Peran Peribadatan

Peran Peribadatan

Peribadatan yang dimaksud disini adalah urusan-urusan ibadah mahdah seperti shalat (membangun masjid, menggaji imam, muadzin), zakat (menunjuk amil zakat, menyediakan Baitul Mal sebagai tempat pengumpulan zakat, mengalokasikan sumber daya yang terkumpul pada yang berhak), haji (penunjukkan Amirul Haj), hari raya (menentukan jatuhnya hari raya), maupun ghairu mahdah seperti menuntut ilmu (gaji pengajar madrasah). Urusan peribadatan bagi kaum muslimin adalah hal yang utama bagi kaum muslimin mengingat firman Allah subhanahuwata’ala di dalam Al Quran

∩∈∉∪ Èβρ߉ç7÷èu‹Ï9 ωÎ) }§ΡM}$#uρ £⎯Ågø:$# àMø)n=yz $tΒuρ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Adz- Dzariyat 56) Urusan ibadat ini yang sekaligus menjadi identitas kemusliman suatu kaum, atau dengan kata

yang lain hal yang membedakannya dengan kaum kafir.

∩∠∠∪ $JΒ#t“Ï9 ãβθà6tƒ t∃öθ|¡sù óΟçFö/¤‹x. ô‰s)sù ( öΝà2äτ!$tãߊ Ÿωöθs9 ’În1u‘ ö/ä3Î/ (#àσt7÷ètƒ $tΒ ö≅è%

Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): "Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan- Nya? karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)". (Q.S. Al Furqan 77)

Kita menggunakan terminologi peribadatan, bukan keagamaan, karena peribadatan adalah bagian dari keagamaan. Pada hakekatnya negara dalam Islam harus mendasarkan semua kegiatannya pada aspek Ilahiyah dan Rabbaniyyah atau keagamaan karena Allah

subhanahuwata’ala adalah poros dan pusat kehidupan seorang muslim. 57 Sehingga seluruh

Klasifikasi ini terinspirasi dari ceramah Jumat Dr. Asep Zaenal Ausop di Masjid Salman ITB tahun 2003. Beliau mengatakan bahwa Yahudi ketika membicarakan keyahudiannya tidak pernah memisahkan agama dengan kehidupan. Beliau mengatakan Yahudi selalu membicarakan keyahudian dengan cakupan integral peribadatan, politik dan ekonomi.

57 Chandra Natadipurba, Pengantar dan Sejarah Ekonomi Islam dalam bab Islam dan Sekularisme. 2006. Bandung: ISEG Unpad, hlm. 26 57 Chandra Natadipurba, Pengantar dan Sejarah Ekonomi Islam dalam bab Islam dan Sekularisme. 2006. Bandung: ISEG Unpad, hlm. 26

Hal ini tentulah sangat bertolakbelakang dengan konsep negara dalam pandangan para penulis Barat yang sudah sekuler seperti yang sudah kita kutip di atas. Negara dipisahkan dengan urusan keagamaan, sehingga agama tidak pernah disebut-sebut dalam hal kenegaraan dan sebaliknya negara juga tidak pernah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan urusan peribadatan.

Sebagai contoh, pemimpin negara dalam Islam selalu menjadi pemimpin shalat. Hal ini menunjukkan kesatuan urusan politik dan ibadah, memberikan pola keteladanan pemimpin dalam urusan ibadah, memberikan pesan kuat bahwa peribadatan adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Berkata Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang termasyur Siyasah Syar’iyyah, ”Telah menjadi sunah yang berlaku bahwa imam shalat Jumat dan imam bagi jamaah adalah dia yang menjadi khatib – mereka itu adalah para panglima perang (umara’ al-harb), yang mewakili sang penguasa (dzi sulthan) dalam urusan kemiliteran. Oleh karena itu, ketika Rasulullah shallahu’alaihiwassallam menunjuk Abu Bakar radhiyallahuanhu supaya menjadi imam shalat, kaum muslimin kemudian menunjuknya menjadi panglima perang dan juga dalam urusan lainnya. Demikianlah kebiasaan yang ditetapkan oleh Rasulullah shallahu’alaihiwassallam dalam mengangkat para sahabat beliau sebagai pemimpin perang, pastilah dia seorang imam shalat. Ketetapan ini juga berlaku ketika Nabi menunjuk seseorang sebagai deputi (na’ib) bagi Madinah, juga tatkala memilih ’Uttab bin Usais sebagai deputi amir di Mekkah, Utsman bin Abil-Ash sebagai Gubernur Thaif, Ali bin Abi Thalib, Muadz dan Abu Musa, masing-masing pernah menjadi gubernur di Yaman, demikian juga Amr bin Hazm yang diangkat Nabi sebagai Gubernur Najran. Para deputi gubernur ini adalah orang yang menjadi imam shalat di antara para sahabat, pelaksana hukum pidana dan lain sebagainya yang menjadi tugas dari seorang komandan perang . 58 Jadi,

jelaslah bahwa negara dan peribadatan tidak bisa dipisahkan, bahkan peran negara sangat besar dalam urusan ini.

58 Lihat Ibnu Taimiyyah, Siyasah Syar’iyyah: Etika Politik Islam. (penerjemah Rofi’ Munawar, Lc.) 2005. Surabaya: Risaah Gusti, hlm. 27. Ibnu Taimiyyah lahir 10 Rabiul Awwal tahun 611 Hijriah di

Harran, Syiria. Sudah menguasai berbagai ilmu Islam seperti tafsir, hadits, hukum, ushul fiqh, tarikh, penguasaan yang sempurna pada masalah lughah, nahwu dan sharaf sejak masa mudanya. Tidak hanya dalam bidang keilmuan bahkan beliau juga berjihad membela agama Allah dengan pedang. Karena keluasan ilmu yang tiada bandingnya pada zaman itu, beliau dijuluki Syaikhul Islam. Beliau wafat 20 Dzul-Qa’dah 728 Hijriah.