Teori Fungsionalisme Struktural

1. Teori Fungsionalisme Struktural

Dalam sosiologi terdapat berbagai logika teori (pendekatan) yang dikembangkan untuk memahami berbagai fenomena sosial keagamaan. Diantara pendekatan itu ada yang sering dipergunakan ialah :

(a) fungsionalisme Struktural , (b) pertukaran, (c) Interaksionalisme simbolik konflik, (d) teori penyadaran, (f) ketergantungan. (Maman Kh, dkk, 2006:128). Dalam penelitian ini dipergunakan teori fungsionalisme Struktural.

Teori fungsionalisme Struktural dengan bangun teorinya secara umum adalah : memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Bagian yang satu tidak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Pada dasarnya masyarakat merupakan Teori fungsionalisme Struktural dengan bangun teorinya secara umum adalah : memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Bagian yang satu tidak dapat berfungsi tanpa ada hubungan dengan bagian yang lain. Pada dasarnya masyarakat merupakan

Teori ini menekankan institusi pada fungsi dan posisi dalam struktur, bukan perindividu. Fungsionalisme sebagai salah satu pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian disertasi ini, telah dikembangkan oleh Emile Durkheim, dengan salah satu pemikirannya adalah : fakta sosial atau realisasi sosial akan membentuk perilaku individu. (Maman Kh, dkk, 2006 : 128)

Kemudian Max Weber, menganalisis pengaruh agama Protestan terhadap prilaku ekonomi, khususnya dalam mendorong tumbuhnya kapitalisme. selain itu, ritus keagamaan dipahami sebagai pranata sosial yang dipelihara oleh para pemeluk dalam sebuah komunitas sosial. Kemudian Talcott Parsons sebagai salah satu tokoh fungsional menekankan pada keserasian, keteraturan dan keseimbangan dalam sebuah sistem sosial. Menurutnya dalam suatu sistem sosial, terdapat nilai nilai dan norma yang menjadi patokan dan rujukan tingkah laku bagi setiap komunitas. Nilai-nilai disepakati bersama. Dengan adanya nilai-nilai yang menjadi patokan bersama, maka dalam masyrakat akan terjadi keteraturan. Nilai tersebut harus senantiasa dipertahankan agar masyarakat tetap berada dalam keteraturan dan keserasian. Dengan demikian fungsionalime Parsons menghendaki agar individu memelihara nilai- nilai bersama. (Maman Kh,dkk, 2006 : 129)

Dalam menjaga keseimbangan, keteraturan masyarakat, mempertahankan keserasian, selanjutnya Parsons mengembangkan teori ini dengan konsep AGIL terdiri : (Raho, 2007 : 54)

1). A : adaptasi (Adaptation) : Supaya masyarakat bisa bertahan dia harus mempu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan dirinya. 2). G : Goal (Goal attainment) Pencapaian Tujuan : sebuah sistem harus mampu menentukan tujuannya dan berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah dirumuskan itu. 3). I : Integrasi (Integration) : Masyarakat harus mengatur hubungan di antara komponen-komponennya supaya dia bisa berfungsi secara maksimal . 4). L : Latency (Pattern Maintenance) atau pemeliharaan pola pola yang sudah ada : Setiap masyarakat harus mempertahankan, memperbaiki, dan memperbaharui baik motivasi individu maupun pola pola budaya, relegi yang menciptakan dan mempertahankan motivasi-motivasi itu.

Demi kelangsungan hidupnya maka masyarakat harus melaksanakan fungsi-fungsi tersebut.

Kemudian Robert K. Merton mengembangkan teori fungsional Parsons. Menurutnya, bila masyarakat merasa puas dengan nilai-nilai yang ada, masyarakat akan menghargai. Nilai yang menjadi patokan bersama merupakan faktor yang dapat mendorong integrasi sosial. Karena itu Merton berpendapat pentingnya nilai dan norma.

Dalam melihat struktur perilaku ekonomi, Merton mengatakan, bahwa beberapa gejala sosial keagamaan dapat dijelaskan dengan pendekatan fungsional. Perilaku ekonomi yang terdapat dalam sebuah komunitas dapat dijelaskan dengan faktor agama. Nilai nilai agama yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas merupakan pranata sosial yang akan berpengaruh terhadap realitas dan perilaku ekonomi. Dari sisi lain muncul Dalam melihat struktur perilaku ekonomi, Merton mengatakan, bahwa beberapa gejala sosial keagamaan dapat dijelaskan dengan pendekatan fungsional. Perilaku ekonomi yang terdapat dalam sebuah komunitas dapat dijelaskan dengan faktor agama. Nilai nilai agama yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah komunitas merupakan pranata sosial yang akan berpengaruh terhadap realitas dan perilaku ekonomi. Dari sisi lain muncul

Selanjutnya Merton mengembangkan teorinya untuk menganalisis nilai-nilai yang bisa dikembangkan menjadi pegangan bersama, untuk mengindari terjadinya disintegrasi sosial dalam suatu masyarakat, baik pada tataran mikro maupun tataran makro. Dalam istilah Merton disebut ”perekat Sosial”. Teori ini dipakai dasar untuk menjawab pertanyaan yaitu Mengapa Karya Agung Panca Bali Krama dilaksanakan secara berkesinambungan dan bagaimana implikasinya terhadap kehidupan sosial- ekonomi masyarakat.