Tinjauan Tentang Pembelajaran

c. Tujuan Pembelajaran

Hamzah B. Uno (2008:34) menjelaskan bahwa, “Tujuan pembelajaran merupakan salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan dalam merencanakan pembelajaran. Sebab segala kegiatan pembelajaran muaranya pada tercapainya tujuan pembelajaran.”

Ada beberapa pendapat dalam Hamzah (2008:35) yang mengemukakan definisi tujuan pembelajaran seperti tersebut dibawah ini:

1. Robert F. Mager, tujuan pembelajaran adalah sebagai perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan kompetensi tertentu.

2. Kemp, tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Perilaku ini dapat berupa fakta yang kongkrit serta dapat dilihat dan fakta yang tersamar.

3. Fred Percival dan Henry Ellington, tujuan pembelajaran adalah suatu pernyataan yang jelas dan menunjukkan penampilan atau keterampilan siswa tertentu yang diharapkan dapat dicapai sebagai hasil belajar. Swardi (2008:32) turut menjelaskan bahwa, “Tujuan pembelajaran

atau tujuan instruksional terdiri dari tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Dalam kurikulum berbasis kompetensi, istilah tujuan pembelajaran umum merupakan kompetensi, sedangkan tujuan pembelajaran khusus merupakan indicator kompetensi”.

Masih senada dengan pernyataan tersebut, Sardiman (2001:25) menyatakan bahwa, “Dalam usaha pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan (kondisi) belajar yang lebih kondusif. Hal ini akan berkaitan dengan mengajar. Mengajar diartikan sebagai suatu usaha penciptaan sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar.” Ada beberapa pendapat dalam menyatakan tujuan belajar seperti tersebut dibawah ini:

Mengenai tujuan-tujuan belajar itu sebenarnya sangat banyak dan bervariasi. Tujuan-tujuan belajar yang eksplisit diusahakan untuk dicapai dengan tindakan instruksional, lazim dinamakan dengan instructional effect, yang biasa berbentuk pengetahuan dan keterampilan. Sedang tujuan-tujuan lebih merupakan hasil sampingan yaitu: tercapai karena siswa “menghidupi (to life ini) suatu sistem lingkungan belajar tertentu seperti contohnya, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, sikap terbuka dan demokratis, menerima pendapat orang lain. Semua itu lazim diberi istilah nurturant effect. Jadi guru dalam mengajar, guru harus sudah memiliki rencana dan menetapkan strategi belajar-mengajar untuk mencapai instructional effects, maupun kedua-duanya. (Sardiman, 2001:26)

Tujuan instruksional pada umumnya dikelompokkan kedalam tiga katagori, yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif mencakup tujuan yang berhubungan dengan ingatan (recall), pengetahuan, dan kemampuan intelektual. Domain afektif mencakup tujuan-tujuan yang berhubungan dengan perubahan-perubahan sikap, nilai, perasaan, dan minat. Domain psikomotor mencakup tujuan- tujuan yang berhubungan dengan manipulasi dan kemampuan gerak (motor). Demikian menurut Bloom (1956) dan Krathwohl (1964) dalam Taxonomy of Educational Objectives. Klasifikasi tujuan tersebut memungkinkan hasil belajar yang diperoleh dari kegiatan belajar-mengajar. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa hasil belajar dapat terlihat dari tingkah laku siswa. Hal ini memberikan pula petunjuk bagi guru dalam menentukan tujuan-tujuan dalam bentuk tingkah laku yang diharapkan dari dalam diri siswa. (Uzer Usman, 2009:34)

Tujuan dalam proses belajar-mengajar merupakan komponen pertama yang harus ditetapkan dalam proses pengajaran berfungsi sebagai indicator keberhasilan pengajaran. Tujuan ini pada dasarnya merupakan rumusan tingkah laku dan kemampuan yang harus dicapai dan dimiliki siswa setelah ia menyelesaikan pengalaman dan kegiatan belajar dalam proses pembelajaran. Isi tujuan pembelajaran pada Tujuan dalam proses belajar-mengajar merupakan komponen pertama yang harus ditetapkan dalam proses pengajaran berfungsi sebagai indicator keberhasilan pengajaran. Tujuan ini pada dasarnya merupakan rumusan tingkah laku dan kemampuan yang harus dicapai dan dimiliki siswa setelah ia menyelesaikan pengalaman dan kegiatan belajar dalam proses pembelajaran. Isi tujuan pembelajaran pada

Tidak terlepas dari penjelasan tentang tujuan belajar, disini Nana Sudjana (2009:34-35) juga menjelaskan bahwa, “Terdapat dua criteria keberhasilan pengajaran. Kriteria disini dimaksudkan sebagai ukuran ataupun patokan-patokan dalam menentukan tingkat keberhasilan suatu pengajaran. Mengingat pengajaran merupakan suatu proses yang dinamis untuk mencapai suatu tujuan yang telah dirumuskan, maka kita ditentukan dua criteria yang bersifat umum, yakni: criteria ditinjau dari sudut prosesnya dan criteria ditinjau dari sudut hasil yang dicapainya. Criteria dari sudut proses menekankan kepada pengajaran sebagai suatu proses haruslah merupakan interaksi dinamis sehingga siswa, sebagai subjek yang belajar mampu mengembangkan potensinya melalui belajar sendiri, dan tujuan yang telah ditetapkan tercapai secara efektif. Sedangkan criteria dari segi hasil atau produk menekankan kepada tingkat penguasaan tujuan oleh siswa baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kedua criteria tersebut tidak bisa berdiri sendiri tetapi harus merupakan hubungan sebab dan akibat. Dengan kata lain, pengajaran tidak semata-mata output oriented tetapi juga proses oriented.”

Sebagai tindak lanjut dari pernyataan yang terdahulu, Nana Sudjana (2009:35-37) menjabarkan bahwa, “Untuk mengukur keberhasilan pengajaran dari sudut prosesnya dapat dikaji melalui beberapa persoalan, yaitu: Pertama, apakah pengajaran direncanakan dan dipersiapkan terlebih dahulu oleh guru dengan melibatkan siswa secara sistematik, ataukah suatu proses yang bersifat otomatis dari guru disebabkan telah menjadi pekerjaan rutin?; Kedua, apakah kegiatan siswa belajar dimotivasi guru sehingga ia melakukan kegiatan belajar dengan penuh kesadaran, kesungguhan dan tanpa paksaan untuk memperoleh tingkat penguasaan pengetahuan, kemampuan serta sikap yang dikehendaki dari pengajaran itu sendiri?; Ketiga, apakah siswa menempuh beberapa kegiatan belajar sebagai akibat penggunaan multi metode dan multi media yang dipakai guru, ataukah Sebagai tindak lanjut dari pernyataan yang terdahulu, Nana Sudjana (2009:35-37) menjabarkan bahwa, “Untuk mengukur keberhasilan pengajaran dari sudut prosesnya dapat dikaji melalui beberapa persoalan, yaitu: Pertama, apakah pengajaran direncanakan dan dipersiapkan terlebih dahulu oleh guru dengan melibatkan siswa secara sistematik, ataukah suatu proses yang bersifat otomatis dari guru disebabkan telah menjadi pekerjaan rutin?; Kedua, apakah kegiatan siswa belajar dimotivasi guru sehingga ia melakukan kegiatan belajar dengan penuh kesadaran, kesungguhan dan tanpa paksaan untuk memperoleh tingkat penguasaan pengetahuan, kemampuan serta sikap yang dikehendaki dari pengajaran itu sendiri?; Ketiga, apakah siswa menempuh beberapa kegiatan belajar sebagai akibat penggunaan multi metode dan multi media yang dipakai guru, ataukah

Nana Sudjana (2009:37-39) juga menerangkan bahwa, “Asumsi dasar ialah proses pengajaran yang optimal memungkinkan hasil belajar yang optimal pula. Ada korelasi antara proses pengajaran dengan hasil yang dicapai. Makin besar usaha untuk menciptakan kondisi proses pengajaran, makin tinggi pula hasil atau produk dari pengajaran itu. Berikut ini adalah beberapa persoalan yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan keberhasilan pengajaran ditinjau dari segi hasil atau produk yang dicapai siswa, yaitu: Pertama, apakah hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses pengajaran nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku secara menyeluruh (komprehensif) yang terdiri atas unsur kognitif, afektif dan psykomotorik secara terpadu pada diri siswa, ataukah hasil belajar yang bersifat tunggal (single facts) dan terlepas satu sama lain, sehingga tidak membentuk satu integritas pribadi?; Kedua, apakah hasil belajar yang dicapai siswa dari proses pengajaran mempunyai daya guna dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, terutama dalam pemecahan masalah yang dihadapinya, ataukah suatu hasil yang sifatnya samar-samar sehingga tak banyak dan tak dapat diterapkan?; Ketiga, apakah hasil belajar yang diperoleh siswa tahan lama diingat dan mengendap dalam pikirannya serta cukup mempengaruhi perilaku dirinya, ataukah bersifat incidental masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan?; Keempat, apakah yakin Nana Sudjana (2009:37-39) juga menerangkan bahwa, “Asumsi dasar ialah proses pengajaran yang optimal memungkinkan hasil belajar yang optimal pula. Ada korelasi antara proses pengajaran dengan hasil yang dicapai. Makin besar usaha untuk menciptakan kondisi proses pengajaran, makin tinggi pula hasil atau produk dari pengajaran itu. Berikut ini adalah beberapa persoalan yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan keberhasilan pengajaran ditinjau dari segi hasil atau produk yang dicapai siswa, yaitu: Pertama, apakah hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses pengajaran nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku secara menyeluruh (komprehensif) yang terdiri atas unsur kognitif, afektif dan psykomotorik secara terpadu pada diri siswa, ataukah hasil belajar yang bersifat tunggal (single facts) dan terlepas satu sama lain, sehingga tidak membentuk satu integritas pribadi?; Kedua, apakah hasil belajar yang dicapai siswa dari proses pengajaran mempunyai daya guna dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, terutama dalam pemecahan masalah yang dihadapinya, ataukah suatu hasil yang sifatnya samar-samar sehingga tak banyak dan tak dapat diterapkan?; Ketiga, apakah hasil belajar yang diperoleh siswa tahan lama diingat dan mengendap dalam pikirannya serta cukup mempengaruhi perilaku dirinya, ataukah bersifat incidental masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan?; Keempat, apakah yakin

Menurut UNESCO dalam Iskandar (2009, 104-105), terdapat empat pilar belajar, yaitu:

1. “Learning to know” belajar untuk mengetahui.

2. “Learning to do” belajar untuk aktit, prinsip belajar learning to do bermakna “live long educational” kegiatan belajar sepanjang hidup. Dalam isalam kita kenal melalui sabda rasulullah S.A.W menyatakan “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat”. Makna disini adalah bahwa belajar merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia apabila ingin menjadi manusia seutuhnya melalui belajar aktif (active learning). Kegiatan belajar harus dilakukan secara sadar, terus menerus, dan aktif sehingga terjadi perubahan diri yang sesuai dengan tujuan pembelajaran.

3. “Learning to be” belajar untuk menjadi; makna dari learning to be adalah proses belajar yang dilakukan peserta didik (siswa, mahasiswa) menghasilkan perubahan perilaku individu atau masyarakat terdidik yang mandiri. Makna belajar disini bukan hanya menulis, menghafal, membaca tetapi melalui belajar seseorang mendapatkan jati diri dan kebahagiaan. Kegiatan belajar disini dimaksudkan untuk mendapat pengetahuan untuk berproduktifitas melalui kerja yang sesuai dengan kompetensi (kemampuan) yang kita miliki.

4. “Learning to live together” belajar untuk bersama-sama.

Menurut Bloom dalam Iskandar (2009, 105-106) menjabarkan bahwa, “Belajar merupakan suatu komponen ilmu pendidikan yang berkenaan dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat eksplisit maupun implicit (tersembunyi). Untuk menangkap isi dan pesan belajar, maka dalam belajar tersebut individu menggunakan kemampuan pada ranah-ranah:

1. Kognitif, yaitu kemampuan yang berkenaan dengan pengetahuan, penalaran atau pikiran terdiri dari kategori pengetahuan, pemahaman, penerapan, ana;isis, sisntesis dan evaluasi.

2. Afektif yaitu kemampuan yang mengutamakan perasaan, emosi dan reaksi-reaksi yang berbeda dengan penalaran yang terdiri dari kategori penerimaan, partisipasi, penilaian sikap, organisasi dan pembentukan pola hidup.

3. Psikomotorik, yaitu kemampuan yang mengutamakan keterampilan jasmani terdiri dari persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan dan kreatifitas.” Iskandar (2009:164) menjelaskan bahwa, “Pendidikan dan

pengajaran merupakan suatu proses yang sengaja dan sadar tujuan. Artinya proses belajar mengajar merupakan proses interaksi yang terikat, terarah pada tujuan, dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Tujuan pendidikan dan pengajaran diartikan sebagai suatu bentuk usaha untuk memberikan rumusan hasil yang diharapkan dari siswa sebagai subjek belajar, sehingga memberi arah kemana proses belajar mengajar itu harus dibawa dan dilaksanakan. Oleh karena itu, tujuan harus dirumuskan dan harus memiliki deskripsi yang jelas yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diinginkan.”

Masih memiliki keterkaitan dengan penjabaran yang terdahulu, Martinis dalam Iskandar (2009:173-174) menyatakan bahwa, “Ranah afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tujuan afektif terdiri dari yang paling sederhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai kepada yang kompleks yang merupakan factor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani. Dalam literature tujuan afektif disebut sebagai: minat, sikap hati, sikap menghargai, sistem nilai serta kecenderungan emosi.”

Menurut Bloom dalam Iskandar (2009:174-176), “Terdapat beberapa dimensi-dimensi afektif yang perlu diperhatikan siswa (peserta didik) dan guru (pendidik) dalam proses pembelajaran, sebagai berikut:

1. Sikap Penerimaan (receiving), ini merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku dengan cara membangkitkan kesadaran tentang adanya (stimulus) tertentu. Sikap penerimaan (receiving) dalam proses pembelajaran berhubungan dengan sikap atau perilaku membangkitkan, meningkatkan, dan mengarahkan perhatian siswa (peserta didik). Misalnya mendengar penuh perhatian, kesadaran akan pentingnya belajar.

2. Responsif (responding), adalah tanggapan (responding) yang merupakan reaksi aktif dari siswa (peserta didik) dan guru (pendidik) untuk berpartisipasi. Responsive atau tanggapan dalam proses pembelajaran dapat ditunjukkan bahwa siswa tidak saja memperhatikan tetapi secara aktif memberikan (respon) reaksi gejala tertentu dengan cara tertentu.

3. Penilaian (valuing), merupakan kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap kemauan untuk menerima suatu objek atau kenyataan setelah seseorang itu sadar bahwa objek tersebut mempunyai nilai atau kekuatan, dengan cara menyatakan dalam bentuk sikap atau perilaku positif atau negatif. Misalnya menghargai peranan teori dalam penelitian, memberi perhatian terhadap orang yang membutuhkan bantuan, menunjukkan komitmen atau kesungguhan terhadap pentingnya belajar.

4. Organisasi (organization), merupakan kemampuan siswa mengkonseptualisasi perbedaan nilai-nilai dan menyelesaikan konflik serta menyusun hubungan antar nilai-nilai tersebut. Disini ditekankan

menghubungkan, mengidentifikasi,

pada

membandingkan,

dan menyintesiskan kemudian memilih nilai-nilai yang terbaik untuk diterapkan.

menjeneralisasikan

5. Pembentukan karakter (characterization), merupakan kemampuan seseorang untuk menyikapi dan menghayati nilai-nilai yang mempengaruhi kepribadian, sehingga nilai-nilai tersebut dapat menjadi acuan, pedoman, dan panduan dalam kehidupan. Konsep ini dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, seperti; meyakini suatu konsep yang memiliki dasar ilmiah yang kuat, konsisten dan kerja keras dalam belajar.” Martinis dalam Iskandar (2009, 178-179) juga menjelaskan bahwa,

“Secara umum tujuan instruksional dibedakan menjadi dua, yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar pendidik, kata instruksional dapat juga diganti dengan kata pembelajaran, sebagai berikut:

1. Tujuan instruksional umum atau kompetensi dasar. Dalam bahasa asing biasa disebut goal, terminal objective, dan target objective. Tujuan terminal melukiskan hasil belajar utama dalam istilah perilaku yang semula disebut dalam tujuan umum. Lebih dari satu tujuan terminal diperlukan untuk mencapai tujuan umum.

2. Tujuan instruksional khusus atau indikator, yang dalam istilah asing dikenal dengan; enabling objectives, subordinate objectives, dan supportive objectives (tujuan memungkinkan, tujuan bawahan, tujuan penyangga). Tujuan penyangga melukiskan perilaku khusus (kegiatan tunggal atau langkah tunggal) yang harus dipelajari atau ditampilkan supaya tercapainya tujuan terminal.”