Ranah Pakai Bahasa Muna dan Kondisi Pemakaiannya di Perantauan

1.2 Ranah Pakai Bahasa Muna dan Kondisi Pemakaiannya di Perantauan

Bahasa Muna pada ranah-ranah tertentu, misalnya ranah keluarga, ranah organisasi kerukunan masih tetap digunakan sebagai alat komunikasi bagi penuturnya. Berdasarkan pengamatan berkala pada komunitas Muna di Bitung, bahasa Muna masih digunakan masyarakat penuturnya dalam ranah keluarga, ketetanggaan sesama kelompok etnis, ranah organisasi kerukunan, dan ranah adat. Siregar dkk. (1998:1), di dalam masyarakat bahasa, terdapat ranah-ranah penggunaan tertentu pada masing-masing ranah. Praktik berbahasa komunitas Muna di perantauan dalam ranah-ranah pemakaian bahasa Muna, secara empiris tampak pada cuplikan tuturan berikut ini.

1) a. Tabea watu aesalo ane maafu ametapaghooo adhati ne ghoweaku ini.

(Permisi ini saya minta maaf, saya menanyakan adat yang ada di pundakku ini) b. Atarimaemo adhati kafeampe watua. Ingka nototomo watu adhati, nefumano ifi, katembano

kokatembano. (Saya sudah terima adat yang dibawa/dinaikkan ini. Iya, sudah cukup adat ini, yang dimakan api, dan pengganti yang menimang)

Percakapan di atas terjadi di tempat upacara pernikahan pada saat mengantar adat (kafoampeno adhati) yang dilaksanakan komunitas Muna di Kota Bitung. Upacara adat tersebut dilakukan di salah satu keluarga Muna (pihak laki- perempuan dari suku Muna). Ungkapan itu penuh dengan nilai tatakrama dalam bahasa Muna. Hal ini menunjukkan bahwa komunitas Muna masih mementingkan nilai tatakrama dalam berbahasa walaupun telah puluhan tahun meninggalkan daerah asalnya dan menetap diperantauan (Bitung). Penggunaan ungkapan tabea ‘permisi’ tampak pula dalam ranah keluarga. Ungkapan (1) merupakan perilaku berbahasa komunitas Muna dalam ranah adat. Penggunan bahasa dalam ranah adat mencerminkan perilaku sosial dan terikat pula dengan kaidah sosial yang berlaku dalam masyarakat (Wibisono dan Sofyan, 2008:1).

Data verbal yang diucapkan penutur komunitas Muna di Kota Bitung pada saat pelaksanaa upacara kaafoampeno adhati (pembawaan adat) pada contoh di

PROSIDING Seminar Nasional Bahasa Ibu

Denpasar, 24-25 Februari 2017

atas, diucapkan sesuai dengan tata krama sosial kultural dan tata interaksi yang saling-menghargai sesama warga komunitas bahasa yang bersangkutan. Ungkapan-ungkapan verbal berupa kata atau kalimat yang diucapkan untuk mengutarakan maksud penutur sesuai dengan perilaku budayanya. Purwako (2009:113), sarana verbal berupa ujaran tidak dapat digunakan oleh penuturnya jika bertentangan dengan perilaku budaya atau di luar jangkauan sosialkulturalnya.

2) Noafa itu pedagho ini, anahi aini, dofokotabea beano ane do doliu tewiseno kamokula (Mengapa kamu seperti itu, harus minta izin kalau lewati di depan orang tua)

Ungkapan (2) berisi teguran seorang ayah kepada anaknya, agar lewat di hadapan orang tua dengan sopan. Ungkapan tabea ‘permisi’ di dalam ranah adat menjadi sesuatu yang beradat, sebelum memulai pembicaraan adat, demikian manakalah lewat di depan orang merupakan ungkapan yang diajarkan dalam kebudayaan Muna. Dua kasus (1) dan (2) di atas menunjukkan kesopanan yang terkandung dalam bahasa mencerminkan tingginya peradaban suatu komunitas atau martabat seseorang (Poedjosoedarmo, 2001:186).

Siregar, dkk. (1998:2) rumah merupakan ranah penggunaan bahasa yang penting bagi bahasa-bahasa daerah di dalam situasi kedwibahasaan penuturnya. Pemakaian bahasa Muna dalam ranah keluarga (rumah) tampak dalam cuplikan data berikut. 3)

a. Notahamu kagau itu? (Sudah masak makanan itu?)

b. Miinaho. (belum) a. Kampona bhela bhekagharo

(Lamanya, lapar begini) b. Sabara deki, ingka nomahomo dua naotaha. (Sabar dulu, sudah tidak lama sudah akan masak)

Cuplikan data (3) di atas adalah percakapan dalam keluarga di rumah antara suami/istri yang berasal dari Muna yang baru 14 tahun tinggal di Bitung. Oservasi dilakukan menjelang makan siang. Suami, sudah tidak sabar karena waktu sudah menjelang sore, hendak mengajak peneliti untuk santap siang bersama. Berdasarkan data di atas tampak bahwa penggunaan bahasa Muna masih utuh belum bercampur dengan bahasa lain (Melayu Manado).

PROSIDING Seminar Nasional Bahasa Ibu

X Denpasar, 24-25 Februari 2017

4) a. Nehamai gara La Dhe Untu.

(Di mana La Ode Untu?) b. Pedahamai gara ina? (Baimanakah Ibu?) a. Abhasie naela kanau oe kunae, so aegaughoo. (Saya mau panggil ambilkan air untuk memasak) b. Nokala anoa, madaho aeala angko idi. (Dia pergi, nanti saya yang ambilkan air)

Cuplikan data di atas adalah percakapan dalam keluarga di rumah antara suami-ibu menantu yang sudah menjadi janda yang berasal dari Muna yang sudah

70 tahun tinggal di Bitung. Konteks tuturan di rumah di mana seorang ibu datang ke rumah menantunya menanyakan cucunya untuk membantu mengambil air untuknya. Berdasarkan data di atas tampak bahwa penggunaan bahasa Muna masih utuh belum bercampur dengan bahasa lain (Melayu Manado).

5) a. Nalahae nenanto intaidi. (Siapa nama Anda?) b. La Ade ini, (La Ade) a. Neamahai ampa we raha? (Di mana kampung di Raha?) b. We Lawa. (Di Lawa) a. Alee… ingka okawanua gara. (Iya, saudara dekat ternyata)

Percakapan (5) di atas diungkapkan dalam ranah ketetanggan oleh seorang yang bercerita dengan sesama suku Muna. Pembicara (1) mulai menanyakan nama, tempat tinggal, pada ungkapan (a) mencampur kode bahasa Muna dengan bahasa Melayu Manado, yakni o kawanua ‘sekampung’ dalam bahasa Muna memiliki makna sama bhasitie. Kemudian pembicara (1) mencampurkan bahasa Melayu Manado. Ungkapan bhasitie dalam bahasa Muna merupakan ungkapan yang bersifat menyatukan kelompok (kolektif) tertentu sebagai saudara, dekat, saudara jauh, saudara senasib dan sepenanggungan, saudara seperjuangan, satu daerah asal, satu kampung asal, keluarga besar, sesama profesi, setempat kerja). Penggunaan kata kawanua dalam situasi tertentu lazim digunakan masyarakat Sulawesi Utara untuk mengidentifikasi diri sebagai warga Sulawesi Utara. Dan, komunitas Muna yang ada di Kota Bitung mengidentifikasi diri sebagai warga kawanua meskipun mereka berasal dari luar Sulawesi Utara. Situasi ini tercipta silang bahasa dan budaya.

PROSIDING Seminar Nasional Bahasa Ibu

Denpasar, 24-25 Februari 2017

6) a. Ogholie nelahae bhatatamu itu? (Dibeli pada siapa ubi talasmu itu?) b. Agholie ne kawanua dua. (Saya beli pada saudara sekampung) a. Sehae ogholie? (Berapa dibeli?)

b. Ompulu riwu se tampa. (Sepuluh ribu satu tempat)

Ungkapan (6) di atas merupakan percakapan dalam ranah keketanggaan, yakni dua orang ibu-ibu dari Muna yang bertetangga. Salah satu dari mereka berkunjung ke rumah tetangganya yang baru tiba dari pasar. Percakapan pada data (6) terjadi campur kode bahasa Muna dengan bahasa Melayu Manado baik pembicara (a) maupun (b). Pembicara (a) menanyakan apa yang dibeli di pasar menggunakan bahasa Muna yang bercampur kode dengan bahasa Melayu Manado, yakni bhatata ‘ubi talas’ yang dalam bahasa Muna berarti medawa ‘ubi talas’. Kemudian pembicara (b) terjadi pula campur kode, yakni kata kawanua ‘saudara sekampung’ dalam bahasa Muna seharusnya bhasitie ‘saudara sekampung asal’. Kemudian pembicara (b) menjawab dengan campur kode kedua kalinya, yakni munculnya kata se tampa ‘satu tempat’ dalam bahasa Muna seharusnya setombu ‘satu tempat’.

Situasi pemakaian bahasa dalam ranah keluarga antara suami/istri sesuku, antara suami-menantu) penggunaan bahasa Muna masih terjaga dengan baik, berbeda dengan kelompok anak-anak sudah menggunakan bahasa Melayu Manado sebagai alat komunikasi di antara mereka. Siregar (1998:104) mensinyalir bahwa meskipun bahasa daerah dianggap lebih ekspresif untuk mengungkapkan nilai-nilai kedaerahan, perilaku berbahasa yang muncul dalam interaksi berbahasa pada kelompok anak cenderung tidak mendukung bahasa daerahnya sendiri. Fenomena ini tampak pula pada kelompok anak-anak Muna di Kota Bitung pada saat berinteraksi dengan sesamanya lebih memilih bahasa Melayu Manado sebagai alat berkomunikasi dengan teman-teman sebaya sesama suku Muna. Peristiwa campur kode komunitas Muna di Kota Bitung terjadi dalam tataran komunikasi antar sesama komunitas Muna dan etnik lainnya di Kota Bitung seperti diuraikan beberapa cuplikan data tuturan di atas merupakan suatu

PROSIDING Seminar Nasional Bahasa Ibu