Bahasa Jawa
1. Bahasa Jawa
Bahasa Jawa tergolong subkeluarga Hesperonesia dari keluarga bahasa Melayu – Polinesia. Bahasa Jawa telah di- pelajari dengan saksama oleh sarjana-sarjana Inggris, Jerman, dan terutama Belanda. Pada umumnya mereka menggunakan metode-metode filologi dan bukan metode-metode linguistik. Bahasa Jawa memiliki suatu sejarah kesusastraan yang dapat dikembalikan pada abad ke-8. Pada masa itu bahasa Jawa telah berkembang melalui beberapa fase yang dapat dibeda- bedakan atas dasar beberapa ciri idiomatik yang khas dan beberapa lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda dari setiap pujangganya. Dengan demikian kecuali bahasa Jawa sehari-hari, masih ada bahasa Jawa kesusastraan yang secara kronologi dapat dibagi ke dalam enam fase sebagai berikut.
a. Bahasa Jawa Kuno yang dipakai dalam prasasti-prasasti keraton pada zaman antara abad ke-8 dan ke-10 dipahat
Cakrawala Budaya
pada batu atau diukir pada perunggu, dan bahasa seperti Menurut B. F. Grimes, yang dipergunakan dalam karya-karya kesusastraan kuno saat ini Indonesia me- abad ke-10 hingga ke-14. Sebagian kecil dari naskah-nas- miliki sekitar 700 bahasa kah Jawa Kuno yang kita miliki sekarang dibuat di Jawa daerah. Adapun yang Tengah dan sebagian besar ditulis di Jawa Timur. Kita tidak paling banyak penutur- mengetahui sampai di mana idiom bahasa kesusastraan nya adalah bahasa Jawa Jawa Kuno yang seluruhnya ditulis dalam bentuk puisi dengan jumlah penutur (kakawin) itu juga digunakan dalam bahasa sehari-hari lebih dari 70 juta orang.
Penutur bahasa Sunda pada saat itu.
mencapai 27 juta orang.
b. Bahasa Jawa Kuno yang dipergunakan dalam kesusastraan Penutur bahasa Madura Jawa Bali
mencapai lebih dari 13 Kesusastraan ini ditulis di Bali dan di Lombok sejak abad juta orang. Bahasa-ba- ke-14. Setelah kedatangan Islam di Jawa Timur, kebu- hasa daerah yang jum- dayaan-kebudayaan Hindu-Jawa pindah ke Bali dan me- lah penuturnya kecil,
netap di sana. Bahasa kesusastraan ini hidup terus sampai pada umumnya terdapat di wilayah yang terpen-
abad ke-20, tetapi ada perbedaan yang pokok dengan cil. bahasa yang dipakai sehari-hari di Bali sekarang.
c. Bahasa yang dipergunakan dalam kesusastraan Islam di Jawa Timur Kesusastraan ini ditulis pada zaman berkembangnya kebudayaan Islam yang menggantikan kebudayaan Hindu – Jawa di daerah aliran Sungai Brantas dan daerah hilir Sungai Bengawan Solo pada abad ke-16 dan ke-17.
104 Antropologi SMA Jilid 1 104 Antropologi SMA Jilid 1
Kebudayaan yang berkembang di pusat-pusat agama di kota-kota pantai utara Pulau Jawa pada abad ke-17 dan ke-18, oleh masyarakat Jawa sendiri disebut kebudayaan Pesisir.
Orang Jawa juga membedakan antara kebudayaan Pesisir yang lebih muda, yang berpusat di kota Pelabuhan Cirebon dan suatu kebudayaan Pesisir Timur yang lebih tua yang berpusat di Kota Demak, Kudus, dan Gresik.
e. Bahasa kesusastraan di Kerajaan Mataram Bahasa ini adalah bahasa yang dipakai dalam karya-karya
kesusastraan para pujangga keraton Kerajaan Mataram pada abad ke-18 dan ke-19. Lingkungan Kerajaan Mataram terletak di daerah aliran Sungai Bengawan Solo di tengah kompleks Pegunungan Merapi, Merbabu, Lawu di Jawa Tengah, di mana bertemu juga lembah Sungai Opak dan Praga.
f. Bahasa Jawa masa kini Bahasa Jawa masa kini adalah bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari masyarakat Jawa dan dalam buku- buku serta surat-surat kabar berbahasa Jawa pada abad ke-20 ini.
Adat sopan santun Jawa menuntut penggunaan gaya bahasa yang tepat. Kondisi tersebut tergantung dari tipe interaksi tertentu yang memaksa orang untuk terlebih dahulu menentukan setepat mungkin kedudukan orang yang diajak berbicara. Sebelum Perang Dunia I mobilitas sosial akibat pendidikan dan kemajuan ekonomi mengacaukan tingkat- tingkat sosial Jawa tradisional berdasarkan kelas, pangkat, dan senioritas. Oleh karena itu, untuk menentukan kedudukan seseorang dalam interaksi sosial menjadi sulit. Adakalanya seseorang harus berbicara dengan orang yang lebih tua, tetapi yang pangkatnya lebih rendah, seorang yang lebih muda, tetapi memiliki kekayaan yang lebih besar, atau seorang dari lapisan yang lebih tinggi tetapi dengan pangkat lebih rendah. Keadaan seperti itu dapat menimbulkan suasana yang canggung bagi kedua belah pihak. Kesulitan itu menyebabkan orang-orang Jawa yang sudah mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda mulai menghindari adat sopan santun dalam penggunaan bahasa Jawa yang terlalu rumit dan lebih memilih menggunakan bahasa Belanda.
Bahasa dan Dialek 105
Sudah sejak tahun 1916 ada suatu gerakan bernama Djawa Dipo yang dirintis oleh orang-orang Jawa yang bersemangat progresif ingin menghapuskan gaya-gaya bertingkat dalam ajaran bahasa Jawa dan hanya menggunakan Ngoko sebagai bahasa dasar. Reaksi terhadap kampanye ini pada umumnya timbul dari kalangan bangsawan yang menyarankan bahwa; apabila gaya-gaya bertingkat dalam bahasa Jawa harus dihapus- kan, sebaiknya yang di- pertahankan adalah gaya Kromo dan bukan Ngoko se- bagai dasar dari bahasa Jawa. Dengan demikian mereka
Sumber: Ensiklopedi Umum untuk Pelajar, 2005
tidak memakai suatu gerakan S Gambar 3.4 Karakter tulisan Jawa “hanacaraka”. baru bernama Krama Dewa.
Perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam masyarakat orang Jawa sesudah Perang Dunia ke II mempunyai pengaruh yang lebih besar lagi terhadap sistem gaya-gaya bertingkat dalam bahasa Jawa. Kebanyakan dari orang Jawa yang lahir sesudah zaman itu tidak lagi berusaha menguasai sistem yang rumit. Proses perubahan dari suatu masyarakat agraris tradisional dan feodal ke suatu masyarakat industri yang modern dan demokratis yang sekarang berlangsung, dengan sendirinya juga menyebabkan adat sopan santun dalam penggunaan bahasa Jawa mengalami pe- nyederhanaan. Kecuali perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam gaya-gaya bertingkat yang disebabkan karena per- bedaan kelas, kedudukan, pangkat, dan senioritas. Bahasa Jawa juga mempunyai berbagai logat berdasarkan perbedaan geografis. Th. Pigeud telah menyatakan bahwa sejarah dialek- dialek Jawa dan persebaran dari bahasa Jawa ke semua daerah di mana bahasa itu dipergunakan sekarang, tidak banyak diketahui oleh para ahli.
Ia juga menyatakan bahwa mungkin sekali dahulu sungai- sungai merupakan sarana lalu lintas, sehingga dengan sen- dirinya bahasa yang dipakai oleh penduduk dari suatu daerah aliran sungai menunjukkan persamaan idiom yang berbeda dengan bahasa yang dipakai oleh penduduk di lembah-lembah sungai yang lain.
106 Antropologi SMA Jilid 1