Kompetensi Pengadilan Agama

4. Kompetensi Pengadilan Agama

Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya guna menegakkan

hukum dan keadilan. 72 Dengan berlakunya Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, maka pembinaan Badan Peradilan Umum,

Badan Peradilan Agama, Badan Peradilan Militer dan Badan Peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. 73 Dalam salah

satu Pasal nya juga disebutkan bahwa “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang”. 74

Kata “kekuasaan” sering disebut kompetensi yang berasal dari bahasa Belanda “Competentie”. Kekuasaan atau kewenangan peradilan kaitannya adalah dengan hukum acara, menyangkut dua hal yaitu : “Kekuasaan Relatif” dan “Kekuasaan Absolut”. 75 Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan

Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001, h.111.

72 Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan asas yang sifatnya universal. Pelaksanaan kemandirian kekuasaan kehakiman dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu

kemandirian lembaganya, kemandirian proses peradilan, dan kemandirian hakim itu sendiri. Lihat Bambang Sutiyoso dan Puspita, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman, Yogyakarta: UII Press, 2005, h.25.

73 Penjelasan Atas Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, point 1.

74 Pasal 4 ayat 3, Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 75 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996,

h.137-140.

peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan yang sama. Misalnya antara Pengadilan Negeri Bogor dan Pengadilan Negeri Subang, keduanya sama- sama berada dalam lingkungan peradilan umum dan sama-sama Pengadilan

Tingkat Pertama. 76 Adapun kekuasaan absolut, adalah kekuasaan pengadilan yang

berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan sebagai contoh Pengadilan agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Begitu pula Pengadilan Agama yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung

berperkara ke Pangadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung. 77 Kekuasaan Absolut Peradilan Agama secara rinci disebutkan dalam

Pasal 49 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah di amandemen dengan UU No.3 Tahun 2006 yang berbunyi:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang

yang beragama Islam di bidang: 78

a. Perkawinan;

b. Kewarisan;

c. Wasiat;

d. Hibah;

e. Wakaf;

f. Zakat;

g. Infak;

h. Sedekah; dan

i. Ekonomi Syariah

H.A.Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, h.138. 77 Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama, Bandung: Mandar Maju, 2014,

h.36. 78 Himpunan Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Peradilan Agama dan

Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Graha Pustaka, t.t, h.56.

Dari ketentuan Pasal 49 di atas, bidang perkawinan yang menjadi kewenangan dan kekuasaan peradilan Agama adalah hal-hal yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yakni:

1. Izin beristri lebih dari seorang (Pasal 3 ayat 2)

2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat (Pasal 6 ayat 5)

3. Dispensasi Kawin (Pasal 7 ayat 2)

4. Pencegahan Perkawinan (Pasal 17 ayat 1)

5. Penolakan Perkawinan oleh PPN (Pasal 21 ayat 3)

6. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri (Pasal 34 Ayat 3)

7. Perceraian karena Talak (Pasal 39)

8. Gugatan Perceraian (Pasal 40 ayat 1)

9. 79 Penyelesaian Harta bersama (Pasal 37)

10. Ibu dapat memikul biaya penghidupan anak bila bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya. (Pasal 41 sub b)

11. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 sub c)

12. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak (Pasal 44 ayat 2)

13. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua (Pasal 49 ayat 1)

14. Penunjukan kekuasaan wali (Pasal 53 ayat 2)

15. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan Agama dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut (Pasal 53 ayat 2)

16. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh kedua orang tuanya.

17. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas anak yang ada dibawah kekuasaannya (Pasal 54)

18. Penetapan asal usul anak (Pasal 55 ayat 2)

19. Keputusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur (Pasal 60 ayat 3)

Mushtofa, Kepaniteraan Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005, h. 9-10.

20. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dijalankan menurut peraturan yang lain (Pasal 64)

21. Bidang kewarisan yang menjadi tugas dan wewenang Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 49 ayat (3) UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama sebagai berikut:

a. Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris;

b. Penentuan mengenai harta peninggalan;

c. Penentuan masing-masing ahli waris;

d. 80 Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

22. Pembatalan Perkawinan;

23. Wali adhal yaitu wali yang enggan atau menolak menikahkan anak perempuannya dengan pria pilihan anaknya itu. 81

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa perkara dispensasi merupakan kompetensi absolut Pengadilan Agama yang secara yuridis ketentuannya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.