuangkan rakyat untuk mengusir penjajah. Maka, pada tahun 1940, ia diwisuda menjadi anggota pengurus besar Partindo.
Pada awal-awal kemerdekaan, ia juga berjuang bersama-sama dengan gerilyawan lainnya. Pada 24 Februari 1949, hampir saja ia ditembak oleh prajurit Belanda. Waktu itu, termasuk bersama Menteri Supena, ia berjuang untuk melawan penjajah yang ingin kembali berkuasa di bumi pertiwi. Di samping itu, ia juga berjuang melalui partai politik, yakni Partai Nasional Indonesia yang didirikan oleh Bung Karno. Karena perjuangannya itu, pada tahun 1960, ia mendapat penghargaan Bintang Mahaputrta Kelas III dan Bintang Gerilya dari Presiden Republik Indonesia.
Karier pekerjaan Soesanto diawali dari pegawi pamongpraja di Pengadilan Negeri Surakarta tahun 1925. Karena terlibat dalam organisasi yang dianggap membahayakan pemerintah, ia dipindah ke Bogor. Ia bekerja sebagai hakim cukup lama. Maka, pada tahun 1940, ia diwisuda menjadi Burgermeester atau Walikota di Gemeente, Madiun. Karena bekerja sebagai walikota itu, ia bisa dipilih menjadi anggota Vereeniging Locale Belangen, yaitu perkumpulan kepentingan-kepentingan Daerah Swatantra yang sebagian besar anggotanya bangsa Belanda. Selanjutnya, pada 1944 --1945, ia menjadi Bupati Ponorogo.
Pada tahun 1946 ia diangkat menjadi Residen Madiun. Di era awal kemerdekaan ini, negara masih dalam keadaan kacau karena keterlibatan penjajah Belanda yang ingin berkuasa lagi di Indonesia. Selanjutnya, sejak zaman Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946--27 Juni 1947) sampai dengan kabinet Hatta II (4 Agustus 1949--20 Desember 1949), ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Selanjutnya, pada 29 Desember 1949--21 Januari 1950, selain sebagai Perdana Menteri, ia juga sebagai Menteri Kehakiman. Pada zaman Kabinet Halim (21 Januari 1950--6 September 1950), Soesanto menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.
Setelah lama menjabat sebagai menteri, ia menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara sampai tahun 1952. Tahun 1952--1955, ia menjabat sebagai Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Belanda. Pada tahun 1955--1959, ia Setelah lama menjabat sebagai menteri, ia menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara sampai tahun 1952. Tahun 1952--1955, ia menjabat sebagai Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Belanda. Pada tahun 1955--1959, ia
Sri Kanah K.
Nama Srikanah K. sebenarnya bukan nama yang populer dalam ja- jaran pengarang Jawa modern periode prakemerdekaan. Sebab, ia hanya menulis cerpen sekali dalam majalah nasionalis Panjebar Semangat. Seperti halnya banyak pengarang prakemerdekaan umumnya, ihwal Srikanah K. sama sekali tidak diketahui. Beberapa kali wawancara yang dilakukan kepada nara sumber (Soebagio I.N., Suripan Sadi Hutomo, dan Muryalelana) juga tidak memberikan tambahan informasi.
Kendati demikian, dalam cerpennya di Panjebar Semangat No. 3, Thn.
II, 20 Januari 1934 disebut-sebut latar dua kota di Jawa Tengah, yaitu Purwokerto dan Sala. Dari pencantuman kedua kota tersebut dapat diper- kirakan bahwa pengarang ini mungkin berasal dari salah satu di antara dua kota itu. Cerpen ini lebih banyak membicarakan kota Purwokerto daripada kota Sala --kota ini hanya disebutkan sekali di bagian menjelang akhir cerita-- sehingga, untuk sementara, dapat disimpulkan bahwa Srikanah K. berasal dari Purwokerto.
Selain itu, nama Srikanah K. agak asing bagi nama wanita pada saat itu (awal tahun 1930-an) yang sebagian besar masih menunjukkan ciri tradisional. Nama-nama pengarang wanita pada prakemerdekaan, antara lain, Siti Aminah, Siti Soendari, Soeprapti, Sri Koesnapsijah, dan beberapa lagi lainnya. Srikanah K. mengindikasikan seseorang yang berada pada profesi atau sektor publik, setidaknya seorang guru, seperti profesi tokoh utama dalam cerita ini, Sumi dan Sutar. Apalagi bila dilihat dari segi tema yang dipilih. Di dalam cerita ini pengarang berani mengambil masalah dari dunia tradisional pada waktu itu, yaitu Malima (main, madat, minum, mangan, dan madon). Analisis internal tersebut menguatkan asumsi bahwa nama ini adalah nama samaran pengarang pria.
Asal-usul dan latar belakang keluarga pengarang ini tidak teridentifikasi secara akurat, latar pendidikannya pun hingga sekarang tidak teridentifikasi. Namun, dari karyanya, setidaknya dapat diketahui bahwa ia berpendidikan formal Belanda, sedikitnya HIS atau HIK sekolah guru, karena kedua sekolah itu disebutkan berkali-kali.
Sri Koentjara
Sri Koentjara adalah penulis novel Pameleh (Balai Pustaka, 1938). Meskipun data-data mengenai dirinya tidak ditemukan, dapat dipastikan ia seorang priyayi modern yang ditandai dengan gelar raden di depan namanya. Pada waktu itu gelar raden lazin dipakai oleh seorang priayi atau pegawai pemerintah. Jika dilihat latar dalam novel Pemeleh besar kemungkinan R. Sri Koentjara berasal dari atau pernah tinggal di Yogyakarta. Ia mampu mendeskripsikan sejumlah tempat di kawasan Yogyakarta secara detail. Keahlian seperti itu tidak mungkin dilakukan oleh pengarang yang belum pernah tinggal di Yogyakarta.
Novel Pameleh ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko. Novel itu mengangkat liku-liku seorang anak muda bernama Sukarmin yang memiliki semangat tinggi dalam mengikuti pendidikan. Ia adalah anak Surameja, seorang karyawan pabrik gula di daerah Kasihan, Bantul. Walaupun hanya sebagai karyawan pabrik, ekonomi rumah tangga Surameja cukup baik sehingga mampu membiayai sekolah anaknya. Keinginan Sukarmin untuk melanjutkan sekolah disetujui oleh ayahnya dan mendapat dorongan dari para gurunya.
Setelah lulus dari sekolah desa, Sukarmin mengikuti seleksi masuk ke sekolah Balanda di kota. Karena tergolong pandai, Sukarmin diterima di sekolah Belanda. Sejak saat itu kehidupan keluarga Surameja menjadi lebih baik. Pada suatu hari, Surameja dipanggil oleh kepala pabrik tempatnya bekerja. Atas kejadian itu istri Surameja merasa keluarganya akan menda- patkan keberuntungan. Surameja dipanggil Tuannya dan diberi tahu bahwa dirinya akan dipindahkan ke Pabrik Gula Ganjuran sebagai kepala bengkel. Istri Surameja menyarankan agar suaminya menerima tawaran itu dan bersedia pindah kerja ke Ganjuran.
Pada awalnya, Surameja setiap hari pulang-pergi ke tempat kerjanya yang baru. Lama-kelamaan, atas usulan istrinya, Surameja menyewa sebuah rumah di dekat tempat kerjanya dan pulang seminggu sekali. Sementara itu, istrinya tetap tinggal bersama Sukarmin di Kasihan. Surameja senang melihat kemajuan belajar anak lelakinya. Ia ingin menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi. Surameja berharap Sukarmin kelak tidak mengalami kesulitan dalam hidup. Selama dua tahun Surameja pulang-pergi seminggu sekali dari Ganjuran ke Kasihan. Kebiasaan itu dijalaninya dengan senang hati. Ia memenuhi kebutuhan istrinya dan sangat memperhatikan pendidikan anak- nya. Selama tinggal di Ganjuran, Surameja selalu berdoa agar keluarganya dalam lindungan Tuhan. Sementara itu, di Kasihan, istri Surameja memiliki Pada awalnya, Surameja setiap hari pulang-pergi ke tempat kerjanya yang baru. Lama-kelamaan, atas usulan istrinya, Surameja menyewa sebuah rumah di dekat tempat kerjanya dan pulang seminggu sekali. Sementara itu, istrinya tetap tinggal bersama Sukarmin di Kasihan. Surameja senang melihat kemajuan belajar anak lelakinya. Ia ingin menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi. Surameja berharap Sukarmin kelak tidak mengalami kesulitan dalam hidup. Selama dua tahun Surameja pulang-pergi seminggu sekali dari Ganjuran ke Kasihan. Kebiasaan itu dijalaninya dengan senang hati. Ia memenuhi kebutuhan istrinya dan sangat memperhatikan pendidikan anak- nya. Selama tinggal di Ganjuran, Surameja selalu berdoa agar keluarganya dalam lindungan Tuhan. Sementara itu, di Kasihan, istri Surameja memiliki
Setelah tamat sekolah, Sukarmin ingin bekerja untuk meringankan beban ibunya walaupun guru-gurunya menyarankan agar dirinya melanjutkan ke sekolah dokter di Surabaya. Ia ingin melindungi ibunya yang tidak lagi mendapatkan perhatian dari ayahnya. Akhirnya, Sukarmin diterima sebagai klerk di sebuah kantor. Kehidupan Sukarmin dan ibunya agak ringan setelah Sukarmin bekerja. Tidak lama kemudian, kedamaian keluarga itu terganggu oleh tindakan Surameja yang menjual rumah dan pekarangan yang ditempati itu tanpa sepengetahuan mereka. Akan tetapi, Sukarmin beserta ibunya tetap tabah dan rela meninggalkan rumahnya. Selanjutnya, keduanya tinggal di sebuah rumah kontrakan. Walaupun telah memperlakukannya secara tidak baik, Sukarmin dan ibunya masih tetap berharap suatu saat nanti dapat berkumpul lagi. Keduanya memandang bahwa Surameja sedang mendapat godaan sehingga akan kembali kepada keluarganya sertelah kelak menyadari kesalahannya.
Pada suatu hari, Sukarmin menyaksikan perayaan cembengan di Pabrik Gula Padokan dan mendapat kabar dari seseorang bahwa ayahnya telah dipecat dari pekerjaannya dan pergi dari Ganjuran. Berita itu disampaikan juga kepada ibunya. Akan tetapi, istri Surameja menyarankan agar Sukarmin tidak lekas percaya dan bersedia pergi ke Ganjuran untuk membuktikan kebenaran berita itu. Pada suatu hari (Minggu), Sukarmin mendatangi rumah ayahnya di Ganjuran. Ia terkejut setelah diberi tahu oleh pemilik rumah yang disewa ayahnya. Dikatakan bahwa Surareja pergi dari rumah setelah sering bertengkar dengan istri dan dipecat dari pekerjaannya.
Dalam penderitaan itu, Surameja menyesali tindakan yang melupakan keluarganya di Kasihan. Ia mengakui berdosa karena telah melupakan istri dan Dalam penderitaan itu, Surameja menyesali tindakan yang melupakan keluarganya di Kasihan. Ia mengakui berdosa karena telah melupakan istri dan
Berdasarkan pemikiran para tokoh—terutama istri Surameja—dapat diketahui bahwa Sri Koentjara memiliki pemahaman yang cukup baik terhadap pola pikir budaya Jawa. Salah satunya adalah penerimaan wanita itu terhadap tindakan suaminya yang menyeleweng dengan wanita lain, yang dipandangnya sebagai “godaan” dalam kehidupan berumah tangga. Oleh sebab itu, istri Surameja masih berharap suaminya menyadari kesalahannya dan mereka dapat berkumpul lagi sebagai keluarga yang utuh.
Berdasarkan sikap hidup ketiga tokoh itu —Surameja, istri Surameja, dan Sukarmin—dapat diketahui bahwa pengarang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan sebagai jalan memasuki kehidupan modern. Dengan demikian, dapat disimpulkan ahwa R. Sri Koentjara dapat dikategorikan sebagai pengarang yang memiliki perhatian serius terhadap pentingnya pendidikan bagi generasi muda. Bahkan, pendidikan dipandang sebagai syarat utama dalam memasuki kehidupan modern.
Sri Koesnapsijah
Seperti halnya Ni Suprapti, pengarang wanita Jawa dari periode prakemerdekaan ini juga dikenal melalui tayangan gambar para pembantu Panjebar Semangat (1939) dan melalui protret yang selalu ditempelkan pada penulisan artikel kewanitaan. Di dalam gambar para pembantu wanita dalam Panjebar Semangat itu, gambarnya juga terselip di antara 20 buah gambar pembantu wanita Panjebar Semangat yang lain. Seperti halnya pembantu redaksi lainnya, pengarang wanita ini hanya ditemui namanya di dalam majalah ini. Artinya, ia tidak pernah menulis di dalam majalah-majalah lain yang ada pada waktu itu, baik dalam majalah kolonial Kajawen maupun dalam majalah swasta pribumi seperti Poesaka Surakarta.
Seperti halnya Ni Suprapti dan beberapa nama perempuan lain pada Seperti halnya Ni Suprapti dan beberapa nama perempuan lain pada
Seperti halnya Ni Suprapti, pengarang ini juga lebih banyak menulis artikel kewanitaan dalam rubrik “Taman Putri” majalah Penjebar Semangat. Beberapa artikel yang penting adalah “Sejatining Wanita: Kudu Wani Tanggung Jawab”(Penjebar Semangat, 1940). Dalam artikelnya itu Koesnap- sijah menekankan bahwa tanggung jawab seorang wanita itu amat banyak dan berat.
Sri Marhaeni
Nama pengarang ini sering menjebak para pembaca karena diawali dengan Sri dan diakhiri dengan -ni atau -i. Kata Marhaeni menyaran pada nama wanita modern. Modernitas itu tampak pada pilihan kata Marhaen yang mengacu pada panggilan khusus bagi kelompok masyarakat kelas bawah, yang oleh Soekarno disebut “rakyat kecil”, “kaum proletar”, atau “kaum Marhaen”. Atas dasar itu, para peneliti sastra Jawa, termasuk Hutomo (1975, 1993, 2001) dan Widati dkk. (1985), juga dengan cepat menganggapnya sebagai pengarang wanita. Namun, seperti halnya pada nama Elly dan beberapa nama wanita lainnya, ada tiga fakta yang meragukan pengakuan tersebut. Ketiga fakta itu (1) amat kuatnya tradisi penyamaran pengarang pria melalui nama wanita pada waktu itu, (2) populasi wanita --lebih-lebih wanita Jawa-- sebagai pengarang masih amat kecil, dan (3) pilihan nama (Sri Marhaeni) yang masih asing dari sistem penamaan Jawa tradisional.
Dalam kaitannya dengan nama samaran yang merebak pada periode prakemerdekaan itu, sebenarnya, penyamaran pengarang pria tidak selalu dengan nama wanita, seperti halnya dengan nama samaran Elly, Sri Kanah K., dan Kenya Bre Tegawangi. Sejumlah nama lain diasumsikan sebagai nama samaran dari pengarang pria. Sejumlah nama pria tersebut, antara lain Krak dalam cerpen “Rara Srini, Kembange Kerameyan Sekaten” (Panjebar Semangat , 6 Juni 1936), Kroetjoek Koedjon dalam “Netepi Kuwajiban:Yen Karo-karone padha Ngertine ” (Panjebar Semangat, 23 Oktober 1937),
Zilvervos dalam “Kurban kanggo Bapa: Si Kuwasa lan si Ringkih” (Panjebar Semangat , 9 Maret 1940), Tjah Alas Boeloe dalam “Layang Kiriman: Cobaning Kasetyan “ (Panjebar Semangat, 22 Juni 1940). Nama-nama yang diasumsikan samaran itu biasanya tidak muncul dalam periode yang lama karena mungkin si pengarang masih memiliki nama samaran lain, atau mungkin juga ia kembali pada nama asli. Bahkan, nama Sri Marhaeni ini hanya muncul sekali, yaitu pada tahun 1939, dalam cerpen yang berjudul “Katresnan Awit Cilik: Kepethuk padha Tuwane” (Panjebar Semangat, 23 September 1939).
Nama Sri Marhaeni amat kuat mengindikasikan nama seorang pejuang nasionalis dari PNI. Nama tersebut mengacu kepada sapaan bagi kelompok rakyat kecil yang seringkali diabaikan, yang menurut Soekarno perlu diper- juangkan nasibnya. Dengan fakta tersebut sangat kuat dugaan bahwa nama tersebut adalah nama samaran pengarang pria juga, seperti halnya Elly. Selain itu, nama Sri Marhaeni juga tidak pernah ada bukti foto di mana pun. Meskipun demikian, penyebutan berkali-kali kota Malang sebagai latar utama cerpennya menunjukkan persepsi pengarang terhadap kota tersebut kuat. Ia juga menyebut nama jalan dan nama restoran
Dari nama Sri Marhaeni yang dipilih pengarang tersirat kemung-kinan bahwa nama tersebut adalah bukan nama wanita, dari kelompok menengah, berpendidikan formal Belanda. Hal itu ditandai dengan penunjukan nama sekolah menengah atas Belanda (AMS), kepangkatan pegawai pemerintah (BB, amtenaar), nama kendaraan: montor twoseater, dan istilah-istilah khusus bahasa Belanda seperti vergadering (gandringan, pertemuan, rapat), lid (pemimpin), dames afdeling (persekutuan/kelompok wanita), voorsitter, voorstelle, Jong Java, dan sebagainya. Nama dan istilah tersebut menyiratkan kedekatan pengarang dengan lingkungan menengah dan ia mengenal orga- nisasi atau pergerakan rakyat/pribumi. Hal itu selain ditandai dengan penge- tahuannya tentang Jong Java, misalnya tetang pergantiannya menjadi Indonesia Muda, berkaitan juga dengan pilihan nama pengarang ini yang juga menyarankan kedekatannya dengan partai atau salah satu dari pergerakan nasionalis waktu itu. Itu pula sebabnya, majalah yang dipilih pengarang ini sebagai media penyebaran pikirannya ialah majalah nasionalis (swasta- pribumi) Panjebar Semangat di Surabaya.
Pengarang ini hanya menunjukkan karyanya sekali dalam majalah Panjebar Semangat. Cerpen satu-satunya berjudul “Katresnan Awit Cilik: Kepethuk Padha Tuwane ” (Panjebar Semangat, 23 September 1939). Ada asumsi kuat bahwa cerpen ini diupayakan sedekat mungkin dengan Pengarang ini hanya menunjukkan karyanya sekali dalam majalah Panjebar Semangat. Cerpen satu-satunya berjudul “Katresnan Awit Cilik: Kepethuk Padha Tuwane ” (Panjebar Semangat, 23 September 1939). Ada asumsi kuat bahwa cerpen ini diupayakan sedekat mungkin dengan
Tema cerpen ini ialah rasa bersalah dan menyesal seseorag itu datangnya setelah selesai. Tema itu didukung oleh seorang tokoh utama wanita yang dipilihnya dari seorang gadis bersekolah formal MULO di Malang, yang sejak muda senang mengikuti vergadering (gandringan) dari Jong Java. Ia anak seorang priyayi menengah berpangkat B.B. amtenaar. Di gandringan itulah ia berkenalan dengan seorang siswa AMS yang menjabat lead (pemimpin) di Jong Java cabang Malang bernama H. Perkenalan H dengan Mar atau Marhaini (tokoh utama) semakin akrab, tetapi perencanaan untuk menikah masih jauh karena H memiliki cita-cita yang tinggi yaitu menjadi ahli hukum dan memiliki montor twosetter. Sementara Mar terpaksa harus mengikuti kehendak orang tua agar kawin dengan S, seorang putra bupati, berpangkat BB, dan ia tidak mampu menolak.
Sepuluh tahun kemudian, dengan tidak disangka-sangka Mar bertemu lagi dengan H di kota Malang. Pertemuan itu terjadi di sebuah restoran, saat Mar dengan anak perempuannya sedang makan. H yang datang dengan mobil idamannya (twosetter) itu menggendong seorang anak laki-laki kecil. Mar direpotkan dengan anak kecil itu yang terus menangis menanyakan ibunya. Akhirnya ia mengangkat anak itu untuk ditimang-timang. Tindakannya itulah yang mengingatkan H kepadanya, tetapi semuanya kini sudah berbeda karena keduanya sudah saling menikah dan punya anak.
Dari penokohan itu terdapat imitasi pada nama dan cara berpikir dan berperilaku seorang wanita. Namun, semuanya tidak selalu benar karena Sri Marhaeni memang bukan seorang wanita. Misalnya, tindakan agresif Mar yang secara tiba-tiba mengangkat anak orang lain --karena tidak tahan pada suara berisik (menangis) saja-- agar ayahnya sadar pada kehadirannya sebagai mantan kekasih itu bukanlah tidakan kebiasaan seorang perempuan.
Sikap agresif seperti yang dilakukan Mar itu biasanya lebih pantas dilakukan seorang laki-laki. Selain itu, cara menutup cerita dengan sikap Mar yang kecewa dan menangisi nasibnya adalah cara tradisional “menasihati” wanita agar mempunyai hati baja untuk menolak paksaan siapa pun yang tidak dicintai.
Sr. Soemartha
Sr. Soemartha adalah salah seorang pengarang Jawa tahun 1940-an (sebelum kemerdekaan). Ia hanya muncul dalam majalah kolonial Kajawen Sr. Soemartha adalah salah seorang pengarang Jawa tahun 1940-an (sebelum kemerdekaan). Ia hanya muncul dalam majalah kolonial Kajawen
Seperti halnya Loem Min Noe, Elly, dan pengarang-pengarang prake- merdekaan lainnya, identitas Sr. Soemartha juga tidak dapat dilacak dengan baik karena tidak ada informasi konkret sedikit pun tentang dirinya. Bahkan, kritikus dan dokumentator sastra Jawa Suripan Sadi Hutomo (1984) --sebagai pengumpul guritan Sr. Sumartha bagi antologinya-- mengatakan bahwa mungkin sekali nama Sr. Sumartha adalah nama samaran pengarang pria karena tidak semua pengarang pria Jawa menyamarkan diri dengan nama perempuan atau wanita. Dengan demikian, identitas lengkap pengarang ini hampir dapat dikatakan tidak ada.
Sr. Sumartha menunjukkan diri sebagai penggurit dan cerpenis Jawa melalui dua hasil karyanya yang terdokumentasi di majalah Kajawen tahun 1941. Kedua karya itu berupa sebuah cerpen dan sebuah guritan. Sebuah cerpen Sr. Soemartha berjudul “Dhukun Pengasihan” (Kajawen, 27 Mei 1941) menceritakan kisah R. Soepartana yang mencintai seorang gadis, Sudayanti. Adapun guritan-nya berjudul “Swara Gaib” terhimpun dalam antologi Guritan: Antologi Puisi Jawa Modern 1940—1980 (Balai Pustaka, 1985) suntingan Suripan Sadi Hutomo.
Tjah Alas Boeloe
Pengarang Tjah Alas Boeloe tidak diketahui identitasnya. Namun, kalau ditengok dari namanya, tampaknya nama tersebut adalah nama samaran. Sebagai nama samaran Tjah Alas Boeloe juga sering menulis cerita pendek di majalah Panjebar Semangat. Dari karyanya pengarang ini dapat diperkirakan berasal dari lingkungan terpelajar dan banyak membaca karya sastra. Hal ini dapat dibuktikan dari caranya bertutur dan pemakaian bahasa yang baik dan indah. Salah satu cerita pendeknya yang berjudul “Layang Kiriman Cobaning Kasetyan ” memberikan gambaran mengenai identitas pengarang tersebut.
Cerita pendek karya Tjah Alas Boeloe dapat dikategorikan sebagai sebuah cerita pendek Jawa yang cukup modern. Maksudnya, ditilik dari cara pengungkapan atau teknik bertutur, cerita pendek itu ditulis dengan teknik Cerita pendek karya Tjah Alas Boeloe dapat dikategorikan sebagai sebuah cerita pendek Jawa yang cukup modern. Maksudnya, ditilik dari cara pengungkapan atau teknik bertutur, cerita pendek itu ditulis dengan teknik