Program immunisasi Hepatitis B

bereaksi dengan vaksin BCG, polio dan DPT.Cara pembuatan vaksin DNA rekombinan yang sedang dikembangkan ialah dengan memasukkan gen hepatitis B ke dalam virus besar, yakni virus Vaccinia atau vaksin cacar. Uji coba klinik sedang dikerjakan untuk menentukan keamanan dan efektivitas vaksin ini. Bila berhasil, maka biaya pembuatan vaksin bisa diturunkan lagi.vBila vaksin disuntikkan, tubuh akan membentuk anti-HBs.v.Satu seri vaksinasi yang tepat dapat membentuk antibodi yang cukup pada 95 orang sehat. Respons pembentukan antibody berkurang pada usia lebih tua dan adanya gangguan daya tahan tubuh. Pada bayi dan anak respons umumnya sangat baik dan menghasilkan kadar antibodi yang tinggi walaupun dengan dosis yang lebih rendah dari orang dewasa. Berapa lama antibody dapat bertahan dalam tubuh belum diketahui dengan pasti, tapi diperkirakan lebih dari 5 tahun. Perlindungan dalam 5 tahun pertama kehidupan sudah cukup baik untuk mengurangi jumlah pengidap kronik, sekalipun booster tidak diberikan. Dosis yang dianjurkan berbeda sesuai dengan jenis vaksin.Suntikan sebaiknya diberikan ke dalam otot deltoid pada orang dewasa dan ke dalam otot pada bayi dan anak. Suntikan di pantat gluteus tidak dianjurkankarena terbukti mengakibatkan respons antibodi yang rendah. Berbagai percobaan memberikan suntikan secara intradermal menunjukkan bahwa dengan dosis 110 dapat diperoleh respons yang cukup baik. Suntikan intradermal secara teknis lebih sulit dan memerlukan latihan khusus untuk petugas. Di negara maju, seorang yang mengalami kontak dengan VHB diberikan imunoglobulin HVB HBIG. HBIG diperoleh dari pemurnian plasma yang mengandung anti–HBs dalam kadar tinggi. Antibodi ini memberi perlindungan segera namun cepat hilang dari peredanan danah. Kombinasi HBIG dan vaksin hepatitis B yang diberikan kepada bayi dan ibu pengidap HBeAg akan memberikan perlindungan sampai 90 pada bayi. Pemberian vaksin semata memberikan perlindungan sebesar 70–9017. Karena mahalnya HBIG dan sifatnya yang tidak tahan panas, sebagian besanneganaberkembang tidak dapat menggunakannya dan hanya memberikan vaksin.

2.1.7.1 Program immunisasi Hepatitis B

Tujuan utama ialah pencegahan hepatitis kronik, sirosis dan karsinoma hepatoseluler melalui pencegahan terjadinya pengidap kronik. Terjadinya infeksi hepatitis dan serangan hepatitis klinis akut tidak begitu penting dari sudut kesehatan masyarakat. Di negara dengan endemisitas Universitas Sumatera Utara hepatitis B sedang dan tinggi seperti di Indonesia bayi dan anak harus menjadi sasaran program imunisasi karena mempunyai risiko terbesar untuk menjadi pengidap kronik bila terinfeksi. Bila dana cukup, program imunisasi untuk penduduk dewasa yang termasuk kelompok risiko tinggi dapat dipertimbangkan. Yang termasuk kelompok risiko tinggi ialah antara lain pemakai obat bius suntikan, pria homoseksual, pasien hemodialisa, orang yang sering beganti partner seks, petugas kesehatan yang banyak berhubungan dengan darah dan cairan tubuh. Untuk mencegah penularan pada bayi dan anak ada dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah pencegahan penularan vertikal dengan memberikan imunisasi kepada semua bayi yang dilahirkan ibu HBsAg positif, khususnya yang HBeAg positif. Pendekatan kedua adalah pencegahan penularan horisontal, yakni memberikan imunisasi kepada semua bayi dan anak yang masih rentan terhadap infeksi VHB. Pendekatan pertama adalah tepat untuk negara dengan penularan vertikal sebagai cara penularan utama, dan sebagian besar ibu bersalin ditolong rumah sakit, misalnya di Jepang dan Taiwan. Di daerah atau negara dengan penularan horizontal juga penting seperti di Indonesia dan Singapura, imunisasi atas bayi-bayi yang dilahirkan ibu HBsAg positif saja belum cukup untuk menurunkan pengidap kronik secara bermakna, maka pendekatan kedua dimana semua bayi mendapat imunisasi tanpa melakukan skrining pada ibu adalah lebih tepat. Program imunisasi hepatitis B semacam ini sebaiknya diintegrasikan dengan program imunisasi EPI yang ada. Proyek di Lombok menunjukkan bahwa pemberian imunisasi hepatitis B dapat diintegrasikan dalam program EPI.Suatu studi lain yang menunjukkan kemungkinan diintegrasikannya vaksinasi hepatitis B dengan EPI telah dilaksanakan di Gambia.Indonesia akan membutuhkan sekitar 15 juta dosis vaksin per tahun bila vaksinasi hepatitis B dimasukkan dalam EPI. Menurut pusat penelitian penyakit menular,badan penelitian dan pengembangan kesehatan departemen kesehatan RI,Jakarta,bahwa Indonesia telah melaksanakan program Immunisasi Hepatitis B sejak tahun 1987 di Lombok dan kebijaksanaan ini diteruskan ke beberapa propinsi lain, yaitu tahun 1991 dimulai secara bertahap di empat propinsi,tahun 1992 diperluas menjadi sepuluh propinsi, dan pada tahun 1997 untuk dua puluh tujuh propinsi harus sudah melaksanakan Universitas Sumatera Utara vaksinasi hepatitis B.Bila program vaksinasi berhasil,diharapkan pada tahun 2015 satu generasi kemudian hepatitis B bisa dibanteras dan bukan merupakan persoalan kesehatan masyarakat lagi.UNIDO-WHO-UNICEF menganjurkan,untuk Negara dengan jumlah pendudk lebih dari 50 juta supaya memproduksi sendiri vaksin yang diperlukan.Indonesia dengan pendudk lebih dari 180 juta dan prevalensi HBsAg antara 8-20 harus mepersiapkan diri untuk memproduksi sendiri vaksin hepatitis B. Tabel 2.2.Jadual immunisasi bayi yang dilahirkan di rumah sakit. Kontak Antigen Umur I Hep B 1,BCG II Hep B 2,DPT1,Polio 1 III DPT2,Polio 2 IV DPT3,Polio 3 V Hep B 3 campak VI campak 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 7 bulan 9 bulan Tabel 2.3.Jadual immunisasi bayi di posyandupuskesmas Kontak Antigen Umur I BCG,Polio 1,DPT1 II Hep B 1,Polio 2,DPT2 III Hep B 2,Polio 3,DPT3 IV Hep B 3,campak 2 bulan 3 bulan 4 bulan 9 bulan Universitas Sumatera Utara 2.1.8.Gejala klinis dan diagnosa Hepatitis B pada manusia Diagnosis infeksi hepatitis B kronis didasarkan pada pemeriksaan serologi, petanda virologi, biokimiawi dan histologi. Secara serologi pemeriksaan yang dianjurkan untuk diagnosis dan evaluasi infeksi hepatitis B kronis adalah : HBsAg, HBeAg, anti HBe dan HBV DNA.Adanya HBsAg dalam serum merupakan petanda serologis infeksi hepatitis B. Titer HBsAg yang masih positif lebih dari 6 bulan menunjukkan infeksi hepatitis kronis. Munculnya antibodi terhadap HBsAg anti HBs menunjukkan imunitas dan atau penyembuhan proses infeksi. Adanya HBeAg dalam serum mengindikasikan adanya replikasi aktif virus di dalam hepatosit. Titer HBeAg berkorelasi dengan kadar HBV DNA. Namun tidak adanya HBeAg negatif bukan berarti tidak adanya replikasi virus.keadaan ini dapat dijumpai pada penderita terinfeksi HBV yang mengalami mutasi precore atau core mutant. Tabel 2.4.definisi criteria dan diagnosis penyakit Hepatitis B. Keadaan Definisi Kriteria Diagnostik Hepatitis B kronis Proses nekro-inflamasi kronis hati disebabkan oleh infeksi persisten virus hepatitis B. Dapat dibagi menjadi hepatitis B kronis dengan HBeAg + dan HBeAg - 1.HBsAg + 6 bulan 2.HBV DNA serum 1000000copiesml 3.Peningkatan kadar ALTAST secara berkalapersisten 4.Biopsi hati menun- jukkan hepatitis kro- nis skor nekro- inflamasi 4 Universitas Sumatera Utara Carrier HBsAg inaktif Infeksi virus hepatitis B persisten tanpa disertai proses nekro-inflamasi yang signifikan 1.HBsAg + 6 bulan 2.HBeAg - , anti HBe + 3.HBV DNA serum 1000000 copiesml 4.Kadar ALTAST normal 5.Biopsi hati menunjukkan tidak adanya hepatitis yang signifikan skor nekro- inflamasi 4 Tabel 2.5.evaluasi untuk pasien Hepatitis B Parameter Keterangan Evaluasi awal 1.Anamnesis dan pemeriksaan fisik 2.Pemeriksaan laboratorium untuk menilai penyakit hati : darah rutin dan fungsi hati 3.Pemeriksaan replikasi virus : HBeAg, anti HBe dan HBV DNA 4.Pemeriksaan untuk menyisihkan penyakit hati lainnya : anti HCV, anti HDV khususnya pengguna narkoba injeksi, atau daerah endemis 5.Skrining karsinoma hepatoselular : kadar alfa feto protein dan ultrasonografi 6.Biopsi hati pada pasien yang memenuhi kriteria hepatitis B kronis Universitas Sumatera Utara Follow up pasien yang belum diterapi Pasien HBeAg positif dan HBV DNA 1000000 copiesml dan kadar ALT normal : 1.Pemeriksaan ALT setiap 3 6 bulan 2.Bila ALT 1-2 x BANN, periksa ulang setiap 1-3 bulan 3.Bila ALT 2 x BANN selama 3-6 bulan, pertimbangkan biopsi dan terapi 4.Pertimbangkan untuk skrining karsinoma hepatoselular Pasien carrier HBsAg inaktif : 1.Pemeriksaan ALT setiap 6 12 bulan 2.Bila ALT 1-2 x BANN, periksa HBV DNA dan singkirkan penyebab penyakit hati lainnya 3.Pertimbangkan untuk skrining karsinoma hepatoselular Salah satu pemeriksaan biokimiawi yang penting untuk menentukan keputusan terapi adalah kadar ALT. Peningkatan kadar ALT menggambarkan adanya aktifitas nekroinflamasi. Oleh karena itu pemeriksaan ini dipertimbangkan sebagai prediksi gambaran histologi. Pasien dengan Universitas Sumatera Utara kadar ALT yang meningkat menunjukkan proses nekroinflamasi lebih berat dibandingkan pada ALT yang normal. Pasien dengan kadar ALT normal memiliki respon serologi yang kurang baik pada terapi antiviral. Oleh sebab itu pasien dengan kadar ALT normal dipertimbangkan untuk tidak diterapi, kecuali bila hasil pemeriksaan histologi menunjukkan proses nekroinflamasi aktif. Tujuan pemeriksaan histologi adalah untuk menilai tingkat kerusakan hati, menyisihkan diagnosis penyakit hati lain, prognosis dan menentukan manajemen anti viral. Ukuran spesimen biopsi yang representatif adalah 1-3 cm ukuran panjang dan 1,2-2 mm ukuran diameter baik menggunakan jarum Menghini atau Tru-cut. Salah satu metode penilaian biopsi yang sering digunakan adalah dengan Histologic Activity Index score. Pada setiap pasien dengan infeksi HBV perlu dilakukan evaluasi awal Pada pasien dengan HBeAg positif dan HBV DNA 1000000 copiesml dan kadar ALT normal yang belum mendapatkan terapi antiviral perlu dilakukan pemeriksaan ALT berkala dan skrining terhadap risiko KHS, jika perlu dilakukan biopsi hati. Sedangkan bagi pasien dengan keadaan carrier HBsAg inaktif perlu dilakukan pemantauan kadar ALT dan HBV DNA.

2.2 Pengetahuan