Gambar 11, 12, dan 13 menunjukan profil perubahan suhu disepanjang alat penukar panas pada setiap laju alir metanol. Menurut Holman 1995 bahwa alat
penukar panas dengan sistem aliran berlawanan arah counter flow akan mendapatkan suhu keluar fluida dingin yang lebih tinggi dari suhu keluar fluida
panas dari alat penukar panas sehingga dianggap lebih baik dari alat penukar panas dengan aliran searah parallel flow, seperti yang ditampilkan dalam
Gambar 10. Hasil pengukuran suhu saat penelitian mendapatkan pada laju alir metanol 1.5 mL menit
-1
suhu keluar fluida dingin dapat lebih tinggi dari suhu keluar fluida panas pada alat penukar panas, bahkan suhu keluar fluida panas
cenderung mendekati suhu masuk fluida dingin. Hal ini dimungkinkan karena pada kolom pipa fluida dingin metanol masih memenuhi kolom tersebut saat
produk fluida panas masuk, sedangkan produk masuk dengan laju alir yang rendah sehingga suhunya dapat lebih cepat diturunkan oleh metanol cair yang
memenuhi kolom pipa metanol fluida dingin. Oleh karena itu, saat produk keluar dari alat penukar panas suhunya mendekati suhu metanol masuk. Namun, hal itu
tidak terjadi pada laju alir metanol 3.0 dan 4.5 mL menit
-1
.
Gambar 10 Profil suhu pada aliran berlawanan arah.
Gambar 11 Profil suhu alat penukar panas pada laju alir metanol 1.5 mL menit
-1
.
Gambar 12 Profil suhu alat penukar panas pada laju alir metanol 3.0 mL menit
-1
.
Gambar 13 Profil suhu alat penukar panas pada laju alir metanol 4.5 mL menit
-1
.
0.0 10.0
20.0 30.0
40.0 50.0
60.0 70.0
0.0 5.0
10.0 15.0
20.0 25.0
30.0
S uhu
o
C
Panjang APP cm
Aliran produk Aliran MeOH
0.0 10.0
20.0 30.0
40.0 50.0
60.0 70.0
0.0 5.0
10.0 15.0
20.0 25.0
30.0
S uhu
o
C
Panjang APP cm
Aliran produk Aliran MeOH
0.0 10.0
20.0 30.0
40.0 50.0
60.0 70.0
0.0 5.0
10.0 15.0
20.0 25.0
30.0
S uhu
o
C
Panjang APP cm
Aliran produk Aliran MeOH
T
cb
T
ha
T
hb
T
ca
T
cb
T
ha
T
hb
T
ca
T
cb
T
ha
T
hb
T
ca
Profil suhu pada laju alir metanol 3.0 dan 4.5 mL menit
-1
menunjukan suhu fluida dingin yang keluar dari alat penukar panas masih lebih rendah
dibandingkan dengan suhu fluida panas yang keluar dari alat penukar panas. Hal ini menunjukan alat penukar panas belum mampu melakukan pertukaran panas
antar fluida melalui dinding pemisah yang diharapkan sesuai teori. Namun, sudah cukup baik dalam menukarkan panas dalam sistem.
Berdasarkan data suhu yang dihasilkan alat penukar panas, maka dapat dihitung efektifitas alat penukar panas dari setiap laju alir metanol. Gambar 14
menunjukan efektifitas alat penukar panas.
Gambar 14 Efektifitas alat penukar panas. Berdasarkan Gambar 14 semakin bertambahnya laju alir metanol maka
efektifitas alat penukar panas semakin menurun. Pada laju alir metanol 1.5 mL menit
-1
, alat penukar panas mampu mendinginkan seluruh uap hasil reaksi karena perlakuan masih dibawah nilai rancangan sehingga nilai efektifitas masih tinggi.
Sedangkan pada laju alir 3.0 dan 4.5 mL menit
-1
alat penukar panas tidak mampu mendinginkan seluruh uap hasil reaksi. Perhitungan efektifitas alat penukar panas
berdasarkan penentuan fluida panas yang mempunyai beda suhu maksimum, karena menurut Holman 1995 fluida yang mungkin mengalami beda suhu
maksimum ialah fluida yang mempunyai nilai ̇ � minimum, karena neraca energi
mensyaratkan bahwa energi yang diterima oleh fluida yang satu mesti sama dengan energi yang dilepas oleh fluida yang lain. Apabila fluida yang memiliki
̇ � yang lebih besar ditetapkan sebagai fluida yang mengalami beda suhu
92
25 19
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
1.5 3.0
4.5
E fe
k ti
fi ta
s
Laju alir MeOH mL menit
-1
maksimum, maka tentu fluida yang lain akan mengalami perubahan suhu yang lebih besar dari maksimum, dan ini tidak mungkin terjadi.
Berkurangnya produk yang dihasilkan berdampak pada kesetimbangan massa dan kesetimbangan energi dalam sistem produksi. Hal ini akan dibuktikan
dengan perhitungan menggunakan rasio energi dalam sistem.
4.2 Rasio Energi Produksi Biodiesel
Metode non-katalitik yang digunakan pada penelitian ini adalah superheated methanol vapor SMV yaitu dengan mengalirkan uap metanol sampai kondisi
super panas 290
o
C didalam reaktor yang telah diisikan palm olein dan dikondisikan pada suhu 290
o
C dengan sistem semi batch. Percobaan dilakukan dengan 3 perlakuan laju alir metanol yaitu 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit
-1
, rata-rata hasil metil ester biodiesel yang didapatkan pada 3 perlakuan tersebut secara
berturut-turut 3.65 g jam
-1
, 1.64 g jam
-1
, dan 2.14 g jam
-1
. Secara keseluruhan hasil reaksi ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil reaksi biodiesel non-katalitik dengan berbagai laju alir metanol Keterangan
Laju alir metanol mL menit
-1
Satuan 1.5
3.0 4.5
Metanol masuk 71.19
142.38 213.57
g jam
-1
Produk 74.95
144.09 215.80
g jam
-1
Metil ester 3.65
1.64 2.14
g jam
-1
Gliserol 0.41
0.21 0.28
g jam
-1
Metanol yang tidak bereaksi 70.89
142.24 213.38
g jam
-1
Hasil analisis kadar metil ester menggunakan GC-MS pada laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit
-1
secara berturut-turut adalah 72.8, 74.4, dan 78.0. Kadar metil ester dan gliserol yang dihasilkan dalam produk masih rendah karena
sebagian produk tidak bereaksi secara sempurna, hal itu tampak pada hasil percobaan yaitu masih ditemukannya monogliserida ditampilkan pada Gambar 15 karena
sifatnya yang tidak mudah bereaksi dan lebih stabil. Warabi et al. 2004 menyatakan bahwa monogliserida merupakan komponen antara dalam reaksi yang paling stabil
sehingga dipercaya sebagai tahap penentu laju reaksi dan keberhasilan dari suatu reaksi transesterifikasi.
Gambar 15 Produk hasil reaksi yang masih mengandung monogliserida. Kadar metil ester dalam produk akan berdampak pada beberapa perhitungan
salah satunya rasio molar, yang merupakan perbandingan antara minyak dan metanol dalam satuan mol. Rasio molar minyak terhadap metanol sebesar 506,
2229, dan 2563 mol mol
-1
pada laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit
-1
. Tingginya rasio molar disebabkan karena penggunaan sistem semi batch yang
terus mengalirkan metanol dalam minyak yang sudah dalam jumlah tetap di dalam reaktor. Penggunaan metanol dalam jumlah banyak merupakan konsekuensi dari
metode non-katalitik yang digunakan. Oleh karena itu, dibutuhkan metanol dalam jumlah yang melebihi keseimbangan rasio stokiometrinya karena selain sebagai
reaktan dan fluida pembuat gelembung reaksi, disebutkan Hong et al. 2009 bahwa metanol juga berfungsi agar reaksi tetap dapat berjalan ke ruas kanan
sehingga reaksi dapat terbentuk. Hal ini mengakibatkan penggunaan energi pada produksi biodiesel juga perlu diperhatikan, yang telah umum digunakan adalah
dengan menghitung rasio energi. Tabel 7 menunjukan data penggunaan dan kandungan energi dalam produksi biodiesel non-katalitik.
Tabel 7 Data penggunaan dan kandungan energi
Kandungan Energi Laju alir metanol mL menit
-1
Keterangan 1.5
3.0 4.5
Palm olein MJ 0.137
0.062 0.081
Input Metanol MJ
0.006 0.003
0.004 Input
Listrik MJ 9.58E-04
1.01E-03 1.10E-03
Proses Kimia MJ
5.81E-07 2.60E-07
2.25E-07 Proses
Panas MJ 5.52E-05
1.09E-04 1.63E-04
Proses Biodiesel MJ
0.151 0.068
0.088 Output
Rasio energi MJ MJ
-1
7.85 2.98
2.87 Rasio energi MJ MJ
-1
1.05 1.03
1.02 ≅ Sigalingging 2008
Monogliserida Metil Ester
Gliserol
Kadar metil dalam perhitungan rasio energi diasumsikan 97 sehingga sudah masuk standar SNI. Rasio energi yang didapatkan berdasarkan definisi RE
1
pada persamaan 26 adalah sebesar 7.85, 2.98, dan 2.87 untuk laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit
-1
. Penggunaan definisi RE
1
pada persamaan 26 dalam perhitungan rasio energi dimaksudkan untuk mengetahui besarnya nilai energi yang
terkandung dalam produk biodiesel setelah dikurangkan dengan kandungan energi yang terdapat pada bahan baku, dan dengan memperhitungkan nilai energi proses
diharapkan mendapat nilai rasio energi bersih serta mempermudah pemahaman tentang energi yang dikandung suatu produk dibandingkan energi proses yang
digunakan untuk menghasilkan produk tersebut. Menurut Morris 2005 rasio energi berhubungan erat dengan penyediaan
bahan baku dan proses produksi. Nilai rasio energi yang tinggi pada hasil penelitian disebabkan tidak diperhitungkannya energi dalam penyediaan bahan bakunya,
sebagai contoh energi pengolahan lahan, penanaman, dan pemanenan serta proses sampai terbentuknya bahan baku. Nilai embedded energy pada peralatan produksi
juga tidak diperhitungkan. Hasil penelitian hanya memperhitungkan nilai kandungan energi pada bahan palm olein yang akan digunakan sebagai bahan
baku pembuatan biodiesel. Energi proses yang diperhitungkan pun hanya energi yang digunakan untuk mendukung terjadinya proses produksi, tanpa
memperhitungkan berapa besar energi yang digunakan untuk menghasilkan energi tersebut. Gambar 16 menampilkan rasio energi hasil penelitian berdasarkan definisi
RE
1
pada persamaan 26.
Gambar 16 Rasio energi hasil penelitian berdasarkan definisi RE
1
pada persamaan 26.
7.85
2.98 2.87
0.0 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
6.0 7.0
8.0
1.5 3.0
4.5
R as
io E
n er
g i
Laju alir MeOH mL menit
-1
Perhitungan rasio energi dengan definisi RE
2
pada persamaan 27 dimaksudkan untuk membandingkan dengan penelitian Sigalingging 2008.
Hasilnya didapatkan nilai sebesar 1.05, 1.03, dan 1.02 untuk laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit
-1
. Rasio energi yang didapatkan pada setiap laju alir metanol mencapai nilai 1 artinya energi yang dikandung produk biodiesel sama dengan
energi yang digunakan untuk menghasilkan biodiesel. Hasil perhitungan rasio energi dengan metode dan persamaan yang sama
RE
2
yang digunakan oleh Sigalingging 2008 yaitu pada laju alir metanol 3.0 mL menit
-1
didapatkan nilai 1.02, berarti menunjukan nilai yang lebih besar dibandingkan rasio energi yang didapat oleh Sigalingging 2008 yaitu 0.84. Hal ini
berarti daur ulang panas yang diterapkan dalam sistem mampu meningkatkan efisiensi energi proses. Secara keseluruhan perbandingan rasio energi antara hasil
penelitian penulis dengan Sigalingging 2008 ditampilkan pada Gambar 17. Diagram batang dalam garis kotak putus-putus merupakan hasil penelitian ini.
Gambar 17 Perbandingan rasio energi hasil penelitian penulis dan Sigalingging 2008 berdasarkan definisi RE
2
pada persamaan 27. Beberapa peneliti mendefinisikan rasio energi berbeda, Yadav et al. 2010
menyatakan rasio energi merupakan perbandingan antara energi yang dikandung oleh produk output dengan energi yang digunakan dalam proses produksi
dituliskan dalam RE
4
pada persamaan 29. Oleh sebab itu, rasio energi yang didapatkan oleh Pleanjai dan Gheewala 2009, Pradhan et al. 2008, dan Yadav et
1.05 1.03
1.02 0.84
0.98
0.0 0.5
1.0 1.5
1.5 3.0
4.5 a
b
R a
si o
E n
e rgi
1.5, 3.0, 4.5 merupakan hasil penelitian, a Minyak sawit metode non- katalitik, b Minyak sawit metode katalitik Sigalingging 2008
al. 2010 lebih besar karena tidak memperhitungkan energi awal yang dikandung oleh bahan baku. Beberapa rasio energi hasil penelitian dengan menggunakan
definisi RE
4
ditampilkan pada Gambar 18. Sedangkan menurut Sigalingging 2008 rasio energi adalah perbandingan energi yang dikandung produk biodiesel output
dengan energi awal yang dikandung bahan baku ditambah energi proses produksi RE
2
pada persamaan 27. Pimentel dan Patzek 2005 mendefinisikan rasio energi dengan cara
menghitung jumlah kandungan energi biodiesel dibagi dengan jumlah total energi proses dikurangi dengan kandungan energi produk samping, ditampilkan dalam
RE
3
pada persamaan 28. Perbandingan rasio energi beberapa produksi biodiesel ditampilkan dalam Gambar 18. Diagram batang dengan batas garis putus-putus
merupakan hasil perhitungan dengan definisi RE
2
pada persamaan 27, diagram batang dengan batas garis putus titik adalah hasil perhitungan dengan definisi RE
4
pada persamaan 29, dan diagram batang f dengan batas garis titik-titik adalah hasil perhitungan dengan definisi RE
3
pada persamaan 28 dan merupakan penelitian Pimentel dan Patzek 2005, mereka melaporkan bahwa energi yang
dikandung biodiesel lebih rendah dari energi fosil yang dibutuhkan untuk memproduksinya.
Perhitungan rasio energi pada penelitian ini menggunakan persamaan RE
2
, seperti yang digunakan oleh Sigalingging 2008 sehingga dapat langsung
membandingkan efektifitas daur ulang panas dalam sistem setelah dilakukan modifikasi pada alat. Penggunaan persamaan RE
1
berdasarkan pertimbangan bahwa bahan baku yang dijadikan biodiesel sudah berupa fase liquid minyak yang sudah
memiliki kandungan energi dan dapat digunakan secara langsung. Oleh karena itu, memperhitungkan kandungan energi bahan baku merupakan salah satu metode
untuk dapat menentukan rasio energi bersih dalam produksi biodiesel.
Gambar 18 Perbandingan rasio energi dengan pengertian yang berbeda pada beberapa produksi biodiesel.
Hill et al. 2006 menyimpulkan bahwa biodiesel akan memiliki keuntungan lebih besar ketika proses produksi bahan baku mengkonsumsi energi yang rendah
dan energi yang dibutuhkan untuk mengubahnya menjadi biodiesel pun rendah sehingga didapatkan nilai rasio energi yang besar, karena secara umum nilai rasio
energi yang semakin besar mengindikasikan suatu proses produksi semakin baik. Dalam arti lain energi yang dihasilkan lebih besar daripada energi yang
dibutuhkan untuk memproduksinya. Nilai rasio energi 1.05, 1.03, dan 1.02 hasil penelitian menunjukan nilai rasio energi positif dan mampu ditingkatkan ketika
sistem produksi dapat lebih dioptimalkan dengan mengetahui ketersediaan energi yang dapat diubah menjadi kerja atau kualitas energi yang berada dalam sistem
tersebut, hal itu dapat dilakukan dengan melakukan analisis eksergi.
4.3 Analisis Eksergi
Eksergi merupakan ukuran kualitas energi atau ukuran ketersediaan energi untuk melakukan kerja, karena dalam perhitungannya menggunakan parameter
lingkungan sebagai acuan. Sehingga dapat mengindikasikan jumlah atau besaran kerja yang mampu dilakukan oleh suatu sumber daya dalam lingkungan tertentu.
Analisis eksergi dilakukan pada setiap laju alir metanol.
0.84 0.98
2.42 2.55
1.64
0.79
0.0 0.5
1.0 1.5
2.0 2.5
3.0
a b
c d
e f
R as
io E
n er
g i
a Minyak sawit metode non katalitik Sigalingging 2008, b Minyak sawit metode katalitik Sigalingging 2008, c Minyak sawit Pleanjai 2009, d Kedelai Pradhan
2008, e Karajan Yadav 2010, f Kedelai PimentelPatzek 2005
Analisis eksergi pada produksi biodiesel dapat digunakan untuk mengevaluasi penggunaan bahan baku dan komponen proses produksinya seperti
besarnya arus listrik dan material alat yang digunakan. Dikatakan dalam Talens et al. 2007 bahwasanya eksergi berisi substansi yang dapat dijadikan indikator
untuk menentukan kemungkinan pengaruh yang berbahaya terhadap manusia dan lingkungan, karena semakin jauh eksergi dari kesetimbangan maka semakin
mengindikasikan potensi reaksi yang tidak terkontrol sehingga memberikan pengaruh terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Dalam kaitannya dengan
hal ini Knothe et al. 2005 menyatakan biodiesel masih lebih aman terhadap lingkungan daripada petrodiesel karena biodiesel lebih mudah terurai dalam tanah
dan air, dalam arti lain petrodiesel mempunyai laju degradasi penguraian dalam tanah dan air lebih rendah dibandingkan biodiesel.
Mittelbach 2004 pun mengatakan walaupun secara kualitas petrodiesel lebih unggul dibuktikan dengan nilai kalornya yang lebih tinggi sehingga untuk
menempuh jarak yang sama dibutuhkan lebih banyak biodiesel akan tetapi dari sudut pandang emisi akibat pembakaran, biodiesel memiliki nilai lebih rendah
sehingga pengaruhnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia masih lebih aman daripada petrodiesel. Besarnya kualitas eksergi dilihat dari nilai efisiensi
eksergi. Penentuan efisiensi eksergi untuk sistem keseluruhan danatau komponen
individual yang membentuk sistem merupakan bagian utama analisis eksergi. Analisis yang komprehensif suatu sistem termodinamika melibatkan baik analisis
energi maupun analisis eksergi agar diperoleh gambaran kerja sistem secara lengkap Basri 2010. Talens et al. 2007 mengatakan bahwa efisiensi eksergi
dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara eksergi yang dapat dimanfaatkan dalam suatu proses dan total eksergi yang digunakan untuk terbentuknya proses
tersebut. Efisiensi eksergi hasil penelitian ditunjukkan pada Gambar 19.
Gambar 19 Efisiensi eksergi setiap subsistem pada produksi biodiesel secara non-katalitik.
Berdasarkan Gambar 19 efisiensi eksergi pada sistem evaporator dan superheater semakin meningkat seiring dengan bertambahnya laju alir metanol,
sedangkan pada sistem reaktor dan alat penukar panas semakin menurun pada setiap kenaikan laju alir metanol. Hal ini disebabkan pada sistem evaporator, dan
superheater penggunaan energi elemen pemanas semakin termanfaatkan untuk menguapkan dengan bertambahnya laju alir metanol sehingga lebih efisien dalam
hal penggunaan energi. Namun, masih banyak energi yang belum dapat termanfaatkan dalam subsistem tersebut.
Pada reaktor terdapat palm olein yang berbentuk cair dan uap panas metanol yang suhunya dijaga pada suhu 290
o
C, sehingga penggunaan energi elemen pemanas dapat lebih maksimal dimanfaatkan. Akan tetapi, dalam reaktor juga
terdapat penambahan energi dari reaksi kimia pembentukan biodiesel. Secara akumulatif semakin bertambahnya laju alir metanol pemanfaatan energi dalam
reaktor semakin rendah. Begitupun pada alat penukar panas yang disebabkan karena kemampuan alat dalam menurunkan suhu produk dari reaktor, sehingga
semakin bertambahnya laju alir metanol maka efisiensi eksergi alat penukar panas semakin menurun. Konsumsi energi listrik pada setiap laju alir metanol
ditampilkan dalam Gambar 20, 21, dan 22.
1.34 2.43
2.98 0.42
0.78 1.15
19.59 19.23
18.52 19.93
16.27
10.48
5 10
15 20
25
1.5 3.0
4.5
E fis
ie n
si E k
se rg
i
Laju Alir mL menit
-1
Evaporator Superheater
Reaktor APP
Gambar 20 Konsumsi energi listrik pada laju alir metanol 1.5 mL menit
-1
.
Gambar 21 Konsumsi energi listrik pada laju alir metanol 3.0 mL menit
-1
.
Gambar 22 Konsumsi energi listrik pada laju alir metanol 4.5 mL menit
-1
.
y = 10.092x + 880.83 y = 10.881x + 1434.5
y = 7.7796x + 657.55
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000 8000
9000
50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650
E n
er gi
kJ
Waktu menit
SH Reactor
Evap Linear SH
Linear Reactor Linear Evap
y = 10.599x + 737.45 y = 11.157x + 1367.2
y = 8.4571x + 495.63
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000 8000
9000
50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650
E n
er gi
kJ
Waktu menit
SH Reactor
Evap Linear SH
Linear Reactor Linear Evap
y = 11.102x + 769.87 y = 11.64x + 1441.7
y = 10.148x + 477.3
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000 8000
9000
50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550 600 650
E n
er gi
kJ
Waktu menit
SH Reactor
Evap Linear SH
Linear Reactor Linear Evap
Perhitungan sistem alat penukar panas didasarkan pada aliran metanol, semakin meningkatnya laju alir metanol yang digunakan maka produk yang
direaksikan dan keluar dari reaktor semakin banyak akan tetapi kemampuan alat penukar panas terbatas sehingga tidak mampu mendinginkan keseluruhan produk
yang keluar dari reaktor. Selain dikarenakan penggunaan voltase pada pemanas yang tidak sesuai atau masih terlalu tinggi sehingga masih cukup besar panas yang
tidak termanfaatkan, sistem isolasi yang tidak sempurna juga ikut berkontribusi sehingga sebagian energi panas masih dapat mengalir ke lingkungan.
Kotas 1985 dalam Basri 2010 menyatakan bahwa eksergi suatu aliran tunak steady flow dari suatu zat adalah sama dengan jumlah kerja maksimum
yang dapat diperoleh bila aliran tersebut dibawa dari keadaan awalnya ke keadaan mati dead state melalui suatu proses yang mana arus tersebut hanya berinteraksi
dengan lingkungannya. Sekali suatu sistem berada dalam kesetimbangan dengan lingkungannya, maka sistem tersebut tidak mungkin lagi untuk menggunakan
energi dalam sistem tersebut untuk menghasilkan kerja. Kondisi seperti ini mengindikasikan eksergi dari suatu sistem telah dimusnahkan sepenuhnya.
Pemusnahan eksergi ini disebut juga sebagai irreversibilitas. Irreversibilitas merupakan ukuran untuk mengetahui besarnya potensial
kerja yang hilang dalam suatu proses, karena menggambarkan ketidakmampubalikkan energi dalam suatu sistem sehingga tidak dapat
dimanfaatkan lagi. Semakin besar nilai irreversibilitas dari masukannya maka mengindikasikan semakin rendah kualitas energi dalam sistem tersebut. Hasil
perhitungan irreversibilitas ditampilkan dalam Tabel 8. Tabel 8 Irreversibilitas setiap unit subsistem
Laju Alir Metanol mLmenit
Irreversibilitas subsistem kW Evaporator
Superheater Reaktor
APP 1.5
2.59E-01 3.36E-01
4.36E-01 6.32E-05
3.0 2.75E-01
3.50E-01 3.60E-01
1.16E-04 4.5
3.28E-01 3.66E-01
3.76E-01 2.31E-04
Tabel 9 Eksergi masuk setiap subsistem Laju Alir Metanol
mLmenit Eksergi masuk subsistem kW
Evaporator Superheater
Reaktor APP
1.5 2.56E-01
3.35E-01 3.51E-01
7.89E-05 3.0
2.82E-01 3.53E-01
4.45E-01 1.39E-04
4.5 3.38E-01
3.70E-01 4.62E-01
2.58E-04 Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 8 potensi kerja yang hilang
dalam setiap subsistem masih cukup besar dari laju eksergi yang masuk dalam sistem Tabel 9. Menurut Basri 2010 irreversibilitas dapat diklasifikasikan
menjadi irreversibilitas internal dengan sumber utama gesekan, ekspansi tak tertahankan, pencampuran, reaksi kimia serta irreversibilitas eksternal yang timbul
akibat pindah panas melalui beda suhu hingga. Hal inilah yang menjadikan irreversibilitas dalam sistem produksi biodiesel non-katalitik masih cukup tinggi,
terutama pada konsumsi listrik melalui komponen pemanas, pada komponen ini membutuhkan energi yang cukup besar dalam pengoperasiannya. Oleh sebab itu,
dibutuhkan optimasi untuk menentukan besaran energi yang digunakan dalam sistem produksi biodiesel non-katalitik ini terutama pada penggunaan voltase
energi listrik dalam mencapai suhu yang diharapkan. Faktor gesekan pada alat penukar panas tidak dapat diabaikan karena
menurut Bejan et al. 2006 dan Basri 2010 irreversibilitas yang diakibatkan gesekan selama perpindahan panas dalam alat penukar panas sangat
mempengaruhi besarnya energi yang dapat dimanfaatkan sehingga menyebabkan besarnya pemusnahan eksergi exergy destruction yang berakibat pada semakin
rendahnya efisiensi eksergi alat penukar panas. Hal itu pula yang memungkinkan efisiensi eksergi alat penukar panas pada sistem produksi biodiesel non-katalitik
ini menjadi semakin rendah dengan meningkatnya laju alir metanol karena gesekan yang terjadi di dalam semakin besar.
Bagaimanapun efisiensi eksergi pada produksi biodiesel non-katalitik metode superheated methanol vapor SMV masih rendah sehingga masih perlu
untuk ditingkatkan lagi dengan berbagai optimasi pada setiap subsistem sehingga diharapkan dapat mencapai efisiensi eksergi optimum dan lebih meningkatkan
rasio energi.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian yang sudah dilakukan antara lain: 1
Alat penukar panas hasil rancangan sudah mampu mendaur ulang panas dalam sistem dibuktikan dengan meningkatnya nilai rasio energi yang didapat,
namun belum sempurna menggantikan peran kondensor. Efektifitas alat penukar panas didapatkan sebesar 92, 25, dan 19 untuk laju alir metanol
1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit
-1
. 2
Rasio energi yang didapat adalah 7.85, 2.98, dan 2.87 untuk laju alir metanol 1.5, 3.0, dan 4.5 mL menit
-1
. Rasio energi dengan persamaan yang memperhitungkan kandungan energi bahan baku sebagai pembagi didapatkan
sebesar 1.05, 1.03, dan 1.02 untuk masing-masing laju alir metanol, mengindikasikan perbaikan sistem dengan alat penukar panas berhasil.
3 Hasil analisis eksergi yang dilakukan pada laju alir metanol 1.5, 3.0, 4.5 mL
menit
-1
mendapatkan nilai efisiensi eksergi pada subsistem evaporator sebesar 1.34, 2.43, dan 2.98. Subsistem superheater 0.42, 0.78, dan 1.15.
Subsistem reaktor sebesar 19.59, 19.23, dan 18.52. Subsistem APP sebesar 19.93, 16.27, dan 10.48. Irreversibilitas subsistem alat penukar
panas dan reaktor masih lebih tinggi dari evaporator dan superheater. Semakin tinggi laju alir metanol maka semakin tinggi pula irreversibilitas
subsistem alat penukar panas dan reaktor sehingga efisiensi semakin menurun, begitupun sebaliknya pada evaporator dan superheater. Hal ini berarti
penurunan kualitas energi dalam sistem masih cukup tinggi.
5.2 Saran
Optimasi rancangan penukar panas masih perlu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi energi dan eksergi keseluruhan, dan untuk keperluan
pembesaran skala.
DAFTAR PUSTAKA
Basri, H., D. Santoso. 2010. Analisis eksergi pada siklus turbin gas sederhana 14 MW instalasi pembangkit tenaga keramasan Palembang. Di dalam: Seminar
Nasional Tahunan Teknik Mesin SNTTM ke-9. Palembang. 13-15 Oktober 2010. 512-521.
Bejan, A., G. Tsatsaronis, M. Moran. 1996. Thermal Design and Optimization. John Wiley Sons, Inc. New York, USA. Hal. 113-159.
Cengel, Y. A., M. A. Boles. 2002. Thermodynamics, An Engineering Approach. Second Edition. New York: Mc Graw Hill.
Cengel, Y. A. 2003. Heat Transfer, A Practical Approach. Second Edition. New York: Mc Graw Hill.
Chempro. 2010. Palm Oil Properties. [terhubung berkala].
http:www.chempro.inpalmoilproperties.htm [22 Juli 2010]. Ceriani, R. et al. 2007. Group Contribution Model for Predicting Viscosity of
Fatty Compounds. J. Chem. Eng 52: 965-972. Coupland, J.N., D.J. McClements. 1997. Physical Properties of Liquid Edible
Oils. J Am Oil Chemists’ Soc 7712: 1559-1564. Demirbas, A. 2002. Biodiesel from vegetable oils via transesterification in
supercritical methanol. Energy Convers and Manage 43:2349-2356. Demirbas, A. 2005. Biodiesel production from vegetable oils via catalytic and
non-catalytic supercritical methanol transesterification methods. Progress in Energy and Combustion Science. 31: 466-487.
Diasakou M., A. Louloudi and N. Papayannakos. 1997. Kinetics of the non- catalytic transesterification of soybean oil. Elsevier Science 77 12: 1297-
1302. Dincer, I., Y.A. Cengel. 2001. Energy, Entropy, and Exergy Concepts and Their
Roles in Thermal Engineering. Entropy 3:116-149. Hill, J., E. Nelson, D. Tilman, S. Polasky, dan D. Tifanny. 2006. Environmental,
economic, and energetic costs and benefits of biodiesel and ethanol biofuels. PNAS 10330: 11206-11210.
Holman, J.P. 1995. Perpindahan Kalor. Edisi keenam. Jasjfi E, penerjemah; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Heat Transfer. Hal. 480-522.
Hong, S.T., J.W. Kim, W.H. Jang, J.S. Lim, H.S. Park, K.P. Yoo, C. Afel, W. Arlt. 2009. Transesterification of palm oil using supercritical methanol with
co-solvent HCFC-141b. Res Chem Intermed. 35: 197-207.
Joelianingsih, H. Nabetani, S. Hagiwara, Y. Sagara, T.H. Soerawidjaya, A.H. Tambunan, K. Abdullah. 2007. Performance of a bubble column reactor for
the non-catalytic metil esterification of free fatty acids at atmospheric pressure. J Chem Eng Japan 409:780-785.
Joelianingsih, H. Maeda, H. Nabetani, Y. Sagara, T.H. Soerawidjaya, A.H. Tambunan, K. Abdullah. 2008a. Biodiesel fuels from palm oil via the non-
catalytic transesterification in a bubble column reactor at atmospheric pressure: a kinetic study. Renewable Energy 337: 1629-1636.
Joelianingsih. 2008b. Biodiesel Production from Palm Oil in a Bubble Column Reactor by Non-Catalytic Process [Dissertation]. Bogor: Graduate School.
Bogor Agricultural University. Kusdiana, D., S. Saka. 2000. A novel process of the biodiesel fuel production. In:
Proc. of 1
st
World Conf. on Biomass for Energy and Industry; Sevilla, Spain, 5-9 Jun 2000. James James Science Publisher Ltd. 563-566.
Kusdiana, D., S. Saka. 2001. Metil esterification of free fatty acids of rapeseed oil as treated in supercritical methanol. J Chem Eng Japan 34:383-387.
Knothe, G., J.Van Gerpen, J. Krahl. 2005. The Biodiesel Handbook. Champaign, Illionis: AOCS Press.
Lee, S., J.G. Speight, S.K. Loyalka. 2007. Handbook of Alternative Fuel Technologies. New York: CRC Press.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. 2008. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 Tahun 2008 Tentang Penyediaan,
Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati Biofuel sebagai Bahan Bakar Lain. Jakarta: Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik
Indonesia.
Mittelbach M., C. Remschmidt. 2004. Biodiesel: The Comprehensive Book. 1
st
ed. Austria: Martin Mittelbach.
Morad, N.A., A.A.M. Kamal, F. Panau, T.W. Yew. 2000. Liquid Specific Heat Capacity Estimation for Fatty Acid, Triacylglycerol, and Vegetable Oils
Based on Their Fatty Acid Composition. J Am Oil Chemists’ Soc 779: 1001-1005.
Narvaez, P.C., S.M. Rincon, L.Z. Castaneda, F.J. Sanchez. 2008. Determination of Some Physical and Transport Properties of Palm Oil and of its Metil
Esters. Latin American Applied Research 38: 1-6. Pimentel, D., T.W. Patzek. 2005. Ethanol production using corn, switchgrass, and
wood; biodiesel production using soybean and sunflower. Natural Resources Res. 141: 65-76.
Pleanjai, S., S.H. Gheewala. 2009. Full chain energy analysis of biodiesel production from palm oil in Thailand. Applied energi. 86: S209-S214.