Fungsi Bahasa Muna sebagai Simbol Identitas Orang Muna di Perantauan

1.1 Fungsi Bahasa Muna sebagai Simbol Identitas Orang Muna di Perantauan

Wujud identitas sebuah masyarakat atau komunitas dapar direpresentasikan dalam bentuk bahasa, hunian (tempat tinggal), sapaan kekerabatan, praktik perkawinan, praktik keagamaan, dan lain-lain. Orang Muna di perantauan yang masih melekat identitas dalam dirinya, dapat diidentifikasi pada dua hal, pertama, praktik berbahasa dan praktik berkebudayaan. Jika orang Muna berada di luar daerah, menggunakan ujaran pedahae kabhara bhasitie (bagaimana kabarmu saudara) serta merta kita akan berasumsi bahwa yang mengucapkan itu adalah orang Muna. Demikian pula, ada komunitas pada saat Hari Raya Idul Fitri/Idul Adha diadakan acara kabasa ‘baca-baca’ dengan sajian makanan tradisional khas Muna, yakni lapa-lapa (beras yang dibungkus dengan janur kelapa), dapat dipastikan bahwa orang tersebut adalah dari komunitas Muna. Simbol-simbol identitas berupa bahasa dan budaya ini sangat kental bagi komunitas Muna di Kota Bitung dan hingga hari ini masih terlestarikan.

Demikian pula halnya, penggunaan bahasa Muna dalam interaksi verbal komunitas Muna di Kota Bitung mencirikan identitas komunitas Muna di perantauan yang masih menggunakan bahasa daerahnya. Sepadan dengan itu, Wibisono dan Sofyan (2008:1) mengungkapkan ‘perilaku berbahasa berdimensi

PROSIDING Seminar Nasional Bahasa Ibu

Denpasar, 24-25 Februari 2017

budaya’, bahkan dimensi keragaman dan keanekaragaman. Perilaku berbahasa komunitas Muna di perantauan menjadi penumbuh semangat kerekatan hubungan sesama komunitas Muna. Bahasa dalam konteks ini sebagai sistem klasifikasi yang dapat digunakan untuk menelusuri praktik-praktik budaya dalam suatu masyarakat multikulur. Berdasarkan observasi lapangan, ditemukan praktik budaya yang masih mempertahankan bahasa Muna di komunitas Muna di Bitung. Secara empiris berikut ditampilkan elemen-elemen tutur bahasa Muna pada aspek budaya yang masih dipraktikkan dan digunakan komunitas Muna.

Penggunaan kosa kata budaya bagi komunitas Muna di atas sudah menjadi ciri sekalius penanda etnis Muna di Kota Bitung. Temuan ini sejalan dengan pandangan Sumarsono (2008:67) yang menyatakan bahwa bahasa sering dipakai sebagai ciri etnik, bahkan sebagai alat identitas etnik. Bahasa bukan hanya sebagai identitas etnik, bahkan sebagai pembeda budaya tiap-tiap etnik yang hidup berdampingan di sebuah wilayah. Duranti (2001) menyatakan bahasa secara konstan digunakan untuk pengkonstruksi dan pembeda budaya. Urgensi praktik berbahasa sebagai identitas manusia, tidak bisa dilepaskan dari adanya praktik berbahasa atau pemakaian bahasa dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Masyarakat Kota Bitung merupakan masyarakat multietnik, tiap-tiap etnik memiliki bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Suastra (2009:15) mengemukakan bahwa masyarakat yang beragam telah lama memiliki identitas yang jelas dengan bingkai sentimen primordial (agama, etnis, bahasa dan lain- lain). Bahasa sebagai identitas telah membangun nilai-nilai, norma, dan simbol- simbol ekspresif menjadi ikatan sosial untuk membangun solidaritas dan kohesivitas sosial.

Bahasa dan budaya Muna yang hingga saat ini masih mewarnai kehidupan komunitas Muna di Kota Bitung menjadi simbol identitas orang Muna di perantauan. Identitas orang Muna dalam hal ini bahasa dan budaya Muna di perantauan secara kental diekspresikan oleh komunitas Muna di Kota Bitung dalam praktek berbahasa sesama kelompok etnis dan pelaksanaan adat istiadat. Dan, masyarakat pada kelompok etnis yang berbeda tidak mempersoalkannya karena penerimaan dan penghargaannya yang tinggi terhadap komunitas Muna

PROSIDING Seminar Nasional Bahasa Ibu

X Denpasar, 24-25 Februari 2017

yang telah lama hidup dan menetap di Bitung. Dengan kata lain, terdapat pengakuan terhadap komunitas Muna di Kota Bitung oleh komunitas etnik setempat dan etnik pendatang lainnya. Keadaan ini tentunya sangat didukung oleh pola hidup dan perilaku komunitas Muna yang sangat terbuka dan toleran. Sikap terbuka dan toleran inilah yang menjadikan komunitas Muna sebagai kelompok etnik minoritas tidak mengalami resistensi terhadap kelompok etnik mayoritas di Kota Bitung. Dan, karena itu pula, komunitas ini memperoleh ruang yang kondusif untuk mempertahankan bahasa dan budayanya di perantauan. Terkait dengan hal ini, Sumarsono (1993:173) mengemukakan ‘…sebagai identitas kelompok, bahasa tentu tidak mudah dipisahkan dari kelompok yang memilikinya, apalagi kalau warga guyup itu tinggi loyalitasnya terhadap bahasa itu’, sebagaimana diperlihatkan komunitas Muna di Bitung.

Perjumpaan komunitas etnis Muna dengan masyarakat Kota Bitung yang multietnis dan masing-masing memiliki adat dan kepercayaan yang kuat, tidak menjadikan komunitas etnis Muna kehilangan jati diri dan identitas ke-Muna- annya. Praktik berbahasa dan praktik berbudaya dengan elemen tutur bahasa Muna sebagai pengungkapnya sangat dipegang teguh oleh komunitas Muna di Bitung.

Seperti dijelaskan di atas bahwa bahasa Muna di perantauan selain mempunyai fungsi utama untuk mengekspresikan ide yang terkait dengan budaya Muna juga sekaligus identitas komunitas Muna di perantauan. Apabila bahasa Muna sebagai unsur dari sistem budaya pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya, maka bukan tidak mungkin jati diri dan sistem sosial-budaya orang Muna juga akan terdegradasi. Kaelan (2002:313) mengemukakan, kompleksitas hidup manusia dalam merealisasikan harkat dan martabat kemanusiaannya terwujud berkata danya bahasa. Bahasa merupakan aktivitas manusia yang bersifat fundamental pasti mengikutsertakan pikiran-pikiran, ide-ide dari orang yang menggunakan bahasa dalam komunikasi tuturan, dan situasi di mana bahasa itu digunakan.

Komunitas Muna yang hidup dan menetap sebagai migran perantau permanen di Bitung, hingga saat ini masih tetap memelihara tradisi dan budaya

PROSIDING Seminar Nasional Bahasa Ibu

Denpasar, 24-25 Februari 2017

orang Muna. Bahkan dalam tokoh-tokoh adat Muna di Kota Bitung juga aktif dalam kegiatan keagamaan ikut mendirikan dan mengelola masjid. Itu pula sebabnya tradisi keagamaan yang sangat kental bernuasa Islam yang menjadi keyakinan orang Muna masih tetap dipelihara, seperti kaalano wuluno fotu (aqiqah) atau upacara potong rambut bayi yang baru lahir, karia (pingitan), dan katoba (pengislaman). Pelaksanaan tradisi ini meneguhkan kembali ikatan sejarah kebudayaan asal yang tidak memudar, meski mereka sudah di perantauan. Tradisi ini begitu mengkristal dalam jiwa orang Muna di perantauan, tetap dilaksanakan sekaligus menjadi media pemertahanan bahasa Muna, karena dalam pelaksanaan tradisi-tradisi tersebut masih menggunakan bahasa Muna sebagai medium pengungkapan nilai-nilai kulturalnya yang hingga saat ini terus berlangsung dan terpelihara dengan baik.

Selain bahasa dan budayanya, komunitas Muna juga memiliki berbagai jenis makanan tradisional yang sebagian masih dijumpai atau dibuat orang-orang

Muna di Kota Bitung. Saat kami melakukan wawancara dengan La Ode Pade 12 , istrinya menyediakan hidangan lapa-lapa dan manu kaparende. Lapa-lapa (beras

yang dibungkus dengan janur kelapa) dan manu kaparende (ayam yang dimasak dengan dengan daun kedondong) masih senantiasa dibuat dan biasanya disajikan pada Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha. Manu kaparende dan lapa-lapa sangat digemari oleh para tamu berkunjung sehingga mereka sangat senang jika disuguhi makanan tersebut. Oleh karena itu, sajian makanan tradisional khas Muna lapa- lapa dan manu kaparende ini selalu disiapkan dalam menjamu para tamu pada momentum Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha.

Ciri-ciri kedaerahan dalam bentuk falsafah dalam bahasa Muna ini cukup menonjol dipraktikan dan disampaikan dalam beberapa kesempatan dalam cara KKMB dan Dewan Adat Muna. Orang Muna menampilkan nilai-nilai dalam wujud kaidah-kaidah sosial dengan keyakinan orang Muna atas apa yang baik dan buruk, yang benar dan salah. KKMB dan Dewan Adat Muna yang ada di tiap-tiap

12 Tokoh pemuda Muna di Bitung dan perwakilan pelaksana kegiatan adat. Ia juga aktif dalam kepengurusan Kerukunan Keluarga Muna-Buton di Bitung dan salah

ketua Dewan Adat Muna di Kota Bitung

PROSIDING Seminar Nasional Bahasa Ibu

X Denpasar, 24-25 Februari 2017

kecamatan di Kota Bitung yang terdapat komunitas Muna turut berperan dalam memantapkan eksistensi nilai dan budaya orang Muna di Kota Bitung. Prinsip dan falsafah hidup orang Muna yang menjadi modal budaya dan sosial komunitas Muna di perantauan yang hingga kini masih terpelihara itu, yang menjadikan komunitas Muna dapat hidup berdampingan dengan etnik-etnik lain di Kota Bitung. Ungkapan berupa falsafah hidup sebagai salah satu bentuk budaya merepsentasikan nilai-nilai hidup yang luhur. Berikut ini dijelaskan nilai-nilai yang terdapat dalam ungkapan falsafah hidup komunitas Muna di Kota Bitung yang masih diungkapkan dan dipraktikan dalam kehidupan mereka di perantauan.

1) Hansu-hansuruana mbadha sumanono kono hansuru liwu (Biarlah badan binasa asal (kampung, daerah, bangsa) tetap berdiri) Hansu-hansurana liwu sumanomo kono hansuru adhatii (Kalaupun daerah harus bubar adat tetap dipertahankan) Hansur-hansuruana adhati sumanomo kono hansuru agama: (Kalaupun adat tidak bisa lagi dipertahankan, maka agama harus tetap ditegakkan)

Ungkapan falsafah (1) di atas merupakan konsep feelino dopoliwu (prinsip hidup masyarakat Muna di mana saja berada). Falsafah hidup ini menggambarkan struktur nilai yang menjadi prioritas dalam memilih landasan hidup. Leksem mbadha ‘badan’ sebagai struktur paling bawah sedangkan agama ‘agama’ merupakan nilai tertinggi yang harus diprioritaskan. Agama dalam falsafah tersebut menjadi hal yang fundamental yang dipertaruhkan dari semua potensi yang dimilik seseorang. Falsafah di atas bermakna bahwa agama harus dijadikan landasan dan sandaran utama dalam hidup. Mengenai hal ini, Muharto (2006:148) memberikan interpretasi bahwa individu memandang kepada kampung/tempat menetap, dalam artian setiap orang senatiasa memperhatikan kondisi kampung/tempat tinggalnya serta tidak membawa arogansi individu yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat multikultural. Masyarakat memandang adhati (adat/norma), dalam artian interaksi dalam siklus kehidupan bermasyarakat senantiasa menjunjung tinggi adat/norma. Selanjutnya, adat memandang kepada agama, dalam artian interpretasi mengenai adat serta penerapannya dalam kehidupan merujuk kepada agama. Pada agamalah segala sesuatu bersandar.

2) Poma-maasighoo, poangka-angkatau, poadha-adhati (Saling mencubit kulit, Saling menyayangi, Saling menghargai, Saling menghormati)

Ungkapan falsafah (2) di atas merupakan konsep feelino Wuna ‘undang-

PROSIDING Seminar Nasional Bahasa Ibu

Denpasar, 24-25 Februari 2017

undang perilaku orang Muna’. Kearifan lokal falsafah hidup masyarakat Muna, yakni dopomaa-maasighoo, dopoangka-angkatau, dopoadha-adhati ‘saling menyayangi, saling memelihara, dan saling menghargai’. Untuk dapat mewujudkan situasi hidup yang demikian, komunitas Muna mengembangkan konsep ihintu inodimo, inodi ihuntumo ‘kamu adalah aku dan aku adalah kamu’. Filosofi hidup ini mencerminkan kesadaran hakikat diri sebagai orang Muna di perantauan dan memposisikan orang lain layaknya menyayangi diri sendiri sehingga dengan demikian dapat tercipta toleransi dan harmoni sosial di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk.

Spirit kebersamaan dan kerukunan ini juga terdapat dalam falsafah orang Muna yakni dopomaa-maasoghoo ‘saling menyayangi’. Identik dengan semboyan maleo-maleosan ‘baku-baku bae, baku-baku sayang’ yang juga terdapat di Sulawesi Utara.

3) Daseise welo niati, Daseise welo fekiri, Daseise welo patudhu, Daseise welo kaghosa, Daseise welo pomingku: (Bersatu dalam niat, bersatu dalam pikiran, bersatu dalam tujuan, bersatu dalam kekuatan, bersatu dalam tindakan)

Falsafah (3) di atas merupakan cara komunitas Muna untuk menerima keragaman masyarakat di Kota Bitung. Falsafah hidup tersebut dikemas arif untuk menghilangkan batas-batas perbedaan dan menguatkan kohesivitas sosial di tengah-tengah komunitas Muna, yang dibingkai dalam kaseise ‘kesatuan/ kebersamaan’. Ungkapan kaseise ‘kesatuan/kebersamaan ini, merupakan tanda relasi sosial yang baik yang secara kontekstual menjiwai pola perilaku masyarakat Muna dalam kehidupan sosial masyarakat di Kota Bitung. Bahkan ungkapan ini berfungsi untuk memperkuat integrasi sosial sesama komunitas Muna dan antarkomunitas etnis di Kota Bitung.

4) Koemo wuto sumanomo liwu (Janganlah diri asalkan kampung)

Ungkapan (4) di atas bermakna jiwa patriotisme yang mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Sebagai seorang pemimpin yang ideal, pejuang sejati, yang rela mempertaruhkan jiwa raganya demi kesejahteraan masyarakat tidak mengharapkan pamrih. Ketulusan jiwa serta kemurnian nurani senantiasa menyertai totalitas kepemimpinan. Pribadi seorang pemimpin yang

PROSIDING Seminar Nasional Bahasa Ibu

X Denpasar, 24-25 Februari 2017

ideal adalah harus mementingkan daerah, bukan untuk memperkaya diri. Hal ini diaktualisasikan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat bagi komunitas Muna di Kota Bitung yang turut memberi andil dalam pembangunan daerah, baik dari aspek keagamaan maupun pembangunan sumber daya manusia.