Wilayah bogor secara umum dibagi menjadi dua bagian: wilayah urban berada di
Kota Bogor dan wilayah suburban berada di Kabupaten Bogor. Nilai suhu permukaan
Ts diambil dari hasil ekstraksi suhu permukaan pada citra satelit. Pada citra satelit
memiliki informasi nilai suhu permukaan yang didapat dari karakteristik spasial pada
setiap piksel. Hal ini dapat dijadikan acuan dalam mengidentifikasi intensitas UHI.
3.3.5 Digital
Elevation Model
dan Klasifikasi Lahan Wilayah Bogor
Suhu udara pada suatu wilayah memiliki hubungan erat dengan kondisi topografi dan
ketinggian wilayah tersebut. Oleh karena itu penelitian ini membutuhkan sebuah data
topografi dan ketinggian wilayah Bogor. Data topografi dan ketinggian sebuah daerah dapat
dimodelkan dengan menggunakan data DEM Digital Elevation Model. Data DEM dapat
diolah dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS. Data ini disesuaikan dengan peta
tata ruang wilayah Bogor dan hasil pengolahan
data citra
satelit untuk
menghasilkan analisis distribusi spasial dan temporal UHI di wilayah Bogor.
Pada penelitian ini, proses klasifikasi penutupan lahan di Bogor melalui interpretasi
data landuse wilayah Jawa Barat pada tahun 2002 yang telah dipotong. Klasifikasi lahan
dilakukan dengan menggunakan klasifikasi tak terbimbing Unsupervised Classification.
Klasifikasi tak terbimbing dimulai dari mengklasifikasikan dari kelas-kelas atau
wilayah-wilayah yang kita spesifikasikan atau dari jumlah nominal kelas yang dijadikan
pembeda antara masing-masing penutupan lahan. Klasifikasi tak terbimbing secara
sendiri akan mengategorikan semua piksel menjadi kelas-kelas dengan menampakan
spektral atau karakteristik spektal yang sama. Di
wilayah Bogor,
penutupan lahan
dibedakan menjadi sembilan bagian, yaitu air tawar, belukarsemak, gedungpemukiman,
hutan, kebunperkebunan,
rumputtanah kosong, sawah irigasi, sawah tadah hujan,
dan tegalanladang.
3.4 Asumsi Dasar Penelitian
Pada penelitian ini, untuk mendapatkan nilai suhu permukaan sebagai identifikasi
urban heat island menggunakan beberapa asumsi sebagai berikut:
1 Data citra satelit yang digunakan berupa
data yang memiliki tingkat keawanan yang menunjukkan langit cerah tanpa
awan atau hampir tidak ada awan. 2
Atmosfer bersifat statis, sehingga faktor angin tidak berpengaruh.
3 Suhu permukaan yang dihasilkan oleh
data citra satelit memiliki perbandingan yang mirip dengan suhu udara data
observasi meteorologi, sehingga suhu permukaan
dapat digunakan
untuk mengidentifikasi UHI.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian
Kabupaten Bogor
adalah sebuah
kabupaten di Provinsi Jawa Barat dengan Cibinong sebagai pusat pemerintahan dan
industri. Kota Bogor adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Barat yang wilayahnya berada
di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor dan Kota Bogor wilayah
Bogor yang merupakan wilayah kajian
berada pada koordinat 6°12’30” - 6°53’10” LS dan 106°18’38” - 107°19’26” BT.
Kabupaten Bogor memiliki luas 2071.21 km
2
dan jumlah penduduknya 4 771 932 jiwa. Kota Bogor memiliki luas yang lebih kecil
yaitu 118.50
km² dengan
jumlah penduduknya 950 334 jiwa2010. Kabupaten
Bogor memiliki kepadatan penduduk yang lebih renggang yaitu sebesar 2303.93
jiwakm
2
, sedangkan Kota Bogor memiliki kepadatan penduduk 8019.7 jiwakm².
Sebelah utara
Kabupaten Bogor
berbatasan dengan Kabupaten Tangerang Banten, Kota Depok, dan Kabupaten
Bekasi; sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang; sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten
Sukabumi; sebelah
barat berbatasan
dengan Kabupaten
Lebak Banten.
Bagian utara
Kabupaten Bogor
merupakan dataran rendah lembah Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane, sedangkan
bagian selatan berupa pegunungan, dengan puncaknya: Gunung Halimun 1764 m,
Gunung Salak 2211 m, Gunung Gede 2958 m, dan Gunung Pangrango 3018 m
yang merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Barat.
Gambar 10 Peta ketinggian di wilayah Bogor
Kota Bogor terletak pada ketinggian 190 sampai 330 meter di atas permukaan laut.
Wilayah ini memiliki udara yang relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya
adalah 26 °C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70. Suhu rata-rata terendah di
Bogor mencapai 21.8 °C, paling sering terjadi pada Bulan Desember dan Januari. Kota
Bogor
memiliki curah
hujan tahunan
mencapai 1700 mm, namun pada wilayah sekitarnya
bisa mencapai
3500 mm.
Tingginya curah hujan disebabkan banyak terjadinya hujan konvektif di daratan pulau
Jawa Barat dan efek orografis di wilayah Bogor Kusumawati et al. 2008.
Tabel 1 Tutupan lahan wilayah Bogor
Klasifikasi penutupan lahan di Bogor dilakukan melalui interpretasi data landuse
wilayah Jawa Barat pada tahun 2002 yang telah
dipotong. Klasifikasi
lahan menggunakan klasifikasi tak terbimbing
unsupervised classification.
Penutupan lahan land cover pada wilayah kajian
diklasifikasikan menjadi tujuh kelas, yaitu air
tawar, belukarsemak,
gedung pemukiman,
hutan, kebunperkebunan,
rumputtanah kosong, sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan tegalanladang.
Wilayah Bogor yang memiliki luas total sebesar 2189.71 km
2
, memiliki berbagai tutupan lahan beragam dan tersebar yang
telah diklasifikasikan seperti pada Tabel 1. Pada bagian selatan, barat, dan timur wilayah
kajian terdapat tutupan lahan yang dominan lebih hijau, yaitu antara lain: perkebunan,
hutan, semakbelukar, sawah tadah hujan, tegalanladang. Pada bagian utara dan tengah
wilayah kajian terdapat tutupan lahan yang dominan antara lain: gedung, pemukiman
penduduk, sawah irigasi, dan rumputtanah kosong. Perkebunan memiliki tutupan lahan
terbesar di wilayah Bogor yaitu sebesar 20 dari tutupan lahan seluruhnya, sedangkan
gedung dan pemukiman hanya memiliki tutupan lahan sebesar 11.
Dengan terkonsentrasinya
lahan terbangun di wilayah perkotaan seperti Kota
Bogor dibandingkan wilayah sekitar kota suburbanrural, mengindikasikan akan
adanya fenomena urban heat island. Hal ini ditandai dengan adanya wilayah lahan
terbangun yang terpusat di Kota Bogor dan
Tutupan Lahan Luas km
2
Persentase KebunPerkebunan
438.14 20.01
Hutan 377.54
17.24 BelukarSemak
317.66 14.51
Sawah Tadah Hujan 260.54
11.9 GedungPemukiman
246.02 11.24
TegalanLadang 242.49
11.07 Sawah Irigasi
237.43 10.84
RumputTanah kosong 52.47
2.4 Air Tawar
17.42 0.8
Kota Cibinong. Pada bagian selatan, barat, dan timur wilayah Bogor terdapat tutupan
lahan yang dominan lebih hijau. Hal ini menyebabkan
wilayah perkotaan
akan cenderung lebih panas dibandingkan wilayah
di pinggir kota sehingga membentuk seperti kubah di pusat kota.
4.2
Pengolahan Data Citra MODIS
Informasi suhu
permukaan untuk
menentukan urban heat island dalam penelitian ini menggunakan data citra Terra
MODIS L1B.
Data citra
ini dapat
memberikan ukuran spasial dalam cakupan wilayah yang besar dan waktu temporal yang
konsisten pada setiap waktunya. Data citra MODIS cocok digunakan dalam penelitian
ini yaitu untuk menentukan UHI di wilayah Bogor.
Pada citra
yang digunakan
perlu dilakukan adanya pemotongan wilayah kajian
cropping. Hal ini dilakukan supaya daerah yang diamati memiliki batasan hanya sampai
pada wilayah kajian dari citra yang diambil dari citra sebenarnya. Karena data citra yang
dikaji atau yang telah dilakukan proses cropping akan lebih cepat dalam proses
pengolahan data.
Data mentah citra MODIS yang didapat merupakan data sudah terkoreksi secara
geometrik dan radiometrik. Namun data citra ini belum memiliki sistem koordinat yang
sesuai dan masih terdapat bow-tie effect. Data citra yang masih memiliki efek bow-tie dapat
dihilangkan
dan dinormalkan
dengan menggunakan perangkat lunak ENVI. Pada
dasarnya perangkat lunak ini melakukan koreksi radiometrik, khusus untuk efek bow-
tie, yaitu dengan membenarkan informasi nilai radians efek duplikasi baris-baris akibat
dari perbesaran sudut Instantaneous Field Of View IFOV.
Sistem proyeksi
ditentukan secara
otomatis dengan cara georeferensi. Proses georeferensi pada citra dilakukan dengan
memberikan koordinat peta pada citra. Data citra tersebut sesungguhnya sudah datar
planimetri, hanya saja belum mempunyai koordinat peta yang benar. Dalam hal ini,
koreksi geometrik sesungguhnya melibatkan proses georeferensi karena semua sistem
proyeksi sangat terkait dengan koordinat peta. Sistem proyeksi peta yang digunakan
yaitu sistem proyeksi Universal Transverse Mercator UTM dengan datum WGS-84.
Keluaran titik ikat atau Ground Check Point GCP secara otomatis dihasilkan dengan
adanya proses georeferensi citra. Dengan cara inilah data citra sudah terkoreksi geometrik
secara benar dengan sistem proyeksi yang sesuai.
Gambar 11 a Data belum terkoreksi dan b
data terkoreksi, citra MODIS akuisisi 12 Juli 2002 siang hari
Data citra MODIS memiliki cakupan spasial dan temporal yang baik, sehingga
hasil pengolahan data yang didapatkan memenuhi kriteria dalam cakupan luasan
kajian dengan rentang periode data yang diperlukan. Hasil analisis data citra akan
lebih baik apabila data memiliki cakupan sudut pengamatan dengan kondisi langit yang
cerah Wan et al. 2004. 4.3
Suhu Permukaan
Suhu permukaan yang diekstraksi dari data citra MODIS merupakan nilai suhu
permukaan pada wilayah kajian, yaitu wilayah
Bogor. Wilayah
Bogor yang
dimaksud antara lain Kota Bogor sebagai pusat kota dan Kabupaten Bogor sebagai
wilayah suburban. Dalam satu hari, satelit Terra mengambil
gambar suatu tempat yang sama sebanyak dua kali. Nilai suhu permukaan pada citra
MODIS yang
diekstraksi merupakan
gambaran suhu permukaan di wilayah Bogor yang terekam antara pukul 08.00 - 10.00
siang hari dan antara pukul 20.00 - 22.00 malam hari waktu setempat. Pada penelitian
ini, data citra MODIS diambil sebanyak 24 akuisisi yaitu pada tahun 2000 hingga tahun
2011 pada waktu siang dan malam hari di setiap tahunnya.
Dari data citra MODIS yang telah dipilih, kanal 31 dan kanal 32 dapat
digunakan untuk
mengestraksi suhu
permukaan. Suhu permukaan diturunkan berdasarkan persamaan Planck Lim 2001.
Suhu permukaan hasil ektraksi kanal 31 dan kanal 32 memiliki pola sebaran yang relatif
sama. a
b
Hal ini ditunjukkan seperti pada Gambar 12. Pada grafik tersebut dapat terlihat pada
kanal 31 dan kanal 32 memiliki nilai koefisien determinasi sebesar 1. Kedua kanal
mempunyai hubungan yang linier dengan masing-masing
komponen yang
saling berhubungan.
Gambar 12 Hubungan sebaran hasil ekstraksi
suhu kecerahan K kanal 31 dengan kanal 32 pada citra
MODIS tahun 2011 akuisisi 31 Juli 2011 a siang hari dan b
malam hari
Pada Tabel 2 menunjukkan kedua kanal memiliki
pola sebaran
yang saling
berhubungan erat. Data pada masing-masing citra memiliki nilai koefisien determinasi
yang besar. Kedua kanal ini memiliki selisih nilai pada masing-masing hasil ekstraksi suhu
permukaan. Suhu kecerahan pada kanal 32 lebih besar dibandingkan pada kanal 31.
Selisih antara kedua kanal berbeda sekitar ±3 K. Oleh karena itu, suhu permukaan akhir
bisa didapatkan dari nilai rata-rata kedua suhu kecerahan hasil ekstraksi pada kanal 31
dan kanal 32. Tabel 2
Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi hasil ekstraksi suhu
permukaan antara kanal 31 dengan kanal 32 pada a siang hari dan
b malam hari
Suhu permukaan
dalam citra
digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan yang
berbeda. Suhu
permukaan pada
hasil ekstraksi pada citra MODIS memiliki nilai
yang berbeda dibandingkan dengan data suhu udara hasil pengukuran di enam stasiun yang
tersebar.
Gambar 13 Peta lokasi stasiun meteorologi
Stasiun observasi meteorologi yang terdapat di Bogor antara lain: Stasiun
Meteorologi Atang Senjaya yang berada di wilayah Kota Bogor; Stasiun Meteorologi
Darmaga, Stasiun Meteorologi Cibinong, dan Stasiun Meteorologi Citeko yang berada di
wilayah
Kabupaten Bogor;
Stasiun Meteorologi Halim Perdanakusuma dan
Stasiun Meteorologi Curug Budianto yang berada di luar wilayah Bogor.
Masing-masing stasiun
meteorologi dapat mewakili data pengukuran suhu udara
hingga radius ±5 km sesuai dengan
a Siang b Malam
Akuisisi R-Sq
S Akuisisi
R-Sq S
12 Juli 2000 100 0.0014 18 Juli 2000 100
0.0003 12 Juli 2001 100 0.0008
6 Juli 2001 100 0.0005
20 Juli 2002 100 0.0027 11 Juli 2002 100
0.0005 23 Juli 2003 100 0.0016
26 Juli 2003 100 0.0002
23 Juli 2004 100 0.0030 23 Juli 2004 100
0.0005 3 Juli 2005 100 0.0017
5 Juli 2005 100 0.0006
26 Juli 2006 100 0.0010 11 Juli 2006 100
0.0010 11 Juli 2007 100 0.0020
4 Juli 2007 100 0.0014
8 Juli 2008 100 0.0004 8 Juli 2008 100
0.0003 12 Juli 2009 100 0.0031
7 Juli 2009 100 0.0009
24 Juli 2010 100 0.0017 24 Juli 2010 100
0.0013 31 Juli 2011 100 0.0015
31 juli 2011 100 0.0008
b a
karakteristik topografi tempat didirikannya stasiun tersebut. Data pengukuran suhu udara
ini dapat dikorelasikan dengan melakukan analisis regrasi pada hasil ekstraksi suhu
permukaan pada citra MODIS. Tabel 3
Nilai koefisien determinasi dan standar deviasi suhu permukaan
hasil ekstraksi citra dengan suhu udara observasi
Gambar 14 Analisis regresi suhu permukaan
hasil ekstraksi citra akuisisi a 23 Juli 2003 dan b 26 Juli 2003
dengan suhu udara observasi
Analisis korelasi
atau hubungan
dilakukan dengan cara analisis regresi antara suhu permukaan hasil ektraksi citra MODIS
sebagai peubah respon dengan suhu udara hasil observasi dari enam stasiun sebagai
peubah prediktor. Analisis regresi memiliki nilai koefisien determinasi R
2
dan standar deviasi atau simpangan baku S yang
menunjukkan kesalingterkaitan antar kedua peubah.
Makin tinggi
nilai koefisien
determinasi R
2
maka kedua peubah saling memiliki keterkaitan. Sebaliknya standar
deviasi, merupakan gambaran besarnya penyimpangan,
makin kecil
nilai S
mendekati nol, kedua peubah saling memiliki keterkaitan Drapper dan Smith
1992. Dari Tabel 3 dapat disimpulkan bahwa
setiap analisis regresi yang dilakukan memiliki memiliki nilai koefisien determinasi
R
2
dan standar deviasi S masing-masing yang
menunjukkan korelasi
atau kesalingterkaitan
antar kedua
peubah. Analisis regresi yang dilakukan pada citra
akuisisi 23 Juli 2003 dan 26 Juli 2003 Gambar 14 memiliki koefisien determinasi
masing-masing sebesar 40.9 dan 76.8 dengan nilai simpangan baku masing-masing
sebesar 1.71 dan 1.30. Hal ini menunjukkan suhu permukaan hasil ektraksi citra MODIS
tersebut memiliki keterkaitan yang cukup sesuai terhadap suhu udara hasil observasi
dari enam stasiun yang tersebar di wilayah sekitar Bogor.
Suhu permukaan dan suhu udara merupakan unsur meteorologi yang berbeda.
Namun kedua suhu ini saling terkait satu sama lain. Suhu permukaan mempunyai
pengaruh utama terhadap suhu udara lapisan perbatas boundary layer. Suhu permukaan
berpengaruh terhadap fluks bahang terasa sensible heat terutama pada siang hari, hal
ini yang menyebabkan suhu permukaan suatu benda
lebih tinggi
dari suhu
udara Mannstein 1987. Namun pada beberapa
keadaan, suhu permukaan dapat lebih dingin dibandingkan suhu udara, terutama pada
malam hari. Hal ini dikarenakan oleh adanya sifat konduktivitas oleh beberapa bahan
penyusun dasar permukaan. Seperti contoh, dasar permukaan yang terbuat dari bahan
logam atau keramik akan lebih dingin dibandingkan dasar permukaan yang masih
berupa tanah.
Menurut Effendy 2009, penggunaan data pengindraan jauh dapat menutupi
kekurangan kerapatan stasiun cuaca. Hal ini dinilai dapat memiliki prospek yang baik
untuk dikembangkan
di masa-masa
mendatang tanpa mengurangi pentingnya pengukuran secara insitu pada stasiun-stasiun
cuaca sebagai bahan referensi atau rujukan.
a Siang b Malam
Akuisisi R-Sq
S Akuisisi
R-Sq S
12 Juli 2001 57.0 1.40
6 Juli 2001 94.7
0.65 20 Juli 2002 56.5
1.81 11 Juli 2002
79.3 1.55
23 Juli 2003 40.9 1.71
26 Juli 2003 76.8
1.30 23 Juli 2004
3.0 3.93
23 Juli 2004 5.1
3.89 3 Juli 2005 42.5
2.41 5 Juli 2005
62.1 1.89
26 Juli 2006 67.0 2.47
11 Juli 2006 44.1
2.56 11 Juli 2007 44.6
2.67 4 Juli 2007
66.4 1.53
b a
Stasiun cuaca dapat
digunakan untuk melakukan kalibrasi atau validasi model-
model pendugaan berdasarkan ekstraksi data pengindraan jauh sebagai analisis lebih
lanjut.
Meskipun ada beberapa korelasi pada citra yang kurang begitu baik, seperti pada
tahun 2004, namun data citra masih bisa digunakan untuk menganalisis urban heat
island walaupun hanya menggunakan hasil ekstraksi data suhu permukaan. Hal ini juga
dipengaruhi
oleh keberadaan
stasiun meteorologi yang kurang mencukupi di
wilayah Bogor. Sehingga keberadaan stasiun meteorologi dalam ukuran spasial kurang
mencukupi untuk melakukan validasi dan kalibrasi sehingga menghasilkan model yang
baik. Namun dalam hal ini, fenomena UHI diidentifikasi menggunakan data spasial,
meskipun dengan menggunakan pendekatan suhu permukaan dari data citra. Namun
penggunaan data citra akan lebih baik lagi apabila didukung dengan data konvensional
seperti data dari stasiun meteorologi.
4.4 Struktur Urban Heat Island