Analisis Pengaruh Slice Thickness Terhadap Citra CT Scan Dengan Kasus Sinus Paranasal Pengguna Gigi Palsu Implan
ANALISIS PENGARUH
SLICE THICKNESS
TERHADAP CITRA
CT SCAN DENGAN KASUS
SINUS PARANASAL
PENGGUNA GIGI PALSU IMPLAN
SKRIPSI
SRITUTI SINAGA
NIM : 130821008
DEPERTEMEN FISIKA
JURUSAN FISIKA MEDIK
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
(2)
ANALISIS PENGARUH
SLICE THICKNESS
TERHADAP CITRA
CT SCAN DENGAN KASUS
SINUS PARANASAL
PENGGUNA GIGI PALSU IMPLAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
SRITUTI SINAGA
NIM : 130821008
DEPERTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
(3)
PERSETUJUAN
Judul : Analisis Pengaruh Slice Thickness Terhadap Citra CT Scan Dengan Kasus Sinus Paranasal Pengguna Gigi Palsu Implan
Kategori : Skripsi
Nama : Srituti Sinaga
Nim : 130821008
Program Studi : Sarjana (S1) Fisika Medis Depertemen : Fisika
Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Disetujui di Medan, 31 Agustus 2015
Komisi Pembimbing
Pembimbing II Pembimbing I
Josepa ND Simanjuntak, M.Si Drs. Herli Ginting, M.S
NIP. 197703192006042001 NIP.195505191960110001
Disetujui Oleh
Departemen Fisika FMIPA USU Ketua,
Dr.Marhaposan Situmorang NIP: 195510301980031003
(4)
LEMBARAN PENGESAHAN JUDUL
ANALISIS PENGARUH
SLICE THICKNESS
TERHADAP CITRA
CT SCAN DENGAN KASUS
SINUS PARANASAL
PENGGUNA GIGI PALSU IMPLAN
Disetujui oleh : Pembimbing I
(
NIP.195505191960110001 Drs. Herli Ginting, M.S)
Pembimbing II
(
NIP.197703192006042001 Josepa ND Simanjuntak, M.Si)
Disahkan oleh :
Ketua Departemen Fisika FMIP USU
NIP.195510301980031003 (Dr. Marhaposan Situmorang)
(5)
PERNYATAAN
Analisis Pengaruh Slice Thickness Terhadap Citra CT Scan Dengan Kasus Sinus Paranasal Pengguna Gigi Palsu Implan
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa Skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan,
Srituti Sinaga 130821008
(6)
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah swt sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “ANALISIS PENGARUH SLICE THICKNESS TERHADAP CITRA CT SCAN DENGAN KASUS SINUS PARANASAL PENGGUNA GIGI PALSU IMPLAN”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan S-1 Fisika pada program Studi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.
Selama penyusunan skripsi ini Penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak, Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Dr. Sutarman,MSc.
2. Bapak DR. Marhaposan Situmorang selaku kepala jurusan Fisika Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Herli Ginting M.Si dan Ibu Josepa ND Simanjuntak, M.Si selaku pembimbing utama yang selalu membantu saya disetiap kesulitan yang saya hadapi dalam menyempurnakan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen/Staf pengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara.
5. Ayahanda Ahad Sinaga, Ibunda Saamah,dan Suami saya Fadli Karo Karo yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan, semangat dan bantuan baik dalam bentuk moril maupun material dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga buat kedua anak saya yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada saya.
6. Kepada teman saya Saudari Hotromasari Dabukke dan Hediana Sihombing .
7. Kebersamaan seluruh teman teman seperjuangan di Fisika Ekstensi Angkatan 2013.
8. Seluruh Radiolog, teman teman Radiografer dan Staf Radiologi di RS Pirngadi Medan.
(7)
ii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangatlah diharapkan demi penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya hanya pada Tuhan Yang Maha Esa kita kembalikan segala harapan kita dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
Terima kasih.
Medan………. Penulis
Srituti Sinaga Nim : 130821008
(8)
iii
ABSTRAK
Artefak adalah suatu gangguan pada tampilan citra CT Scan. Telah dilakukan suatu penelitian tentang analisis pengaruh slice thickness terhadap citra CT Scan dengan kasus sinus paranasal pengguna gigi palsu implan. Slice thickness yang digunakan adalah 1,3,5,dan 7 mm. Penelitian dilakukan di Unit Radiologi Rumah Sakit Pirngadi Medan. Dari hasil penelitian di dapat bahwa slice thickness 1mm yaitu 3,18D diperoleh gambaran artefak semakin besar, slice thickness 7 mm yaitu 2,54D diperoleh gambaran artefak semakin berkurang (sedikit ) dan ukuran slice thickness 7 mm akan menghasilkan gambaran citra CT Scan sinus paranasal dengan detail yang rendah, sedangkan ukuran slice thickness 1 mm akan menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi.
Kata Kunci : Artefak, slice thickness, gigi implan, CT Scan sinus paranasal, tingkat ketajaman
(9)
iv
ABSTRACT
Artifacts is a disturbance in the image display CT Scan . Has conducted a study on the analysis of effect image slice thickness CT Scan with cases of paranasal sinus users dentures implan. Slice thickness used is 1, 3, 5 and 7 mm. The riset in Radiology Pirngadi Hospital Medan. The results of research that the slice thickness of 1mm is 3,18D obtained a description of the larger artifacts, slice thickness 7 mm is 2,54D obtained a description of the artifacts on the wane ( a little ) and the size of the slice thickness 7 mm produced a picture image with a CT Scan of the paranasal sinuses low detail, while the size of the slice thickness of 1 mm will produce a picture with high detail.
Keywords : Artifacts, slice thickness, implan, CT Scan of dental the paranasal sinuses, sharpness
(10)
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR ISTILAH ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Batasan Masalah ... 3
1.4 Tujuan Penelitian... 3
1.5 Manfaat Penelitian... 4
1.6 Sistematika Penulisan ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Gigi dan Komponennya ... 5
2.1.1 Komponen-Komponen Gigi ... 6
2.1.2 Material Gigi Palsu ... 7
2.1.3 Jenis–Jenis Gigi Palsu Lepasan ... 7
2.1.4 Gigi Palsu Cekat (Permanen) ... 9
2.1.4.1 Bahan gigi mplant ... 11
2.1.4.2 Bagian-bagian gigi Implan ... 12
2.2 Sinus paranasal ... 13
2.2.1 Fungsi Sinus Paranasal ... 14
2.3 Gambar CT-Scan sinus maksila ... 14
2.4 Artefak Pada Citra CT Scan ... 15
(11)
vi
2.6 Prinsip Kerja CT Scan ... 17
2.6.1 Pemrosesan data ... 18
2.7 Densitas ... 18
2.8 Densitometer ... 21
2.9 Densitometer ... 22
2.9.1 Diagram Blok ... 22
2.9.2 Prinsip kerja Densitometer ... 23
BAB III METODELOGI PENELITIAN ... 24
3.1 Tempat Penelitian ... 24
3.2 Alat Dan Bahan Penelitian ... 24
3.3 Prosedur Penelitian Pemeriksaan CT Sinus Paranasal ... 26
3.4 Prosedur pengukuran film CT Scan dengan alat densitometer 28 3.5 Flow Chart Penelitian ... 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
5.1 Kesimpulan... 40
5.2 Saran ... 40
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(12)
vii
DAFTAR TABEL
Halamam Tabel 4.1. Hasil Pengukuran Densitas Pada Daerah Titik pengukuran citra
dan Variasi Slice Thickness ... 32 Tabel 4.2. Hasil Rata-Rata Pengukuran Densitas Pada Setiap Perubahan
Slice Thickness ... 33 Tabel 4.3. Nilai Rata Rata Densitas Daerah Pengukuran Titik Kanan Atas 34 Tabel 4.4. Nilai Rata Rata Densitas Daerah Pengukuran Titik Kanan
Bawah ... 35 Tabel 4.5. Nilai Rata Rata Densitas Daerah Pengukuran Titik Kiri Atas .... 36 Tabel 4.6. Nilai Rata Rata Densitas Daerah Pengukuran Titik Kiri Bawah 37 Tabel 4.7 Nilai Rata Rata Densitas keempat titik variasi dengan Slice
(13)
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Diagram Potongan Sagital Gigi Molar Pertama Bawah (Fawcett,
2002) ... 5
Gambar 2.2 Gigi Partial Akrilik, Free End Akrilik, dan Full Denture Akrilik (www.drjoygraham.com) ... 8
Gambar 2.3 Kerangka Logam 8 Gambar 2.4 Jenis valplast (http:dentaluniverseindonesia.com/index.php/ article/ 68-valplast-gigi tiruan-lepasan) ... 9
Gambar 2.5 Jenis gigi Palsu Crown Porselen, Mahkota Pals 9 Gambar 2.6 Gigi Tiruan Jembatan ... 10
Gambar 2.7 Dental Implan (http://clinicariosruiz.com/service/ implantologia)... 11
Gambar 2.8 CT-Scan sinus yang bersih dan yang tersumbat (Sumber: Metson Ralph B, Steven Mardon. Populer. 2006)... 14
Gambar 2.9 Bagan Prinsip Kerja CT Scanner ... 17
Gambar 2.10 Collimator dan Detektor ... 18
Gambar 2.11 Proses Pembentukan Citra ... 18
Gambar 2.12 Skema pembentukan nilai densitas (Sumber : Radiographic Photography and Imaging Prosecesses, David Jenkins). ... 22
Gambar 2.13 Diagram Blok Densitometer ... 23
Gambar 2.14 Densitometer Tampak Dari Depan ... 23
Gambar 3.1 CT Scan 64 Slice Pirngadi Medan ... 24
Gambar 3.2 Monitor CT Scan ... 25
Gambar 3.3 Laser imager/printer ... 25
Gambar 3.4 Illuminator ... 25
Gambar 3.5 Densitometer ... 26
Gambar 3.6 Potongan Axial ... 27
Gambar 3.7 Potongan Coronal ... 27
(14)
ix
Gambar 3.9 Diagram Penelitian ... 30 Gambar 4.1 Hasil citra CT Scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu
implan dengan variasi Slice Thickness 1 mm, 3 mm, 5 mm dan 7 mm. ... 31 Gambar 4.2 Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Nilai Densitas Daerah
Pengukuran Titik Kanan Atas ... 34 Gambar 4.3. Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Densitas Daerah
Pengukuran Titik Kanan Bawah ... 35 Gambar 4.4. Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Nilai Densitas Daerah
Pengukuran Titik Kiri Atas ... 36 Gambar 4.5 Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Densitas Daerah
Pengukuran Titik Kiri Bawah ... 37 Gambar 4.6 Grafik Nilai Rata Rata Densitas Keempat Titik Variasi
(15)
x
DAFTAR ISTILAH
Abutment : Protesa gigi yang diletakkan pada permukaan abutmen dengan sementasi (sekrup) sebagai pengganti mahkota gigi dan terbuat dari porselen
Alveoulus : Struktur anatomi yang memiliki bentuk berongga Artefak : Suatu gangguan pada tampilan citra ct scan Axial : Potongan gambaran transversal
Coronal : Potongan dari depan
CT Number : Nilai koefisien sinar x yang ditentukan oleh energi rata-rata sinar x dan nomor atom penyerap, hal ini dinyatakan dengan koefisien atenuasi
CT Scan : Pemeriksaan penunjang medis dengan menggunakan sinar x dengan bantuan operator yang handal dapat memeriksa jaringan tubuh yang diinginkan sesuai dengan kebutuhan pasien dan dokter
Dentin : Zat antara email (zat mahkota)atau semen (zat di akar) Email : Substansi paling keras ditubuh ia berwarna putih
kebiruan
Faktor ekspose : Faktor faktor yang berpengaruh terhadap eksposi
Field of view : Diameter maximal dari gambaran yang akan direkonstruksi
Gantry tilt : Komponen pesawat ct scan yang di dalamnya terdapat tabung sinar x, filter, detektor, DAS serta lampu indikator untuk sentrasi
Gingival : Suatu jaringan lunak yang terdapat pada rongga mulut Healing Cup : Komponen berbentuk kubah yang ditempatkan pada
permukaan implan dan sebelum penempatan implan abutment
Lateral : Gambaran dari samping
Maksilla : Rahang Atas
(16)
xi
Nasal : Hidung
Noise : Fluktuasi (Standart Deviasi) nilai CT Number pada jaringan atau materi yang homogen
Pulpa : Bagian yang lunak dari gigi Pixel : Titik titik kecil gambaran
Range : Perpaduan atau kombinasi dari beberapa slice thickness dengan ketebalan irisan berbeda
Sagital : Potongan dari samping kiri ke kanan atau sebaliknya. Sinus Ethmoidalis : Tiga sinus pada setiap sisi di daerah kecil diatas hidung
diantara mata
Sinus Frontalis : Dua rongga berisi udara yang terletak di belakang dahi sebelah tengah bawah
Sinus Maxillaris : Dua rongga berisi udara yang terletak dalam tulang wajah di bagian pipi
Sinus Paranasal : Rongga pada tulang yang berada pada daerah hidung. Sinus Sphenodalis : Sinus yang terletak di belakang tulang ethmoidalis Slice thickness : Tebal irisan atau potongan dari objek yang diperiksa Spatial Resolusi : Kemampuan untuk dapat membedakan objek/organ yang
berukuran kecil
Volume investigasi : Keseluruhan lapangan dari objek yang di periksa
(17)
iii
ABSTRAK
Artefak adalah suatu gangguan pada tampilan citra CT Scan. Telah dilakukan suatu penelitian tentang analisis pengaruh slice thickness terhadap citra CT Scan dengan kasus sinus paranasal pengguna gigi palsu implan. Slice thickness yang digunakan adalah 1,3,5,dan 7 mm. Penelitian dilakukan di Unit Radiologi Rumah Sakit Pirngadi Medan. Dari hasil penelitian di dapat bahwa slice thickness 1mm yaitu 3,18D diperoleh gambaran artefak semakin besar, slice thickness 7 mm yaitu 2,54D diperoleh gambaran artefak semakin berkurang (sedikit ) dan ukuran slice thickness 7 mm akan menghasilkan gambaran citra CT Scan sinus paranasal dengan detail yang rendah, sedangkan ukuran slice thickness 1 mm akan menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi.
Kata Kunci : Artefak, slice thickness, gigi implan, CT Scan sinus paranasal, tingkat ketajaman
(18)
iv
ABSTRACT
Artifacts is a disturbance in the image display CT Scan . Has conducted a study on the analysis of effect image slice thickness CT Scan with cases of paranasal sinus users dentures implan. Slice thickness used is 1, 3, 5 and 7 mm. The riset in Radiology Pirngadi Hospital Medan. The results of research that the slice thickness of 1mm is 3,18D obtained a description of the larger artifacts, slice thickness 7 mm is 2,54D obtained a description of the artifacts on the wane ( a little ) and the size of the slice thickness 7 mm produced a picture image with a CT Scan of the paranasal sinuses low detail, while the size of the slice thickness of 1 mm will produce a picture with high detail.
Keywords : Artifacts, slice thickness, implan, CT Scan of dental the paranasal sinuses, sharpness
(19)
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sinus paranasal merupakan sinus atau rongga pada tulang berada sekitar
nasal atau
berhubungan dengan rongga hidung. Ruangan-ruangan udara tersebut disebut sinus paranasalis. Sinus paranasal ada empat bagian, dan terdapat di tulang wajah antara lain sinus frontalis pada os frontalis, sinus ethmoidalis pada os ethmoidalis, sinus sphenoidalis pada os sphenoid dan sinus maxillaris pada os maxilla. Sinusitis paranasal merupakan peradangan pada selaput permukaan sinus paranasal, sesuai dengan rongga yang terkena sinusitis, yang terdiri dari empat bagian yaitu sinus maksila, sinus etmoidal, sinus frontal dan sinus sphenoidal. Sinus yang terbesar dari sinus paranasal adalah sinus maxillaris dengan bentuk yang piramidal. Daerah sinus merupakan pertemuan keadaan patologis pada gigi dan paranasal. Patologis pada rongga mulut dapat meluas ke sinus, dan patologis dalam sinus dapat mencapai proseseus alveolaris maksila (Brontrager, 2001).
Sebagian gigi berada pada daerah rahang atas atau maxilla, yang dekat dengan sinus maxillaris, kelainan atau kerusakan pada gigi dapat menyebabkan gigi terlepas, sehingga diperlukan gigi pengganti ataupun gigi tiruan yang berguna sebagai protesa gigi lepasan untuk menggantikan permukaan pengunyahan dan struktur-struktur yang menyertainya dari suatu lengkung gigi rahang atas dan rahang bawah. Basis protesa individual dapat dibuat dari logam atau campuran logam, yang biasanya menggunakan polimer, yang dipilih berdasarkan keberadaannya, kestabilan dimensi, karakteristik penanganan, dan warna (Kenneth, 2003).
Gigi tiruan lepasan dibuat untuk orang yang memerlukan gigi pengganti gigi yang hilang/ompong dalam mulut. Berbagai macam bahan pembuat gigi tiruan seperti bahan valplast yang merupakan bahan yang lentur dan kuat untuk estetika, bahan metal yang biasanya untuk untuk gigi rahang bawah sebagai pengunyah dan bahan akrilik merupakan bahan yang ekonomis. Pada saat ini umumnya untuk lebih percaya diri bagi orang yang hilang/ompong sering
(20)
2
meggunakan gigi palsu, behel bahan metal, namun saat pemeriksaan sinus paranasal atau gigi palsu bahan metal tersebut dapat mengganggu pencitraan pemeriksaan Sinus Paranasal dengan menggunakan modalitas CT Scan. Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal merupakan pemeriksaan radiologi yang umumnya pada kasus mess, lesi atau tumor dapat menggunakan irisan CT Scan dengan potongan axial dan potongan coronal, pada gambar CT-Scan Sinus Paranasal menunjukkan kelainan dari sinus,dan memperlihatkan dekstruksi tulang mempunyai peranan penting untuk perencanaan terapi serta menilai respon terhadap radioterapi (Ballinger,1995). Ini merupakan kelebihan CT Scan sinus paranasal dibandingkan dengan foto radiografi konvensional Sinus Paranasal (Amstrong, 1989).
Pemeriksaan Sinus Paranasal sering terdapat artefak yang mengganggu citra CT Scan. Secara umum, artefak merupakan suatu gangguan pada tampilan citra CT Scan atau adanya sesuatu dalam citra. Artefak didefinisikan sebagai pertentangan/ perbedaan antara rekonstruksi CT Number dalam citra dengan koefisien atenuasi yang sesungguhnya dari objek yang diperiksa (Seeram, 2001).
Untuk menghindari artefak tersebut pada pemeriksaan Sinus Paranasal dapat dilakukan dengan gantry tilting sehingga diperoleh, citra yang lebih baik dan akurat. Pada CT Scan terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas citra, seperti range, volume investigasi, faktor expose, field of view,gantry tilt dan Slice thickness. Slice thickness merupakan tebalnya irisan atau potongan dari objek yang diperiksa. Nilainya dapat dipilih antara 1 mm-10 mm sesuai dengan keperluan klinis. Ukuran yang tebal akan menghasilkan gambaran dengan detail yang rendah sebaliknya dengan ukuran yang tipis akan menghasilkan detail-detail yang tinggi. Bila ketebalan meninggi akan timbul gambaran-gambaran yang mengganggu seperti garis dan bila terlalu tipis gambaran akan terlihat tidak halus (Sprawls, 1995).
Slice thickness yang tebal mengurangi ketajaman pada bidang atau (axis craniocaudal), ketajaman pada tepi struktur organ juga berkurang pada gambar transaksial. Dan semakin meningkat tebal slice thickness kemungkinan terjadinya partial volume artefak semakin besar sehingga gambar tampak kabur. Matriks gambar terdiri dari picture elemen atau pixel. Sebuah pixel merupakan elemen
(21)
3
dasar dari gambar digital dua dimensi. Setiap pixel pada gambar CT Scan berhubungan dengan voxel (volume element) pasien voxel memiliki dimensi bidang yang sama dengan pixel tetapi termasuk juga slice thickness. Setiap pixel pada gambar CT Scan menampilkan rata-rata atenuasi sinar x dari jaringan dalam suatu voxel (Sprawls, 1995).
Pemilihan slice thickness pada saat pembuatan gambar CT Scan mempunyai pengaruh langsung terhadap spatial resolusi yang dihasilkan. Dengan slice thickness yang meningkat (tipis) maka spasial rasolusi gambar semakin baik, demikian sebaliknya. Namun pengaruh yang berbeda terhadap dosis radiasi yang diterima oleh pasien. Semakain tipis irisan, dosis radiasi semakin tinggi dan berlaku sebaliknya (Seeram, 2001).
Berdasarkan hal tersebut maka penulis akan mengkaji lebih lanjut tentang “Analisis Pengaruh slice thickness terhadap citra CT Scan dengan kasus sinus paranasal pengguna gigi palsu implan”.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah pada penelitian ini yaitu : “Bagaimana pengaruh slice thickness terhadap citra CT Scan sinus paranasal pada pengguna gigi palsu implan?
1.3 Batasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan pada penelitian ini dibahas tentang pengaruh slice thickness terhadap kualitas citra CT Scan yaitu pengaruh artefak, detail/tingkat ketajaman dengan kasus CT Scan sinus paranasal pengguna gigi palsu implan yang berada pada sebelah kanan atas dengan pengukuran densitas citra.
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk memperoleh kualitas citra CT Scan Sinus paranasal yang lebih akurat dengan mengurangi artefak.
2. Untuk mengetahui pengaruh slice thickness pada tingkat ketajaman citra CT Scan Sinus Paranasal.
(22)
4
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat menambah pengetahuan tentang pengaruh slice thickness terhadap artefak yang ada pada citra ct scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu implan.
2. Menambah pengetahuan bagi petugas CT Scan tentang pengaruh slice thickness terhadap detail citra CT Scan sinus paranasal pada pengguna gigi palsu implan.
1.6 Sitematika Penulisan
Sistematika penulisan yang disampaikan dalam tugas akhir ini, penulis membagi atas beberapa BAB yang terdiri dari :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis membahas mengenai Latar belakang, Rumusan Masalah, Batasan masalah, Tujuan Penelitian, dan Manfaat Penelitian. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis membahas mengenai Gigi dan Komponennya,Bahan Gigi Implan, Sinus paranasal, Artefak, Slice thickness, Prinsip kerja CT Scan,Densitas, dan Densitometer.
BAB III : METODELOGI PENELITIAN
Dalam bab ini berisikan tentang Tempat Penelitian, Alat dan Bahan Penelitian, Prosedur Pemeriksaan dan Pengukuran citra CT Scan dengan Densitometer, dan Flow Chart Penelitian.
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
Berisi tentang data-data yang diperoleh selama penelitian serta pembahasan mengenai hasil penelitian Analisis Pengaruh slice thickness terhadap citra CT Scan dengan kasus sinus paranasal pengguna gigi palsu implan di RS Pirngadi Medan.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari tujuan dalam penelitian yang dilakukan serta saran yang mungkin dapat bermanfaat untuk penelitian selanjutnya.
(23)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gigi dan Komponennya
Sebuah gigi mempunyai mahkota, leher dan akar. Mahkota gigi menjulang di atas gusi, lehernya dikelilingi gusi dan akarnya berada di bawahnya. Gigi dibuat dari bahan yang sangat keras yaitu dentin. Di dalam pusat strukturnya terdapat rongga pulpa (Pearce,1979).
Gambar 2.1 Diagram Potongan Sagital Gigi Molar Pertama Bawah (Fawcett, 2002) Orang dewasa memiliki 32 gigi, 16 tertanam di dalam proses alveolaris maksilla dan 16 di dalam mandibula, yang disebut gigi permanen. Mulai muncul sekitar 7 bulan setelah lahir dan lengkap pada umur 6-8 tahun. Gigi ini akan tanggal antara umur enam dan tiga belas, dan diganti secara berangsur oleh gigi permanen. Proses penggantian gigi ini berlangsung sekitar 12 tahun sampai gigi geligi lengkap, umumnya pada umur 18 tahun. Semua gigi terdiri atas sebuah mahkota yang menonjol diatas gusi atau gingival, dan satu atau lebih akar gigi meruncing yang tertanam di dalam lubang atau alveoulus didalam tulang maksila atau mandibula. Batas antara mahkota dan akar gigi disebut leher atau serviks (Fawcett, 2002).
(24)
6
Manusia memiliki susunan gigi primer dan sekunder, yaitu :
a. Gigi primer, dimulai dari tulang diantara dua gigi depan yang terdiri dari 2 gigi seri, 1 taring, 3 geraham dan untuk total keseluruhan 20 gigi.
b. Gigi sekunder, terdiri dari 2 gigi seri, 1 taring, 2 premolar dan 3 geraham untuk total keseluruhan 32 gigi.
2.1.1 Komponen-Komponen Gigi
Komponen-komponen gigi meliputi, email, dentin, pulpa, sementum. Email gigi merupakan substansi paling keras di tubuh ia berwarna putih kebiruan dan hampir transparan. Sembilan puluh sembilan persen dari beratnya adalah mineral dalam bentuk kristal hidroksiapatit matriks oganiks hanya merupakan tidak lebih dari 1 persen massanya (Fawcett, 2002).
Dentin terletak di bawah email, terdiri atas rongga rongga berisi cairan. Apabila lubang telah mencapai dentin, cairan ini akan menghantarkan rangsang ke pulpa, sehingga pulpa yang berisi pembuluh saraf akan menghantarkan sinyal rasa sakit itu ke otak. Dentin bersifat semitranslusen dalam keadaan segar, dan berwarna agak kekuningan. Komposisi kimianya mirip tulang namun lebih keras. Bahannya 20% organic dan 80% anorganik.
Pulpa merupakan bagian yang lunak dari gigi. Pulpa mempunyai hubungan dengan jaringan peri atau iterradikular gigi serta dengan keseluruhan jaringan tubuh. Bahan dasar pulpa terdiri dari 75% air dan 25% bahan sensitif yaitu: glukosaminoglikan, glikoprotein, proteoglikan, fibroblas sebagai sintesis dari kondroitin sulfat dan dermatan sulfat.
Akar gigi ditutupi lapisan sementum tipis, yaitu jaringan bermineral yang sangat mirip tulang. Melihat sifat fisik dan kimiawinya, sementum lebih mirip tulang dari pada jaringan keras lain dari gigi.Ia terdiri atas matriks serat kolagen, glikoprotein, dan mukopolisakarida yang telah mengapur. Bagian servikal dan lapis tipis dekat dentin merupakan sementum aselular.sisanya adalah sementum selular.
(25)
7
2.1.2 Material Gigi Palsu
Gigi palsu secara umum dapat dibedakan menjadi 2, yaitu gigi palsu lepasan dan gigi palsu cekat (permanen). Masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Gigi palsu lepasan umumnya lebih murah dan mudah dibuat serta dirawat, namun jenis ini juga memiliki kelemahan yaitu secara estetika (penampilan) jenis ini kurang baik dan lebih sama dengan gigi palsu. Sementara itu gigi palsu cekat sangat dianjurkan bagi orang yang mementingkan estetika karena bentuk dan bahannya yang sangat baik, namun tentu saja ada kelemahannya. Yang paling utama dan sering membuat orang-orang menjadi ragu adalah dari segi biaya yang jauh lebih mahal dari gigi lepasan.
Komposisi resin akrilik terdiri atas : 1. Bubuk, terdiri dari
Polimer yang merupakan butiran atau granul poli (metilmetakrilat) Inisiator: benzoil peroksida (0,2-0,5%) Zat warna : merkuri sulfit atau cadmium sulfit,
atau pewarna organik. 2. Cairan, terdiri dari
Monomer: metilmetakrilat Agen Crosslinked: etilenglikoldimetil metakrilat (1-2%) Inhibitor: hidrokuinon (0,006%)
2.1.3 Jenis–Jenis Gigi Palsu Lepasan
Adapun jenis gigi palsu yang biasanya digunakan yaitu akrilik, kerangka logam dan valplast. Akrilik merupakan jenis yang paling umum dan termasuk yang paling tua digunakan. Jenis ini juga merupakan jenis yang paling ekonomis. Gigi palsu akrilik menggunakan plat akrilik berwarna merah muda yang kaku dan tebal. Sangat baik digunakan pada orang yang memiliki kehilangan gigi dalam jumlah banyak, sayangnya gigi palsu jenis ini sering kali memerlukan bantuan kawat sebagai pegangannya agar tidak mudah terlepas. Plat tebal dan kawat inilah yang membuat gigi lepasan akrilik menjadi kurang baik secara estetik, kurang nyaman digunakan, dan akhirnya membuatnya mulai ditinggalkan.
(26)
8
Gambar 2.2. Gigi Partial Akrilik, Free End Akrilik, dan Full Denture Akrilik
(www.drjoygraham.com)
Apabila pada gigi lepasan akrilik menggunakan plat akrilik tebal sebagai basisnya maka gigi jenis ini menggunakan kerangka dari logam sehingga dapat dibuat menjadi lebih tipis dan ringan dan akhirnya menjadikan jenis ini lebih nyaman digunakan. Namun seperti halnya pada jenis dengan plat akrilik, jenis ini juga memerlukan pegangan yang hampir menyerupai kawat pada gigi lepasan akrilik. Hal tersebut menyebabkan gigi jenis ini tidak jauh berbeda dari gigi lepasan akrilik dari segi estetika. Kelemahan lain adalah dari segi biaya, kerangka logam merupakan jenis gigi palsu lepasan yang paling mahal.
Gambar 2.3 Kerangka Logam
Tidak seperti gigi lepasan akrilik dan kerangka logam yang kaku, valplast memiliki plat yang lebih fleksibel dan tipis. Plat fleksibel pada valplast ini bahkan berwarna nyaris transparan sehingga secara estetik plat ini termasuk sangat baik dan paling nyaman digunakan. Karena sifatnya yang fleksibel tadi maka gigi palsu jenis ini juga tidak memerlukan bantuan kawat untuk berpegangan pada gigi sebelahnya, sebuah nilai tambah kembali dari segi estetik. Valplast adalah resin yang merupakan nilon termoplastik biokompatibel dengan sifat fisik dan estetika yang unik.
(27)
9
Gambar 2.4 Jenis valplast (http:dentaluniverseindonesia.com/index.php/article/
68-valplast-gigi tiruan-lepasan)
2.1.4 Gigi Palsu Cekat (Permanen)
Gigi palsu permanen terdiri dari beberapa jenis yaitu a. Crown (Mahkota) Porselen
Crown porselen merupakan pilihan untuk mahkota gigi yang patah atau hilang dalam jumlah yang cukup besar namun secara umum giginya sendiri masih sehat dan kuat sehingga tidak perlu dicabut. Untuk memasang crown maka dokter gigi perlu mengecilkan dan membentuk sisa mahkota pada gigi tersebut agar kemudian dapat dibuatkan crown yang pas dan baik. Apabila kehilangan mahkota yang terjadi sangat besar (mahkota gigi yang tersisa sangat sedikit) dan telah mengenai ruang pulpa (saraf) gigi maka dilakukan perawatan saluran akar terlebih dahulu dan dibuatkan mahkota pasak. Perbedaan keduanya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.5. Jenis gigi Palsu Crown Porselen, Mahkota Palsu
(28)
10
Pada gigi yang terpaksa harus dicabut maka harus dibuatkan gigi palsu yang sesungguhnya gigi ini disebut juga dengan crown porselen atau gigi tiruan jembatan.
b. Gigi Tiruan Jembatan (Bridge)
Gigi jembatan merupakan gigi palsu cekat yang paling umum digunakan. Menggunakan bahan porselen, gigi ini umumnya sangat baik secara estetik. Kelemahannya adalah penggunaan gigi sebelahnya sebagai pegangan. Berbeda dengan gigi lepasan yang menggunakan plat dan kawat sebagai pegangan, gigi jembatan sesuai namanya mengandalkan gigi disebelahnya secara harfiah. Untuk dapat memasang gigi jembatan pada tempat yang ompong maka dokter gigi juga harus mengecilkan gigi disebelahnya untuk kemudian dibuatkan crown yang menyatu/ menyambung dengan gigi palsu pada bagian yang ompong. Pada kehilangan satu gigi misalkan, maka kita harus membuat gigi palsu sebanyak tiga buah seperti pada gambar dibawah:
Gambar 2.6 Gigi Tiruan Jembatan c. Dental Implan
Implan gigi merupakan salah satu cara untuk mengganti gigi yang hilang sehingga diperoleh fungsi pengunyahan, estetik dan kenyamanan yang ideal. Implan gigi adalah suatu alat yang ditanam secara bedah ke dalam jaringan lunak atau tulang rahang sehingga dapat berfungsi sebagai akar pengganti untuk menahan gigi tiruan maupun jembatan. Keuntungan implan gigi tersebut sangat menyerupai gigi asli karena tertanam di dalam jaringan sehingga dapat mendukung dalam hal estetik, perlindungan gigi tetangga serta pengembangan rasa percaya diri.
(29)
11
Pada prinsipnya implan gigi memerlukan bahan yang dapat diterima jaringan tubuh, dan cukup kuat. Menurut Boskar (1986) dan Reuther (1993), syarat implan gigi adalah sebagai berikut :
1. Biokompatibel
2. Yang dimaksud dengan biokompatibel adalah non toksik, non alergik, 3. non karsinogenik, tidak merusak dan mengganggu penyembuhan 4. Jaringan sekitar serta tidak korosif.
5. Cukup kuat untuk menahan beban pengunyahan 6. Resistensi tinggi terhadap termal dan korosi
7. Elastisitasnya sama atau hampir sama dengan jaringan sekitar 8. Dapat dibuat dalam berbagai bentuk
Gambar 2.7 Dental Implan (http://clinicariosruiz.com/service/implantologia)
2.1.4.1 Bahan gigi implan
Bahan yang digunakan untuk gigi implan, antara lain : 1. Logam
Terdiri dari Stainless Steel, Vitallium, Titanium dan logam. Pemakaian Stainless Steel merupakan kontra indikasi bagi pasien yang alergi terhadap nikel, pemakaiannya juga dapat menyebabkan arus listrik galvanik jika berkontak dengan logam campuran atau logam murni. Vitallium paling sering digunakan untuk kerangka implan subperiosteal. Titanium terdiri dari titanium murni dan logam campuran titanium yang tahan terhadap korosi. Implan yang dibuat dari logam dengan lapisan pada permukaan
(30)
12
adalah implan yang menggunakan titanium yang telah diselubungi dengan lapisan tipis keramik kalsium fosfat pada bagian strukturnya.
2. Keramik
Keramik terdiri keramik bioaktif dan bio-inert Bioaktif berarti bahan yang memiliki kemampuan untuk merangsang pertumbuhan tulang baru disekitar implan, contoh dari bahan ini adalah hidroksiapatit dan bioglass Bio-inert adalah bahan yang bertolenrasi baik dengan tulang tetapi tidak terjadi formasi tulang.
3. Polimer dan komposit
Polimer dibuat dalam bentuk porus dan padat, digunakan untuk peninggian dan penggantian tulang. Ia merupakan suatu bahan yang sukar dibersihkan pada bagian yang terkontaminasi dan pada partikel porusnya karena sifatnya yang sensitif terhadap formasi sterilisasi.
2.1.4.2 Bagian-bagian gigi Implan
Implan gigi terdiri dari beberapa komponen antara lain : a. Badan Implan
Merupakan bagian implan yang ditempatkan dalam tulang. Komponen ini dapat berupa silinder berulir atau tidak berulir, dapat menyerupai akar atau pipih. Bahan yang digunakan bias terbuat dari titanium saja atau titanium alloy dengan atau tanpa dilapisi hidroksi apatit (HA) (Mc Glumphy. EA dan Larsen, PE. Permukaan implan yang paling banyak digunakan ada tiga tipe yaitu plasma spray titanium dengan permukaan yang berbentuk granul sehingga memperluas permukaan kontaknya, machine finished titanium yang merupakan implan bentuk screw yang paling banyak digunanakan dan tipe implan dengan lapisan permukaan hidroksi apatit untuk meningkatkan osseointegrasi.
b. Healing Cup
Merupakan komponen berbentuk kubah yang ditempatkan pada permukaan implan dan sebelum penempatan abutment. Komponen ini meiliki panjang yang bervariasi antara 2 mm sampai 10 mm (Mc Glumphy. EA dan Larsen, PE., 2003).
(31)
13
c. Abutment
Merupakan bagian komponen implan yang disekrupkan dimasukan secara langsung kedalam badan implan. Dipasangkan menggantikan healling cup dan merupakan tempat melekatnya mahkota porselin. Memiliki permukaan yang halus, terbuat dari titanium atau titanium alloy.
d. Mahkota
Merupakan protesa gigi yang diletakkan pada permukaan abutmen dengan sementasi (tipe cemented) atau dengan sekrup (tipe screwing) sebagai pengganti mahkota gigi dan terbuat dari porselin.
2.2 Sinus paranasal
Sinus paranasal adalah sinus (rongga) pada tulang berada sekitar nasal ruangan udara yang berhubungan dengan rongga hidung. Pintu-pintu ruangan-ruangan udara tersebut disebut ostium yang terletak di meatus-meatus dinding lateral rongga hidung. Ruangan-ruangan udara tersebut disebut sinus paranasalis. Sinus paranasal ada empat bagian, dan terdapat di tulang wajah antara lain sinus frontalis pada os frontalis, sinus ethmoidalis pada os ethmoidalis, sinus sphenoidalis pada os sphenoid dan sinus maxillasris pada os maxilla (Ballinger W Phillips, 2003).
Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing. Lokasi sinus paranasal yang terbanyak ditemukan di sinus maksila, menandakan bahwa selain faktor rinogen atau tersumbatnya KOM (kompleks osteo meatal), faktor dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis maksilaris kronis, dimana dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi premolar dan molar atas, sehingga jika terjadi infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal dengan mudah menyebar langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfa.
(32)
14
2.2.1 Fungsi Sinus Paranasal
Adapun fungsi sinus paranasal adalah :
1. Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak. 2. Sebagai pengatur udara (airconditioning).
3. Peringan cranium. 4. Resonansi suara.
2.3 Gambar CT-Scan sinus maksila
CT Scan sinus paranasal merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus paranasal, adanya penyakit dalam hidung dan sinus paranasal secara keseluruhan dan perluasannya. Sinus maksilaris yang sehat tampak sebagai suatu bayangan segitiga yang agak jernih (kehitam-hitaman) di bawah orbita dengan basis menghadap dinding lateral rongga hidung. Sinus paranasal yang meradang tampak lebih berkabut.
Pada CT Scan udara tampak hitam dan tulang tampak putih. Daerah abu-abu di sinus paranasal menandakan kelainan, misalnya nanah, lendir, polip, atau kista. Ketika melihat CT-Scan sinus paranasal berwarna abu-abu menandakan adanya kelainan/ penyumbatan pada sinus paranasal. Seperti pada gambar 2.9.dibawah ini
Gambar 2.8 CT-Scan sinus yang bersih dan yang tersumbat (Sumber: Metson Ralph B, Steven Mardon. Populer. 2006)
Sinusitis Maxillaris Sinistra
(33)
15
2.4 Artefak Pada Citra Ct Scan
Artefak merupakan suatu gangguan pada tampilan citra CT Scan akibat berbagai kesalahan. Sumber artefak dapat timbul dari sifat fisik, pergerakan obyek, benda asing metal, dan peralatannya sendiri.
Adapun macam macam artefak antara lain: 1. Streak Artefact (garis-garis)
Artefak ini berbentuk garis-garis vertical yang disebabkan tidak ada keseimbangan antara scaning permulaan dan scaning akhir, akibat pergerakan pasien atau sifat mekanik yang tidak seimbang.
2. Beam hardening
Artefak yang berbentuk garis disebabkan perubahan komposisi spectrum sinar-x akibat adanya material yang lebih padat. Material ini mengapit suatu daerah yang densitasnya kurang akan lebih banyak mengabsorbsi sianar-x, sehingga daerah tersebut tampak sebagai garis hitam.
3. Partial Volume Artefact
Artefak yang terbentuk pada daerah antara kedua os petrosus, disebabkan tidak adanya kolorasi yang tepat antara atenuasi dan absorbsi pada voxel yang tidak homogen.
4. Noise
Bukan artefak yang sebenarnya tetapi menggambarkan penurunan resulusi suatu gambar tomografi komputer. Hal ini diakibatkan ketidaktepatan penentuan CT Number. Noise yang berlebihan juga dapat terjadi akibat posisi yang tidak tepat, karena dapat menghalangi radiasi optimal yang berakibat sinar-x tidak dapat mencapai detector.
5. Shading (Bayangan)
Perubahan progresif dari densitas suatu bagian dengan bagian lainnya dari suatu gambar. Penyebabnya antara lain respon detector yang tidak sincron dan spectrum energi sinar-x. Sebagai contoh adalah Cupping merupakan artefak padat pada jaringan otak dekat calvaria.
(34)
16
6. Moire Pattern (Pola Kain Sutra)
Artefak ini berbentuk sebagai garis radier halus yang biasanya ditemukan dekat tulang padat atau dekat batas lengkung suatu gambar yang padat, hal ini disebabkan fungsi mekanik yang kurang baik.
7. Ring Artefact
Banyak artefak berbentuk cincin ini antara lain tidak adanya keseimbangan antara detector dan tabung sinar-x yang berputar. Dalam suatu citra bisa dilakukan untuk mengurangi artefak dapat dilakukan rekalibrasi alat.
2.5 Slice Thickness
Slice thickness merupakan tebalnya irisan atau potongan dari objek yang diperiksa. Pada umumnya ukuran yang tebal akan menghasilkan gambaran dengan detail yang rendah, sebaliknya ukuran yang tipis akan menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi . Nilai slice thickness pada teknologi Multi-Slice CT (MSCT) dapat dipilih antara 0,5 mm-10 mm sesuai dengan keperluan klinis. Setiap generasi MSCT, mempunyai ketebalan slice yang berbeda (Sprawls, 1995).
Semakin tipis slice thickness semakin baik kualitasnya. Tetapi, disatu sisi ukuran slice thickness yang semakin tipis akan menghasilkan artefak yang tinggi. Selain itu, dengan mempertipis irisan maka jumlah irisan akan bertambah banyak sehingga semakin besar radiasi yang diterima oleh pasien. Sehingga untuk aplikasi klinis, perlu dilakukan optimasi sesuai dengan keperluan yang digunakan (Sprawls, 1995).
Pada pemeriksaan organ yang berukuran kecil atau untuk melihat kelainan yang berukuran kecil, digunakan slice thickness tipis, demikian sebaliknya untuk organ yang berukuran besar dapat menggunakan slice thickness yang tebal. Pada pemeriksaan yang membutuhkan rekonstruksi gambar dalam potongan axial maupun coronal diperlukan slice thickness yang tipis, karena jika menggunakan slice thickness yang tebal, gambar akan tampak besar, sedangkan dengan slice thickness yang tipis gambar akan nampak lebih halus. Pada pesawat CT Scan, besarnya slice thickness diatur dengan kolimator pre pasien. Kolimator itu diatur sedemikian rupa sehingga diharapkan menghasilkan slice thickness seperti yang diharapkan.
(35)
17
2.6 Prinsip Kerja CT Scan
Gambar 2.9 Bagan Prinsip Kerja CT Scanner (http://en.wikipedia.org/wiki/x-ray
computed tomography)
Dengan menggunakan tabung sinar-x sebagai sumber radiasi yang berkas sinarnya dibatasi oleh kollimator, sinar x tersebut menembus tubuh dan diarahkan ke detektor. Intensitas sinar-x yang diterima oleh detektor akan berubah sesuai dengan kepadatan tubuh sebagai objek, dan detektor akan merubah berkas sinar-x yang diterima menjadi arus listrik, dan kemudian diubah oleh integrator menjadi tegangan listrik analog. Tabung sinar-x tersebut diputar dan sinarnya diproyeksikan dalam berbagai posisi, besar tegangan listrik yang diterima diubah menjadi besaran digital oleh Analog to Digital Converter (A/D C) yang kemudian dicatat oleh komputer. Selanjutnya diolah dengan menggunakan Image Processor dan akhirnya dibentuk gambar yang ditampilkan ke layar monitor TV. Gambar yang dihasilkan dapat dibuat ke dalam film dengan Multi Imager atau Laser Imager. Berkas radiasi yang melalui suatu materi akan mengalami pengurangan intensitas secara eksponensial terhadap tebal bahan yang dilaluinya. Pengurangan intensitas yang terjadi disebabkan oleh proses interaksi radiasi-radiasi dalam bentuk hamburan dan serapan yang probabilitas terjadinya ditentukan oleh jenis bahan dan energi radiasi yang dipancarkan. Dalam CT Scan, untuk menghasilkan citra obyek, berkas radiasi yang dihasilkan sumber dilewatkan melalui suatu bidang obyek dari berbagai sudut. Radiasi terusan ini dideteksi oleh detektor untuk kemudian dicatat dan dikumpulkan sebagai data masukan yang kemudian
(36)
18
diolah menggunakan komputer untuk menghasilkan citra dengan suatu metode yang disebut sebagai rekonstruksi.
2.6.1 Pemrosesan data
Suatu sinar sempit (narrow beam) yang dihasilkan oleh X-ray didadapatkan dari perubahan posisi dari tabung X-ray, hal ini juga dipengaruhi oleh collimator dan detektor. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.10 Collimator dan Detektor
Sinar X-ray yang telah dideteksi oleh detektor kemudian dikonversi menjadi arus listrik yang kemudian ditransmisikan ke komputer dalam bentuk sinyal melaui proses berikut :
Gambar 2.11 Proses Pembentukan Citra
Setelah diperoleh arus listrik dan sinyal aslinya, maka sinyal tadi dikonversi ke bentuk digital menggunakan A/D Convertor agar sinyal digital ini dapat diolah oleh komputer sehingga membentuk citra yang sebenarnya.
2.7 Interaksi Sinar-X dengan Bahan
Interaksi sinar-X dengan materi akan terjadi bila sinar-X yang dipancarkan dari tabung dikenakan pada suatu objek. Sinar-X yang terpancar merupakan
(37)
19
panjang gelombang elektromagnetik dengan energi yang cukup besar. Gelombang elektromagnnetik ini dinamakan foton. Foton ini tidak bermuatan listrik dan merambat menurut garis lurus.
Bila sinar-X mengenai suatu objek, akan terjadi interaksi antara foton dengan atom-atom dengan objek tersebut. Interaksi ini menyebabkan foton akan kehilangan energi yang dimiliki oleh foton. Besarnya energi yang diserap tiap satuan massa dinyatakan sebagai satuan dosis serap, disingkat Gray. Dalam jaringan tubuh manusia, dosis serap dapat diartikan sebagai adanya 1 joule energi radiasi yang diserap 1 kg jaringan tubuh (BATAN).
Interaksi radiasi dengan materi tergantung pada energi radiasi, Jika berkas sinar-X melalui bahan akan terjadi proses utama yakni:
1. Efek foto listrik
Dalam proses foto listrik energi foton diserap oleh atom yaitu elektron, sehingga elektron tersebut dilepaskan dari ikatannya dengan atom. Elektron yang keluar dari atom disebut foton elektron. Peristiwa efek foto listrik ini terjadi pada energi radiasi rendah dan nomor atom besar.
Bila foton mengenai elektron dalam suatu orbit dalam atom, sebagian energi foton digunakan untuk mengeluarkan elektron dari atom dan sisanya dibawa oleh elektron sebagai energi kinetik nya. Seluruh energi foton dipakai dalam proses tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efek fotolistrik : a. Nomor atom / ketebalan bahan yang dikenai
Jika nomor atom/ketebalan bahan yang dikenainya semakin tinggi sementara faktor lainnya tetap, maka kemampuan kejadian penyerapan fotolistrik akan bertambah
b. Energi foton sinar-X yang mengenai bahan
Jika energi foton sinar-X yang mengenai bahan semakin tinggi sementara faktor lainnya tetap, maka kemampuan menembus akan semakin besar, sehingga kemungkinan kejadian penyerapan foton listrik akan berkurang.
Dalam radiografi, tulang (calsium) akan lebih banyak menyerap energi sinar-X bila dibandingkan dengan jaringan lunak yang terdiri dari otot dan lemak. Akibatnya jumlah energi yang melewati jaringan lunak lebih banyak,
(38)
20
yang mengenai film juga lebih banyak, sehingga gambar jaringan lunak pada fim lebih hitam.
2. Efek Compton
Penghamburan compton merupakan suatu tumbukan lenting sempurna antara sebuah foton dan sebuah elektron bebas. Dimana foton berinteraksi dengan elektron yang dianggap bebas (tenaga ikat elektron lebih kecil dari energi foton datang.
Dalam suatu tumbukan antara sebuah foton dan elektron bebas maka tidak mungkin semua energi foton dapat dipindahkan ke elektron jika momentum dan energi dibuat kekal. Hal ini dapat diperlihatkan dengan berasumsi bahwa reaksi semakin dimungkinkan. Jika hal itu memang benar, maka menurut hukum kekekalan semua energi foton diberikan kepada elektron dan didapatkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efek Compton a. Nomor atom/ketebalan bahan yang dikenai
Jika nomor atom/ketebalan bahan yang dikenai semakin tinggi sementara faktor yang lain tetap, maka kemampuan bahan dalam menghasilkan hamburan makin besar, sehingga kemungkinan kejadian hamburan Compton akan bertambah.
b. Energi foton sinar-X yang mengenai bahan
Jika energi foton yang mengenai sinar-X yang mengenai bahan semakin tinggi sementara faktor yang lain tetap, maka hamburan berantai (multiple) dapat terjadi, sehingga kemungkinan kejadian hamburan Compton akan meningkat.
Hamburan Compton pada tulang dan pada jaringan lunak :
1. Jika nomor atom tulang lebih tinggi daripada nomor atom jaringan lunak, maka hamburan lebih banyak terjadi pada tulang dibandingkan dengan jaringan lunak.
2. Pada eksposi diagnostik, mulai 40 kV perbedaan hamburan pada tulang dan jaringan lunak signifikan, makin mendekati sampai pada 85 kV, selanjutnya hamburan pada tulang dan jaringan lunak akan sama besar.
(39)
21
Efek kejadian fotolistrik dan Compton :
a. Peristiwa fotolistrik dan Compton pada hakekatnya melepaskan elektron dari orbit atom bahan yang dikenainya.
b. Apabila elektron yang terlepas berasal dari orbit dalam, maka akan diikuti dengan peristiwa transisi, yang mengakibatkan terjadinya sinar-X karakteristik.
3. Produksi Pasangan
Sebuah foton yang energinya lebih dari 1.02 MeV. Pada saat bergerak dekat dengan sebuah inti, secara spontan akan menghilang dan energinya akan muncul kembali sebagai suatu positron dan elektron.
Kejadian tersebut akan diikuti oleh hilangnya kedua partikel gabungan itu (hilang masa) dan berubah menjadi sepasang foton kembar yang disebut radiasi annihilasi.
2.8 Densitas
Densitas merupakan derajat kehitaman pada suatu daerah gambaran CT Scan atau dapat pula dikatakan sebagai banyaknya cahaya yang diserap oleh daerah tertentu. Derajat kehitaman ini terjadi akibat adanya interaksi antara sinar x dengan emulsi film setelah proses kimiawi.
Densitas citra merupakan salah satu faktor yang memungkinkan gambaran objek yang mendapat penyinaran sinar x pada citra dapat dilihat oleh mata. Adanya perbedaan densitas ini membuat kita dapat membedakan struktur struktur objek yang akan diamati. Derajat kehitaman pada suatu gambaran CT Scan dapat diukur dengan suatu alat yang disebut Densitometer, yang akan menghasilkan nilai kehitaman tertentu.
Menurut (Bushberg , 2001) Nilai densitas dirumuskan sebagai berikut : D = log
t I I0
………(2.1) Keterangan :
D : Densitas
(40)
22
It: Intensitas sinar-x setelah menembus materi
Gambar 2.12 Skema pembentukan nilai densitas (Sumber : Radiographic Photography and Imaging Prosecesses, David Jenkins).
Densitas yang terang berasal dari bagian objek yang nilai koefisien attenuasi liniernya tinggi sehingga sebagian besar sinar-X banyak diserap oleh jaringan tersebut. Sedangkan citra dengan densitas yang hitam dihasilkan dari transmisi sinar-X yang menembus objek dengan koefisien attenuasi linier rendah. Perbedaan densitas gelap terang dari citra inilah yang menyebebkan timbulnya kontras.
2.9 Densitometer
Densitometer adalah alat pengukur densitas yang mempunyai skala 0 sampai 4,5. Sinar-X mempunyai beberapa sifat yang dapat dimanfaatkan dalam diagnosa antara lain dapat menembus bahan, menimbulkan radiasi sekunder (lumenisasi) pada semua bahan yang ditembusnya, dan menghitamkan emulsi film. Berdasarkan teori tersebut, sinar-X dapat dimanfaatkan dalam dunia kedokteran untuk menampakkan bagian dalam tubuh yang mengalami kelainan sehingga diperoleh diagnosa suatu penyakit. Sebelum dilakukan diagnosa maka terlebih dahulu diperhatikan kualitasnya. Alat yang digunakan untuk mengukur densitas dinamakan densitometer.
2.9.1 Diagram Blok
Diagram blok rangkaian alat pengukur densitas sinar-X digital dapat dilihat pada gambar 2.13. Sedangkan gambar densitometer dilihat dari arah depan seperti terlihat pada gambar 2.14. di bawah ini
(41)
23
Gambar 2.13 Diagram Blok Densitometer
Gambar 2.14 Densitometer Tampak Dari Depan
2.9.2 Prinsip kerja Densitometer
Prinsip kerja alat pengukuran densitas optik radiograf sinar-X adalah sebagai berikut :
1. Cahaya yang dihasilkan oleh sumber cahaya (LED) dilewatkan ke film radiograf kemudian sebagian diserap oleh radiograf dan sebagian diteruskan, cahaya yang diteruskan diterima oleh sensor fotoresistor.
2. Pada rangkaian sensor fotoresitor dibuat rangkaian pembagi tegangan sedemikian hingga tegangan keluaran rangkaian ini berbanding terbalik dengan kuat penerangan yang diterima sensor.
3. Tegangan keluaran rangkaian sensor fotoresistor diperkuat oleh Op-amp LF 356 dengan rangkaian penguat instrumentasi.
4. Sinyal keluaran dari Op-amp yang masih berupa sinyal analog diubah menjadi sinyal digital oleh pengubah sinyal analog ke digital (ADC). 5. Sinyal BCD keluaran dari ADC diterjemahkan oleh pendekode untuk
kemudian ditampilkan pada penampil tujuh ruas.
6. Sinyal keluaran dari pendekode ditampilkan oleh penampil tujuh ruas berupa bilangan decimal
LED RADIOGRAF FOTO RESISTOR OP AMP
ADC PENDEKODE
SEVEN SEGMENT
(42)
24
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Radiologi Diagnostik Rumah Sakit Pirngadi Medan.
3.2 Alat Dan Bahan Penelitian
Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah Pesawat CTScan, Monitor CT-Scan, laser imager/printer, illuminator, densitometer dan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah citra CT-Scan sinus paranasal. Seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 3.1 CT Scan 64 Slice Pirngadi Medan
Gambar 3.1 diatas merupakan alat CT Scan 64 slice. Adapun spesifikasi pesawat CT Scan pada gambar 3.1 diatas sebagai berikut:
1. Merk : Siemen Somatom Definition As
2. Detector : 2x stellar infinity detector with 3D anti scatter collimator
3. Rotation time : Up to 0,25 s 4. Generator power : 240 kw (2x120kw) 5. Gantry opening : 78 cm
(43)
25
Gambar 3.2 Monitor CT-Scan
Gambar 3.2 diatas merupakan monitor CT Scan yang berfungsi untuk menampilkan data citra CT Scan pada layar monitor.
Gambar 3.3 Laser imager/printer
Gambar 3.3 diatas merupakan laser imager/printer yang berguna untuk mencetak gambar pada citra single emulsi.
Gambar 3.4 Illuminator
Gambar 3.4 diatas merupakan alat illuminator yang berfungsi Untuk melihat hasil CT Scan setelah menjadi citra.
(44)
26
Gambar 3.5 Densitometer
Gambar 3.5 di atas merupakan alat densitometer yang berfungsi sebagai alat pengukur densitas yang mempunyai skala 0 sampai 4,5. Adapun spesifikasi alat densitometer yang digunakan sebagai berikut:
Manufacturer’s Name : X-Rite, Incorporated Manufacuter’s Address : X-Rite, Incorporated
SiemensstraBe 12b.63263 Neu-Isenburg Germany
Model Name : Densitometer
Model No : 301
Directive(s) Conformance : EMC2004/108/EC LVD2006/95/EC
3.3 Prosedur Penelitian Pemeriksaan CT Sinus Paranasal
Adapun Prosedur Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal yang dilakukan pada penelitian adalah :
a. Persiapan Pasien
Persiapan pasien untuk pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal adalah sebagai berikut :
Semua benda metalik harus disingkirkan dari daerah yang diperiksa, termasuk anting, kalung, dan jepit rambut. Pasien harus diinstruksikan agar mengosongkan vesika urinarianya sebelum pemeriksaan dilakukan, karena jika vesika urinaria penuh akan terganggu oleh jeda waktu ke kamar kecil. Komunikasikan kepada pasien tentang prosedur pemeriksaan sejelas-jelasnya agar pasien nyaman dan mengurangi pergerakan sehingga dihasilkan kualitas gambar yang baik (Seeram, 2001).
(45)
27
b. Teknik Pemeriksaan
Pemeriksaan CT-Scan Sinus paranasal dengan kasus mass, lesi dan tumor menggunakan beberapa irisan, yaitu potongan axial dan potongan coronal. Untuk potongan axial dengan posisi pasien berbaring supine di atas meja pemeriksaan. Kedua lengan di samping tubuh, kaki lurus ke bawah dan kepala berada di atas headrest (bantalan kepala). Posisi pasien diatur senyaman mungkin. Kepala diletakkan tepat di terowongan gantry, mid sagital plane segaris tengah meja. Mid axial kepala tepat pada sumber terowongan gantry seperti pada gambar 3.2.
Gambar 3.6 Potongan Axial
Untuk potongan coronal ini merupakan teknik khusus dengan cara pasien berbaring prone di atas meja pemeriksaan dengan bahu diganjal bantal. Kepala digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dengan membidik menuju vertikal. Gantry sejajar dengan tulang-tulang wajah. Kepala tegak alat fiksasi atau digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dan diberi agar tidak bergerak seperti pada gambar 3.3.
(46)
28
3.4 Prosedur pengukuran densitas film CT Scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu implan dengan alat densitometer
Langkah langkah yang dilakukan untuk mendapatkan nilai densitas kerapatan optik dari film CT Scan sebagai berikut :
1. Siapkan alat densitometer, yang sudah dikalibrasi.
2. Nyalakan densitometer dengan cara menekan tombol ON/OF pada posisi ON di depan dan di belakang alat.
3. Tekan tuas dari densitometer hingga menyentuh permukaan lampu sensor densitometer dan tekan tombol measure bersamaan dengan tombol null. 4. Letakkan film CT Scan di atas lampu sensor Densitometer, untuk setiap
film dengan perubahan slice thickness 1 mm, 3 mm, 5 mm, 7 mm sebanyak tiga kali untuk satu titik, lalu tekan tuas dari densitometer hingga menyentuh permukaan lampu sensor densitometer dan tekan tombol measure.
5. Ini dilakukan pada empat area film untuk setiap perubahan slice thickness. 6. Lihat angka densitas film CT Scan Sinus Paranasal yang ditampilkan
densitometer.
7. Posisikan film CT Scan yang akan didensitometer,sesuai dengan tempat yang diinginkan.
8. Untuk masing-masing titik yang di tentukan diukur berulang sebanyak tiga kali, dengan cara menekan tuas dari densitometer hingga menyentuh permukaan lampu sensor densitometer dan tekan tombol measure sampai lampu sensor padam, sehingga diperoleh nilai densitas film CT Scan pada monitor densitometer. Kemudian hasil dicatat pada kolom kerja.
Adapun daerah pengukuran dengan menggunakan densitimeter seperti pada gambar 3.8 dibawah ini :
(47)
29
Gambar 3.8 Daerah Pengukuran Dengan Densitometer
9. Dari hasil yang diperoleh akan dianalisa untuk mendapatkan citra yang lebih akurat.
Kiri Atas
Kiri Bawah Kanan Atas
Kanan Bawah
Gigi Palsu Implan (Gigi kanan bagian atas)
(48)
30
3.5 Flow Chart Penelitian
Adapun diagram Alir pada penelitiaan ini adalah sebagai berikut:
Gambar 3.9 Diagram Penelitian start
selesai Analisa
Persiapan Alat, Bahan dan objek
Pencitraan CT Scan sinus paranasal pengguna gigi palsu dengan perubahan slice thickness 1 mm, 3 mm, 5 mm, 7 mm.
Hasil citra CT Scan sinus paranasal dengan perubahan Slice thickness
(49)
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil baca densitometer terhadap citra CT Scan pada kasus sinus paranasal pengguna gigi palsu implan dengan perubahan slice thickness data nilai densitas dari perubahan slice thickness yang dikelompokkan menjadi empat variasi slice thickness 1 mm, 3 mm, 5 mm, 7 mm. Dimana semakin tipis slice thickness diperoleh gambaran artefak lebih banyak dan semakin tebal slice thickness maka gambaran artefak semakin berkurang, ini diperoleh setelah hasil citra CT Scan sinus paranasal dianalisa.
Citra CT Scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu implan yang diperoleh pada penelitian ini dengan perbedaan Slice Thickness 1mm, 3mm, 5mm, dan 7mm seperti pada gambar 4.1.
Slice 1 mm Slice 3 mm
Slice 5 mm Slice 7 mm
Gambar 4.1 Hasil citra CT Scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu implan dengan variasi Slice Thickness 1 mm, 3 mm, 5 mm dan 7 mm.
(50)
32
Gambar 4.1 di atas menunjukkan variasi citra CT Scan Sinus Paranasal pada pengguna gigi palsu implan. Untuk memperoleh citra yang berkualitas dari citra CT Scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu dilakukan dengan pengukuran pada keempat titik, untuk setiap perubahan Slice Thickness 1 mm, 3 mm, 5 mm dan 7 mm pada setiap citra CT Scan Sinus Paranasal.
Kemudian untuk setiap perubahan Slice Thickness dilakukan pengukuran empat titik yakni kanan atas, kanan bawah, kiri atas, dan kiri bawah. Setiap titik tersebut dilakukan pengukuran densitas sebanyak tiga kali dengan menggunakan densitometer sehingga diperoleh nilai densitas pada setiap citra seperti pada tabel 4.1. dibawah ini :
Tabel 4.1. Hasil Pengukuran Densitas Pada Daerah Titik pengukuran citra CT Scan Sinus Paranasal Pengguna Gigi Palsu Implan dengan Variasi Slice Thickness Daerah titik pengukuran citra Tebal (Slice Thickness)
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan dalam satuan D (Density)
1 2 3
Kanan Atas 1 mm 0,86D 0,85D 0,84D 3 mm 0,75D 0,76D 0,79D 5 mm 0,80D 0,77D 0,67D 7 mm 0,70D 0,76D 0,60D Kanan Bawah 1 mm 0,79D 0,77D 0,69D 3 mm 0,73D 0,76D 0,70D 5 mm 0,78D 0,60D 0,78D 7 mm 0,75D 0,76D 0,61D Kiri Atas 1 mm 0,65D 0,86D 0,84D 3 mm 0,80D 0,71D 0,67D 5 mm 0,68D 0,54D 0,79D 7 mm 0,54D 0,60D 0,60D Kiri Bawah 1 mm 0,63D 0,85D 0,76D 3 mm 0,75D 0,65D 0,53D 5 mm 0,57D 0,62D 0,57D 7 mm 0,53D 0,60D 0,54D
Tabel 4.1. Menunjukkan nilai Densitas untuk setiap perubahan Slice Thickness yaitu 1 mm, 3 mm, 5 mm, dan 7 mm. Untuk setiap daerah pengukuran pada citra CT Scan Sinus Paranasal yaitu daerah titik kanan atas,kanan bawah,kiri atas,kiri bawah diperoleh nilai densitas dengan masing-masing tiga kali pengukuran.
(51)
33
Tabel 4.2. Hasil Rata-Rata Pengukuran Densitas Pada Citra CT Scan Sinus Paranasal Pengguna Gigi Palsu Implan Dengan Setiap Perubahan Slice Thickness Daerah titik pengukuran citra Tebal (Slice Thickness)
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan
dalam satuan D (Density)
Rata-rata (D)
1 2 3
Kanan Atas 1 mm 0,86D 0,85D 0,84D 0,85D 3 mm 0,75D 0,76D 0,79D 0,76D 5 mm 0,80D 0,77D 0,67D 0,74D 7 mm 0,70D 0,76D 0,60D 0,68D Kanan Bawah 1 mm 0,79D 0,77D 0,69D 0,75D 3 mm 0,73D 0,76D 0,70D 0,73D 5 mm 0,78D 0,60D 0,78D 0,72D 7 mm 0,75D 0,76D 0,61D 0,70D Kiri Atas 1 mm 0,65D 0,86D 0,84D 0,78D 3 mm 0,80D 0,71D 0,67D 0,72D 5 mm 0,68D 0,54D 0,79D 0,67D 7 mm 0,54D 0,60D 0,60D 0,58D Kiri Bawah 1 mm 0,63D 0,85D 0,76D 0,74D 3 mm 0,75D 0,65D 0,53D 0,64D 5 mm 0,57D 0,62D 0,57D 0,68D 7 mm 0,53D 0,60D 0,54D 0,55D
Tabel 4.2. di atas menunjukkan bahwa setiap perubahan Slice Thickness nilai densitasnya berbeda, untuk pengukuran slice thickness 1mm dan 7mm diperoleh nilai rata rata densitas di bawah ini yakni:
1. Pada daerah titik pengukuran citra CT Scan sinus paranasal pengguna gigi implan kanan atas diperoleh nilai densitas yang tinggi pada slice thickness 1 mm dibandingkan dengan slice thickness yang 7 mm yaitu 0,85D dan 0,68D.
2. Pada daerah titik pengukuran citra CT Scan sinus paranasal pengguna gigi implan kanan bawah diperoleh nilai densitas yang tinggi pada slice thickness 1 mm dibandingkan dengan slice thickness yang 7 mm yaitu 0,75D dan 0,70D.
3. Pada daerah titik pengukuran citra CT Scan sinus paranasal pengguna gigi implan kiri atas diperoleh nilai densitas yang tinggi pada slice thickness 1 mm dibandingkan dengan slice thickness yang 7 mm yaitu 0,78D dan 0,58D.
(52)
34
4. Pada daerah titik pengukuran citra CT Scan sinus paranasal pengguna gigi implan diperoleh nilai densitas yang tinggi pada slice thickness 1 mm dibandingkan dengan slice thickness yang 7 mm yaitu 0,74D dan 0,55D. Dari hasil pengukuran densitas citra CT Scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu implan setiap daerah dengan perubahan Slice Thickness diperoleh nilai rata rata seperti pada tabel 4.3. di bawah ini :
Tabel 4.3.Nilai Rata Rata Densitas Daerah Pengukuran Titik Kanan Atas Daerah titik pengukuran citra Tebal (Slice Thickness)
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan dalam
satuan D (Density)
Rata-rata (D)
1 2 3
Kanan Atas
1 mm 0,86D 0,85D 0,84D 0,85D 3 mm 0,75D 0,76D 0,79D 0,76D 5 mm 0,80D 0,77D 0,67D 0,74D 7 mm 0,70D 0,76D 0,60D 0,68D
Dari tabel 4.3. di atas diperoleh grafik hubungan variasi dengan nilai densitas seperti gambar di bawah ini :
Gambar 4.2 Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Nilai Densitas Daerah Pengukuran Titik Kanan Atas
Grafik di atas menunjukkan hubungan densitas dengan Slice Thickness pada daerah pengukuran titik kanan atas. Pada daerah tersebut diperoleh nilai densitas lebih tinggi pada Slice Thickness 1 mm, dengan nilai densitasnya 0,85D dibandingkan dengan Slice Thickness 7 mm yaitu densitasnya 0,68D yang artinya
0,85 0,76 0,74 0,68 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
1 mm 3 mm 5 mm 7 mm
D e n si ta s s Artefac
(53)
35
bahwa semakin tipis slice thickness maka artefak semakin banyak dan semakin tebal Slice thickness artefak berkurang.
Tabel 4.4. Nilai Rata Rata Densitas Citra CT Scan Sinus Paranasal Pada Daerah Pengukuran Titik Kanan Bawah
Daerah titik pengukuran
citra
Tebal (Slice Thickness)
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan
dalam satuan D (Density)
Rata-rata (D)
1 2 3
Kanan Bawah
1 mm 0,79D 0,77D 0,69D 0,75D 3 mm 0,73D 0,76D 0,70D 0,73D 5 mm 0,78D 0,60D 0,78D 0,72D 7 mm 0,75D 0,76D 0,61D 0,70D
Dari tabel 4.4. di atas diperoleh grafik hubungan variasi dengan nilai densitas citra CT Scan Sinus Paranasal seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.3. Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Nilai Densitas Citra CT Scan Sinus Paranasal Pada Daerah Pengukuran Titik Kanan Bawah Grafik di atas menunjukkan hubungan densitas dengan Slice Thickness pada daerah pengukuran titik kanan bawah. Pada daerah tersebut diperoleh nilai densitas lebih tinggi pada Slice Thickness 1 mm, dengan nilai densitasnya 0,75D dibandingkan dengan Slice Thickness 7 mm yaitu densitasnya 0,70D yang artinya bahwa semakin tipis slice thickness maka artefak semakin banyak dan semakin tebal slice thickness artefak berkurang.
0,67 0,68 0,69 0,7 0,71 0,72 0,73 0,74 0,75 0,76
1 mm 3 mm 5 mm 7 mm
D e n si ta s Slice Thikness Artefac
(54)
36
Tabel 4.5. Nilai Rata Rata Densitas Citra CT Scan Sinus Paranasal Pada Daerah Pengukuran Titik Kiri Atas
Daerah titik pengukuran citra Tebal (Slice Thickness)
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan
dalam satuan D (Density)
Rata-rata (D)
1 2 3
Kiri Atas 1 mm 0,65D 0,86D 0,84D 0,78D 3 mm 0,80D 0,71D 0,67D 0,72D 5 mm 0,68D 0,54D 0,79D 0,67D 7 mm 0,54D 0,60D 0,60D 0,58D
Dari tabel 4.5. di atas diperoleh grafik hubungan variasi Slice thickness dengan nilai densitas citra CT Scan Sinus Paranasal untuk daerah bagian kiri atas seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.4. Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Nilai Densitas Citra CT Scan Pada Daerah Pengukuran Titik Kiri Atas
Grafik di atas menunjukkan hubungan densitas dengan Slice Thickness pada daerah pengukuran titik kiri atas. Pada daerah tersebut diperoleh nilai densitas lebih tinggi pada Slice Thickness 1 mm, dengan nilai densitasnya 0,78D dibandingkan dengan Slice Thickness 7 mm yaitu densitasnya 0,58D yang artinya bahwa semakin tipis slice thickness maka artefak semakin banyak dan semakin tebal Slice thickness artefak berkurang.
0,78 0,72 0,67 0,58 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
1 mm 3 mm 5 mm 7 mm
D e n si ta s Slice Thickness Artefac
(55)
37
Tabel 4.6. Nilai Rata Rata Densitas Citra CT Scan Sinus Paranasal Pada Daerah Pengukuran Titik Kiri Bawah
Daerah titik pengukuran citra Tebal (Slice Thickness)
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan
dalam satuan D (Density)
Rata-rata (D)
1 2 3
Kiri Bawah
1 mm 0,63D 0,85D 0,76D 0,74D 3 mm 0,75D 0,65D 0,53D 0,64D 5 mm 0,57D 0,62D 0,57D 0,68D 7 mm 0,53D 0,60D 0,54D 0,55D
Dari tabel 4.6. di atas diperoleh grafik hubungan variasi dengan nilai densitas pada pengukuran kiri bawah seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.5 Grafik Variasi Slice Thickness Dengan nilai Densitas citra CT Scan Sinus Paranasal Daerah Pengukuran Titik Kiri Bawah
Grafik di atas menunjukkan hubungan densitas dengan Slice Thickness pada daerah pengukuran titik kiri bawah. Pada daerah tersebut diperoleh nilai densitas lebih tinggi pada Slice Thickness 1 mm, dengan nilai densitasnya 0,74 dibandingkan dengan Slice Thickness 7 mm yaitu densitasnya 0,55 yang artinya bahwa semakin maka artefak semakin banyak dan semakin tebal slice thickness artefak tipis slice thickness berkurang.
Untuk memperoleh nilai densitas yang lebih optimal pada daerah pengukuran maka akan dilakukan pengukuran nilai densitas rata-rata masing-masing perubahan slice thickness. Seperti tabel 4.7 dibawah ini :
0,74 0,64 0,58 0,55 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8
1 mm 3 mm 5 mm 7 mm
D e n si ta s Slice Thickness Artefac
(56)
38
Tabel 4.7 Nilai Rata Rata nilai Densitas keempat titik dengan variasi Slice Thickness
Tebal (Slice Thickness) Kanan Atas
Kanan
Bawah Kiri Atas
Kiri Bawah
1 mm 0,85D 0,79D 0,75D 0,79D 3 mm 0,74D 0,77D 0,72D 0,58D 5 mm 0,76D 0,65D 0,73D 0,64D 7 mm 0,68D 0,63D 0,68D 0,55D
Dari tabel 4.7. di atas diperoleh grafik hubungan variasi dengan nilai densitas seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.6 Grafik Nilai Rata Rata Densitas Keempat Titik dengan Variasi Slice Thickness
Dari gambar 4.6. diperoleh grafik yang menunjukkan bahwa nilai rata rata densitas dari keempat titik dengan slice thickness yang berbeda di atas, diperoleh nilai densitas sebagai berikut :
Pada daerah titik kanan atas citra CT Scan sinus paranasal pengguna gigi implan dengan variasi slice thickness yaitu dengan slice thickness 1 mm diperoleh nilai densitas 0,85D. Slice thickness 3 mm nilai densitas 0,74D. Slice thickness 5 mm nilai densitas 0,76D. Pada daerah titik kanan atas slice thickness 7 mm diperoleh nilai densitas 0,68D. Slice thickness 1 mm diperoleh nilai densitas 0,79D. Slice thickness 3 mm diperoleh nilai densitas 0,77D. Slice thickness 5 mm diperoleh nilai densitas 0,65D. Slice thickness 7 mm diperoleh nilai densitas 0,63D. Pada daerah titik kiri atas dengan slice thickness 1 mm diperoleh nilai
0,68 0,63 0,68
0,55 0,76
0,65 0,73 0,64
0,74 0,77 0,72 0,58 0,85 0,79 0,75 0,79 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5
kiri atas kiri bawah kanan atas kanan bawah
D e n si ta s Slice Thickness 1 mm 3 mm 5 mm 7 mm
(57)
39
densitas 0,75D. Slice thickness 3 mm nilai densitas 0,72D. Slice thickness 5 mm diperoleh nilai densitas 0,73D. Slice thickness 7 mm diperoleh nilai densitas 0,68D. Pada daerah titik kiri bawah dengan slice thickness 1 mm diperoleh nilai yakni 0,79D. Dengan slice thickness 3 mm diperoleh nilai densitas 0,58D. Slice thickness 5 mm diperoleh nilai densitas 0,64D. Dengan slice thickness 7 mm diperoleh nilai densitas 0,55D.
Dari nilai rata rata densitas di atas dapat diperoleh bahwa pada daerah titik kanan atas diperoleh nilai lebih tinggi untuk setiap variasi slice thickness mulai dari 1-7 mm dibandingkan daerah titik kanan bawah, kiri atas, dan kiri bawah hal tersebut dikarenakan bahwa daerah tersebut lebih mendekati gigi palsu implan sehingga artefak lebih banyak. Sedangkan pada daerah titik kiri bawah diperoleh nilai lebih rendah dibandingkan dengan daerah kanan atas, kanan bawah, dan kiri atas hal tersebut dikarenakan bahwa daerah tersebut lebih jauh dari gigi palsu implan sehingga artefak lebih berkurang. Artinya untuk slice thickness 1 mm diperoleh nilai densitas lebih tinggi untuk setiap daerah pengukuran citra ct scan sinus paranasal di bandingkan dengan slice thickness 7 mm diperoleh nilai densitas lebih rendah karena dengan ukuran yang tipis akan menghasilkan detail detail yang tinggi. Sedangkan ukuran yang tebal akan menghasilkan gambaran dengan detail yang rendah (Bushberg, 2001).
(58)
40
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian citra CT Scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu implan yang berada di gigi kanan bagian atas, dengan variasi Slice Thickness 1 mm, 3 mm, 5 mm dan 7 mm dapat disimpulkan bahwa :
1. Slice Thickness 1 mm yaitu dengan nilai 3,18D diperoleh gambaran artefak semakin besar. Slice Thickness 7 mm yaitu nilai densitas 2,54D diperoleh gambaran artefak semakin berkurang (sedikit). Bahwa semakin tipis slice thickness semakin baik kualitasnya. Tetapi di satu sisi ukuran slice thickness yang semakin tipis akan menghasilkan artefak yang tinggi (Sprawls, 1995).
2. Ukuran Slice Thickness 7 mm akan menghasilkan gambaran Citra CT Sca 3.
4. n Sinus Paranasal dengan detail yang rendah, sedangkan ukuran Slice Thickness 1 mm akan menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi. Karena ukuran slice thickness yang tebal akan menghasilkan gambaran dengan detail yang rendah, sebaliknya ukuran yang tipis akan menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi (Sprawls, 1995).
5.2 Saran
1. Untuk mengurangi artefak pada citra CT Scan pengguna gigi palsu yang lebih akurat sebaiknya menggunakan Slice thickness 7 mm.
2. Untuk menegakkan diagnosa/kelainan yang akurat dengan detail yang lebih baik sebaiknya menggunakan Slice thickness 1mm.
3. Karena keterbatasan waktu penelitian, untuk lebih mengurangi artefak dan memperoleh detail yang lebih baik untuk pemeriksaan selanjutnya dapat menggunakan slice thickness yang lebih tebal atau diatas slice thickness 7 mm.
(59)
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong P, Wastie ML, 1989. Pembuatan Gambar Diagnostik. Ed 2, Jakarta: EGC, hlm 357-360.
Ballinger Philip W. 2003. Merril of Atlas Radiographic Positioning And Radilogic Procedures, Eigh Edition Vol. II. Missouri: Mosby, Inc.
Bontrager, Kenneth L, 2001. Textbook of Radiographic Positioning and Related Anatomy, Fifth Edition. USA : CV. Mosby, Company EGC.
Kenneth L, 2003. Textbook of Radiographic Positioning and Related Anatomy, Fifth Edition. The Mosby, St. Louis
Bushberg Jerold, The Essential Physics of Medical Imaging, Second Edition, New York Lippingcotti William & Wilkins, New York. 2001
Fauwcett, Don W. 2002. Edisi Buku Ajar Histologi 12. Jakarta: EGC.
Metson Ralph B, Steven Mardon. Menyembuhkan Sinusitis. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer. 2006.
Pearce, Evelyn C. 1979. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia.
Seeram E, 2001, Computed Tomography: Physical Principles, Clinical Applications, and Quality Control, Second Edition, WB Saunders Company, Philadelphia
Sprawls Perry. 1995, The Physical Principles of Medical Imaging, Second edition, Medical Physics Publishing. Medison, Wisconsin
www.drjoygraham.com www.youngfamilydensity.org
http:dentaluniverseindonesia.com/index.php/article/68-Valplast-gigi tiruan-lepasan
http: http://Clinicariosruiz.com/service/implantologia
(1)
Tabel 4.5. Nilai Rata Rata Densitas Citra CT Scan Sinus Paranasal Pada Daerah Pengukuran Titik Kiri Atas
Daerah titik pengukuran
citra
Tebal (Slice Thickness)
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan
dalam satuan D (Density)
Rata-rata (D)
1 2 3
Kiri Atas 1 mm 0,65D 0,86D 0,84D 0,78D
3 mm 0,80D 0,71D 0,67D 0,72D
5 mm 0,68D 0,54D 0,79D 0,67D
7 mm 0,54D 0,60D 0,60D 0,58D
Dari tabel 4.5. di atas diperoleh grafik hubungan variasi Slice thickness dengan nilai densitas citra CT Scan Sinus Paranasal untuk daerah bagian kiri atas seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.4. Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Nilai Densitas Citra CT Scan Pada Daerah Pengukuran Titik Kiri Atas
Grafik di atas menunjukkan hubungan densitas dengan Slice Thickness pada daerah pengukuran titik kiri atas. Pada daerah tersebut diperoleh nilai densitas lebih tinggi pada Slice Thickness 1 mm, dengan nilai densitasnya 0,78D dibandingkan dengan Slice Thickness 7 mm yaitu densitasnya 0,58D yang artinya bahwa semakin tipis slice thickness maka artefak semakin banyak dan semakin tebal Slice thickness artefak berkurang.
0,78
0,72
0,67
0,58
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
1 mm 3 mm 5 mm 7 mm
D
e
n
si
ta
s
Slice Thickness
(2)
37
Tabel 4.6. Nilai Rata Rata Densitas Citra CT Scan Sinus Paranasal Pada Daerah Pengukuran Titik Kiri Bawah
Daerah titik pengukuran
citra
Tebal (Slice Thickness)
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan
dalam satuan D (Density)
Rata-rata (D)
1 2 3
Kiri Bawah
1 mm 0,63D 0,85D 0,76D 0,74D
3 mm 0,75D 0,65D 0,53D 0,64D
5 mm 0,57D 0,62D 0,57D 0,68D
7 mm 0,53D 0,60D 0,54D 0,55D
Dari tabel 4.6. di atas diperoleh grafik hubungan variasi dengan nilai densitas pada pengukuran kiri bawah seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.5 Grafik Variasi Slice Thickness Dengan nilai Densitas citra CT Scan Sinus Paranasal Daerah Pengukuran Titik Kiri Bawah
Grafik di atas menunjukkan hubungan densitas dengan Slice Thickness pada daerah pengukuran titik kiri bawah. Pada daerah tersebut diperoleh nilai densitas lebih tinggi pada Slice Thickness 1 mm, dengan nilai densitasnya 0,74 dibandingkan dengan Slice Thickness 7 mm yaitu densitasnya 0,55 yang artinya bahwa semakin maka artefak semakin banyak dan semakin tebal slice thickness artefak tipis slice thickness berkurang.
Untuk memperoleh nilai densitas yang lebih optimal pada daerah pengukuran maka akan dilakukan pengukuran nilai densitas rata-rata masing-masing perubahan slice thickness. Seperti tabel 4.7 dibawah ini :
0,74
0,64
0,58 0,55
0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8
1 mm 3 mm 5 mm 7 mm
D
e
n
si
ta
s
Slice Thickness
(3)
Tabel 4.7 Nilai Rata Rata nilai Densitas keempat titik dengan variasi Slice Thickness
Tebal (Slice Thickness) Kanan Atas
Kanan
Bawah Kiri Atas
Kiri Bawah
1 mm 0,85D 0,79D 0,75D 0,79D
3 mm 0,74D 0,77D 0,72D 0,58D
5 mm 0,76D 0,65D 0,73D 0,64D
7 mm 0,68D 0,63D 0,68D 0,55D
Dari tabel 4.7. di atas diperoleh grafik hubungan variasi dengan nilai densitas seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.6 Grafik Nilai Rata Rata Densitas Keempat Titik dengan Variasi Slice Thickness
Dari gambar 4.6. diperoleh grafik yang menunjukkan bahwa nilai rata rata densitas dari keempat titik dengan slice thickness yang berbeda di atas, diperoleh nilai densitas sebagai berikut :
Pada daerah titik kanan atas citra CT Scan sinus paranasal pengguna gigi implan dengan variasi slice thickness yaitu dengan slice thickness 1 mm diperoleh nilai densitas 0,85D. Slice thickness 3 mm nilai densitas 0,74D. Slice thickness 5 mm nilai densitas 0,76D. Pada daerah titik kanan atas slice thickness 7 mm diperoleh nilai densitas 0,68D. Slice thickness 1 mm diperoleh nilai densitas 0,79D. Slice thickness 3 mm diperoleh nilai densitas 0,77D. Slice thickness 5 mm diperoleh nilai densitas 0,65D. Slice thickness 7 mm diperoleh nilai densitas 0,63D. Pada daerah titik kiri atas dengan slice thickness 1 mm diperoleh nilai
0,68 0,63 0,68
0,55 0,76
0,65 0,73 0,64 0,74
0,77 0,72
0,58 0,85
0,79 0,75
0,79
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5
kiri atas kiri bawah kanan atas kanan bawah
D
e
n
si
ta
s
Slice Thickness
1 mm 3 mm 5 mm 7 mm
(4)
39
densitas 0,75D. Slice thickness 3 mm nilai densitas 0,72D. Slice thickness 5 mm diperoleh nilai densitas 0,73D. Slice thickness 7 mm diperoleh nilai densitas 0,68D. Pada daerah titik kiri bawah dengan slice thickness 1 mm diperoleh nilai yakni 0,79D. Dengan slice thickness 3 mm diperoleh nilai densitas 0,58D. Slice thickness 5 mm diperoleh nilai densitas 0,64D. Dengan slice thickness 7 mm diperoleh nilai densitas 0,55D.
Dari nilai rata rata densitas di atas dapat diperoleh bahwa pada daerah titik kanan atas diperoleh nilai lebih tinggi untuk setiap variasi slice thickness mulai dari 1-7 mm dibandingkan daerah titik kanan bawah, kiri atas, dan kiri bawah hal tersebut dikarenakan bahwa daerah tersebut lebih mendekati gigi palsu implan sehingga artefak lebih banyak. Sedangkan pada daerah titik kiri bawah diperoleh nilai lebih rendah dibandingkan dengan daerah kanan atas, kanan bawah, dan kiri atas hal tersebut dikarenakan bahwa daerah tersebut lebih jauh dari gigi palsu implan sehingga artefak lebih berkurang. Artinya untuk slice thickness 1 mm diperoleh nilai densitas lebih tinggi untuk setiap daerah pengukuran citra ct scan sinus paranasal di bandingkan dengan slice thickness 7 mm diperoleh nilai densitas lebih rendah karena dengan ukuran yang tipis akan menghasilkan detail detail yang tinggi. Sedangkan ukuran yang tebal akan menghasilkan gambaran dengan detail yang rendah (Bushberg, 2001).
(5)
40 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian citra CT Scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu implan yang berada di gigi kanan bagian atas, dengan variasi Slice Thickness 1 mm, 3 mm, 5 mm dan 7 mm dapat disimpulkan bahwa :
1. Slice Thickness 1 mm yaitu dengan nilai 3,18D diperoleh gambaran artefak semakin besar. Slice Thickness 7 mm yaitu nilai densitas 2,54D diperoleh gambaran artefak semakin berkurang (sedikit). Bahwa semakin tipis slice thickness semakin baik kualitasnya. Tetapi di satu sisi ukuran slice thickness yang semakin tipis akan menghasilkan artefak yang tinggi (Sprawls, 1995).
2. Ukuran Slice Thickness 7 mm akan menghasilkan gambaran Citra CT Sca 3.
4. n Sinus Paranasal dengan detail yang rendah, sedangkan ukuran Slice Thickness 1 mm akan menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi. Karena ukuran slice thickness yang tebal akan menghasilkan gambaran dengan detail yang rendah, sebaliknya ukuran yang tipis akan menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi (Sprawls, 1995).
5.2 Saran
1. Untuk mengurangi artefak pada citra CT Scan pengguna gigi palsu yang lebih akurat sebaiknya menggunakan Slice thickness 7 mm.
2. Untuk menegakkan diagnosa/kelainan yang akurat dengan detail yang lebih baik sebaiknya menggunakan Slice thickness 1mm.
3. Karena keterbatasan waktu penelitian, untuk lebih mengurangi artefak dan memperoleh detail yang lebih baik untuk pemeriksaan selanjutnya dapat menggunakan slice thickness yang lebih tebal atau diatas slice thickness 7 mm.
(6)
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong P, Wastie ML, 1989. Pembuatan Gambar Diagnostik. Ed 2, Jakarta: EGC, hlm 357-360.
Ballinger Philip W. 2003. Merril of Atlas Radiographic Positioning And Radilogic Procedures, Eigh Edition Vol. II. Missouri: Mosby, Inc.
Bontrager, Kenneth L, 2001. Textbook of Radiographic Positioning and Related Anatomy, Fifth Edition. USA : CV. Mosby, Company EGC.
Kenneth L, 2003. Textbook of Radiographic Positioning and Related Anatomy, Fifth Edition. The Mosby, St. Louis
Bushberg Jerold, The Essential Physics of Medical Imaging, Second Edition, New York Lippingcotti William & Wilkins, New York. 2001
Fauwcett, Don W. 2002. Edisi Buku Ajar Histologi 12. Jakarta: EGC.
Metson Ralph B, Steven Mardon. Menyembuhkan Sinusitis. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer. 2006.
Pearce, Evelyn C. 1979. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia.
Seeram E, 2001, Computed Tomography: Physical Principles, Clinical Applications, and Quality Control, Second Edition, WB Saunders Company, Philadelphia
Sprawls Perry. 1995, The Physical Principles of Medical Imaging, Second edition, Medical Physics Publishing. Medison, Wisconsin
www.drjoygraham.com www.youngfamilydensity.org
http:dentaluniverseindonesia.com/index.php/article/68-Valplast-gigi tiruan-lepasan
http: http://Clinicariosruiz.com/service/implantologia