Jaminan Pembiayaan Dalam Pembiayaan Syariah
F. Jaminan Pembiayaan Dalam Pembiayaan Syariah
Pada bank konvensional, “penanggungan” dalam praktiknya diterbitkan dalam bentuk Garansi Bank sebagaimana diatur di dalam Surat Edaran Direktur BI No. 23/7/UKU, tanggal 18 Maret 1991 tentang Pemberian Garansi Oleh Bank. Ditinjau dari perspektif hukum perbankan konvensional, kafalah(Garansi Bank) merupakan perjanjian penanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 1820 s/d Pasal 1850 KUH Perdata.
Adapun pada Bank Syariah Mandiri, berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama- sama. Semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak.
Adapun keberadaan Agunan Tambahan pada pembiayaan mudarabah diperbankan syariah sendiri mempunyai dampak positif dan dampak negatif. Dampak Positif tersebut meliputi:
1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan dan yang tidak diberikannya apabila nasabah pembiayaan cidera janji ( wanprestasi ).
2. Menjamin agar nasabah pembiayaan berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya 2. Menjamin agar nasabah pembiayaan berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya
3. Dapat diminimalisasinya resiko kerugian akibat dan mudarib yang lalai atau menyalahi kontrak, karena agunan tambahan yang dijadikan jaminan atas pembiayaan yang telah diberikan bank tersebut menjadi harga dari penyelewengan atas perilakunya.
4. Memacu mudarib untuk menjalankan usahanya dengan baik dan tidak berusaha untuk menyalai kesepakatan yang telah dibuat karena jika tidak maka barang yang dijadikan Agunan Tambahan kepada bank akan disita, kesungguhan yang dimiliki mudarib ini tentu saja akan berdampak baik pada peningkatan produktivitas usahanya sehingga akan memberikan keuntungan baik pada pihak mudarib itu sendiri dan juga kepada bank. Dampak negatif adanya Agunan Tambahan sendiri dalam
pembiayaan mudarabah di bank syariah adalah sebagai berikut:
1. Menusuk kesempatan bagi calon nasabah pembiayaan beresiko tinggi untuk mendapat dana pembiayaan karena ia tidak memiliki barang yang dapat dijadikan Agunan Tambahan. Padahal bila calon nasabah pembiayaan tersebut memiliki potensi dalam menjalankan usaha. Karena adanya Agunan Tambahan ini tentu saja akan membebani calon mudarib dan menurunkan niatnya untuk mengajukan pembiayaan kepada Bank syariah.
2. Menghambat laju perkembangan perbankan syariah. Dengan adanya Agunan bank syariah akan terkesan seperti bank konvensional dalam penyaluran dananya yakni berupa kredit padahal kehadiran bank syariah sendiri adalah atas dasar pemikiran memberikan pelayanan kepada sebagian masyarakat yang tidak menghendaki adanya instrumen bunga dalam transaksi perbankannya sebagaimana yang ada dalam perbankan 2. Menghambat laju perkembangan perbankan syariah. Dengan adanya Agunan bank syariah akan terkesan seperti bank konvensional dalam penyaluran dananya yakni berupa kredit padahal kehadiran bank syariah sendiri adalah atas dasar pemikiran memberikan pelayanan kepada sebagian masyarakat yang tidak menghendaki adanya instrumen bunga dalam transaksi perbankannya sebagaimana yang ada dalam perbankan
mudarabah adalah untuk menghindari moral hazard mudarib bukan un tuk “mengamankan” nilai investasi kita jika terjadi kerugian karena faktor risiko bisnis. Hal ini dikarenakan dana bank yang digunakan sebagai modal dalam penyaluran pembiayaan mudarabah tersebut sebenarnya dana pihak ketiga yang dititipkan kepada bank dan bank harus menjaganya agar dana tersebut tetap aman.
Berdasarkan ketentuan tersebut, sudah seharusnya dibuatkan akta pengikatan jaminan, dikarenakan akta pengikatan jaminan merupakan perjanjian assesoir atau perjanjian tambahan. Namun hal tersebut tidak dilakukan pihak bank. Hal ini jelas membuka pintu terjadinya tindakan pelanggaran yang akan dilakukan pihak mudharib yang dapat merugikan pihak shahibul maal seperti menggunakan dana sesuai dengan kehendak mudharib tanpa sepengetahuan pihak
shahibul maal dan pihak Bank atau bahkan tidak membayar kembali pinjaman dana shahibul maal . Padahal dari berbagai ketentuan dalam hukum perbankan syariah yang berdasarkan hukum Islam dan hukum perbankan Indonesia bahwa keberadaanjaminan dalam suatu pembiayaan adalah penting dan harus. Sehingga secara hukum Islam maupun hukum perdata, adalah diperbolehkan adanya pengikatan jaminan dalam suatu perjanjian pembiayaan maupun kredit. Adapun fungsi utama dari jaminan adalah untuk meyakinkan bank atau kreditor bahwa debitor mempunyai kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama.122
Fungsi utama adanya jaminan tersebut didasarkan pasal 6 huruf O Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005, yang berbunyi: Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian dan/atau kecurangan.
Dalam memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pihak Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan mudharib untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Namun, dalam kasus ini pihak Bank salah dalam menganalisa kemampuan mudharib untuk melunasi hutang – hutangnya, yang justu pihak mudharib mengalami kesulitan dalam melunasi hutang – hutangnya.
Sulitnya pihak mudharib dalam mengembalikan hutangnya kepada pihak Bank (macet) mengindikasikan bahwa terdapat masalah dalam tubuh manajerial pihak mudharib
untuk mengelola keuangan yang untuk menyelesaikan masalah tersebut, pihak Bank dan pihak mudharib menggunakan pihak lain (dalam hal ini shahibul maal ) untuk melunasi hutang pihak mudharib kepada pihak bank dengan mengajak kerjasama dalam bentuk mudharabah muqayyadah hingga pada akhirnya pihak shahibul maal mengalami kerugian. Dapat dikatakan bahwa dalam kasus ini pihak mudharib tidak memiliki kemampuan manajerial yang baik, ini jelas merupakan pelanggaran prinsip kehati – hatian yang dilakukan pihak Bank selaku fasilitator yang juga tidak dapat menganalisis atau menilai kemampuan manajerial mudharib .
Sebagaimana telah disinggung mengenai tanggungjawab pihak Bank diatas, pengawasan atau pemonitoringan mudharib merupakan bagian dari pelaksanaan prinsip kehati – hatian, hal ini bertujuan agar dana tersebut benar – benar diperuntukkan untuk tujuan seperti yang telah disepakati Sebagaimana telah disinggung mengenai tanggungjawab pihak Bank diatas, pengawasan atau pemonitoringan mudharib merupakan bagian dari pelaksanaan prinsip kehati – hatian, hal ini bertujuan agar dana tersebut benar – benar diperuntukkan untuk tujuan seperti yang telah disepakati
Ganti kerugian dalam akad muamalah dikenal dengan adh-dhaman , yang secara harfiah berarti jaminan atau tanggungan. Ulama mengatakan adakalanya adh-dhaman berupa barang atau uang. Pentingnya adh-dhaman dalam perjanjian agar dalam akad yang telah disetujui kedua belah pihak tidak terjadi perselisihan. Segala kerugian baik terjadi sebelum maupun sesudah akad maka ditanggung resikonya oleh pihak yang menimbulkan kerugian. Akan tetapi dalam keadaan memaksa fiqh Islam tidak menghukumi orang yang berbuat tanpa disengaja dan tidak menghendaki perbuatan lalai tersebut, asalkan orang tersebut telah berbuat maksimal untuk memenuhi prestasinya, dan Islam mengapresiasi orang yang memberi kelapangan dalam pembayaran hutang
Dalam hal kekuatan mengikat akad jaminan pembiayaan Al Musyarakah pada Bank Syariah Mandiri, ternyata hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan syariah tidak mengatur mengenai jenis pengikatan jaminan (barang agunan). Oleh karena itu tata cara pengikatan terhadap barang agunan harus berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum konvensional sebagai ketentuan publik yang mengikat perbankan syariah di Indonesia, yaitu untuk barang tidak bergerak diikat secara Akta Pengikatan Hak Tanggungan dan Hipotik untuk Kapal.
Musyarakah sebagai salah satu produk perbankan syariah yang didasarkan pada sumber Hukum Islam agar dapat dikembangkan sebagai produk unggulan pada perbankan syariah, maka perlu adanya perlindungan hukum nasabah sebagai syarik yang disosialisasikan secara terus-menerus terhadap para pengusaha dan kalangan perbankan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan melalui usaha-usaha produktif.
Dalam ketentuan perbankan syariah, pengikatan barang jaminan belum diatur secara rinci, sedangkan dalam ketentuan konvensional telah diatur secara rinci mengenai jenis pengikatan barang sebagai jaminan hutang (agunan) yang bersifat kebendaan, yaitu pengikatan hak tanggungan, hipotik, gadai dan jaminan fidusia. Maka sudah saatnya, kiranya, perbankan syariah memiliki komitmen untuk menerapkan Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mengatur hal-hal yang mendasar tentang bank syariah. Penerapan undang-undang yang bersifat khusus ini sangat diperlukan mengingat perbedaan karakteristik yang sangat menonjol dalam praktik bank syariah bila dibandingkan dengan bank konvensional. Nilai-nilai syariah semestinya harus menjadi ruh penerapan ketentuan yang disusun dalam undang-undang itu sehingga diharapkan mampu
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umat, meratanya distribusi pendapatan sehingga akan tercipta keadilan ekonomi di masyarakat.
membuka
peluang