yang terdiri dari individu-individu. Individu-individu yang memimpin organisasi dan kekuasaan inilah yang disebut sebagai pemerintah. Pemerintah yang
dimaksud adalah pemerintah yang berdaulat, mampu menguasai organ-organ pemerintahan secara efektif dan memelihara ketertiban dan stabilitas dalam negara
yang bersangkutan.
26
Pemerintah sebagai salah satu karakteristik yang dituntut oleh hukum internasional merupakan salah satu syarat penting bagi eksistensi suatu negara.
Eksistensi pemerintahan yang efektif sangat penting mengingat hukum internasional
akan membebankan
hak-hak dan
kewajiban-kewajiban internasionalnya pada pemerintahan suatu negara.
27
Oleh sebab itu, memiliki pemerintahan yang efektif merupakan salah satu syarat bagi sebuah entitas untuk
dikatakan sebagai negara. Bagi hukum internasional suatu wilayah yang tidak mempunyai pemerintahan tidak dianggap sebagai suatu negara.
28
iv. Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain
capacity to enter into relations with other states
Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain merupakan wujud dari kedaulatan. Suatu negara yang merdeka, tidak berada di bawah kedaulatan
negara lain akan mampu melakukan hubungan dengan orang lain.
29
Sehingga negara yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan luar negeri
atau hubungan dengan negara lain, dapat dikatakan bahwa negara tersebut tidak merdeka.
26
Sefriani, Op.Cit, hlm. 106.
27
Martin Dixon, Op.Cit, hlm. 101.
28
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit, hlm. 109.
29
Sefriani, Op.Cit., hlm. 106.
Sesuai dengan konsepsi internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek utama, yaitu:
30
a Aspek internal, terkait dengan kebebasan setiap negara untuk secara bebas
menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau kelompok- kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari negara lain.
b Aspek internal, dengan hak atau wewenang eksklusif suatu negara untuk
menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya disertai tindakan-
tindakan untuk menegakkannya. c
Aspek teritorial, adalah kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah
tersebut. Kelebihan negara sebagai subjek hukum internasional dibandingkan dengan
subjek hukum internasional yang lainnya adalah negara memiliki “kedaulatan”. Kedaulatan merupakan suatu kebulatan dan keutuhan yang tidak dapat dipecah-
pecah dan dibagi-bagi serta tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain, atau dengan singkat dapat disebut sebagai kekuasaan tertinggi.
31
Dengan demikian, fungsi kedaulatan tersebut untuk sisi intern adalah negara berhak mengatur
masalah pribadi negaranya sendiri yang ada di dalam dan sisi ekstern adalah kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan negara lain
atau dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya. Wujud nyata dari sisi intern kedaulatan tersebut dapat kita lihat dari bentuk negara dan bentuk
pemerintahannya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Hal ini
30
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit, hlm. 110-111.
31
Sefriani, Op.Cit., hlm. 106.
menandakan setiap negara berhak menentukan sendiri bentuk negara dan pemerintahannya intern.
b. Kelompok Pemberontak Belligerent
Kelompok pemberontak belligerency adalah kelompok atau kaum pemberontak yang yang sudah mencapai tingkatan yang lebih kuat dan mapan, baik secara
politik, organisasi dan militer, sehingga tampak sebagai satu kesatuan politik yang mandiri. Kemandirian kelompok semacam ini tidak hanya ke dalam tetapi juga
keluar. Maksudnya adalah bahwa dalam batas-batas tertentu dia sudah mampu menampakkan diri pada tingkat internasional atas keberadaannya sendiri.
32
Kelompok pemberontak pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam
negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun, apabila pemberontakan
tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat- akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu
sikap yang dapat diambil adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan
dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut
pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional. Terhadap kelompok ini yang perlu
diberlakukan adalah hukum nasional dari negara yang bersangkutan. Hukum
32
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006, hlm. 125.
internasional tidak mengaturnya kecuali hanya melarang negara lain untuk melakukan intervensi tanpa persetujuan negara yang bersangkutan.
Dalam hukum internasional, mengenai syarat-syarat sehingga dapat dikatakan
sebagai kelompok pemberontak, secara tersirat tertuang dalam Konvensi Den Haag IV 1907 Tentang Aturan Perang di Darat, yaitu:
The laws, rights, and duties of war apply not only to armies, but also to militia and volunteer corps fulfilling the following conditions:
a To be commanded by a person responsible for his subordinates;
b To have a fixed distinctive emblem recognizable at a distance;
c To carry arms openly; and
d To conduct their operations in accordance with the laws and customs of
war. In countries where militia or volunteer corps constitute the army, or form part of
it, they are included under the denomination army.
33
Pada ketentuan tersebut disebutkan bahwa, peraturan mengenai hak dan kewajiban perang bukan hanya berlaku pada tentara perang tetapi juga pada wajib
militer dan sukarelawan orang-orang yang melakukan aksi militer, yang memiliki kriteria yaitu:
i. memiliki pemimpin yang bertanggungjawab terhadap bawahannya;
ii. memliki lambang khusus yang dapat dilihat dari jauh;
iii. membawa senjata secara terbuka terang-terangan; dan
iv. melaksanakan operasi berdasarkan hukum dan kode etis perang. Mengenai
syarat-syarat sebagai kelompok pemberontak belligerent tersebut pun, dirumuskan oleh Hurwitz
dalam “The Diplomatic Year Book”, yaitu:
34
33
Laws and Customs of War on Land Den Hague Convention IV 1907, Annex to the Convention Regulations Respecting The Laws And Customs Of War On Land Section I, Chapter
I, Article 1.
a Harus diorganisir secara teratur di bawah pimpinan yang
bertanggung jawab b
Harus memakai tanda-tanda yang jelas dapat dilihat c
Harus membawa senjata secara terang-terangan d
Harus mengindahkan cara-cara peperangan yang lazim Apabila para pemberontak belum dapat memenuhi syarat-syarat tersebut, maka
para pemberontak tersebut baru berada pada taraf ribeli ribellion.
35
Berkaitan dengan aktifitas bersenjata tersebut, diatur pula ketentuan mengenai pihak-pihak
yang melakukan aktifitas bersenjata yang terdapat dalam Protokol Tambahan II 1977 mengenai sengketa bersenjata non-internasional. Dalam Protokol Tambahan
II tahun 1977 pasal 1 ayat 1 menetapkan unsur-unsur pengertian sengketa bersenjata non-internasional. Sengketa bersenjata non-internasional adalah
sengketa yang memenuhi persyaratan unsur-unsur positif dan persyaratan unsure- unsur negative. Persyaratan unsur-unsur positfnya ialah bahwa sengketa
bersenjata itu adalah sengketa yang: 1
Bertempat di wilayah pihak peserta agung. 2
Terjadi antara angkatan bersenjata pihak peserta agung dengan angkatan bersenjata pembelot atau kelompok bersenjata terorganisir lain yang berada di
bawah komando yang bertanggungjawab. 3
Menguasai sebagian wilayah Negara hingga memungkinkan mereka melakukan operasi militer berlanjut dan terorganisir.
4 Melaksanakan ketentuan protokol ini.
34
Dikutip dari Abdul Muthalib, Op.Cit., hlm. 45.
35
Ibid.