BAHASA DAERAH SEBAGAI SUMBER DAYA KEBUDAYAAN

2. BAHASA DAERAH SEBAGAI SUMBER DAYA KEBUDAYAAN

Masyarakat yang maju selalu berubah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Mereka selalu mencari informasi baru agar tidak ketinggalan zaman sehingga dapat berkompetisi dengan masyarakat lain, baik di dalam maupun di luar lingkungannya. Namun, di tengah gencarnya untuk selalu memodernkan diri tersebut mereka juga dituntut untuk selalu sadar akan kekayaan budayanya, yaitu bahasa daerah. Bahasa daerah selain merupakan kekayaaan budaya juga merupakan kekayaan intelektual, yaitu sebagai hasil kreativitas leluhur dalam menghadapi tantangan alam, khususnya dalam berkomunikasi.

Bahasa daerah sebagai kekayaan intelektual tersebut cenderung kurang disadari oleh masyarakat penutur bahasa, khususnya generasi mudanya sehingga ketika ada alat komunikasi lain yang oleh generasi muda dinilai lebih efektif, bahasa daerah itu sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Banyaknya pemuda desa yang pergi ke kota merupakan salah satu faktor penyebab terkendalanya pengembangan bahasa daerah karena mereka ditempatkan dengan anggota masyarakat yang beragam dan dituntut untuk menggunakan bahasa yang dapat memudahkan komunikasi antaranggota masyarakat yang baru tersebut. Di samping itu, tingkat mobilitas masyarakat juga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup bahasa daerah. Oleh karena itu, agar bahasa daerah tetap berkembang, perlu dilakukan langkah-langkah strategis dalam pengembangan bahasa daerah.

Sebagaimana dipahami bersama, manusia sebagai makhluk sosial tentu saja dalam berinteraksi dengan sesamanya melibatkan bahasa. Bahasa menjadi unsur penting kebudayaan. Transformasi budaya yang selama ini berlangsung tiada lain karena peran bahasa pula. Oleh karena itu, tidak dimungkiri lagi ungkapan ”bahasa menunjukkan bangsa”. Melalui bahasa pula kita dapat mengetahui budaya dan pola pikir suatu masyarakat. Oleh karena itu, pola pikir seseorang akan tampak dari perilaku berbahasanya, sebagaimana ditegaskan oleh Effendi (2009: 75) bahwa cara berpikir seseorang tercermin dalam bahasa yang digunakannya. Jika cara berpikir seseorang itu biasa teratur, bahasa yang digunakannya pun biasanya teratur pula. Perihal ini Liliweri (2014: 325)

PROSIDING Seminar Nasional Bahasa Ibu

Denpasar, 24-25 Februari 2017

mengibaratkan bahasa bertindak seperti lensa dari kamera, menyaring terhadap realitas.

Melalui bahasa pula dapat diketahui karakter pemilik bahasa tersebut. Tanpa disadari leluhur sudah mengajari kita secara simbolis akan pentingnya sikap arif ”ikan biar dapat, serampang jangan pukah”. Bangsa Indonesia terkenal akan keramahtamahannya sekalipun dalam kondisi masyarakat sekarang ini sifat itu mulai dipertanyakan. Namun, sebenarnya masyarakat Indonesia sangat mementingkan kasih sayang. Hal tersebut paling tidak tercermin pada tinggalan budaya a.l. pada muatan makna unsur yang membentuk kata bilangan sebelas, yakni se- dan belas. Dalam bahasa daerah, seperti bahasa Sunda dan Jawa, dikenal pula bilangan ini: sawelas/sabelas (Sunda), sewelas (Jawa). Bahkan, bagi masyarakat Sunda, cinta kasih menjadi dasar filosofi kehidupan sehari-harinya, ”kudu silih asih, silih asah, jeung silih asuh” (’harus saling mengasihi, saling mengasah, dan saling mengasuh di antara sesama’) (Garna, 2008: 65). Begitu pula dengan masyarakat Bali, kesadaran akan pentingnya cinta kasih bermuara pada rasa cinta kepada Tuhan dan ciptaannya (alam dengan isinya) diwujudkan melalui ungkapang salunglung sabayantaka (baik atau buruk ditanggulangi bersama) dan manyama braya (rasa persaudaraan) (Laksana, 2009: 15). Kesadaran serupa dimiliki pula oleh masyarakat Batak bahwa setiap ciptaan, baik hidup maupun mati, diyakini memiliki roh. Konsekuensinya, setiap insan wajib menjaga kelestarian lingkungannya (Nainggolan, 2015: 146).

Penanaman nilai budaya lain, terutama yang berkaitan dengan kesehatan, diwujudkan melalui kegiatan bertegur sapa ”Apa kabar?”. Ekspresi tersebut tentu saja menggambarkan bagaimana kesehatan menjadi bagian yang paling utama bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dalam menjalani kehidupan ini. Begitu pula dengan masyarakat Sunda. Bahkan, masyarakat Sunda ketika mendengar orang bersin pun segera mendoakan kesehatan yang bersangkutan melalui ekspresi ”Hurip waras!”. Kata mae, misalnya di Lewolema, Nusa Tenggara Timur bermakna ’baik, tidak sakit, tidak mengalami gangguan’ yang megacu pada sehat secara fisik dan mental (Istiyani, 2004: 57—64). Oleh karena itu pula, pada masyarakat Sunda kesehatan menjadi landasan utama sebelum yang lainnya

PROSIDING Seminar Nasional Bahasa Ibu

X Denpasar, 24-25 Februari 2017

(cageur ’sehat’, bageur ’baik’, bener ’teguh’, pinter ’pandai’, teger ’tegar’, pangger ’kokoh’, wanter ’berani’, singer ’cekatan’, cangker ’gagah, kuat’). Dinamika kehidupan lain yang menyangkut relasi sosial berkaitan dengan kesantunan, tampak pada tinggalan undak usuk (speech levels). Tingkat tutur mengatur mekanisme komunikasi strategis melalui pilihan kata sekaligus memuat etika pergaulan antarsesama.