Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
c. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan adalah suatu pernyataan yang dibuat oleh hakim sebagai pejabat negara yang telah diberikan wewenang untuk itu, yang diucapkan/dibacakan dalam suatu persidangan yang bertujuan untuk menyelesaikan atau mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang terjadi di
antara para pihak. 101 Idealnya, suatu putusan pada pokoknya haruslah mengandung “idee des recht” atau cita hukum yang meliputi unsur keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatan. Dalam memutuskan suatu perkara, hakim harus memberikan putusan secara objektif dengan selalu memunculkan suatu penemuan - penemuan hukum baru (recht vinding). Menurut Fathurrahman dalam bukunya Memahami keberadaan Mahkmah Konstitusi di Indonesia menerangkan beberapa asas yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam
beracara di persidangan, antara lain: 102
Ibid .,h.32. 101 Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1999,
h.175. 102 Fathurrahman, dkk, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, h.93-96.
1. Asas putusan final Putusan ini Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final (Pasal 10 Undang-Undang No 24 Tahun 2003);
2. Asas praduga rechtmatig Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan serta tidak berlaku surut. Pernyataan tidak berlaku surut mengandung makna bahwa sebelum putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan objek yang menjadi perkara masih tetap sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
3. Asas pembuktian bebas Hakim konstitusi dalam melakukan pemeriksaan menganut asas pembuktian bebas (vrij bewij). Asas ini diadopsi sepenuhnya dalam Mahkamah Konstitusi, untuk memberikan peluang kepada Hakim Konstitusi untuk mencari kebenaran materil melalui pembuktian bebas. Dengan demikian Hakim Konstitusi dapat leluasa untuk menentukan alat bukti, termasuk alat bukti yang tergolong baru, dikenal dalam kelaziman hukum acara, misalnya alat bukti berupa rekaman video kaset.
4. Asas keaktifan hakim
5. Asas putusan memiliki kekuatan hukum mengikat Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang mengikat para pihak dan harus diikuti oleh siapapun.
Asas ini tercermin adanya ketentuan yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang- undangan mengatur lain. Ketentuan ini mencerminkan pula kekuatan hukum mengikat dan karena sifatnya hukum publik, maka berlaku pada siapa saja tidak hanya para pihak yang berperkara saja.
6. Asas non-interfentif/independent Kekuasaan kehakiman merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung yang bermaksud mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan.
7. Asas peradilan dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan
Sederhana adalah hukum acara yang paling mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Dengan demikian, maka peradilan akan berjalan dengan waktu yang relatif cepat.
8. Asas sidang terbuka untuk umum Asas ini membawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila di ucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
9. Asas objektifitas Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri apabila terdapat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat, atau penasihat hukum atau antara hakim dan 9. Asas objektifitas Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri apabila terdapat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat, atau penasihat hukum atau antara hakim dan
10. Asas sosialisasi Hasil keputusan wajib diumumkan dan dilaporkan secara berkala kepada masyarakat secara terbuka. Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang- undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declatoir constitutief. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative- legislator. Sebagai negative legislator, Mahkamah Konstitusi boleh jadi mengabulkan permohonan pemohon atau menolaknya. Akan tetapi, juga ada kemungkinan bahwa permohonan tersebut dinyatakan tidak diterima karena
tidak memenuhi syarat formal yang diharuskan. 103 Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Hal ini merupakan konsekuensi dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang ditentukan oleh UUD RI 1945. Dengan demikian setelah putusan dibacakan, Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak
dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak putusan diucapkan. 104
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, h.208-209.
104 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi: Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif , Jakarta: Pradya Paramita, 2006, h.259.